Minggu, 18 Oktober 2015

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 9 Chapter 6 : Dan kemudian, Hikigaya Hachiman...





x Chapter VI x








 Aku tiduran di sofa dan mulai mendengar suara detik dari jam dinding di rumahku. Ketika aku mencoba melihat asal suara itu, jarum pendeknya sudah berada di angka 12 malam.

  Ternyata waktu sudah berlalu begitu cepat semenjak aku diantar pulang oleh Hiratsuka-sensei.

  Komachi dan kedua orang tuaku sudah makan malam dan mereka sekarang beristirahat di ruangan masing-masing. Kamakura mungkin sedang tidur di kamar Komachi saat ini.

  Sedari tadi, kotatsu membuat suara yang berisik, mungkin karena kotatsunya sudah bertahun-tahun tidak diganti dengan yang baru. Kotatsunya dibiarkan menyala begitu saja meskipun tidak ada yang memakainya. Aku berdiri, mematikannya, dan kembali lagi tiduran di sofa.

  Ruangan ini menjadi sangat dingin, dan ini sangat membantuku. Karena sejak tadi aku tidak bisa tidur, kuharap udara dingin ini bisa membantuku untuk membersihkan isi kepalaku ini.

  Hiratsuka-sensei jelas-jelas sudah memberiku petunjuk. Nasihatnya tidak sebatas untuk masalah hari ini, dan merupakan saran-saran yang saling berhubungan dengan kejadian di masa lalu hingga saat ini. Tapi, dulu aku lalai, aku salah paham, atau bahkan melewatkannya. Karena itulah, kini aku harus mulai lagi memahaminya dari awal.

  Aku harus memaparkan dan memikirkan lagi permasalahannya dari awal.

  Masalah terbesar yang di depan mata saat ini, tentunya, adalah Event Natal. Meskipun aku sudah turun tangan untuk membantu, tapi kenyataannya, situasinya malah menjadi bertambah buruk.

  Masalah bertambah lagi, Isshiki yang tidak memiliki kapasitas memimpin juga memberi andil dalam situasi tersebut. Sedangkan diriku adalah orang yang memintanya untuk tetap menjadi kandidat Ketua OSIS ketika itu. Hasilnya, dia tidak bisa memimpin Pengurus OSIS dengan baik.

  Terlebih lagi, masalah ini juga melibatkan partisipasi Tsurumi Rumi. Aku sendiri tidak tahu apakah aksiku kemarin di Perkemahan Chiba memberikan efek kepadanya atau tidak. Tapi jika melihat dirinya yang sekarang, aku tidak yakin kalau dirinya sudah berubah menjadi sesuatu yang positif.

  Dan kemudian...dan kemudian, masalah dengan Klub Relawan.

  Jika memikirkan masalah yang terakhir ini, memikirkannya saja sudah membuat dadaku sakit dan tidak ada solusi apapun muncul di pikiranku. Ekspresi yang sudah menyerah akan situasi itu, senyum yang dipaksakan, dan kata-kata yang pernah dikatakannya kepadaku terus bergentayangan di kepalaku.

  Aku akhirnya terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia karena kepalaku selalu dihantui hal-hal itu. Aku coba taruh di belakang dulu masalah ini.

  Sekarang begini, ada 3 masalah yang memiliki tujuan akhir yang jelas sehingga mudah dipahami.

  Pertama, adalah membuat Isshiki bisa mengerjakan tugasnya sebagai Ketua OSIS dengan baik di event ini. Selanjutnya adalah membuat Tsurumi Rumi tersenyum kembali, bahkan meskipun dia sendirian. Dan terakhir, adalah Event Natal perlu dilaksanakan dengan pertimbangan realitas, ini bisa dilakukan jika bisa bekerjasama dengan SMA Kaihin, termasuk Tamanawa.

  Jika ketiganya bisa diselesaikan, maka solusi sementara bisa kudapatkan.

  Apa yang terhubung dari ketiga masalah di atas adalah Event Natal.

  Jadi aku harus berpikir bagaimana caranya agar event tersebut sukses dengan cara yang benar.

  Tapi aku sudah melakukan yang terbaik untuk itu di pekan ini. Aku bahkan sudah berbicara dengan Tamanawa mengenai hal-hal yang bisa diperbaiki. Aku tidak berpikir kalau yang kulakukan itu bisa membuat situasinya menjadi lebih baik lagi.

  Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku meminta bantuan seseorang?

  Kalau sudah begini, maka satu-satunya orang yang bisa kumintai tolong adalah Komachi.

  Tapi Komachi harusnya tidak boleh diganggu karena sedang fokus dengan Ujian Masuk. Bagi adikku yang kurang dari 2 bulan lagi akan ujian, aku tidak bisa meminta bantuannya. Aku tidak boleh meminta bantuannya dimana dia sedang fokus ke salah satu event yang penting dalam hidupnya.

  Lalu, siapa yang tersisa? Zaimokuza? Kalau cuma dia, aku tidak perlu berpikir apakah akan mengganggunya atau tidak. Dia kemungkinan besar juga punya waktu senggang. Tapi, mempertimbangkan kalau kita ini sedang menangani banyak sekali grup di event, aku tidak berpikir kalau Zaimokuza bisa berfungsi optimal. Tidak lupa kalau dia juga kesulitan berkomunikasi dengan orang normal, jadi situasinya bisa bertambah buruk jika dia berkomunikasi dengan orang dari sekolah lain.

  ...Tidak, aku tahu kalau ini bukan salah Zaimokuza.

  Yang bertanggung jawab atas semua ini adalah aku.

  Seberapa lemahkah diriku?

  Kenapa aku begitu mudahnya ingin meminta bantuan? Hanya karena aku pernah meminta bantuannya waktu itu, dan sekarang menjadi seperti ini. Aku langsung berpikir untuk meminta bantuan orang.

  Sejak kapan aku menjadi selemah ini?



  Sebuah ikatan dengan orang lain sudah menjadi semacam Narkoba. Secara tidak sadar kau menjadi ketergantungan, sementara hatimu mulai retak secara perlahan. Akhirnya, kamu menjadi orang yang tergantung dengan orang lain dan tidak bisa melakukan apapun sendirian.

  Lalu, mungkinkah tindakanku ini yang membantu orang lain, sebenarnya hanyalah membuat mereka semakin menderita? Apakah aku sedang menciptakan orang-orang yang tidak bisa berdiri di atas kaki mereka sendiri kecuali mereka mendapatkan pertolongan dari orang lain?

  Meski begitu, kami seharusnya mengajari mereka bagaimana cara mencari ikan dan tidak member mereka ikan secara langsung.
[Note: Ini adalah kata-kata Yukinoshita di vol 1 chapter 3.]

  Sesuatu yang dengan mudahnya diberikan ke seseorang pastilah sesuatu yang palsu. Sesuatu yang bisa dengan mudahnya diberikan pastilah sesuatu yang bisa dengan mudahnya diambil oleh orang lain.

  Ketika pemilihan kandidat Ketua OSIS kemarin, Komachi memberiku sebuah alasan untuk bertindak. Jadi aku bergerak demi Komachi, agar Klub Relawan tetap berdiri.

  Oleh karena itu, aku merasa telah melakukan sebuah kesalahan.

  Meski sebenarnya, aku harus bertindak dengan alasan yang berasal dari diriku sendiri.

  Sampai saat ini, aku selalu mencari alasan atas tindakanku. Demi Isshiki, demi Rumi, bahkan demi Event Natal.

  Apakah mereka semua adalah alasan yang benar-benar membuatku ingin bertindak? Tampaknya aku salah paham dengan pemikiranku sebelumnya. Titik-titik pentingnya tampaknya sudah salah.

  Jika aku ingin mencari sebuah kebenaran, maka aku harus memikirkannya dengan mengulang dari awal.

  Sampai saat ini, kenapa aku mau membantu? Apa alasannya? Aku mencoba menjejak balik semua ini.

  Alasan mengapa Event Natal ini harus sukses adalah demi Isshiki dan Rumi. Dan mengapa aku membantu event tersebut karena aku sudah memaksanya maju untuk menjadi kandidat Ketua OSIS. Dan ketika itu, kenapa aku mencegah Yukinoshita dan Yuigahama maju menjadi kandidat? Alasan yang kuterima dari Komachi adalah hal yang membuatku bertindak, tetapi alasan sebenarnya adalah…



  Karena aku menginginkan sesuatu disana.


  Di masa lalu, aku merasa kalau itu adalah satu-satunya hal yang kuinginkan dan aku tidak menginginkan yang lain dari itu, tapi setelah tidak mampu mendapatkannya, aku mulai berpikir kalau itu tidak ada.
[Note: Hal Genuine, Hachiman mengatakan keinginan itu di ending vol 8 chapter 8.]

  Meski begitu, aku merasa kalau aku pernah melihatnya. Bahkan mungkin pernah merasakannya.
[Note: Itu monolog Hachiman di volume 8 chapter 4 dan vol 9 chapter 5. Entah mengapa, Hachiman merasa sudah memiliki itu dengan Yukino. Tapi, dia mengacaukannya di Darmawisata.]

  Oleh karena itu, aku sadar sekarang kalau aku sudah melakukan kesalahan.

  Sekarang aku sudah mampu membuat pertanyaannya. Sekarang aku tinggal membuat jawabannya.

  Aku tidak tahu berapa lama aku sudah berpikir sejak tadi. Namun langit yang gelap gulita mulai ada setitik cahaya berwarna putih yang muncul.

  Aku terus berpikir, tetapi aku tidak menemukan satupun jawaban, rencana, ataupun strategi. Tidak peduli seperti apa logikanya, teori, dan tipu daya yang bisa terpikirkan, tidak ada satupun yang muncul.

  Mungkin, mungkin inilah. Mungkin inilah jawabanku.







x  x  x






  Seusai jam sekolah, aku mulai merenggangkan tubuhku di meja. Ketika melakukan itu, aku bisa mendengar suara ‘crack’ dari leher dan bahuku.

  Pada akhirnya, aku pergi ke sekolah tanpa tidur yang cukup. Ketika aku duduk di kursiku, aku langsung tiduran di mejaku dan semua pelajaran seperti masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

  Tapi, aku kali ini sudah dalam keadaan 100% sadar.

  Aku masih sedikit ragu tentang jawabanku tadi malam. Aku juga tidak yakin apakah itu benar atau tidak.

  Tapi, aku juga tidak bisa memikirkan jawaban yang lain.

  Aku embuskan napasku lalu berdiri.

  Tujuanku kali ini adalah satu tempat.

  Aku tinggalkan ruang kelas dan berjalan menyusuri lorong.

  Aku akhirnya bisa melihat pintu dimana tempat yang kutuju berada di balik itu. Pintunya tertutup dan tidak terdengar suara apapun di balik pintu tersebut.

  Aku berdiri di depan pintu dan mengambil napas yang panjang. Lalu aku mengetuk pintunya tiga kali. Meskipun aku sudah terbiasa masuk ke ruangan ini, aku tidak pernah mengetuk pintunya. Tapi, kalau melihat tujuanku hari ini, mengikuti aturan formal seperti ini kurasa adalah hal yang perlu.

  Aku menunggu sejenak, tapi tidak ada jawaban yang terdengar.

  Aku mengetuk pintunya sekali lagi.

  “Silakan masuk…”

  Aku bisa mendengar suara yang lemah dari balik pintu. Sampai sekarang, aku belum pernah menyadarinya, jadi beginikah suara yang didengar orang yang berada di balik pintu? Setelah diberi ijin, aku menaruh tanganku di handle pintu.

  Pintu bergeser ketika dibuka. Pintunya terasa lebih berat dari biasanya. Apa pintu ini memang seberat ini? Aku akhirnya memfokuskan kekuatanku untuk membuka pintu tersebut.

  Ketika aku masuk ke dalam, aku bisa melihat dua wajah yang terkejut dan berada di tempat yang sama seperti biasanya.

  “Hikki. Tumben sekali kamu mengetuk pintu, apa ada sesuatu?”

  Yuigahama Yui yang seperti biasanya, memegang HP di tangannya, tampak memiliki ekspresi yang penuh tanda tanya.

  Yukinoshita Yukino menaruh penanda buku di buku yang dibacanya, menutup bukunya, lalu menaruhnya di atas meja.

  Yukinoshita membisikkan beberapa kata yang tidak diarahkan ke siapapun.

  “…Sudah kubilang kalau kau tidak perlu memaksakan dirimu untuk datang.”
[Note: Ini adalah kata-kata Yukino ke Hachiman tadi malam di depan Marinpia Mall.]

  “…Aku ada keperluan datang kesini.”

  Ketika aku menjawab seperti itu, Yukinoshita terdiam begitu saja melihatku berdiri. Kesunyian melanda ruangan ini.

  “Ke-Kenapa kamu tidak duduk saja dulu?”

  Aku dan Yukinoshita melihat ke arah Yuigahama yang mengatakan itu dengan penuh determinasi. Aku mengangguk dan menarik kursi kosong terdekat dengan posisiku berdiri. Setelah mendapatkannya, aku kemudian duduk tepat di seberang Yukinoshita dan Yuigahama. Aah, ini pertama kalinya aku merasakan pemandangan dari orang-orang yang datang kesini untuk sekedar request. Tempat duduk dimana biasanya aku duduk berada di posisi diagonal dari Yukinoshita, dan sekarang kursi itu kosong.

  “Apa ada sesuatu…? Kamu terlihat berbeda dari biasanya?”

  Kalau dibilang aku berbeda dari biasanya, mungkin ada benarnya. Karena aku datang hari ini bukan sebagai member dari Klub.

  Setelah aku mengembuskan napasku, aku menatap ke arah Yukinoshita dan Yuigahama.

  “Aku ingin membuat sebuah request ke Klub.”

  Tampaknya kata-kata yang ingin kuucapkan barusan sudah keluar dan lebih lancar dari yang kubayangkan.

  Mungkin karena itulah, Yuigahama sepertinya punya ekspresi wajah yang lega.

  “Hikki, jadi kau akhirnya memutuskan untuk membicarakannya dengan kita…”

  Yuigahama terlihat tersenyum dengan hangat. Tapi, Yukinoshita memiliki ekspresi yang berbeda. Hanya tatapannya yang mengarah kepadaku, tapi aku merasa dia tidak sedikitpun memperhatikanku. Ketika menyadari tatapannya yang seperti itu, suaraku mulai melemah secara perlahan-lahan.

  “Ini mengenai Event Natal yang Isshiki pernah ceritakan tempo hari, sekarang sudah diambang kehancuran. Jadi aku ingin meminta bantuan kalian…”

  Setelah aku mengatakannya, Yukinoshita tampaknya hendak berbicara.

  “Tapi…”

  “Tunggu dulu, aku sudah tahu apa yang ingin kau katakan.”

  Sebelum Yukinoshita mencoba membalikkan kata-kataku, aku memotongnya.

  “Itu adalah sesuatu yang awalnya kuputuskan untuk kulakukan sendiri dan ternyata aku sendiri tidak bisa membantu banyak. Tapi masalahnya, yang memaksa Isshiki untuk terus maju menjadi kandidat Ketua OSIS itu adalah diriku. Aku sadar kalau dia mendapatkan masalah seperti itu karena diriku.”

  Jika requestku ditolak, maka ini akan menjadi hal yang buruk. Aku tidak punya alasan lain untuk meyakinkan Yukinoshita, meski begitu, ini tidak boleh berakhir dengan ditolak.

  “Apa kalian ingat gadis SD yang penyendiri waktu perkemahan di Desa Chiba dulu? Gadis itu tampak tidak berubah sedikitpun…”

  “Aah…Rumi-chan, benar tidak?”

  Insiden itu pasti membekaskan memori yang tidak menyenangkan pada setiap orang yang ada disana. Tidak ada seorangpun yang tertolong dan semua orang yang terlibat akhirnya mendapatkan hasil yang buruk.

  Itu adalah hasil dari metodeku. Tapi, kuakui kalau aku waktu itu sudah membuat kesalahan. Oleh karena itu, agar kali ini tidak terjadi kesalahan, aku melanjutkan kata-kataku.

  “Oleh karena itu aku ingin melakukan sesuatu. Aku sadar kalau apa yang sudah kulakukan selama ini adalah sumber dari masalah yang terjadi saat ini, dan kuakui kalau yang kulakukan sedari dulu hanyalah mementingkan diri sendiri. Meski begitu, aku tetap ingin membuat request ini.”

  Setelah aku selesai mengatakannya, aku melihat ke arah Yukinoshita dan dia sedang mengepalkan tangannya di atas meja.

  “Jadi, kau kali ini mau mengakui kalau semua ini salahmu. Apakah itu yang ingin kau katakan?”

  “…Ya.”

  Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita menundukkan matanya dan seperti menggigit bibirnya sendiri.

  “Begitu ya…”

  Setelah dirinya mengembuskan napasnya, dia menegakkan wajahnya ke arahku. Matanya yang mulai dipenuhi oleh air mata mulai mencuri perhatianku, tapi dia tiba-tiba memalingkan wajahnya. Dia diam sejenak seperti mencari kata-kata yang tepat untuk dikatakannya.

  “…Kalau kau pikir itu terjadi karena tanggung jawabmu, maka itu adalah masalah yang harus kau selesaikan sendiri, benar?”
[note: Yang Yukino pakai untuk menjawab Hachiman barusan adalah kata-kata Hachiman sendiri semalam di Marinpia, vol 9 chapter 5.]

  Napasku terhenti ketika mendengar kata-kata itu. Tapi aku tahu kalau aku tidak boleh diam saja dan harus melakukan sesuatu.

  “…Benar. Memang salahku, lupakan saja yang sudah kukatakan barusan.”

  Dengan begini, aku tidak punya hal lain yang bisa kukatakan. Lagipula, apa yang dikatakan Yukinoshita tadi memang benar.

  Ketika aku hendak berdiri dan meninggalkan ruangan klub, ada sebuah suara yang memanggilku.

  “Tunggu.”

  Suara yang menggema di ruangan sunyi dan dingin di klub.

  Yuigahama melihat ke arahku dan Yukinoshita dengan tatapan kecewa.



  “Tunggu dulu. Kenapa…Kenapa harus menjadi seperti ini? Ini kan aneh?”

  Yuigahama mengatakannya dengan suara yang tergetar. Meskipun kami berdua sudah paham secara logika, dia menilainya salah tanpa alasan yang kuat.

  Aku tidak tahu harus merespon bagaimana ke Yuigahama. Dengan senyum yang seperti itu, meskipun aku berusaha menjawabnya tanpa menunjuk ke siapapun, aku mencoba mengatakannya seperti berbicara kepada anak kecil.

  “Tidak, itu tidak aneh…Aku hanya ingin menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Itu adalah hal yang lumrah.”

  “…Kupikir begitu.”

  Yukinoshita berhenti sejenak sebelum menyetujui kata-kataku. Ketika Yukinoshita dan diriku mengatakannya, Yuigahama mencondongkan wajahnya ke depan.

  “Bukan begitu, apa yang kalian berdua katakan adalah hal yang berbeda.”
 
  Ketika aku melihat ke arah Yuigahama yang hendak menangis, hatiku merasa tidak nyaman sehingga aku memalingkan pandanganku. Meski begitu, suaranya yang terdengar penuh dengan kebaikan tidak membiarkanku begitu saja.

  “Kalau kau lihat, ini bukan tanggung jawab Hikki semata. Maksudku, Hikki yang menerima tanggung jawab itu dan Hikki pula yang menjalaninya sendiri. Tapi bukankah selama ini kita ternyata seperti itu? Kita hanya memaksakan semuanya untuk diselesaikan oleh Hikki sendirian…”

  “…Bukan, itu berbeda.”

  Aku mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memberitahu Yuigahama. Masalah-masalah tersebut bukan sengaja diberikan kepadaku. Bahkan faktanya, masalah itu sangat membantuku.

  Meski begitu, ekspresinya seperti hendak menangis saja ketika dia menatap tajam diriku.

  “Bukan begitu. Hikki bukanlah penyebab mengapa masalah ini bisa menjadi seperti sekarang, aku juga terlibat dalam hal itu, dan…”

  Yuigahama menatap ke wajah Yukinoshita. Tatapannya menandakan kalau ada satu orang lagi yang bertanggung jawab atas semua ini.

  Yukinoshita-pun menatapnya kembali, tetapi dia tidak mengatakan apapun. Dia hanya diam saja seperti menerima tuduhan bersalah itu.

  Sambil menatap sedih ke arahnya, Yuigahama berkata.

  “…Kupikir yang dikatakan Yukinon sedikit tidak adil.”

  Yuigahama menatap tajam ke arah Yukinoshita. Kedua matanya seperti menandakan sebuah agresi.

  Yukinoshita tidak memalingkan wajahnya dari tatapan itu. Dia berdiam diri sejenak, seperti bimbang apakah akan mengatakan sesuatu atau tidak.

  “…Kalau kau mengatakan begitu…berarti kau juga tidak adil.”

  Keduanya seperti sedang berperang tatapan sejak tadi.

  “Tunggu, aku tidak ingin membicarakan itu.”

  Mencari kambing hitam masalah bukanlah alasanku pergi kesini. Aku tidak ingin berakhir dengan kesimpulan buru-buru dimana semua orang menjadi bersalah dan bertanggung jawab. Aku harusnya datang kesini untuk membicarakan sesuatu yang berbeda.

  Aku tidak pergi kesini untuk menonton Yukinoshita dan Yuigahama berselisih paham.

  Meski begitu, suaraku tidak mencapai mereka. Dari tadi mereka hanya bertukar tatapan.

  Yuigahama seperti sedang menelan suaranya sendiri dari gerakan tenggorokannya. Dia melihat Yukinoshita dengan matanya yang mulai dipenuhi air mata.

  “Ini karena Yukinon tidak mengatakan apapun…Ada hal-hal yang tidak bisa dipahami jika kau tidak mengatakan apapun.”

  “…Kau juga tidak mengatakan apapun. Tapi kau selalu berusaha membuat semuanya seperti tidak pernah terjadi sesuatu.”

  Kata-kata Yukinoshita tampaknya tidak diselingi dengan sebuah kehangatan dalam nada suaranya. Ekspresinya seperti sebuah gambar beku yang menaruh begitu saja sebuah kebenaran dalam sebuah masalah yang tidak begitu menarik. Dia mungkin sedang membicarakan hal-hal yang pernah kita lakukan belakangan ini.

  “Oleh karena itu, jika kau, jika kalian berdua mau mengatakannya, maka…”

  Jawaban Yukinoshita tadi langsung dihilangkan dengan permintaan Yuigahama yang dikatakannya dengan agak gugup.

  Omong kosong yang terucap tadi adalah sesuatu yang ditelan oleh Yuigahama dan diriku. Dan bisa jadi, Yukinoshita dulunya menginginkan hal seperti itu.

  Semua orang sama saja, tidak mau mengatakan kebenarannya. Kita disini tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya kita inginkan.

  Mereka berdua dan diriku terlalu menggampangkan hal itu. Baik diantara mereka berdua, dan bagaimana kita dengan yang lain.

  Meski begitu, kita memiliki pemahaman dan idealisme yang berbeda-beda.

  “…Kita tidak bisa mengerti kecuali kita mengatakannya, kah?”

  Kata-kata Yuigahama barusan sudah ditarik keluar dari dadaku. Memang ada hal yang tidak bisa kau pahami jika kau tidak mengatakan apapun. Memang begitu.




  MASALAHNYA, JIKA AKU MENGATAKANNYA…APAKAH KAU AKAN MENGERTI?



  Kata-kata yang barusan kukatakan membuat Yuigahama berpaling ke arahku. Yukinoshita terus melihat ke arah bawah. Yuigahama menatapku seolah-olah memintaku untuk melanjutkan kata-kataku tadi.

  “Tapi ada waktunya dimana ada hal-hal yang tidak akan bisa dimengerti meskipun kau mengatakannya.”

  “Itu…”

  Mulut dari Yuigahama tampak bergetar hebat. Air matanya hampir jatuh di salah satu sudut matanya.

  “…Meski jika kamu mengatakan sesuatu, aku juga tidak akan percaya begitu saja. Aku yakin kalau aku akhirnya akan memikirkan makna dibalik kata-kata tersebut, dan juga alasan mengapa kau mengatakannya.”

  Tiba-tiba Yukinoshita menjadi seorang gadis yang sangat irit dengan kata-kata, sedang Yuigahama berusaha untuk mengatakan sesuatu.

  Lebih dari itu, aku memang memiliki kebiasaan untuk membaca maksud dibalik perkataan orang-orang.

  Oleh karena itu ketika Yukinoshita mengatakan kalau dirinya akan maju menjadi kandidat Ketua OSIS, meskipun yang dikatakannya tidak masuk di akal, aku tetap akan mencari maksud dibalik kata-katanya. Aku terus berpikir kalau ada faktor lain yang terlibat dan akhirnya aku sendiri mengambil kesimpulan yang salah.

  Orang-orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat, begitu juga dengan mereka hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar. Tidak terkecuali diriku.

  Yuigahama menggosok-gosok matanya lalu menegakkan posisi kepalanya.

  “Tapi jika kita mau membicarakannya, jika kita bisa berbicara dengan Hikki lebih lama, maka aku…”

  “Bukan begitu.”

  Aku menggeleng-gelengkan kepalaku setelah mendengar kata-kata Yuigahama.

  ‘Jika kamu tidak mengatakannya, maka kamu tidak bisa kumengerti’. Semua orang bisa mengatakannya. Bahkan jika mereka tidak tahu apa itu dan apa yang sedang mereka hadapi, mereka hanya akan menelan kata-kata tersebut mentah-mentah.

  Bahkan jika kau mengatakan sesuatu, akan tetap ada hal-hal yang tidak bisa dipahami, dan akan ada hal-hal yang hancur jika mengatakannya.

  “Mengatakan ‘jika kau mengatakannya, maka kita akan mengerti’ adalah sikap yang arogan. Itu hanya akan memuaskan orang yang bertanya saja, mengenai hal-hal orang yang ditanya…Banyak hal yang sudah terjadi pada diriku dan yang terjadi adalah kau tidak mengerti apa yang orang lain inginkan hanya dengan membicarakannya. Oleh karena itu, sekarang aku tidak menginginkan kata-kata lagi.”

  Ketika aku mengatakannya, aku merasakan kalau tubuhku selama ini tergetar. Aku lalu menatap ke arah luar jendela yang mulai menunjukkan petang. Ruangan ini secara perlahan mulai menjadi dingin.

  Yukinoshita yang hanya diam mendengarkan, memegangi bahunya seperti sedang menghangatkan tubuhnya.

  Yuigahama terlihat dipenuhi isak tangis. Lalu dia berkata.

  “Tapi jika kau tidak mengatakan apapun, maka tidak akan ada yang memahamimu…”

  “Memang kedengarannya seperti itu…Orang-orang tidak akan mengerti tentang sesuatu jika tidak ada yang mengatakannya. Tapi…tapi aku…”

  Aku mencari kata-kata yang tepat untuk mengatakannya.

  Sebenarnya, aku tidak sedang mencari kata-kata untuk kuucapkan. Yang kulihat disini hanyalah orang-orang dengan mata yang sudah mulai memerah karena panik dan satunya lagi sedang menatap ke bawah sedari tadi.

  Tiba-tiba, pemandangan ini menjadi terlihat buram.

  “Aku…”

  Meski aku mengulangi lagi, aku masih belum menemukan kata-kata yang tepat.

  Apa yang harusnya kukatakan? Aku sebenarnya sudah mengatakan apa yang kuinginkan sejak tadi. Kata-kata yang menggambarkan perasaanku sudah kukatakan. Memang harusnya aku mencari kata untuk menamakan hal itu. Tapi kurasa tidak ada yang perlu kukatakan lagi. Aku sudah tidak punya pilihan lagi tentang ini.

  ...Ah, begini ya. Pada akhirnya, yang ingin kukatakan adalah hal yang tidak berhubungan dengan logika, kalkulasi, usaha, dan tipu daya.
[Note: Ini kata-kata Sensei semalam kalau hal-hal yang tidak berhubungan dengan logika, kalkulasi, dll adalah ‘perasaan’.]

  Aku tidak menginginkan kata-kata. Tapi aku menginginkan sesuatu.

  Dan bukanlah hal dimana ada perasaan saling mengerti dari kedua belah pihak, bisa selalu bersama, bisa mengobrol dengan sesama, bahkan keadaan apapun selalu bersama. AKU TIDAK INGIN DIMENGERTI. Aku sadar kalau selama ini aku tidak mengerti dan aku tidak ingin dimengerti pula. Apa yang kuinginkan adalah hal yang cukup kejam dan kasar. AKU INGIN MENGERTI TENTANG DIRIMU. Aku ingin mengerti. Aku ingin tahu tentang dirimu. Aku ingin tahu sehingga aku bisa merasa lega. Aku ingin pikiranku tentram. Karena aku selama ini selalu diteror oleh hal-hal yang tidak kumengerti. Aku tahu kalau keinginanku untuk mengerti adalah hal yang diktator dan arogan. Mau bagaimana lagi, tapi itulah yang kuinginkan selama ini.

  Tapi, jika, jika kita bisa memikirkan hal yang sama…

  Kita bisa memaksakan hal arogan itu ke masing-masing diri kita dan terciptalah hubungan dimana arogan diperbolehkan untuk eksis.

  Aku tahu kalau keinginanku itu sangat mustahil. Tapi aku tahu kalau itu adalah hal yang tidak bisa kuraih selama ini.

  Buah Anggur yang tidak bisa kujangkau ini memang rasanya pahit.

  Tapi aku tidak perlu buah-buahan yang mengandung kebohongan. Aku tidak butuh hal seperti hubungan palsu dan hubungan yang saling menipu.

  Aku menginginkan Anggur yang pahit.

  Meski pahit, meski kecut, bahkan jika terasa menjijikkan, terlebih jika beracun, bahkan jika kau katakan buah semacam itu tidak pernah ada, bahkan jika aku tidak bisa meraihnya, bahkan jika aku dilarang untuk mengharapkannya.

  “Meski begitu…”

  Aku paham sekali kalau suara yang keluar dariku seperti sedang bergetar hebat.

  “Meski begitu, aku…”

  Aku serasa ingin menangis saja. Meski aku sudah menelan suara dan kata-kataku, mereka mulai keluar secara perlahan.

  “Aku menginginkan sesuatu yang genuine.”

  Ujung dari mataku terasa panas dan penglihatanku mulai kabur. Aku hanya bisa mendengar suara embusan napasku saja.

  Baik Yukinoshita dan Yuigahama melihat ke arahku dengan penuh rasa terkejut.

  Terlihat sangat tidak menyenangkan. Meminta hal ke orang lain dengan suara yang menyedihkan dan dengan air mata. Aku tidak bisa menerima diriku yang seperti itu. Aku tidak ingin menunjukkannya. Aku tidak ingin seorangpun melihatnya. Meski ini tidak berhubungan dengan yang kukatakan.

  “Hikki…”

  Yuigahama memanggilku secara lembut dan menyodorkan tangannya. Tapi, jarak diantara kita tidaklah cukup untuk membuatnya menyentuhku. Tangannya tidak akan sampai kepadaku lalu dia menyerah begitu saja.

  Tidak hanya tangannya. Akupun yakin kalau kata-katanya sendiri tidak sampai ke diriku.

  Apa yang bisa kau pahami dari kata-kataku tadi? Kau bahkan tidak paham apa yang kuinginkan meskipun aku mengatakannya. Tapi itu membuatmu merasa puas karena mendengarkanku mengatakannya. Atau bisa jadi, itu hanya mempraktekkan sebuah basa-basi. Hanya sekedar basa-basi yang tidak ada artinya.

  Meski begitu, tidak peduli sejauh mana aku memikirkannya, jawabanku tidak pernah keluar. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Oleh karena itu, yang tersisa sekarang hanyalah keinginan-keinginan milikku yang tidak berharga ini.

  “Aku…tidak mengerti.”



  Yukinoshita mengatakannya dengan pelan. Kedua tangannya memegangi bahunya seakan-akan dia merasakan kesakitan.

  “Maafkan aku.” 

  Yukinoshita menggumamkannya, lalu berdiri dari kursinya. Dia lalu pergi meninggalkan ruangan ini tanpa sedikitpun menatap ke arah kami berdua.

  “Yukinon!”

  Yuigahama berdiri dan mencoba mengejarnya. Tapi karena terlihat khawatir denganku, dia mengurungkan niatnya.

  Aku hanya bisa diam dan melihat hal itu.

  Aku melihat Yukinoshita meninggalkan ruangan ini dengan pandanganku yang mulai kabur dan aku mengeluarkan semua napasku yang terasa berat ini di dadaku.



  Akhirnya berakhir. ENTAH MENGAPA, AKU MERASA SANGAT LEGA.
 

  “Hikki.”

  Yuigahama menarik lenganku. Dia seperti memaksa kakiku untuk bergerak. Wajahku cukup dekat dengan Yuigahama. Yuigahama melihat langsung ke mataku yang mulai dipenuhi air mata.

  “…Kita harus menyusulnya!”

  “Tidak, tapi…”

  Apa yang ingin kukatakan sudah selesai. Aku tidak punya kata-kata lagi yang ingin kukatakan. Aku tersenyum lega dan memalingkan wajahku dari Yuigahama.

  Tapi, Yuigahama tidak menyerah.

  “Kita akan menyusulnya bersama-sama…! Yukinon mengatakan kalau dia tidak mengerti. Kupikir dia juga tidak tahu mengapa dia tidak mengerti…Meski aku tidak mengerti sama sekali. Tapi…tapi kita tidak bisa membiarkannya seperti berakhir tanpa mengerti apapun! Sekarang saatnya. Itu adalah pertama kalinya aku melihat Yukinon seperti itu! Oleh karena itu, kita harus menyusulnya sekarang…”

  Ketika dia mengatakannya, dia melepaskan lenganku lalu menarik tanganku. Tangannya menggenggam erat tanganku, terasa panas sekali di telapak tanganku ini.

  Sekali lagi, Yuigahama berusaha menarik tanganku. Tidak sekuat sebelumnya. Dia sepertinya hendak menguji niatku. Aku bahkan yakin kalau Yuigahama tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sambil menggenggam tanganku, dia melihat wajahku secara penasaran.

  Oleh karena itu, aku secara perlahan berusaha melepaskan tangannya dariku.

  Setelah itu, Yuigahama terlihat seperti hendak menangis.

  Tapi bukan itu maksudku. Aku bukannya tidak ingin menggenggam tangan seseorang karena aku merasa tidak nyaman. Aku tidak ingin seseorang peduli kepadaku karena aku tidak bisa berjalan sendiri. Memegang tangan seseorang adalah sesuatu yang dilakukan di situasi yang bukan seperti ini.

  Saat ini, aku akan berjalan dengan kakiku sendiri.

  “…Aku bisa berjalan sendiri. Ayo kita susul dia.”

  Setelah mengatakannya, aku berjalan menuju ke pintu.

  “Y-Yeah!”

  Aku mendengar suara langkah di belakangku. Setelah itu, aku membuka pintunya dan menuju kea rah lorong.

  Ketika aku melakukannya, ada seseorang yang berdiri tepat di depanku. Itu adalah Isshiki Iroha.

  “Ah, Senpai…aaah, um, aku tadi berpikir untuk memberitahumu, tapi…”

  Isshiki terlihat memerah ketika berusaha mengatakannya, tapi ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu.

  “Iroha-chan? Maaf, bisakah kita bicarakan lain kali, oke?”

  Yuigahama meminta maaf dan berlari. Ketika aku hendak mengikutinya, Isshiki menghentikanku.

  “Se-Senpai, hari ini tidak ada rapat! Aku kesini untuk memberitahumu…Ju-juga…”

  “Yeah, aku mengerti itu.”

  Aku tidak tahu apa yang dikatakannya dan hanya menjawabnya secara asal. Tapi, lenganku ditarik olehnya.

  “Tolong dengarkan aku sampai selesai…Yukinoshita-senpai pergi ke atas! Atas!”

  “Maaf ya. Tapi terima kasih.”

  Setelah berterima kasih, aku memanggil Yuigahama.

  “Yuigahama, dia ada di atas.”

  Yuigahama kembali secepatnya dan kita menaiki tangga menuju atap gedung khusus.

  Kalau bicara ‘di atas’, tampaknya dia menuju ke lorong terbuka.

  Lorong itu menghubungkan gedung utama sekolah dan gedung khusus. Lorong itu tidak memiliki atap dan berada di ketinggian lantai empat. Di musim dingin seperti ini, tempat itu jarang sekali digunakan oleh siswa karena angin dingin yang sangat menyengat.

  Cahaya senja yang berasal dari arah barat dihalangi oleh gedung khusus, tapi cahayanya tetap menembus jendela kaca di dekat lorong ini. Langit di sebelah timur terlihat mulai terlihat gelap.

  Lorong terbuka itu disinari cahaya senja dan Yukinoshita ada di sana.

  Yukinoshita berdiri di dekat pegangan di pingir lorong dan tampak hanya diam menatap pemandangan. Rambutnya terlihat tertiup oleh angin dingin ini. Cahaya senja menyinari rambut hitam dan kulit putih miliknya.

  “Yukinon!”

  Yuigahama berlari menuju Yukinoshita. Aku mengikuti dari belakangnya, berjalan dengan perlahan. Aku berusaha mengatur napasku karena harus berlari menaiki tangga tanpa berhenti.

  “Yukinoshita…”

  Aku memanggilnya dengan suara yang terputus, tapi Yukinoshita tidak menoleh sedikitpun.

  Meski begitu, dia seperti memperhatikan betul kata-kataku dan berkata dengan suara yang pelan.

  “…Aku tidak mengerti.”

  Dia mengatakan kata-kata itu lagi.

  Ketika dia mengatakannya, kakiku berhenti secara tiba-tiba.

  Jarak diantara kita hanya dipisahkan oleh angin dingin yang berembus. Yukinoshita membalikkan badannya secara perlahan seperti dibelokkan oleh angin. Matanya yang berair seperti mengatakan kalau dia tidak punya kekuatan lagi dan yang dilakukannya sejak tadi hanyalah meremas-remas lengan seragamnya.

  Yukinoshita bertanya kepadaku dengan suara yang kecil, dia tidak mempedulikan rambutnya yang sedari tadi tertiup oleh angin.

  “Apa hal genuine yang kau maksudkan?”

  “Itu…”

  Akupun tidak bisa memahami maksudku dengan baik. Sampai hari ini, aku masih meraba-raba tentang siapa diriku, dan membiarkan diriku mendefinisikannya. Oleh karena itu aku ada disini, tidak tahu harus mengatakan apa tentang hal yang kuinginkan, aku hanya bisa mengatakan “itulah yang kuinginkan”. Tentunya, orang lain tampaknya mustahil memahami maksudku. Meski begitu, itu adalah sesuatu yang kuinginkan.

  Ketika aku hanya berdiri dan terdiam, Yuigahama menaruh tangannya di lengan Yukinoshita.

  “Yukinon, tidak apa-apa.”

  “…Apanya yang tidak apa-apa?”

  Ketika Yukinoshita menambahkan, Yuigahama terlihat malu-malu.

  “Sejujurnya, akupun tidak mengerti…”

  Yuigahama menggosok-gosok rambutnya sambil berusaha menahan tawanya. Dia kemudian mendekati Yukinoshita dan menaruh tangannya yang lain di bahu Yukinoshita. Kemudian, Yuigahama menatap Yukinoshita tepat di depannya.

  “Oleh karena itu jika kita membicarakannya lagi, kita bisa memahaminya lebih baik. Tapi mungkin kita masih belum bisa memahaminya juga. Meski begitu, kita tetap tidak memahaminya. Setidaknya…kita sudah berusaha memahaminya…Aku sendiri tidak paham apa maksudnya…Tapi, tahukah kau…Tahukah kau…Sebenarnya aku…”

  Yuigahama lalu menangis.

  “Aku benar-benar tidak menyukai  situasi kita saat ini…”

  Yuigahama mengatakan itu dan memeluk bahu Yukinoshita. Seperti berusaha menenangkannya dengan menepuk punggungnya, bibir Yukinoshita terlihat tergetar hebat.

  Aku memalingkan pandanganku dari mereka berdua untuk sejenak.

  Tidak peduli sebanyak apapun aku memikirkannya, jawaban itu, hanya itulah yang bisa kukatakan. Bagaimana bisa Yuigahama mengatakan kata-kata seperti itu?

  Seperti orang yang menjelaskan sesuatu dengan memakai teori yang palsu?

  Seperti orang yang mengoceh kesana-kemari tanpa memikirkan kata-kata yang harus diucapkannya dari yang seharusnya diam saja?

  Tidak ada yang bisa dipahami tanpa kata-kata, tapi terjadi kesalahan juga berawal dari kata-kata. Jadi apa yang bisa kita pahami?

  Yukinoshita Yukino memegang teguh apa yang dia yakini. Yuigahama Yui menginginkan sebuah hubungan. Sedang Hikigaya Hachiman menginginkan sesuatu yang tulus.

  Seberapa bedakah kita? Akupun tidak tahu.

  Tapi, air mata mereka sudah cukup untuk memberitahuku. Kali ini yang kulakukan bukanlah sebuah kesalahan.

  Yukinoshita menyentuh rambut Yuigahama ketika memeluknya.

  “Kenapa kau jadi satu-satunya orang yang menangis…? Kamu sungguh tidak adil.”

  Yukinoshita dan Yuigahama mensupport satu sama lain. Kemudian, Yukinoshita berkata.



  “…Hikigaya-kun.”

  “Yeah.”

  Setelah menjawabnya, aku menunggunya untuk melanjutkan kata-katanya.  Yukinoshita tidak melihat ke arahku. Meski begitu, aku merasa kalau kata-katanya itu memang diarahkan kepadaku.

  “Aku akan menerima requestmu.”

  “…Maaf sudah merepotkan.”
 
  Aku sedikit membungkukkan kepalaku.

  “Aku akan membantu juga…”

  Yuigahama menatap ke arahku dan mengatakannya dengan nada yang sedikit tergetar. Ketika kedua mata kami bertemu, dia terlihat tersenyum dengan mata yang penuh dengan air mata.

  “…Terima kasih.”

  Ketika aku mengatakannya, secara spontan aku melihat ke arah langit.

  Aku bisa melihat langit yang berwarna orange terhampar di atasku.








x Chapter VI | END x






  Monolog Hachiman ketika memikirkan masalahnya di rumah...

  Hubungan tulus yang pernah dia rasakan di masa lalu dan lepas dari genggamannya itu sudah dijelaskan di vol 8 chapter 4, yaitu hubungannya dengan Yukino.

  Juga jenis hubungan apa yang ada diantara mereka, dijelaskan sendiri di ending vol 8 chapter 5, Hachiman dan Yukino memiliki hubungan saling percaya satu sama lain. Di chapter yang sama, Hachiman merasa dirinya sudah membuat hubungan itu menjadi retak.

  ...

  Dalam afterword seri [A], Watari mencoba bertanya kepada pembaca tentang kepada siapa (gadis yang mana) sebenarnya permintaan Hachiman tentang hubungan tulus ini.

  Sebenarnya analisis sebelumnya sudah menjawab itu, dengan Yukinoshita Yukino. Yui bahkan tidak tahu apa yang Hachiman inginkan.

  ...

  Kata-kata Yukino tentang tidak mengerti apa maksud permintaan hubungan yang tulus (genuine) dari Hachiman sebenarnya hanya basa-basi. Yukino tahu betul apa yang Hachiman inginkan. Yukino sendiri yang mengkonfirmasi itu di vol 9 chapter 10 kalau dia sedang melakukan request Hachiman tersebut. Jika tidak paham requestnya apa, mustahil Yukino bisa melakukannya.

  Harusnya Yui membiarkan Hachiman menjelaskan apa maksud hubungan genuine tersebut, sehingga Yui juga tahu apa yang diinginkan Hachiman.

  ...

  Kesimpulannya, hal genuine yang Hachiman inginkan adalah ingin memahami seseorang sepenuhnya.

  Ini selaras dengan trauma mendalam yang dideritanya selama ini, yaitu salah paham dengan Kaori semasa kelas 3 SMP. Hachiman mengakui insiden itu sebagai sebuah trauma mendalam di vol 8 chapter 3, adegan kafe donat.

  Watari sendiri mengatakan kalau hal genuine milik Hachiman itu adalah cinta yang tulus, ada di afterwords seri [A] yang memberikan review tentang episode 4 Oregairu Zoku.

  ...

  Yui tidak tahu kalau semalam, Hachiman dan Yukino bertemu di Marinpia. Yang Yukino katakan ke Hachiman hanyalah mengulang kembali apa yang Hachiman katakan semalam. Jadi sebenarnya, sebutan Yui kalau Yukino tidak adil, adalah kurang tepat.

  ...

  Iroha jelas mencuri dengar pembicaraan Hachiman di Klub Relawan.

  ...

  Kalau anda masih ragu apakah Yukino benar-benar gadis yang Hachiman tuju dalam hal hubungan genuine, ada sebuah pembuktian lain yang lebih baik.

  Gadis yang berubah setelah kejadian ini, pasti gadis yang dimaksud oleh Hachiman. Gadis yang sebenarnya mengerti apa yang Hachiman mau.

  ...

  Sedikit tricky disini. Bandingkan cara Yukino menerima request Tobe di vol 7 chapter 2 dengan menerima request Hachiman di chapter ini. Di request Tobe, Yukino perlu membicarakan terlebih dahulu dengan Hachiman apakah akan diambil atau tidak. Tentunya, Yui tidak perlu ditanya karena Yui sendiri yang menginginkan Klub Relawan menerima request tersebut.

  Di chapter ini, Yukino mengatakan 'Aku menerima requestmu'. Jika ini adalah request ke Klub, harusnya Yukino mengatakan 'kami'. Di vol 8 chapter 2 memang tidak mengatakan menerima atau tidak karena Hiratsuka-sensei sendiri yang menyuruh Klub Relawan membantu masalah Iroha.

  Ini juga diperkuat pengakuan Yukino sendiri di vol 9 chapter 10, setelah request event Kolaborasi Natal selesai, Yukino mengatakan kalau request Hachiman masih ongoing. Jelas, yang dimaksud adalah permintaan Hachiman yang menginginkan punya hubungan yang tulus dengan seseorang.


7 komentar:

  1. Akhirnya jawabannya ketemu. Request hachiman, kata yukino yang masih memiliki reques hachiman. Thang lah buat kamu min

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Di volume 1 chapter 2 Yukino bilang begini

    “Sebaliknya, jika orang-orang itu benar-benar tulus menyukaiku, mungkin itu akan benar-benar menjadi hal yang bagus.”

    Apa hal yg tulus seperti itu juga yg di inginkan Hachiman ? Tapi entah lah, tinggal nunggu volume 14 rilis, dan semoga ga open end.

    Tapi sumpah Hachiman kali ini keren banget!.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walaupun orangnya sendiri nggak merasa keren sih.

      Hapus
  4. iroha denger percakapan nya dari awal gak ya??

    BalasHapus
  5. Genuine apa itu mirip dengan sincere? Tulus atau semacamnya

    BalasHapus