x Chapter I x
“Bagaimana jika?”
Ini
hanyalah sebuah pengandaian.
Bagaimana jika hidup itu seperti sebuah game yang bisa kembali ke titik
dimana ada pilihan-pilihan terjadi? Apakah hidupmu akan berubah?
Jawabannya adalah tidak.
Hanya mereka yang memiliki pilihan saja yang diuntungkan. Orang-orang yang sejak awal tidak punya
pilihan, skenario seperti itu adalah sia-sia saja.
Menjalaninya tanpa penuh penyesalan. Lebih tepatnya, hidup itu
sendirilah adalah kata lain dari sebuah penyesalan.
Dan
begitulah yang terjadi selama ini.
Yang ada hanyalah kata ‘sudah terlambat’. Ketika kau sudah memikirkan ‘bagaimana
jika?’, maka hanyalah akhir yang tidak berujung yang akan kau lihat. Tidak akan
ada yang berubah. Ketika kamu sudah mengambil keputusan dalam hidupmu, maka
sudah terlambat untuk mengubahnya kembali.
Jika dunia parallel dan loop-loop dunia tidak pernah ada. Sederhananya,
jika hidup ini hanyalah sebuah garis lurus. Berpikir untuk mencari kemungkinan
pilihan-pilihan masa lalu adalah usaha yang sia-sia.
Aku
sendiri sadar seberapa bersalahnya diriku di masa lalu. Meski begitu, dunia
ini, juga sudah membuat kesalahan yang jauh lebih besar dariku.
Selalu ada saja perang, penghinaan, diskriminasi, dan hal-hal buruk
lainnya. Bahkan bekerja sekalipun sebenarnya tidak menawarkan apapun kepadamu.
Sebenarnya, kau kehilangan bagian-bagian dari hidupmu demi mendapatkan uang di
sakumu.
Jadi dimana sebenarnya dunia yang penuh kebenaran ini berada? Sebuah
kebenaran yang ternyata adalah sebuah kebohongan yang disepakati bersama
bukanlah sebuah kebenaran.
Di
lain pihak, bisa jadi kebenaran itu sendiri adalah sebuah hal yang dianggap
sebagai kebohongan di dunia ini.
Tapi, apakah ada artinya jika kita berusaha mengulur-ulur sesuatu agar
bisa lebih lama sedangkan hal itu sudah seharusnya berakhir.
Pada akhirnya, kamulah yang kehilangan semuanya. Ini adalah sebuah
kebenaran.
Tapi, meski begitu...
Kehilangan semuanya memberiku pelajaran berarti.
Akhir dari semuanya memberimu sebuah pelajaran.
Mengetahui hal ini memberimu kebenaran akan apa yang kau lakukan selama
ini.
Suatu hari nanti, pastinya, kamu akan melihat ke belakang dan mendapati
hal-hal yang telah hilang bagimu ternyata adalah sebuah hal yang sangat
berharga di hatimu, seperti sebuah kegembiraan yang kau dapatkan ketika meminum
sake sendirian.
*
*
*
Pagi yang tidak menyenangkan.
Langit yang cerah dan ditemani angin yang dingin bisa kulihat dari
jendela. Ruangan ini sangat nyaman sehingga mengundangku untuk tidur.
Serius ini, pagi yang tidak menyenangkan.
Ini
adalah hari Senin setelah pulang dari Darmawisata.
Senin yang memberikan perasaan melankolis. Setelah memaksakan tubuh
pemalasku ini keluar dari kasur, aku berjalan perlahan untuk mencuci mukaku.
Aku
melihat ke cermin dengan mata setengah tertutup. Hanya untuk memastikan kalau
ini adalah diriku.
...Hmph, ternyata masih sama seperti biasanya.
Memang, aku ternyata belum berubah. Meskipun, aku baru saja mengalami
kejadian anti klimaks.
Apa
yang tercermin di cermin ini menunjukkan apa diriku: perasaan malas pergi ke
sekolah, keinginan untuk duduk saja seharian dan tidak melakukan apapun, dan
perasaan kangen rumah setelah aku meninggalkan rumah sebentar lagi.
Tapi memang ada yang berbeda. Air yang kusiramkan ke wajahku terasa
lebih dingin daripada biasanya.
Dengan musim gugur yang selesai, kurasa lebih tepat mengatakan kalau
sekarang adalah musim dingin. Sekarang sudah masuk bulan November dan tahun ini
hanya tersisa 1 bulan lagi.
Orang
Tuaku sudah berangkat ke kantor lebih pagi karena menghindari kemacetan.
Wajahku yang terlihat di cermin, ternyata terlihat normal, sama seperti
orang-orang pada umumnya. Tapi kedua mataku terlihat tidak normal; mata yang
busuk ini ada gara-gara kehidupan sekolah yang terus menerpaku.
Tapi itulah yang membuat diriku. Itulah yang membuat Hikigaya Hachiman.
Puas karena tidak ada yang berubah dari diriku, aku meninggalkan
wastafel.
Ketika aku memasuki ruang keluarga, Komachi berdiri di dapur. Dia
berdiri sambil memegangi poci teh.
Karena kedua Orang Tuaku sudah sarapan lebih dulu, mereka sudah
menentukan menu sarapannya adalah makanan ala Jepang. Ketika Komachi
mengantarkan tehnya kesini, semuanya sudah siap sedia.
Airnya terlihat mendidih ketika aku menarik kursiku dan duduk. Komachi
menuangkan tehnya dan menyapaku.
“Ah,
selamat pagi Oni-chan!”
“Yep.
Selamat pagi.”
Kami saling memberikan salam.
“...Kamu
tampaknya bangun agak telat hari ini.”
Aku
memiringkan kepalaku mendengar kata-katanya. Apakah ini memang buruk bagi
seorang yang bangunnya telat?
“...Ah,
airnya sangat dingin ketika mencuci muka di wastafel.”
Aku
katakan saja hal pertama yang terlintas di pikiranku itu ke Komachi. Tapi dia
melihatku dengan penuh keraguan.
“Uh
huh...Tapi aku cukup yakin kalau tidak ada yang berbeda dengan airnya...”
“Entahlah,
tadi tiba-tiba terasa dingin begitu saja. Ngomong-ngomong, cepatlah makan agar
kita segera berangkat ke sekolah.”
“Ah,
oke.”
Dia
menaruh poci teh itu di meja makan sambil membuat suara berisik dengan
sandalnya.
Ketika kami duduk di kursi kami, kami mengucapkan doa dan berterima
kasih atas makanan tersebut.
Di
musim dingin, keluarga Hikigaya biasanya memiliki menu makanan hangat disertai
sup miso. Sup miso bertujuan untuk menghangatkan badan sebelum pergi keluar.
Agar tubuh dipenuhi rasa cinta dari Ibu, mungkin begitulah.
Aku
meniup sup miso ini agar dingin karena aku punya ‘lidah kucing’. Ketika aku
melihat Komachi, dia sedang melakukan hal yang sama, dan kedua mata kami
bertemu.
[note: Cat Tongue atau Lidah Kucing adalah
sebuah keadaan dimana lidah tidak kuat dengan makanan/ minuman yang sangat
panas. Biasanya orang yang memiliki sindrom ini disebut Nekojita di Jepun.]
Komachi
secara perlahan menaruh mangkuk sup misonya dan berbicara.
“...Hei.”
“Hm?”
Aku
meresponnya dengan menatapnya agar dia melanjutkan kata-katanya.
“Apa
terjadi sesuatu?”
“Tidak
ada...Lebih dari itu, coba ingat ini. Tidak terjadi apapun dalam hidupku.
Orang-orang mengatakan kalau Iblis sesekali menyamar menjadi malaikat. Bisa
jadi telah terjadi sesuatu. Seperti, jika kamu membuat kontrak dengan Iblis
dengan hukuman akan mendapatkan sakit kronis, kamu berpikir akan berakhir dalam
sebuah ruangan rumah sakit, tapi kenyataannya kamu sehat-sehat saja. Kalau
begitu, jika tidak terjadi sesuatu bisa juga berarti kalau akan ada badai yang datang.”
Aku
mengatakan kata-kata itu dan Komachi mengedip-ngedipkan matanya karena
terkejut.
“Ada
apa, Oni-chan?”
Aku
benar-benar normal. Dan akupun sudah bereaksi dengan normal.
Dia
bertanya tanpa sedikitpun merasakan apa yang kuhadapi. Maksudku, apa yang
kukatakan tadi benar-benar bodoh, tapi setidaknya aku harus mengatakan sesuatu,
bukan?
Aku
benar-benar punya pikiran yang kacau jika benar telah mengatakan hal-hal
seperti tadi.
Seperti yang kau harapkan, Senin memang bisa mengacaukan orang-orang.
“Hmm...Sebenarnya,
tidak terjadi apapun.”
Aku
mulai memakan telur rebusku dengan cepat. Tapi, potongan telur rebus ini
sebenarnya makanan barat atau Jepang, sih?
“Hei,
tahu tidak?”
“Apa?”
“Oni-chan,
biasanya kamu mengatakan hal-hal tidak penting, tapi ketika terjadi sesuatu,
kami biasanya mengatakan hal-hal yang jauh tidak penting dari biasanya...”
“Ah...begitu
ya.”
Kritik yang pedas...Diberitahu kalau selama ini pembicaraanmu hanyalah
omong kosong, membuatku sulit untuk membalasnya. Tapi ada benarnya juga, aku
memang sering mengatakan omong kosong. Tapi menganalisa omong kosong dan
membuat pola omong kosong dariku, apa dia semacam investigator psikologi atau
semacamnya?
“Tahu
tidak...”
Komachi menyentuh salad dengan sumpitnya seperti hendak mengatakan
sesuatu, namun ragu-ragu. Dia lalu menggulung-gulung tomat di piringnya.
Komachi menaruh sumpitnya dan bertanya kepadaku.
“Apa...terjadi
sesuatu antara dirimu dengan Yui-san dan Yukino-san?”
Aku
melanjutkan makanku dengan diam sambil mendengarkannya. Aku memang diajari
untuk tidak berkata ketika makan. Aku mengunyah dahulu dan menelannya, setelah
itu aku meminum kuah sup misonya.
“...Apa
mereka menceritakan sesuatu kepadamu?”
“Tidak.”
Ketika aku bertanya kepadanya, dia mencondongkan wajahnya ke depan.
“Mereka
bukanlah gadis yang suka membicarakan hal-hal pribadinya, dan aku yakin kamu
juga tahu itu, benar tidak?”
Ketika dia mengatakan itu, aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Entah itu Yukinoshita atau Yuigahama, meski mereka sedang mengkritisi
hal-hal tidak penting, mereka pasti tidak akan menceritakan hal tersebut ke
adik perempuan orang lain.
“Jadi,
aku hanya berpikir kalau telah terjadi sesuatu."
Komachi mengatakannya dan mencoba mengamati ekspresiku.
Telah hidup bersama sejak lama berarti akan ada hal dimana kami berdua
bisa paham kalau terjadi sesuatu, entah itu hal baik atau buruk.
Tapi, ada kalanya kau memiliki sesuatu yang tidak ingin orang tahu.
“Begitu
ya.”
Setelah menjawabnya dengan kata-kata kosong, mataku mulai melihat ke
arah jam dinding. Aku mengambil sumpitku kembali dan melanjutkan sarapan
pagiku.
Sebaliknya, Komachi memakannya dengan lambat.
“Ngomong-ngomong,
kunyah makananmu dengan hati-hati.”
Komachi tampak hendak melanjutkan pembicaraannya. Tampaknya dia sudah
memprediksikan kalau aku akan memotongnya dan mengalihkan topiknya.
“Ingat
tidak, pernah terjadi sesuatu juga sebelumnya.”
“Apa
memang harus dibahas sekarang?”
Ketika aku mengatakannya, aku tahu apa yang dia maksudkan. Itu adalah
insiden di bulan Juni. Ngomong-ngomong, aku merasa kalau Komachi mengingatkanku
sesuatu.
[note: Insiden bulan Juni itu adalah ending vol 2 chapter 4, dimana Hachiman terlihat shock ketika tahu kalau Yui adalah gadis pemilik anjing tersebut.]
Oh,
berarti aku belum berubah sama sekali. Aku memang Hikigaya Hachiman.
“...Tapi,
entah mengapa kali ini agak sedikit berbeda.”
[note: Pada bulan Juni itu, Hachiman-lah
yang merasa dibohongi oleh Yui. Saat ini, Hachiman-lah yang membohongi Yukino.]
“Ya,
mau bagaimana lagi. Orang-orang akan berubah suatu hari nanti. Bahkan sel kulit
akan selalu berganti. Coba saja amati setelah 5 atau 7 tahun, orang akan
berubah, mungkin. Jadi tahulah, manusia adalah...”
“Oke,
oke.”
Komachi tersenyum dan mencoba memainkan kartunya.
“...Jadi,
apa yang telah kau lakukan?”
“Kenapa
kau bertanya seolah-olah akulah yang telah melakukan sesuatu itu?”
Aku
meresponnya balik, tetapi Komachi terus melihatku dalam sunyi. Ekspresinya
mengatakan kalau ini tidak akan berakhir jika aku terus menjawabnya dengan
hal-hal bodoh.
Aku
menggaruk kepalaku dan memalingkan mataku.
“...Tidak
ada yang terjadi. Sebenarnya tidak terjadi apapun.”
Komachi terlihat kecewa.
“Bahkan
jika Oni-chan tidak menyadarinya, akan selalu ada kemungkinan kalau kamu sudah
melakukan sesuatu. Baiklah kalau begitu... silakan kamu berbicara apapun yang
kamu suka dan yakini.”
“Terserah kamulah...”
Aku
mengatakannya begitu saja.
Meski baru beberapa hari sejak kembali dari Kyoto, aku memang sudah
memikirkan itu baik-baik. Aku selalu bertanya ke diriku sendiri apakah aku
sudah melakukan kesalahan dengan metodeku. Aku selalu mawas diri.
Tapi kenyataannya, aku hanya punya satu pilihan waktu itu, satu-satunya
pilihan yang membuat semua orang tidak terluka. Jika melihat pilihanku yang
terbatas dan hasilnya, maka itu sudah lebih dari cukup.
Aku
sudah menghindari terjadinya kemungkinan yang terburuk, kami bahkan sudah
menyelesaikan semua requestnya bersamaan. Entah mau membahas prosesnya seperti
apa, tapi pada akhirnya, hasil yang ingin dicapai sudah terpenuhi.
Tapi aku tidak perlu menjelaskan hal-hal tersebut ke Komachi. Selama aku
sudah memikirkannya, maka itu sudah lebih dari cukup.
“Lupakan
saja, itu tidak ada apa-apa.”
Aku
berusaha mengatakan kalau ini adalah akhir dari pembicaraan kita dan memutuskan
untuk menghabiskan makananku.
Tapi, Komachi terus memaksaku.
“Oh
kamu ini. Jadi, apa yang terjadi?”
Komachi memiringkan kepalanya dengan penuh tanda tanya, menaruh
tangannya di dagunya, lalu tertawa kecil.
Dengan pose manisnya itu, dia tampaknya sengaja melakukannya. Itu adalah
pose yang bermaksud agar aku tidak boleh menghentikan topiknya.
Tapi kali ini, aku sedikit terganggu.
Biasanya, aku tidak terganggu jika Komachi seperti ini. Biasanya juga,
aku akan tertawa kecil dan mengatakan sesuatu untuk membingungkannya.
Tapi kalau kita bicara tentang sebuah kenormalan, maka Komachi memang
seharusnya tidak mencampuri hal yang bukan urusannya.
Jadi ketika aku berusaha bersikap seperti biasanya, dia seperti
membuatku terganggu.
“...Kamu
cukup menganggu. Jangan lakukan itu.”
“...”
Kata-kataku terdengar kasar dan membuatnya terkejut.
“...A-apa-apaan
dengan nada suaramu!?”
“Aku
tidak berbeda dari sebelumnya. Masalahnya itu, kamu itu sangat mengganggu.”
Ini
adalah kata-kata yang tidak ingin kukatakan. Aku sebenarnya hanya ingin
becanda. Tapi ketika kata-kata itu tidak sengaja keluar, aku tidak bisa
menariknya begitu saja.
Tidak peduli kapan dan dimana, kamu tidak bisa mengambil kembali apa
yang sudah keluar darimu.
Komachi menatap tajam ke arahku. Akhirnya, dia memalingkan pandangannya
ke arah meja makan.
“...Hmph,
oke. Baik, aku tidak akan bertanya apapun lagi.”
“Itu
lebih baik.”
Setelah itu, tidak ada pembicaraan lagi di meja makan.
Kami berdua hanya makan dengan diam, dan waktu berlalu seperti dibekukan
oleh sesuatu.
Komachi menghabiskan sup misonya dengan cepat dan berdiri. Dia menaruh
peralatan makannya dengan terburu-buru di dekat tempat cuci piring. Lalu dia
berjalan ke pintu dan berhenti. Tanpa melihat sedikitpun ke diriku, dia
berbicara.
“Aku
pergi dulu. Pastikan pintunya terkunci.”
“Oke.”
Aku
menjawabnya dengan singkat dan Komachi membanting pintunya.
Aku
bisa mendengar suaranya meski samar-samar.
“...Ternyata
memang terjadi sesuatu.”
Aku
ditinggal sendirian di ruang keluarga, lalu aku mengambil gelas tehku. Tehnya
sudah mulai kehilangan kehangatannya ketika aku meminumnya.
Sudah lima tahun berlalu sejak Komachi pertama kalinya bersikap seperti
itu. Sudah terlambat menyadari mengapa dia marah kepadaku hari ini...dan aku
sendiri sekarang mulai cemas.
Komachi sangat jarang marah. Ketika dia begitu, dia hanya akan marah
beberapa saat saja. Lagipula, dia adalah gadis yang sedang beranjak dewasa.
Paling ketika dia pulang ke rumah, dia sudah datang dengan ekspresi yang
berbeda.
Meski dia adalah adik perempuanku, aku tidak tahu apapun tentangnya.
Memang, sangat sulit bagi diriku untuk bisa dekat dengan orang-orang.
* * *
Selama perjalananku ke sekolah, pemandangan di sekitarku sudah menunjukkan tanda-tanda musim gugur akan berlalu.
Dedaunan dari pohon yang jatuh di jalan bisa terlihat dengan mudah di jalur sepeda sepanjang jalan Hanamigawa, didekorasi dengan beberapa ranting-ranting kecil yang jatuh ke jalan. Langit terbentang luas diselingi tiupan angin laut, seakan-akan memberitahu kalau kehangatan musim panas sudah lama berlalu.
Meski hanya tanda-tanda kecil, tapi aku bisa merasakan kalau musim akan segera berganti. Pada umumnya, pergantian dari musim panas ke musim gugur bisa terlihat dengan mudah. Dan ketika pergantian dari musim gugur ke musim dingin, kamu tinggal melihat tandanya dari warna langitnya.
Apa yang biasa dilakukan orang-orang sekitarmu ketika menjelang akhir musim gugur?
Aku teringat sebuah haiku yang terkenal.
[note: Haiku adalah sejenis puisi tradisional Jepun.]
Keunikan musim ini adalah perasaan melankolis dan kesendirian yang mengakibatkan orang untuk memikirkan apa yang sedang dilakukan orang-orang di sekitarnya.
Sebuah kesendirian yang menghinggapi seseorang membuat orang itu memikirkan orang lain. Agar kesendirianmu hilang, kamu mulai memikirkan orang lain.
Tapi jika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, itu bisa jadi hanyalah keinginan untuk mengkhawatirkan dirimu sendiri.
Orang yang terlihat di seberang cermin adalah orang asing, begitulah kata mereka. Meski begitu, orang asing tersebut adalah mereka sendiri.
Oleh karena itu, orang-orang pada akhirnya hanya ingin memikirkan diri mereka sendiri.
Ketika ada orang mulai peduli ke orang lain, mereka sebenarnya hanya peduli pada dirinya sendiri; sebuah tindakan sederhana yang bertujuan untuk memperjelas posisi mereka di hati seseorang.
Kalau melihat waktu yang sudah kuhabiskan di perjalanan, aku tampaknya tidak akan telat dan akan hadir tepat waktu ke kelasku.
Karena ini adalah kegiatan sehari-hariku ketika berangkat ke sekolah.
Ketika aku masuk ke tempat parkir sepeda, beberapa orang siswa terlihat berlarian di depanku dengan terburu-buru.
Aku mengunci sepedaku dan berjalan menuju pintu masuk seperti yang lain. Jika aku berjalan sendirian, aku selalu berjalan dengan agak cepat. Ini adalah skill yang sudah otomatis ada pada diriku karena aku sangat jarang berjalan dengan seseorang. Kalau begini terus, aku bisa-bisa menjadi atlet jalan cepat di Olimpiade Tokyo sebagai perwakilan dari Jepang.
Pintu masuk dengan mudah kulihat, dan seperti yang diduga, diselimuti dengan atmosfer yang menyenangkan.
Sapaan selamat pagi mulai terdengar di lorong-lorong dan tangga sekolah.
Dengan event terbesar mereka, Darmawisata, telah selesai, mereka semua kembali ke kehidupan sekolah mereka yang biasanya.
Bahkan kelasku sekalipun tidak dalam pengecualian.
Aku berjalan dengan santai, dan menuju ke kursiku. Aku tarik kursiku dan duduk begitu saja sambil menunggu wali kelasku masuk dan memulai pengarahan.
Karena aku berdiam diri saja, kedua telinga dan mataku secara otomatis mulai mencari-cari informasi di sekitarku.
Karena teman-teman sekelasku tidak memberikan reaksi apapun kepadaku, tampaknya insiden diriku yang menembak Ebina tempo hari tidak bocor. Tapi, kurasa itu masuk akal. Coba kalau kupikir baik-baik, tidak akan ada satupun saksi mata kejadian itu yang akan berani menyebarkan gosipnya.
Aku yakin Tobe, Ebina, dan bahkan Hayama sendiri tidak akan suka jika hal tersebut menjadi pembicaraan siswa-siswa di sekolah ini.
Suasana kelas terlihat sama. Bahkan, suasananya tampak lebih baik daripada biasanya.
Pastinya, pergi darmawisata bersama-sama membuat ikatan diantara mereka menjadi lebih dalam. Tapi, bukan itu masalahnya.
Yang menjadi masalah adalah, waktu yang mereka miliki.
Bulan November akan segera berakhir. Ketika kita masuk Desember, kita akan memiliki libur musim dingin dan berlanjut hingga Januari. Lalu ada Februari yang memiliki hari lebih pendek dari bulan lainnya, dan masuk bulan Maret dimana kita akan mendapatkan liburan musim semi. Waktu yang tersisa mulai habis secara perlahan. Sederhananya, waktu yang dimiliki siswa kelas ini untuk tetap bersama hanyalah sekitar 3 bulan.
Oleh karena itu mereka ingin menikmati setiap momen yang mereka dapatkan.
Tapi mereka membuat kenangan-kenangan ini untuk siapa? Aku yakin bukan untuk teman-teman mereka.
Tidak, mereka membuat semua kenangan ini untuk mengisi masa muda mereka yang tidak akan kembali. Apapun yang mereka kenang, adalah apapun yang mereka jadikan memori masa muda mereka. Mungkin ada benarnya jika kau katakan ini adalah sikap narsis.
Setelah mencapai kesimpulan dari analisaku, aku mulai mengantuk.
Memikirkan omong kosong seperti itu adalah bukti bahwa diriku sedang kelelahan.
Ini adalah hari pertama setelah liburan dan aku bisa merasa tubuhku sudah merasa berat sebelum jam pertama dimulai.
Agar bahuku terasa ringan, aku mulai meregangkan posisi di sekitar leherku.
Wajah-wajah familiar teman sekelasku yang sedang mengobrol bisa dilihat di berbagai sudut ruangan ini. Di salah satu titik ruangan ini, ada seseorang dengan rambut ponytail sedang melihat ke arah luar jendela.
Kawasaki sedang duduk disana dan tampak tidak nyaman. Meski begitu, sikapnya tidak berubah dan seperti biasanya.
Ketika aku melihat sebelahnya, ada grup yang berisi dua sampai tiga gadis yang saling menunjukkan foto-foto mereka selama darmawisata. Diantara grup tersebut, ada Sagami yang terlihat sedang menikmati pembicaraan tersebut. Dia adalah satu-satunya gadis, gadis langka, jenis yang tidak ada perkembangan sama sekali setelah melalui dua Festival yang melibatkannya. Tapi, aku tidak ingin terlibat dengannya lagi jadi aku tidak peduli. Setidaknya, sejak darmawisata aku sudah tidak mendengar mereka sedang menjelek-jelekkan aku lagi.
[note: Sagami sudah 2x berusaha 'diperbaiki' oleh Klub Relawan. Pertama di Festival Budaya, kedua di Festival Olahraga.]
Grup Sagami bukanlah satu-satunya grup yang membicarakan darmawisata, hampir seluruh grup di kelas ini membicarakan hal itu.
Meski begitu, obrolan tentang darmawisata ini akan terus dikenang dalam memori mereka. Ketika mereka melihat foto-foto mereka lagi, kenangan tersebut akan muncul.
Tapi aku yakin ini tidak hanya untuk darmawisata saja, banyak hal yang memiliki prinsip yang sama dengan itu.
Tentunya, hanya sedikit yang menyadari tentang hal itu. Bisa jadi mereka sudah tahu semuanya dan pura-pura terlihat sedang bersenang-senang.
Secara perlahan, semua orang akan bersikap seperti mereka tidak menyadari sesuatu dan selalu bersikap seperti itu ke siapapun.
Oleh karena itu, mereka terlihat sama saja.
Aku mulai melihat ke arah belakangku.
Pemandangan yang sama dengan sebelumnya.
“Tahu enggak, yang mengantar kita ke Chiba itu? Ketika di kereta Keiyou Line, mereka sudah mendekorasi gerbongnya dengan suasana Natal, jadi aku agak panik disana. Seperti melihat iklan Disney Land saja disana...”
Orang yang sedang memainkan rambutnya sambil bertingkah seperti anak kecil adalah Tobe. Dia enerjik seperti biasanya.
“Tampaknya Disney Land sudah mulai mempromosikan paket Natalnya.”
“Tampaknya begitu.”
Ooka dan Yamato tampak setuju dengan Tobe.
“Disney Land kah...?”
Orang yang barusan mengatakan itu sedang bermain-main dengan ujung rambut pirangnya menggunakan jarinya, Miura. Jika Miura berniat mendandani dirinya mirip dengan salah satu Putri Disney, kupikir dia akan terlihat girly.
“Ah, sudah hampir saatnya ya...”
Orang yang tersenyum sambil menaruh tangannya di dagunya, Hayama. Yuigahama terlihat mendengarkan mereka sambil menaruh tangannya di dagunya dan melihat ke arah atap kelas.
“Ah, ngomong-ngomong, kupikir mereka punya atraksi baru disana.”
Setelah dia berkata begitu, Ebina menyilangkan lengannya dan berkata.
“Eh? Bukankah itu Cuma bangunan baru saja di bagian resort? Kadang-kadang sulit sekali membedakan...seperti mana yang atas dan mana yang bawah.”
“Hentikan, Ebina!”
Pundak Ebina ditepuk oleh Miura dan dia tersenyum.
Grup Hayama tampak sama seperti biasanya.
Aku sendiri menjadi lega melihatnya.
Itu adalah dunia yang mereka harapkan; sebuah dunia yang stagnan dan tidak ada perubahan.
Dunia mereka sebenarnya akan mulai runtuh dan membusuk, tapi belum mencapai titik dimana kejadian itu akan dimulai. Mungkin itu adalah wujud sebenarnya dari ikatan mereka.
Baik Hayama dan Ebina tidak terlihat ikut campur dalam grup teman.
Tampaknya keputusanku tempo hari adalah benar.
Ketika aku melihat mereka, Yuigahama melihat ke arahku.
“.....”
“.....”
Meski hanya beberapa saat, tapi terlihat janggal, karena berlangsung lebih lama dari biasanya. Agar tidak menimbulkan kecurigaan kepada yang lain, aku langsung memalingkan pandanganku.
Aku menyandarkan tubuhku di tangan kiriku dan menutup mataku. Meskipun mataku sudah tidak melihat ke arah mereka, tetapi telingaku masih bekerja.
“Begitu ya? Aku ingin kita semua pergi bersama, seperti ke Disney Land.”
“Begitukah?”
“Yeah.”
Obrolan mereka seperti tidak ada hal penting yang dibahas, meski begitu, grup Hayama terus berbicara.
Terdengar juga, Yuigahama tertawa dengan yang lainnya seperti lega sesuatu sudah keluar dari dadanya.
...Sebenarnya, tidak ada hal-hal yang dibicarakan di obrolan mereka.
Akan buruk sekali jika sebenarnya pembicaraan itu terjadi hanya karena ingin berbasa-basi agar suasananya tidak terasa aneh.
Di lain pihak, bisa saja mereka hanya sekedar berbicara untuk menghindari masalah utama. Yah, itu hanya kemungkinan saja, seandainya mereka hanya sekedar menunjukkan kalau tidak terjadi apa-apa diantara mereka dan sama seperti sebelum darmawisata.
Setidaknya, itu membuktikan bahwa punya teman adalah hal yang indah. Saling mensupport satu sama lain dan menjadi tameng bagi orang lain adalah hal yang indah. Mereka sudah menunjukkan itu dengan baik. Tentunya, itu terlihat indah.
[note: Monolog ini terjadi di vol 9 chapter 9 dimana Yukino juga mendukung dan melindungi Hachiman di rapat bersama Kaihin-Sobu. ]
Setelah memikirkan hal-hal yang tidak penting tersebut, aku membuka mataku dan melihat ke arah jam. Bel akan segera berbunyi...
Ketika itu, aku melihat sesosok orang yang sedang terburu-buru masuk ke kelas. Orang itu membuka pintu kelas dengan terburu-buru, ternyata orang itu adalah Totsuka. Ketika dia melihat situasi di kelas, dia bernapas lega. Dia menyeka keringatnya dan melihat jamnya.
“Yei, aku tepat waktu...”
Totsuka lalu memberi salam kepada teman-teman sekelasnya sambil berjalan ke kursinya.
Ketika hampir sampai di kursinya, Totsuka menyadari kalau diriku sedang memperhatikannya, lalu dia mendekatiku. Sebenarnya, yang harus ditanyakan adalah mengapa aku terus menatapnya sejak tadi, tapi aku akan membalikkan pertanyaanku ini: Apakah ada orang lain disini yang tidak selalu melihat ke seseorang?
Karena Totsuka berlari menuju ke kelas, napasnya seperti tidak beraturan. Dia pasti datang lebih awal untuk berlatih tenis terlebih dahulu, karena aku melihat dirinya yang kelelahan.
“Pagi, Hachiman.”
“...Yeah, pagi.”
Aku berusaha menghilangkan kegugupanku dan menyapanya. Tetapi sebagus apapun aku berusaha bersikap tenang, aku tidak bisa terlihat tenang.
Tapi, Totsuka melihatku dengan kebingungan.
“....”
“Ada apa?”
Ketika aku menanyakannya, Totsuka melambaikan tangannya dan tersenyum.
“Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa biasanya kamu akan menyapa dengan kata ‘hai’.”
“...”
Mendengarkan hal itu, aku terlihat terkejut dengan yang kudengar barusan. Apakah aku terlihat berbeda dari biasanya?
Tapi memikirkan itu terus tidak akan memberiku jawaban.
Aku lalu berkata.
“Aah...Benar sekali. Seperti biasanya. Apa kamu baru saja selesai latihan pagi?”
“Yep. Sudah sangat lama aku tidak melakukannya lagi. Ah, kamu masih merasa lelah dari darmawisata kemarin?”
Aku mencoba mengingat perjalanan pulang kemarin. Aku hanya tertidur saja di Shinkansen. Apa dia membicarakan hal itu? Sebenarnya, aku setengah terjaga ketika itu, tapi aku tidak dalam mood untuk berbicara dengan orang lain...Umm, maksudku aku tidak dalam keadaan yang bagus sehingga aku tidak ingin Totsuka melihat diriku yang seperti itu, tahu tidak?
Maksudku, aku ingin tetap terlihat keren sebagai Hikigaya Hachiman di depan Totsuka. Apa-apaan yang barusan kukatakan?
“Aah, yeah, aku baik-baik saja.”
“Begitu ya, baguslah kalau begitu.”
Totsuka menjawabnya dengan senyum, lalu bel masuk berbunyi. Totsuka kemudian melambaikan tangannya dan berjalan ke kursinya. Aku tersenyum untuk membalasnya.
Benar, aku tidak lelah sama sekali. Atau dengan kata lain, kelelahan yang kuderita selama ini baru saja diusir pergi olehnya.
* * *
Jam pelajaran berakhir satu-persatu, aku bisa merasakan kalau tubuhku mulai terasa berat. Aku mulai menghitung berapa lama lagi jam sekolah selesai.
Lalu, jam pelajaran terakhir yang diisi wali kelasku lagi, menandakan waktu akan segera habis.
Bel berbunyi, dan jam sekolah usai.
Aku mengambil tasku seperti tidak ada hal penting lainnya di kelas dan berdiri.
Orang-orang pergi ke klub mereka atau langsung ke rumah setelah ini. Aku bisa merasakan ada beberapa orang memandangku dari belakang, dan itu akhirnya selesai ketika aku menutup pintu kelas kembali.
Lorong diselimuti suasana yang santai. Para siswa terlihat berlarian ke arah yang berbeda. Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan dan bergerak dengan santainya.
Aku memilih berjalan di pinggir lorong yang tidak sedang disinari matahari yang terasa tidak sehangat sisi yang disinari.
Aku berjalan menuruni tangga dan masih melihat beberapa ruang kelas masih dipenuhi siswa. Mungkin karena beberapa kelas masih mendapat pengarahan dari wali kelasnya sebelum pulang.
Tidak ada satupun orang yang memanggilku ataupun mempertanyakan aksiku ini sehingga aku terus berjalan menuju pintu masuk sekolah. Aku akhirnya sampai di pintu tersebut.
Disini, aku mengganti sepatuku dan berjalan menuju parkir sepeda. Setelah itu, aku tinggal bersepeda pulang ke rumah.
Tapi, itu bukanlah diriku.
Aku adalah diriku. Tidak ada yang berubah. Maka aku akan melakukan kegiatanku yang seharusnya kulakukan ketika jam pulang sekolah tiba.
Keluar dari loker sepatu, aku melihat mesin penjual minuman.
Kalau ini adalah waktu untuk menaikkan semangatku, maka aku memilih sekaleng kopi. Tapi, yang kupilih kali ini bukanlah buatan perusahaan Ayataka.
“...Kopi ini sangat pahit.”
Setelah meminum habis kopi tersebut, aku melemparnya begitu saja ke tempat sampah. Rasa pahit tersebut terus menempel di lidahku dan berjalan dengan cepat tidak akan membuatnya pergi begitu saja.
[note: Ini satir dari Watari. Volume 6.5 Hachiman bercerita kalau kopi pahit itu melambangkan kehidupan. Jadi Hachiman menyukai kopi manis karena rasa manisnya melupakan kehidupan yang keras. Jika Hachiman memilih kopi hitam yang sangat pahit, artinya Hachiman belum merasakan adanya kehidupan.]
Seperti biasanya, kakiku terasa berat sekali, namun tetap kupaksakan untuk bergerak. Aku mengambil rute yang berbeda dari biasanya untuk menuju ruangan Klub.
Tidak beberapa lama kemudian, aku akhirnya tiba di depan pintu Klub.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menaruh tanganku di pintu.
Aku bisa mendengar suara-suara yang berasal dari dalam. Aku tidak begitu paham apa yang sedang mereka bicarakan, tapi tampaknya mereka berdua sudah datang terlebih dahulu.
Setelah itu, aku membuka pintunya.
Ketika aku melakukannya, mereka berhenti berbicara.
“....”
Kami bertiga hanya terdiam. Yukinoshita dan Yuigahama yang sedang menatapku, tampak terkejut melihatku.
Mereka mungkin berpikir kalau aku tidak akan datang karena ini sudah terhitung telat dari waktu biasanya. Kalau mereka berpikir begitu, maka mereka 50% benar. Aku sebenarnya tidak punya keinginan untuk hadir kesini.
Aku hanya keras kepala, hanya itu saja. Ini hanya sebuah sikap keras kepala yang sudah dilukai oleh beberapa pikiran jahat dan tidak kooperatif tentang orang-orang disekitarku.
Sebuah penolakan yang ada di diriku demi tidak menolak masa laluku, aksiku, dan apa yang sudah kupercayai.
Aku mengangguk ke mereka dan duduk di tempatku.
Setelah aku duduk, aku mengambil buku yang belum selesai kubaca dari tasku. Penanda buku ini masih di halaman yang sama sebelum aku pergi darmawisata.
Ketika aku mulai membaca, waktu terasa membeku begitu saja.
Di meja ini ada teh yang disajikan bersama dengan kue dan coklat. Ada cangkir teh dan mug teh yang mengeluarkan uap panas.
Ruangan ini terasa hangat dan bau teh ini seperti menyebar mengisi ruangan ini.
Tapi, aku merasa kehangatan tersebut secara perlahan turun dan turun.
Yukinoshita melihatku dengan tatapan mata yang dingin dan menembus badanku.
“...Jadi kamu akhirnya datang juga.”
“Yep, seperti yang kau lihat.”
Aku menjawabnya dengan santai dan membalik halamanku, padahal aku hanya baru membacanya kurang dari separuh isi halamannya.
Yukinoshita tidak mengatakan apapun setelahnya.
Yuigahama melirik ke arahku, tapi dia hanya menaruh mugnya di dekat mulutnya.
Tapi sejujurnya, suasana ruangan ini mulai terasa berat. Akupun ingin bertanya kepada diriku, ‘mengapa aku hadir disini?’.
Kesunyian terus berlanjut.
Kedua mataku terus membaca kata-kata di buku ini. Aku menyandarkan punggungku di kursi dan membuat bahuku santai sambil membuka halaman selanjutnya. Ini adalah masa-masa yang tidak produktif dan pekerjaanku sekarang hanyalah menghitung waktu sambil membalik halaman hingga tiba saatnya pulang ke rumah.
Yuigahama lalu berbicara.
“Ah, ngomong-ngomong, semua orang tampaknya bersikap seperti biasanya. Emm, maksudku...semua orang...”
Meskipun dia sedang berbicara, kata-katanya terdengar ragu-ragu. Tapi, Yukinoshita dan diriku tetap menatap ke arahnya.
Mungkin semua orang yang dia maksud adalah Tobe, Hayama, Ebina, dan Miura.
Tapi dia ada benarnya juga. Darmawisata selesai dan kedua grup tidak ada yang berubah. Mereka memiliki hubungan yang baik seperti biasanya.
“...Benar, melihat mereka saja sudah terlihat kalau tidak ada yang aneh terjadi pada mereka.”
Aku bukannya ingin bangga dengan apa yang telah kulakukan. Faktanya, yang kulakukan itu adalah hal terburuk dalam hidupku. Meskipun terlihat bisa menyelamatkan semua orang, namun yang tidak terselamatkan itu sekarang adalah aku seorang.
Jadi setidaknya itu tidak masalah, aku sudah menjawabnya dengan jujur.
“...Begitu ya. Kalau begitu, berarti baik-baik saja.”
Yukinoshita mengatakannya sambil melingkarkan jari telunjuknya di pinggiran cangkirnya. Tapi pandangannya terfokus ke tehnya dan ekspresinya tampak tidak meyakinkan.
Lalu Yuigahama berusaha membuat semuanya ceria dengan tertawa sambil menyentuh sanggul rambutnya.
“Maksudku, aku awalnya sedikit takut, tapi akhirnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua orang...terlihat normal.”
Tampaknya, kata-katanya yang terakhir terdengar menyedihkan.
“...Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya lagi.”
Siapa yang dia maksudkan? Dimana dia tidak menyebutkan kata ‘semuanya’ mulai membuatku berpikir ini bukan grup Hayama dan yang lain, mungkin yang dimaksud adalah diriku.
Aku duduk saja dan terdiam, lalu Yukinoshita melanjutkan kata-katanya.
“...Ya inilah sebenarnya. Tidak ada cara dimana kita bisa memahami apa yang sedang dipikirkan orang lain.”
Yuigahama hanya terdiam saja mendengar kata-kata barusan. Mug teh yang dipegangnya tampaknya sudah kehilangan kehangatannya.
Melihat Yuigahama yang seperti itu, Yukinoshita melanjutkan kata-katanya.
“Bahkan jika ada dua orang yang saling mengetahui apa pikirannya masing-masing, saling memahami adalah hal yang berbeda dengan saling tahu.”
Dia lalu meminum teh dari cangkirnya dan menaruhnya kembali.
Kesunyian ini terus mempertanyakanku. Kalau melihat maksud kata-katanya, aku...
“...Tampaknya begitu.”
Aku tidak perlu memikirkannya dalam-dalam karena sudah jelas apa maksudnya. Apa yang Yukinoshita katakan sangat benar sekali, dan aku tidak punya alasan untuk menolaknya. Itu adalah sebuah kebenaran.
Aku lalu mencoba menjelaskannya.
“Well, sebenarnya kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Selama kita bersikap biasa-biasa saja, maka itu terdengar sebagai hal yang baik, benar tidak?”
Jika kita ingin terus bersama tanpa ada yang berubah, maka kita harus bersikap sama dengan sekitar kita juga. Ikatan antar manusia adalah ikatan yang mudah hancur. Kombinasi dari factor internal dan eksternal.
Yuigahama kemudian mengulangi kata-kataku.
“Kita harusnya bersikap normal juga...benar...”
Dia mengangguk saja meskipun terlihat tidak yakin.
Aku mengangguk juga.
Ini adalah keputusan kita.
Tidak, ini adalah keputusanku.
Tapi ada satu orang yang tidak menunjukkan kesetujuannya. Yukinoshita Yukino menatap tajam ke arahku. Aku duduk disini seperti mendapatkan tekanan darinya, lalu Yukinoshita berbicara.
“Normal, ya...? Benar sekali. Bagimu, itu terlihat normal.”
“...Benar.”
Ketika aku menjawabnya, Yukinoshita mulai melanjutkan kata-katanya.
“...Tidak ada yang berubah, benar tidak?”
[note: Vol 6 chapter 6, seusai rapat slogan. Hachiman berkata ke Yukino kalau dirinya tidak akan berubah, alias tetap orang yang sama, orang yang membenci kepura-puraan.]
Aku merasa kalau yang barusan dia katakan adalah kata-kata yang pernah kudengar di masa lalu. Tapi, kata-kata itu punya maksud yang berbeda. Kata-katanya seperti mengatakan ada yang menyerah akan sesuatu dan mengatakan bahwa ada sesuatu hal yang berakhir. Tidak akan ada kehangatan dalam kata-katanya.
Entah mengapa kata-katanya tersebut sangat menusuk dadaku.
“Kamu...Umm..”
Yukinoshita tampak kesulitan mengatakan sesuatu. Kedua matanya seperti mencari sesuatu untuk dikatakan.
...Aah. Ini mungkin lanjutan yang kemarin.
Dia akan memberitahuku kata-kata yang tidak jadi dia ucapkan waktu itu.
[note: Vol 7 chapter 9, Yukino hendak mengatakan alasan mengapa dia membenci Hachiman di penembakan Ebina. Tetapi Yukino tidak bisa mengatakannya langsung dan memilih pergi dari tempat itu.]
Aku menunggu lanjutan kata-kata Yukinoshita.
Yukinoshita terlihat sedang meremas-remas roknya. Akhirnya dia sepertinya sudah menemukan kata-kata yang akan diucapkannya, tenggorokannya mulai bergerak.
Tapi...tidak ada satupun kata yang keluar.
“Yu-Yukinon, Umm, umm tahu tidak...”
Yuigahama menaruh mugnya tiba-tiba di meja dan berbicara, memotong pembicaraan tersebut. Dia seperti merasa kalau apa yang hendak Yukinoshita katakan adalah kata-kata yang tidak seharusnya dia katakan.
Tapi itu hanya dugaan saja. Sikapnya itu seperti dia tidak mengetahui ada apa tetapi berusaha membuat itu tetap tersembunyi.
Suasana yang stagnan seperti ini, hanya menghadirkan kesunyian diantara kita.
Sampai berapa lama mereka mau saling menatap? Ini bukanlah sebuah perlombaan. Dan yang bergerak sedari tadi hanyalah jarum jam dinding ruangan ini.
Meski begitu, terdengar suara pintu diketuk.
Kami menatap ke arah pintu, tetapi tidak ada satupun yang bersuara.
Lalu, terdengar lagi suara pintu diketuk.
“Silakan masuk.”
Yang menjawab itu adalah aku. Aku mengatakannya tidak begitu keras, tapi tampaknya cukup menjangkau orang yang dibalik pintu tersebut.
Pintu lalu terbuka.
“Aku masuk.”
Orang yang mengatakan itu dan masuk ke ruangan ini adalah Hiratsuka-sensei.
x Chapter I | END x
Jelas Komachi tahu ada yang tidak beres antara Hachiman dengan Yui dan Yukino. Di vol 5 chapter 1, Komachi mengatakan sering SMS dan menelpon Yukino.
...
Sebenarnya, kekecewaan Yukino ini wajar dan beralasan. Hachiman sendiri yang mengatakan membenci orang yang berpura-pura di vol 1 chapter 1. Lalu di di vol 1 chapter 4, Yukino dan Hachiman bertempur melawan Miura. Di vol 2 chapter 3, diketahui ternyata Tobe/ Ooka/ Yamato adalah pelaku SMS fitnah. Lalu terakhir, Hayama sendiri yang mengkhianati Tobe di darmawisata. Jelas, grup Miura dan Hayama sendiri adalah grup para penipu. Tapi, Hachiman memilih untuk melindunginya.
...
Sikap Yukino yang emosi tersebut mirip sikapnya di Bar Angel Ladder ketika Saki memprovokasi Yukino.
...
Monolog awal chapter Hachiman, menjelaskan resolusi Hachiman di vol 9 chapter 6. Hachiman mengatakan pernah merasakan memiliki hubungan itu di masa lalu dengan seseorang. Ini menjelaskan mengapa Hachiman merasa hubungan itu berharga setelah merasa kehilangan.
Gadis yang memiliki hubungan dengan Hachiman sendiri akan berkali-kali dijelaskan di volume ini, yaitu Yukinoshita Yukino.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar