Aku
bersepeda seperti sedang mengejar bayanganku sendiri.
Ini
memang sudah mendekati malam sehingga jalanan terasa mulai terlihat gelap.
Dengan matahari yang sudah terlihat sepenuhnya tenggelam di Pelabuhan Tokyo
yang berada di belakangku, aku mengayuh sepedaku.
Mulai besok, aku bisa pulang lebih awal.
Menghadiri Klub Relawan sementara ini akan menjadi sebuah pilihan
bagiku.
Dengan aturan ‘battle royal’, jika pada akhirnya kita memiliki pendapat
yang berbeda, maka kita tidak perlu bekerjasama. Aku sudah punya hal-hal yang
kurencanakan, sehingga aku tidak perlu memikirkan persiapan rencanaku.
Kalau begitu, yang bisa kulakukan sampai pemilihan terjadi adalah tidak
terlibat dalam aktivitas keduanya.
Kurang lebih begitu.
Bahkan jika aku tidak melakukan sesuatu, selama keduanya melakukan
sesuatu, maka itu sudah cukup bagus. Aku juga tidak ragu kalau mereka bisa
menyelesaikan masalah itu lebih efektif daripada diriku.
Kami berdua memilih untuk tidak ikut campur.
Kita tidak perlu bergantung bersama di tali yang tipis itu dan menjadi
lebih dekat. Menjaga jarak diantara kita juga bisa dikatakan cara untuk bersama
dengan yang lain.
Aku
memutuskan untuk tidak memikirkan apapun yang berhubungan dengan klub.
Tapi manusia memang makhluk misterius. Ketika kamu berniat untuk
membebaskan pikiranmu dari hal itu, maka kamu akan berakhir memikirkan hal-hal
yang mengganggumu.
Aku
mencoba agar tidak memikirkan sesuatu yang berhubungan dengan sekolah, dan akan
tiba di rumah sebentar lagi. Dan yang muncul di pikiranku sekarang adalah apa
yang terjadi pagi ini dengan Komachi.
Dia
sepertinya masih marah...
Melihatnya marah adalah hal yang manis, tapi ketika dia mulai tidak
mempedulikan orang-orang, maka itu adalah bukti kalau dia benar-benar marah.
Ayahku saja pernah menangis ke Ibuku ketika Komachi tidak mempedulikannya.
Kedua orang tuaku pasti akan pulang larut malam ke rumah seperti
biasanya. Dan itu berarti aku akan berduaan saja dengan Komachi sampai mereka
pulang.
Biasanya, bersama adik perempuan di rumah akan selalu membuat hatiku
terasa malu-malu. Oke, pernyataan yang tadi memang menggambarkan hal yang tidak
normal.
Tapi, aku tampaknya akan kesulitan untuk sekedar menatapnya jika melihat
situasi hari ini.
Mungkin lebih baik jika aku berikan waktu dulu dan biarkan dirinya
menghilangkan emosi tersebut.
Jadi, aku mulai membelokkan arah yang kutuju.
Aku
membelokkan sepedaku ke arah kanan.
Belok ke kanan berarti menuju jalan raya yang biasa menjadi ruteku
menuju ke sekolah, dengan kata lain itu jalan menuju pusat kota Chiba. Ada
bioskop dengan toko buku, tempat permainan, dan cafe manga yang bisa menjadi
pilihan baik untuk menghabiskan waktu.
Di
darmawisata kemarin, aku tidak punya banyak kesempatan untuk menikmati waktu
kesendirianku.
Dan
sekarang, aku akhirnya bisa melebarkan sayapku. Lagipula, aku adalah orang yang
suka menyendiri.
Ketika aku mulai berpikir kemana aku harus menghabiskan waktuku, entah
mengapa aku mulai sedikit gembira.
Sambil mendengungkan ‘princess, princess, princess♪’, aku mengayuh
sepedaku di jalan raya ini.
Ketika aku sampai di pusat kota, waktu sudah berganti menjadi malam.
Kota ini mulai menunjukkan wajahnya ketika malam. Aku akhirnya berhenti di
dekat Stasiun Pusat.
Di
area ini, banyak sekali tempat untuk untuk menghabiskan waktu.
Aku
mampir sebentar ke beberapa toko, membeli dua hingga tiga buku, lalu
menyempatkan diriku melihat daftar film yang sedang ditayangkan di bioskop.
Ada
film yang ingin kutonton dan akan mulai tayang 1 jam lagi, jadi aku punya waktu
untuk dihabiskan. Bahkan, waktu senggang ini adalah waktu yang sempurna untuk
meminum kopi di suatu tempat.
Kalau terus ke depan dari bioskop ini, ada Starbucks. Aku berniat
kesana, tetapi jujur saja aku tidak tahu bagaimana cara memesan kopi disana.
Juga, aku tidak tahu bagaimana menikmati atmosfer disana dimana aku sering
melihat para pelanggannya tampak gembira dan bangga berada disana. Aku akhirnya
memutuskan memilih tempat lain saja. Aku tidak punya kata-kata yang bisa
menggambarkan seorang yang modis dengan kacamata besar memegang MacBook Air.
“Aku hancurkan laptop Apple sialanmu itu bersama dirimu, kacamata!” atau
semacam itu.
Ada
sebuah toko donat yang berada di seberang bioskop, bahkan bisa isi ulang kopi
secara gratis[masih menyindir Starbucks...]. Disitu tertulis Cafe au laits
gratis isi ulang.
Aku
masuk ke toko donat itu dan memesan menu ‘standar’, yaitu French cruller dan
cafe au lait. Lalu aku membawa pesananku itu ke lantai dua, mencari pojokan
yang sepi.
Ya
Tuhan...perasaan bisa membaca sambil mengemil makanan manis dan meminum cafe au
lait manis adalah hal yang berbahaya bagi perasaanmu.
Aku
melihat ke sekitarku dengan perasaan gembira, sesosok gadis yang familiar
terlihat di mataku.
“Oh, sangat jarang melihatmu ada disini.”
Gadis itu mencabut headphone-nya, tersenyum, dan melambaikan tangannya.
Dia
memakai blus putih dengan kerah menonjol yang diselimuti cardigan rajutan. Dia memakai rok panjang yang menyembunyikan
kaki-kakinya yang indah tersebut. Dia sepertinya berniat memakai pakaian yang
simple saja. Mungkin ini hanya kesan-kesan sekilas saja dari
pertemuan-pertemuanmu sebelumnya.
Gadis ini adalah manusia sempurna yang tidak hanya lebih super dari
Ketua Klub Relawan, Yukinoshita Yukino, juga dirinya adalah kakak dari
Yukinoshita. Gadis ini adalah Yukinoshita Haruno.
Berada di toko donat seperti ini tidak cocok dengan image dirinya.
Dengan kata lain, jika dia terlihat berada di dalam Starbucks, maka itu akan
cocok dengan dirinya.
Karena aku tidak berharap bertemu siapapun di tempat ini, tubuhku merasa
lemas.
Ketika aku mengintip apa yang Haruno-san lakukan, ada beberapa buku yang
terlihat berada di atas meja. Itu tampak seperti literatur, lalu beberapa buku
yang terdiri dari kertas-kertas yang disatukan. Tampak pula buku-buku bacaan
barat.
“...Ah, halo.”
Aku
menyapanya begitu saja, berjalan terburu-buru, dan duduk di tempat yang jauh darinya. Tapi, memakai
‘ah’ di awal sapaan tampaknya aneh...
Lalu aku mulai memakan french crullerku.
Gadis sialan! Kenapa kau bisa muncul
disini?! Ini adalah waktu dimana aku harusnya menikmati kebebasanku! Sekarang
malah menjadi sebuah keputusan yang kusesali! Aku harusnya mengintip dahulu
ke dalam toko ataupun restoran untuk memastikan tidak ada orang yang kukenal
ada di dalamnya...
Ngomong-ngomong, dengan dia ada disini, ini artinya aku harus memakan
habis ini segera dan pergi secepat mungkin dari sini.
Karena aku seorang Nekojita, sayang sekali, cafe au laitku yang panas
tidak bisa kuhabiskan dengan cepat.
[note: Nekojita adalah kondisi lidah yang
tidak kuat makan/minum sesuatu yang terlalu panas.]
Ketika
aku sudah mulai putus asa, Haruno-san duduk di sebelahku dengan membawa nampan
makanannya.
“Kamu tidak perlu berlari seperti itu. Ya ampun, kasar sekali loh!”
“Ah, tidak, tidak, aku hanya tidak ingin mengganggu acaramu saja.”
Jujur saja, bagi seorang seperti Haruno-san duduk sendirian dan di
sekelilingnya tidak ada satupun orang, adalah situasi yang tidak cocok
dengannya. Dia duduk dengan gaya yang sama ketika aku bertemu dengannya tadi.
Dia lalu membuka bukunya di halaman yang dia baca sebelumnya.
Jika dia hanya ingin sekedar membaca saja, apa perlu sampai membawa buku
dan makanannya lalu duduk di dekatku...?
Ketika aku melihatnya, aku berpikir ‘gadis ini kok punya banyak sekali
waktu luang?’. Dengan kedua matanya masih menatap ke buku, Haruno-san mulai
berbicara kepadaku.
“Kamu sendiri ada apa kesini?”
“...Menonton film dan menghabiskan waktu.”
“Oh, tumben, aku juga sedang melakukan hal yang sama.”
“...Apa kamu juga ingin menonton film?”
Aku
mulai mengatakannya dengan nada yang semakin pelan. Mau bagaimana lagi, coba?
Jika pada akhirnya kita akan pergi menonton film yang sama, maka jika aku
mencari alibi berpisah disini dan bertemu lagi di bioskop akan menjadi
pemandangan yang aneh.
Tapi kekhawatiranku lenyap oleh suara Haruno-san yang ceria.
“Hmm? Oh, tidak, tidak. Maksudku aku hanya menghabiskan waktu saja
sampai teman-temanku datang menjemputku.”
Ngomong-ngomong, kampus Haruno-san berada dekat dengan lokasi toko donat
ini. Kurasa ada di bagian barat pusat kota ini. Mungkin area disana tidak ada
semacam toko para hipster, tapi ada bar. Jika ingin makan malam di suatu
tempat, maka tidak aneh jika berada di sekitar sini. Ngomong-ngomong soal
makanan enak...Naritake? Maksudku, lemak-lemak di ramennya membuatnya terasa
lezat! Sempurna!
“Oooh, dengan teman-temanmu ya. Wah, kalau begitu aku tidak ingin
mengganggu suasananya, jadi aku akan pergi saja.”
“Itu masih nanti kok. Ayolah, ayo kita habiskan waktu bersama, yaaa~!”
Dia
menggeser kursinya menempel denganku dan memiringkan badannya kepadaku. Terlalu
dekat, terlalu dekat, sangat lembut, terlalu dekat, terlalu beraroma wangi,
terlalu dekat...Ketika dia berusaha mendekatiku, aku berusaha menjauhinya.
Jujur saja, ini permainan yang sia-sia. Jika aku berusaha menjauhinya, dia
hanya akan mengulangi lagi untuk mendekatiku.
Lalu, dia berbisik ke telingaku.
“Hikigaya, pria sepertimu adalah pria terbaik yang pernah ada.”
Bulu kudukku langsung berdiri. Aku seperti diteror oleh sebuah ketakutan
yang luar biasa. Jari-jari lembutnya yang memegangi bahuku, nada suaranya
yang sensual, dan bibirnya yang berkilau...
Ketika aku melihat ke arahnya, matanya berbinar-binar. Senyumnya yang
mencurigakan itu seakan-akan membuatku memberinya lampu hijau untuk meneruskan
hal itu. Tapi, mungkin dia sedang tertawa dan menikmati dirinya yang sedang
mempermainkanku.
Kesimpulan terakhirku menjadi masuk akal ketika dia duduk dengan normal
dan tertawa lepas setelahnya.
“Kamu hanya diam dan tidak berbicara dengan orang lain. Tapi ketika
seseorang berbicara denganmu, kamu baru mau menjawabnya, begitu? Yep, sangat
meyakinkanku. Kamu itu pria terbaik untuk menghabiskan waktu.”
Entah mengapa, aku tidak merasa dia sedang memujiku...Spesifikasi pria
yang dia katakan tadi jelas lebih buruk daripada beberapa game browsing yang
kutahu. Seperti, Kancolle atau semacam itu. Game itu meskipun kamu tidak
mempedulikannya, mereka tetap berbicara denganmu.
Haruno-san kembali membaca bukunya.
“Para pria pada umumnya berusaha keras agar percakapan denganku terus
berjalan. Agak menyedihkan ya?”
...Aaah, aku mengerti sekarang...Aaah.
Para pria itu sangat putus asa sehingga berusaha menceritakan apapun
agar para gadis menyukainya. Mereka, memang menyedihkan. Mungkin, aku yang
semasa SMP adalah pria yang seperti itu.
Karena ulahnya, sekarang aku kehilangan peluang untuk pergi
meninggalkannya. Jadi aku harus menunggu munculnya peluang itu lagi dan pergi
secepatnya darinya.
Mungkin aku duduk saja disini dengan diam.
Jika begitu, maka pria yang diam adalah pria yang terbaik.
Selama aku tidak membuka percakapan, maka tidak ada percakapan yang
terdengar.
Dan
waktu berlalu dengan nyaman.
Aku
memikirkan itu sejenak, dan baru menyadari kalau terakhir kalinya aku bertemu
dengan Haruno-san adalah waktu Festival Budaya.
Jika dibandingkan waktu itu, kali ini dia terlihat lebih jinak dan
terkendali. Tidak, mungkin tepatnya dia terlihat lebih dewasa.
Tampaknya, selama Yukinoshita tidak berada di sisiku, Haruno-san tidak
akan bertingkah yang aneh-aneh. Tapi, seberapa besar dia mencintai adik
kecilnya itu? Maksudku, aku mencintai adikku juga. Kurasa, aku mulai membenci
diriku jika mengingat apa yang terjadi pagi ini.
Insiden dengan Komachi memang membuatku sedikit depresi.
Kurasa, memikirkan hal lain saat ini bisa membuat perasaanku lebih
tenang.
Aah, donat ini sangat enaaaak...Tapi cafe au laitnya tidak begitu manis.
Apa aku lupa menaruh susu di dalamnya? Ketika aku mencari bungkusan gula yang
sepaket dengan cafe au lait, Haruno terlihat dengan jelas di mataku.
Dia
membaca bukunya dan kadangkala mengambil kopinya. Dia menaruh tangannya di
dagunya.
Jari jemarinya membalikkan halaman buku itu. Lalu, sebuah sosok terlintas di
pikiranku ketika dia meminum kopinya, dan matanya yang membaca kata-kata
di buku tersebut.
Dia mengingatkanku kepada seorang gadis yang
sudah kukenal selama lebih dari setengah tahun, Yukinoshita Yukino.
Tiba-tiba, Haruno menyadari kalau aku menatapnya sejak tadi, lalu dia
menatapku dan bertanya “hmm?” seakan-akan ingin mendengar apa yang ingin
kukatakan.
Lalu aku meresponnya.
“...Err, aku ingin mengisi ulang kopiku. Mau kuisikan punyamu?”
“Ohh, tolong ya.”
Dia
memberikanku cangkirnya, aku lalu berjalan menuju pelayan terdekat dan bertanya
mengenai isi ulang. Pelayan tersebut mengambil kedua cangkir kami, lalu kembali
lagi ke meja kami dengan cangkir-cangkir yang terisi penuh.
Kupikir akan sedikit aneh jika aku selalu menatap ke Haruno-san, jadi
kuputuskan untuk membaca buku yang kubeli barusan.
Hanya suara halaman buku yang dibalik, yang terdengar di tempat ini.
Bahkan alunan background musik di restoran ini tidak terdengar jelas.
Meski begitu, aku masih bisa mendengar jelas lirik lagunya.
Aku
meminum cafe au lait yang hangat ini, lalu membalik halaman buku di tanganku.
Tiba-tiba, Haruno berbicara.
“Hikigaya.”
“Ya?”
Kami melanjutkan kegiatan membaca kami meskipun kami sedang berbicara.
“Bicara tentang hal-hal yang menarik dooong~”
“.....”
Aku
lalu secara tidak karuan berusaha agar terdiam sebisa mungkin. Aku yakin kalau
dia tahu diriku sedang tidak nyaman jika mengarah ke pembicaraan itu. Ada apa
dengan orang ini...? Ketika aku melihat ke arahnya, dia tersenyum lebar.
“Reaksimu super ‘enggak bangeet’...Ya ampun, tapi itu sudah
kuperkirakan!”
Haruno-san langsung tertawa. Kamu
tidak perlu mengatakannya seperti itu jika tahu banyak tentangku...
Tepat dimana
seharusnya aku mulai membayangkan dia akan bersikap dewasa, dia mulai bersikap
aneh-aneh seperti biasanya.
Seperti yang kuduga, aku sendiri tidak punya kata-kata yang tepat untuk
menggambarkannya. Dia bukanlah gadis yang bisa kutangani.
Haruno tampaknya menemukan momen yang tepat untuk menutup bukunya. Dia
tampaknya sedang merenggangkan tubuhnya sambil menggerutu. Melihat posenya yang
seperti itu, membuatku semakin penasaran...Bagian
darinya itu adalah hal dimana adiknya tidak punya, itu dia...
“Bagaimana kabar Yukino-chan?”
Haruno mengambil kopinya, ketika dia memegang pegangan cangkirnya, dia
menanyakan hal itu.
“...Ya seperti biasanya. Kurasa begitu.”
“Begitu ya. Itu terdengar bagus.”
Meski dia adalah yang bertanya, tapi dia tampak tidak antusias mendengar
jawabanku.
Haruno-san lalu menatapku.
“Jadi...bagaimana perkembangan kalian berdua?”
“Ha...”
“Ada sebuah perkembangan?”
Dia
tidak menyebutkan siapa, maka aku sulit untuk menjawabnya.
“Apa maksudmu?”
“Bukankah kalian pergi darmawisata bersama-sama?”
“Kau ternyata banyak tahu juga...”
Well, dia adalah alumni sekolahku, mungkin dia sudah tahu jadwal
darmawisata. Meski begitu, dia layak kuberikan poin karena pengetahuannya.
Ketika melihat ekspresiku yang terkejut, Haruno-san mulai memberitahu
alasannya.
“Aku tahu itu dari oleh-oleh darinya yang dikirim ke rumah.”
Oleh-oleh itu pasti dari Yukinoshita. Mendengar kata-katanya, tampaknya
dia tidak memberikannya secara langsung.
“Dia sampai segitunya mengirim memakai jasa kurir...”
Haruno-san lalu meminum kopinya.
“Kupikir dia masih tidak mau bertemu secara langsung.”
“Meski begitu, dia masih membelikan oleh-oleh...Setidaknya dia jujur
dengan perasaannya...”
Aku
terjebak antara kagum atau terkejut karena kata-kata itu keluar begitu saja
dari mulutku. Karena aku paham betul kalau itu sifat Yukinoshita. Tapi,
Haruno-san seperti meragukan kata-kataku.
“Aah, aku tidak berpikir seperti itu.”
Alasannya menolak hal tersebut cukup janggal. Yukinoshita sangat ketat
tentang tata-krama dan dia memegang teguh integritas; setidaknya, aku mengakui
hal itu adalah bagian dari dirinya. Apakah aku salah?
Haruno-san memiring-miringkan cangkir kopinya dan melihat gelombang
permukaan kopi tersebut.
“Dia membenci diriku, tapi dia tidak terlihat seperti membenciku...”
Dia
mengatakannya dengan lembut, penuh sesal, dan ringan. Nadanya diarahkan kepada
dirinya dan seseorang yang sedang tidak berada disini.
Aku
merasa kalau melanjutkan topik ini, dia akan mulai membenciku. Jadi, aku
memilih untuk diam saja.
Ketika melihat sikapku, Haruno-san menaruh cangkirnya di meja dan
melihatku dengan penuh rasa penasaran.
“Ngomong-ngomong, dengan usainya darmawisata, maka tidak ada event lain
yang datang dalam waktu dekat. Setelah itu, hanya belajar untuk ujian. Apa kamu
tidak merasa bosan?"
Aku
memutuskan untuk masuk ke pembicaraan.
“Tidak juga. Masih ada pemilihan Ketua OSIS.”
“Pemilihan Ketua OSIS? Huh? Bukankah itu harusnya sudah lama dilakukan?”
Haruno-san melihatku dengan penuh tanda tanya. Dia tampaknya sedang
mencocokkan ingatannya semasa SMA dulu.
“Mereka menundanya karena kesulitan mencari kandidat ketua.”
“Ooh.
Jadi sudah tiba saatnya bagi Megurin untuk pensiun, ya...”
Dia
tampaknya mengatakan itu dengan penuh emosi. Bagiku, Meguri-senpai adalah kakak
kelas yang bisa kuandalkan, tunggu, bukan begitu. Bukan! Faktanya, dialah yang
bergantung padaku, yang telah membuatnya terlihat manis sebagai kakak kelas. Di
lain pihak, dia adalah junior yang manis bagi Haruno-san. Tahu tidak, dia
ternyata terlihat manis bagi kakak kelas dan adik kelasnya! Megurin, kamu
sangat luar biasa. Meguriiiin!
Haruno-san tampak tertawa seperti mengingat-ingat sesuatu mengenai kakak
tingkatku yang manis, Meguri-senpai.
“Karena kita berbicara tentang Megurin, aku berani bertaruh kalau dia
akan meminta Yukino-chan untuk maju menjadi kandidat Ketua OSIS, benar tidak?”
“Aah, sebenarnya, dia tidak melakukannya.”
“Ah, jadi membosankan deh...”
Haruno-san tampak kecewa mendengarnya.
“...Jadi Yukino-chan tidak akan maju jadi kandidat?”
“Tampaknya
begitu.”
Untuk saat ini, rencana Yukinoshita adalah menjadi support bagi orang
yang bersedia maju menjadi kandidat. Aku tidak tahu siapa yang akan dia mintai
tolong untuk maju jadi kandidat, tapi aku tahu kalau itu adalah usaha yang
sangat sulit. Kalau kau pertimbangkan baik-baik, rencana itu sangat tidak
efisien dan terlalu menghabiskan banyak tenaga.
Ketika aku mulai berpikir bagaimana dia akan melakukannya, gadis di
sebelahku ini seperti hendak mengatakan sesuatu.
“Hmmm...”
Dia
seperti hendak mengatakan sesuatu tetapi tertahan.
“...Apa yang ingin kau katakan?”
Lalu Haruno-san tersenyum kepadaku.
“Hmm? Tahu tidak, aku sendiri tidak pernah maju menjadi kandidat Ketua
OSIS.”
“Huh, begitu ya? Itu memang cukup mengejutkan.”
Aku
awalnya mengira kalau dia akan mengambil segala tawaran jabatan publik yang
datang kepadanya. Maksudku, dia bahkan menjabat sebagai Ketua Panitia Festival
Budaya.
Tapi, Haruno-san mengatakan kata-kata tersebut dengan santainya.
“Masa begitu? Maksudku, pekerjaannya banyak sekali dan membuatku tidak
nyaman.”
“Aah, jadi itu alasannya.”
Well, itu saja sudah meyakinkanku.
Pekerjaan di OSIS sangat banyak. Jika ada event besar, maka Pengurus
OSIS harus ambil bagian; misalnya Festival Budaya.
Lalu ada juga pekerjaan di balik layar seperti menjadi bagian
kepanitiaan Panitia Pemilihan. Yang agak berbeda dengan Festival, ini hanyalah
pekerjaan ‘kantoran’.
Lagipula, sebagian besar waktumu akan dihabiskan duduk di ruangan OSIS
dan bermalas-malasan sambil memakan snack. Jika ada masalah datang, maka
langsung beraksi seketika. Lebih dari itu, sebagai Pengurus OSIS, kamu juga
harus menjadi contoh bagi siswa sekolah ini.
Haruno-san sendiri memang lebih cocok jika dihubungkan dengan hal-hal
trendi dan berhura-hura. Atau tepatnya, dia suka hal-hal yang terlihat menyenangkan
dan menarik. Daripada terlihat seperti Pengurus OSIS yang rajin, pekerjaan
sebagai manajer event yang menyenangkan seperti Festival Budaya memang cocok
untuknya.
Meski begitu, dirinya yang bersinar terang seperti itu adalah hal yang
tidak bisa kuanggap serius.
“...Membosankaaaan.”
Apa
dia punya maksud tersembunyi dari kata-kata tersebut?
Ketika aku mulai berpikir apakah aku akan bertanya maksudnya atau tidak,
ada seseorang memanggilku dari arah yang berbeda.
“Huh? Hikigaya?”
Suara
itu berasal dari sebelah kiriku.
Ketika aku melihat asal suara tersebut, ada dua orang gadis memakai baju
seragam SMA.
Seorang gadis dengan potongan rambut pendek. Dan satunya lagi memiliki
ekspresi yang terkejut. Mungkin gadis ini yang memanggilku tadi.
Dia
memakai seragam SMA Kaihin yang letaknya dekat dengan rumahku. Dia tampaknya
familiar denganku.
Tidak lama kemudian, aku sadar siapa dirinya.
“...Orimoto.”
Nama itu keluar begitu saja dari mulutku.
Padahal aku sudah berusaha keras mengubur semua kenangan tentang masa
SMPku dalam-dalam.
Meski begitu, nama Orimoto Kaori keluar begitu saja dengan mudah.
x x x
Pertemuan tidak terduga ini membuat tubuhku lemas.
Kami saling menatap untuk mengkonfirmasi apakah benar orang yang
dimaksud.
Aku
langsung dihujani kenangan 2-3 tahun lalu. Aku mulai berkeringat dingin...
Gadis di samping Orimoto tampaknya hanya sekedar menemaninya saja. Dia
memakai seragam SMA Kaihin dan sedang melihat ke arahku.
Temannya itu tampak sedikit bosan, tapi Orimoto malah menepuk pundakku
dan menaikkan suaranya.
“Ya
ampuuun, ini nostalgia sekali! Kamu ini apa semacam karakter yang langka apa
bagaimana?”
Karena menjadi pusat perhatian, aku hanya bisa tersenyum kecil.
Orimoto itu seperti figur kakak perempuan idaman bagi setiap pria dan
dia adalah tipe gadis yang suka ikut campur masalah orang. Dia adalah tipe
gadis yang ingin bisa berbicara dengan siapapaun, tidak peduli siapa dan hanya
ingin dianggap dekat.
Orimoto tampak terkejut untuk sesaat.
“Eh, Hikigaya, kamu ternyata sekolah di SMA Sobu ya?”
“Ah, benar.”
Setelah aku menjawabnya, aku melihat ke arah tubuhku yang berseragam SMA
Sobu. Dari seluruh SMA yang berada di dekat sini, memang tidak ada yang
memiliki blazer seperti SMA Sobu. Kau bisa mengenali siswa dari SMA mana hanya
dengan melihat jasnya.
Orimoto tampaknya memikirkan sesuatu sambil menahan rasa kagumnya.
“Ooh. Memang itu super mengejutkan. Kamu ternyata siswa yang pintar ya!
Ah, tapi aku juga tidak pernah melihat hasil ujianmu sih. Maksudku, Hikigaya,
kamu tidak berbicara dengan siapapun selama di SMP.”
Seperti biasa, Orimoto mengatakan semua yang bisa dia katakan. Dia
mengatakan semuanya sehingga kau merasa tidak punya dinding pemisah diantara
kau dan dirinya.
Tipe gadis yang menyenangkan. Dia mungkin memang melatih dirinya agar
memiliki image seperti itu.
Dan
kemudian, perhatiannya berpindah ke orang yang duduk di sebelahku, Yukinoshita
Haruno.
“Dia pacarmu?”
[note: Anda harus jeli dalam komunitas
sosial. Jika anda(gadis) bersama teman anda, dan bertemu seorang pasangan dan
anda kenal(si pria), anda tidak akan langsung konfrontasi siapa pasangan si
pria tersebut. Anda harusnya mengenalkan diri anda dulu ke si pasangan pria
tersebut, lalu baru bertanya dia siapanya. Jika anda tidak mengenalkan diri dan
langsung bertanya dia apanya si pria, jelas anda masih punya rasa ketertarikan
terhadap si pria. Ini semacam tantangan ke pasangan si pria karena anda punya
rahasia dengan si pria yang si pasangan pria tidak tahu apa itu. Dan sayangnya,
Haruno adalah orang yang pintar membaca hal itu.]
Dia
bertanya dengan penuh rasa curiga, dia seperti membandingkan diriku dengan
Haruno-san. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapan Orimoto dan membalasnya.
“Bukan...”
“Ah, seperti yang kukira~! Itu memang terlihat tidak mungkin!”
Ketika Orimoto tertawa, temannya juga tersenyum kecil sambil berusaha
menutup bibirnya dengan tangannya.
Kuanggap itu hanya sekedar canda tawa biasa. Sikapnya itu hanyalah cara
untuk menunjukkan betapa bersahabatnya dirinya. Itu yang terpikirkan olehku.
“Hahaha...”
Kampret! Kenapa aku malah ikut-ikutan
tertawa!
Kalau begini
terus, pada akhirnya insiden 2 tahun lalu itu akan muncul lagi di kepalaku.
Haruno-san yang sedari tadi melihat sikap kami, tiba-tiba menatap ke
arahku.
“Apa mereka temanmu, Hikigaya?”
Kenapa rasanya dia seperti bilang ‘oooh...ternyata kamu punya teman?’.
Apa cuma aku saja yang begitu, okelah, mungkin tidak begitu.
Tapi, ini gawat juga, aku tidak mungkin bilang ‘dia bukan temanku sama
sekali’.
Meski begitu, aku tahu harus menjawabnya dengan apa.
“Dia sekelas denganku ketika SMP.”
Yep, yep, jawaban yang benar! Lagipula, semua orang yang kupikir
temanku, kuperkenalkan dengan cara seperti itu.
Setelah aku menjawabnya, Orimoto memalingkan wajahnya ke arah Haruno-san
dan membungkukkan kepalanya sedikit.
“Saya Orimoto Kaori.”
Setelah mengenalkan dirinya, Haruno masih menatap penasaran ke arahnya.
“Hmmm...Ah, aku Yukinoshita Haruno. Aku anunya Hikigaya...Hmm..Hikigaya,
aku ini sebenarnya siapamu?”
“Entahlah, apa itu penting?”
Sebenarnya, kenapa kamu malah memiringkan badanmu dan menempel kepadaku?
“Kalau aku disebut temannya, kurasa akan agak aneh. Hmm, mungkin aku
adalah kakak perempuanmu? Oh, atau aku ini kakak iparmu...?”
[note: Ini juga perkenalan tidak wajar,
sampai membawa ‘kakak ipar’. Jelas, disini Haruno berusaha menyerang secara
pelan kalau Hachiman adalah milik Yukino.]
Haruno-san melihat ke arahku.
“Ah, bagaimana kalau aku adalah pacarmu yang usil?”
Oh
manisnya, tidak, apa-apaan itu!
Apa
dia semacam idiot? Bagaimana bisa dari seorang teman, lalu ke kakak perempuan,
dan berakhir seperti itu? Huuh? Tunggu dulu, jika kamu tadi mengaku sebagai
adikku mungkin akan menarik! Tapi sekali lagi, kurasa mustahil.
Caranya berpura-pura seperti itu memang sangat mengagumkan dan bisa
menyebabkan salah paham. Tapi itu justru membuatku bisa menjawabnya dengan
tenang.
“Kenapa kau tidak mengatakan saja kalau kau alumni sekolahku?”
“Aw, kamu tidak bisa diajak bermain ah!”
Setelah mengatakannya, Haruno-san membuat ekspresi wajah yang kecewa dan
manja. Aku sekarang mulai berpikir bagaimana agar aku bisa mencolek pipinya,
tapi mustahil ah!
Haruno-san pasti melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu, tapi jujur
saja, ini pertama kalinya dalam sejarah aku senang melihatnya berada di
sekitarku. Jika tidak ada dia, mungkin aku sudah tidak tahu harus mengatakan
apa ke Orimoto.
Jika hanya ada aku dan Orimoto, mungkin aku sudah jatuh ke tempat yang
dalam sekarang. Bisa pula aku akan berbicara ke dinding di kamarku selama 5 jam
setelah pulang ke rumah.
Orimoto Kaori adalah gadis dari SMP-ku yang wajib kuhindari.
Saat ini harusnya adalah momen dimana aku harus kabur dari Orimoto dan
gerombolannya sebelum tanah bekas galian bangunan yang disebut ‘masa lalu’
mulai menumpuk dan menghalangi pintu keluarku. Tapi ini mulai terlihat sia-sia
ketika Orimoto mulai mengobrol dengan Haruno-san pada saat ini.
“Hubungan senioritas di SMA kalian tampaknya berkembang dengan sangat
baik.”
“Benar kan? Tapi, itu hanya sebagian kecilnya saja loh!”
“Eeeh? Kasih tahu dong!?”
Keduanya mulai membuat sebuah obrolan yang tidak penting sambil beberapa
kali teman Orimoto juga ikut dalam pembicaraan.
Aku
duduk saja disana dan mendengarkan mereka mengobrol.
Pembicaraannya melebar kemana-mana dan tidak menunjukkan akan segera
berakhir.
Momen seperti ini, kurasa paling pas digunakan untuk meminum cafe au
lait milikku.
Ini
seperti melihat kedua orang gadis sedang bertransaksi di batas area ranjau
darat miliknya sendiri.
Tiba-tiba, pembicaraan terhenti.
Ini
adalah peluang untuk mengakhiri pembicaraan ini dan pergi.
Tapi, Haruno menyilangkan lengannya. Dia tersenyum kecil dan berbicara.
“Kalau dipikir-pikir, kamu kan sekelas dengan Hikigaya waktu SMP?
Memangnya kamu tahu cerita menarik soal dirinya waktu itu?”
Kata-katanya malah menandakan obrolan ini akan terus berlanjut. Orimoto
tiba-tiba mengatakan ‘eeeeh’, dan dia terlihat seperti mengingat-ingat sesuatu.
Aku
tampaknya bisa mencium sesuatu yang buruk akan muncul sebentar lagi. Lebih
tepatnya, aku tahu pasti kalau sesuatu yang buruk akan muncul.
“Ayolaaah, aku yakin ada sesuatu! Ah, seperti cerita asmara! Mbak ingin
tahu tentang cerita asmara Hikigaya ketika SMP!”
Tampak ingin tahu masalah orang lain, Haruno-san mencoba mengaduk-aduk
topik itu lebih dalam.
Kini tubuhku terus berkeringat dingin, dan akupun hampir saja tertawa
lebar jika mengingat kejadian waktu SMP itu. Sebenarnya, itu lebih tepatnya
kejadian yang membakar habis diriku hingga tidak tersisa. Ya ampun, ini sangat
mengganggu. Manusia selalu mengingat hal-hal yang buruk.
Jika aku punya skill komunikasi yang bagus, aku tidak keberatan
memberitahukan hal itu ke Haruno-san empat mata. Aku bahkan bersedia
membicarakan hal itu sambil menertawakan diriku sendiri.
Orimoto lalu menyisir rambutnya dengan jari-jarinya dan tertawa dengan
malu-malu.
“Aah, itu mengingatkanku akan sesuatu. Hikigaya dulu pernah menembakku
sekali!”
Dia
mengatakan kebenaran itu dengan mudahnya.
“Ah
yang benar kamuuuu!”
“Wah, mbak malah tambah ingin tahu lebih jauh nih!”
Tidak hanya Haruno-san, tapi teman Orimoto juga menikmati topik itu.
Itu
adalah topik yang bisa mencairkan suasana, tidak peduli siapa yang memulai
pembicaraan itu.
“Kami berdua kan belum pernah berbicara satu sama lain, jadi aku
ketakutan banget waktu itu!”
Orimoto mengatakan kata-kata itu.
Tapi, kami sebenarnya pernah mengobrol. Pastinya pernah.
Orimoto mungkin tidak mengingatnya. Atau tepatnya, Orimoto mungkin tidak
mengenali diriku sebagai orang yang pernah diajaknya berbicara.
Bahkan tidak hanya itu. Aku pernah mengirim SMS kepadanya.
Entah karena aku kasihan melihat diriku atau terlalu bersemangat, aku
akhirnya memperolah alamat emailnya. Aku berpikir keras hendak menuliskan apa
waktu itu. Pada akhirnya, aku mengirimkan SMS dengan isi yang tidak jelas. Juga
pernah aku menunggu dengan antusias SMS balasan darinya, tapi yang mengirimiku
SMS malah semacam promo langganan majalah. Sehingga, aku membalas SMS promo
tersebut dengan makian.
Tapi aku sangat yakin kalau Orimoto tahu kejadian itu. Meski dia
berusaha mengingatnya, aku memang sejak awal bukan prioritas dalam kepalanya.
Kalau dipikir-pikir, ini seperti pria yang menyukai seorang gadis,
dimana gadis itu menganggap si pria berada di luar lingkaran sosialnya. Lalu,
semua aksi dan pengorbanan si pria hanya dianggap bahan becandaan saja. Bahkan
diingat saja tidak.
Kata-kata tersebut seperti membedah memori di kepalaku dan membuat
emosiku menjadi liar.
Insiden tersebut yang saat ini jika dibahas hanya akan menjadi bahan
becandaan saja, sebenarnya telah menusuk hatiku, sedalam-dalamnya.
Aku
duduk di tempat ini seperti sedang membeku, melepaskan napasku secara perlahan,
dan memaksakan wajahku untuk tersenyum.
“Ternyata, Hikigaya pernah menembak seorang gadis ya~”
Haruno-san mengatakannya dengan nada yang terkejut. Tapi tampilan
matanya tampak seperti orang sadis. Dia tampaknya ingin menggali lebih dalam
tentang apa yang terjadi ketika itu.
Ketika aku melihat ke arah ujung lantai ruangan ini, aku berusaha untuk
mengatakan sesuatu.
“Sebenarnya, itu hanya cerita yang sudah lama berlalu...”
“Itu benar sekali! Itu sudah lama sekali berlalu, jadi tidak masalah.”
Orimoto dan diriku mungkin punya maksud yang berbeda meskipun isi
kata-katanya hampir sama.
Karena itu sudah lama sekali, karena itu sudah terjadi, dan itu sudah
berakhir. Oleh karena itu Orimoto mengatakannya dengan santai dan tidak merasa
bersalah sama sekali.
Mungkin dia sebenarnya tidak berniat untuk membahas itu. Dia hanya
menganggapnya sebagai bahan pembicaraan saja. Bahkan temannya dan Haruno-san
bersikap sama. Mereka hanya menganggap itu bahan becandaan.
Kejadian ini persis sekali dengan waktu itu.
Meskipun ketika aku menembaknya, hanya ada kami berdua, entah mengapa,
seluruh kejadian itu menyebar seperti kebakaran pada esok paginya. Aku bisa
mendengar orang menertawakanku dan membicarakanku dari kejauhan. Ternyata ini
sama saja.
Tidak ada yang salah dengan ditolak seseorang.
Dan
berakhir, menjadi bahan tertawaan. Masa mudaku...akhirnya harus kujalani dengan
membawa beban itu.
Aku
sangat terpukul ketika itu, dikecewakan oleh gadis yang kupikir menyukaiku
juga. Aku, yang tidak menyadari itu juga bisa dikatakan bersalah. Tapi aku
tidak bisa menertawakan diriku yang belum dewasa ketika itu.
Pembicaraan itu terus berlanjut, tapi jujur saja, aku sudah malas untuk
mendengarkannya.
Aku
mungkin sedang melamun, memikirkan masa laluku itu.
“Ah, benar, Hikigaya.”
“Hmm?”
Ketika namaku dipanggil, aku kembali ke diriku yang sekarang.
Orimoto tampaknya lupa hendak menanyakan sesuatu.
“Kan kamu siswa SMA Sobu, apa kamu kenal dengan Hayama?”
“Hayama...?”
Aku
secara spontan mengulang nama tersebut.
“Yep, Hayama! Hayama yang di Klub Sepakbola!”
Itu
saja cukup untuk membuatku sadar kalau dia sedang membicarakan Hayama Hayato.
“Ooh, sepertinya iya.”
“Eh, serius kamu? Soalnya banyak gadis disini ingin kenal dia, tahulah~
Seperti salah satu yang ada di ruangan ini!”
Orimoto tampaknya sedang mendapatkan sesuatu. Lalu dia menunjuk ke arah
teman yang ada di sampingnya itu.
“Ah, gadis ini bernama Nakamachi Chika dari sekolahku.”
Nakamachi atau siapa itu duduk di sebelah Orimoto dan mengangguk dengan
senyum yang kebingungan. Orimoto mencolek Nakamachi dengan bahunya.
“Ayolah, Chika, kamu bisa dikenalin sama Hayama loh!”
“Eeeh. Tidak usahlah...”
Meski menolaknya, tapi dia terlihat lebih ceria dan jelas sekali kalau
dia mengharapkan untuk dikenalkan.
Sayangnya, aku tidak dekat dengan Hayama. Kami berdua bahkan tidak tahu
nomor kami masing-masing.
“Tunggu dulu. Aku tidak begitu kenal orangnya...”
“Aah, benar juga. Kalian berdua sepertinya tidak cocok satu sama lain.”
“Hahaha...”
Aku
mengatakannya dengan tawa yang dipaksakan.
Lalu, Haruno-san mendekatiku dan berbisik.
“...Hmmm, ini akan menarik.”
“Apaan?”
Ketika aku menatapnya, mata Haruno-san agak mencurigakan. Lalu dia
menaikkan tangannya.
“Okeeeee, kalau begitu Mbak akan kenalin kalian sama dia!”
“Huh?”
Baik Orimoto dan diriku bingung dengan maksudnya, tapi Haruno-san
langsung mengambil HP-nya dan memanggil seseorang.
Sambil menunggu telponnya tersambung, dia mengetuk-ngetuk meja dengan
jarinya. Mungkin itu sekitar 3 deringan. Setelah itu Haruno-san berbicara.
“Ah, Hayato? Bisa kesini sekarang? Pokoknya, datang kesini.”
Haruno-san mengatakan apa yang dia inginkan dan menutup telponnya.
“Apa yang kamu rencanakan...?”
“Entahlah♪”
Haruno-san tersenyum.
Gadis ini tampaknya menemukan mainan baru...
x x x
Ketika semua orang menunggu kedatangan
Hayama, aku menatap ke arah jendela dan melihat pemandangan kota Chiba.
Suasana malam telah tiba, dan kota mulai
menunjukkan wajah aslinya.
Ada sebuah papan iklan tempat Karaoke dengan
lampu yang terang, lalu di kejauhan terlihat monorel yang membelah kegelapan
malam. Juga, kau bisa melihat banyak sekali anak muda berjalan di jalan.
Tidak lama kemudian, suara langkah kaki
menaiki tangga mulai terdengar.
“Oh, tampaknya itu Hayato.”
Haruno-san lalu mencoba melirik ke arah
tangga. Ketika dia melakukannya, Hayama Hayato muncul.
Tampaknya dia kesini setelah aktivitas
klubnya. Dia masih memakai seragam sekolah dan tas olahraga bergantung di
punggungnya. Ketika Hayama menyadari kami, dia merenggangkan ikatan dasinya
dengan ekspresi yang penuh dengan rasa lelah.
“Haruno. Ini siapa?”
Hayama melihat ke arah Haruno-san lalu ke
arah Orimoto dan Nakamachi. Kemudian, dia menatap ke arahku.
“Ada
gadis yang ingin kenalan denganmu, Hayato.”
Haruno-san lalu menunjuk ke arah Orimoto dan
temannya.
Mungkin mereka tidak akan pernah menyangka
kalau Hayama yang sebenarnya akan datang kesana. Mereka tampak antusias sambil
berbisik-bisik kecil ke sesamanya.
“...Begitu ya.”
Meski dia tampak sangat keberatan, tapi dia
langsung mengeluarkan senyum andalannya.
“Wah, senang berkenalan dengan kalian. Saya
Hayama Hayato.”
Dia langsung mengganti ke mode Hayama Hayato
seperti menekan saklar ON. Setelah itu, dia mengobrol dengan mereka. Orimoto
dan Nakamachi mulai berbicara, mereka tampak lebih manis daripada sebelumnya.
Karena perhatian mereka sekarang mengarah ke
Hayama, aku akhirnya bisa kembali normal lagi. Suasana hangat toko ini terasa nyaman
untukku.
Karena Hayama sudah disini, maka aku harusnya
bisa meninggalkan para anak muda ini dan pulang ke rumah...Aku tampaknya tidak
akan sempat menonton film. Lagipula, kalau aku memaksakan datang menonton film,
aku merasa akan langsung tertidur setelah duduk di kursi tersebut.
Aku tutup bukuku yang belum habis kubaca ini
dan menaruhnya di tas. Aku menunggu momen yang tepat untuk mengucapkan selamat
tinggal dan pulang ke rumah. Mereka berempat terlihat menikmati obrolan mereka.
“Ah, apa kamu mau, seperti, pergi keluar dan
bersenang-senang di lain waktu?”
“Wah, itu kedengarannya ide yang bagus!”
Ketika Orimoto dan Nakamachi mengatakannya,
Hayama mengangguk dan tersenyum.
Dia mengangguk tanpa mengatakan ya atau
tidak. Ini adalah skill yang hanya dimiliki oleh pria tampan. Kalau pria
berwajah pas-pasan yang melakukannya, maka dia akan dianggap plin-plan.
“Yep yep, pergi keluar dan bersenang-senang
adalah hal yang bagus. Kalian semua harus melakukannya. Itu terdengar seperti
ide yang bagus.”
Haruno-san menyilangkan lengannya dan
berbicara serius.
Dengan pihak lain yang memberikan
persetujuan, Orimoto dan temannya mulai terlihat antusias seperti mendiskusikan
tempat yang ingin mereka tuju.
Tapi, aku juga menyadari. Haruno-san mengatakan
‘kalian semua’, berarti aku tidak ikut kan...?
Tapi ini wajar sekali.
Bagi mereka, aku hanyalah alat untuk
memunculkan Hayama. Untuk membuat monster berevolusi melebihi level 5, kamu
harus mengorbankan monster level rendahmu. Tidak ada cara lain selain itu.
Melihat diriku hanyalah sebuah monster yang
dikorbankan, jadi aku hanya bisa melihat mereka saja dari sini.
Pembicaraannya menjadi cukup menyenangkan
untuk saat ini. Meskipun belum sampai 15 menit, aku bisa melihat Hayama sedang
berjuang untuk menghindari ajakan keluar tersebut dengan skill yang tinggi dan
berusaha mencari momen untuk pulang secepatnya.
“Ah, ini sudah saatnya aku harus pulang ke
rumah...”
“Oke. Sampai jumpa lagi Hayama! Kami akan SMS
kamu nantinya, oke!”
Mereka melambai-lambaikan tangannya dan
Hayama meresponnya dengan melambaikan tangannya juga. Sambil berjalan pergi,
Orimoto dan Nakamachi terlihat sambil berbincang-bincang mengatakan “ya ampun”,
“dia keren bangeeet!”, “ini buruk sekali”. Ketika mereka sudah tidak terlihat
lagi, suara mereka sudah tidak terdengar lagi.
Setelah mereka benar-benar tidak terlihat,
Hayama yang sedari tadi tersenyum langsung berubah menjadi dingin.
Lalu, dia menatap ke Haruno.
“...Apa-apaan yang kau lakukan ini?”
“Soalnya bakal terlihat seru!”
Haruno-san tersenyum saja tanpa mempedulikan
komplainnya.
Hayama tampak kecewa.
“Juga...Mengapa dia ada disini? Bukankah dia
tidak ada hubungannya dengan ini?”
Hayama lalu melihat ke arahku.
“Itu tidak benar! Gadis itu, ah, yang
berambut keriting tadi maksudku. Dulu Hikigaya menyukai gadis itu! Bukankah ini
menarik? Aku ingin melihat ekspresi wajah Yukino-chan jika dia tahu soal ini,
hmmm...Benar, Hikigaya?”
Dan akhirnya, dia tersenyum ke arahku. Satu-satunya orang yang merasa senang dengan
itu hanyalah kamu, Haruno-san.
Mustahil
aku akan bersenang-senang. Dan Hayama mulai terlihat suram.
“.....”
Tidak seperti Haruno-san yang ceria, kami berdua
hanya terdiam.
Percakapan terhenti, dan Haruno-san merasa bosan.
Melihat peluang untuk mengganti suasana, dia berdiri dan menepuk pundak Hayama.
“Ngomong-ngomong, kenapa tidak pergi saja
dengan mereka? Bisa jadi akan menyenangkan bagimu.”
“Mustahil-lah...”
“Oh? Bukankah kau tidak akan tahu sebelum kau
coba?”
Respon Hayama cukup pelan dan Haruno-san tidak
mempedulikannya. Ketika dia menarik tangannya kembali, dia lalu melihat ke arah
arlojinya.
“Yep, akhirnya aku berhasil menghabiskan
waktuku hari ini dengan baik! Oke, aku pergi dulu ya!”
Haruno-san lalu mengumpulkan barang-barangnya
dan memasukkan ke tasnya.
“Hikigaya, terima kasih sudah mau menemaniku.”
Dia lalu mendekatiku dan berbisik di
telingaku. Sebuah wangi bunga mulai tercium di hidungku sembari telingaku bisa
merasakan napasnya yang lembut. Karena itu, aku tiba-tiba mundur selangkah.
Telingaku seperti merasakan geli. Tolong,
hentikan itu!
Lalu
Haruno-san mulai berjalan menuju tangga.
Tiba-tiba, dia membalikkan badannya dan
melambaikan tangannya.
“Kalau ada perkembangan dengan Yukino-chan,
kasih tahu aku yaaa~!”
Dia mengatakannya seperti berbicara denganku,
tapi sekarang sedang tidak ada
perkembangan, tahu tidak! Begitulah pikirku, jadi aku mengangguk saja
kepadanya dan melihatnya pergi.
Sekarang, karena ‘nona yang ramai’ sudah
pergi, yang tersisa disini adalah kesunyian.
Hanya ada aku dan Hayama.
Begitulah, dan kami berdua tidak punya alasan
untuk tetap berada di tempat ini.
Ini sudah masuk ‘injury time’ dalam sebuah
permainan, tidak ada yang bisa kita bicarakan.
Di masa lalu, Hayama dan diriku pernah saling
berbicara ketika kegiatan dan event berakhir. Meski suasana ini mirip dengan
kejadian itu, tampaknya kita berdua sadar kalau kali ini tidak akan sama dengan
sebelumnya.
Aku mengambil tasku dan mulai berjalan.
“Kamu...”
Suara itu tampaknya muncul dari belakangku.
Aku tidak punya alasan untuk berbicara
dengannya. Tapi, aku menghentikan langkahku. Aku tidak membalikkan badanku dan
menunggunya untuk berbicara.
“...Haruno tampaknya sangat dekat denganmu.”
“Hah?”
Kata-kata yang tidak diduga itu membuatku
menolehkan kepalaku.
Ketika kedua mata kami bertemu, dia
tersenyum. Aku merasa itu adalah senyum yang sudah mengetahui sesuatu.
“Jangan bodoh. Dia cuma mau mengacaukan
hariku saja.”
“Tapi dia terlihat sangat antusias ketika
bersamamu.”
Suara Hayama seperti menembus tubuhku.
“Jika dia tidak tertarik ke seseorang, dia
tidak akan bersikap manja seperti itu...Dia suka ikut campur ke hal-hal yang
dia anggap menarik dan mencoba mengacaukannya. Bagi orang yang tidak dia sukai,
dia tidak akan pergi sejauh itu.”
[note:
Tampaknya ini pengalaman pribadi Hayama.]
Itu saran atau peringatan? Tapi kata-kata
Hayama memang sangat tajam, tidak seperti biasanya. Meski begitu, aku tidak
membalikkan badanku.
“...Oh, menakutkan juga.”
x Chapter III | END x
Haruno adalah seorang kutu buku juga. Hayama di vol 4 chapter 5 juga memperlihatkan kalau dia adalah kutu buku. Jadi, kita memiliki 4 karakter kutu buku disini, yaitu Hikigaya Hachiman, Yukinoshita Yukino, Yukinoshita Haruno, dan Hayama Hayato. Lucunya, Yukino, Haruno, dan Hayama adalah grup pertemanan selama masa kecil dulu, vol 9 chapter 8.
...
Haruno yang bertaruh kalau Meguri pasti akan membujuk Yukino maju menjadi kandidat ketua.
Ini juga diperkuat keterangan Meguri sendiri yang berharap kalau Yukino akan maju menjadi kandidat ketua, vol 8 chapter 9.
Besar dugaan, Meguri berencana seperti itu ketika menemani Iroha ke Klub Relawan.
...
Buat yang belum baca vol 9 chapter 9, Kaori dan Hachiman ini tinggal di satu kompleks perumahan. Mereka hanya dipisahkan oleh sebuah pertigaan jalan. Lurus terus jika ke rumah Kaori, sedang belok kanan kalau hendak ke rumah Hachiman.
Tentu Kaori merasa aneh jika 2 tahun tidak melihat Hachiman sama sekali, setidaknya ketika berangkat sekolah. Dan ini dijelaskan oleh sikap Hachiman yang sengaja mengambil jalan yang lebih jauh agar tidak bertemu dengan Kaori.
...
Lucu melihat Kaori menganggap Haruno adalah pacar Hachiman. Tentunya, lebih mencurigakan lagi ketika Haruno mengatakan kalau dirinya adalah kakak ipar Hachiman. Dengan kata lain, adik Haruno ada kemungkinan merupakan pacar Hachiman. Setidaknya, itulah yang terbayangkan di kepala Kaori.
...
Monolog Hachiman mengenai betapa mudahnya kejadian 2 tahun lalu dengan Kaori menjadi bahan becandaan dan itu memberikan luka tusuk yang mendalam...
Jelas disini, Hachiman ini adalah seorang siswa SMA kelas 2 yang memikul trauma mendalam tentang kejadian di masa lalu dengan Kaori.
Lucunya, baik trauma Yukino dengan bully di kelas 6 SD dan Hachiman dengan Kaori di kelas 3 SMP, semuanya berawal dari salah paham. Mungkin lebih tepatnya...Cinta bertepuk sebelah tangan.
...
Kita mendapat info yang bagus mengenai view Kaori kepada Hachiman ketika SMP dulu. Hachiman merupakan pria yang misterius bagi Kaori waktu itu.
Namun, anggapan Kaori mulai dibalikkan secara perlahan-lahan di chapter ini.
Pertama, Hachiman bukanlah pria penyendiri karena dia duduk berduaan dengan gadis cantik, di sebuah kafe, pada sore hari sepulang sekolah. Jelas, setidaknya Kaori pasti berpikir kalau Hachiman ini adalah orang yang menyenangkan.
Kedua, Hachiman kenal Hayama, pria terpopuler di SMA Sobu. Meski Hachiman mengatakan secara jujur mengenal Hayama, tapi tidak dekat, tapi di mata Kaori ini jelas seperti berusaha merendah. Mengapa? Karena gadis yang menemani Hachiman, Haruno, dengan mudahnya bisa menelpon Hayama dan menyuruhnya datang. Artinya, Hachiman ini terlihat merendah. Dan Hayama, pria terpopuler di SMA Sobu, mau datang hanya ditelpon oleh Haruno, dimana Haruno dianggap teman Hachiman, jelas merupakan sebuah pernyataan kalau Hachiman ini sebenarnya teman Hayama. Meski, kenyataannya Hayama dan Hachiman adalah rival.
Ketiga, Kaori baru tahu kalau Hachiman adalah siswa yang pintar, karena masuk SMA Sobu.
Dalam sekali pertemuannya, Kaori mendapatkan kesimpulan kalau Hachiman ini: Orangnya mudah bergaul, termasuk pria-pria populer di SMA Sobu, dan pria yang pintar.
Ditambah kesan Kaori di vol 9, Hachiman adalah pria yang pintar berorganisasi. Dan tidak lupa, Hachiman adalah pria yang dulu pernah mengatakan kalau dia menyukainya. Lengkap sudah...
...
Meski Hayama tahu kalau Hachiman kenal Haruno, sejak di perkemahan Chiba di vol 4 chapter 7, Hayama masih terlihat terkejut dengan kedekatan Haruno dan Hachiman.
...
Bagi yang belum tahu, pemilihan Ketua OSIS yang baru harusnya dilaksanakan setelah Festival Budaya, yaitu tengah - akhir Oktober. Tapi dihadapkan fakta kalau tidak ada satupun pelamar kandidat ketua dan adanya Festival Olahraga di akhir Oktober, dimana di Festival Budaya panitianya kacau balau dan hampir gagal, Meguri memutuskan untuk menunda pemilihan Ketua OSIS ke awal Desember. Lalu, Meguri menginstruksikan untuk menempatkan seluruh pengurus OSISnya di kepengurusan Festival Olahraga.
Kesanggupan Meguri sendiri untuk menjalankan proses pemilihan ketua baru tersebut karena dirinya sudah dipastikan diterima di Universitas melalui jalur prestasi. Jadi, Meguri tidak perlu disibukkan dengan belajar ujian masuk universitas dan bisa fokus ke pemilihan ketua bersama para pengurus OSISnya yang masih duduk di kelas 2.
Hachiman mengendarai sepeda " Princess, Princess, Princess... Hime, Hime, Hime ... daisuki"
BalasHapusThat yowamushi pedal reference 😂
BalasHapusOh iya, saya baca2 analisis dari website sebelah kalo yg hayama suka itu sebenarnya mbak haruno. Ini masuk akal karena hayama sendiri kayak nggak pernah kasih perhatian lebih ke yukino (terlepas dari grup hayama yg takut salah paham), tapi di adegam chapter ini hayama kayak agak kesal karena haruno colek2 hachiman terus. Mungkin sebenarnya rivalitas keduanya itu bukan yukino tapi haruno. Entahlah
BalasHapus