x x x
Pernikahan. Itu adalah kuburan dari sebuah kehidupan.
Bagi mereka yang sudah menikah, pasti akan terus memuji hal itu.
Bahagia karena ada seseorang yang mengatakan "Aku pulang" ataupun berusaha memberikan yang terbaik di esok hari hanya demi melihat wajah anakmu yang sedang tertidur...
Tapi tunggu dulu bung!
Kau bisa saja mengatakan "Aku pulang" ketika mengunjungi rumah orang tuamu. Kalau tidak begitu, kau bisa saja mengatakan "Aku pulang" ke bungkus pasta gigimu setiap hari. Dan jika kau melihat wajah anakmu yang sedang tertidur, maka itu artinya kau diperas habis-habisan dengan jam kerja yang gila-gilaan.
Apakah itu benar-benar sesuatu yang kau sebut dengan kebahagiaan?
Mata dari mereka yang mempertanyakan tentang kebahagiaan semacam itu akan membusuk hingga menjadi seperti mataku, seperti zombie yang akan menyeret orang-orang ke tempat antah-berantah bersama mereka.
Kutanya sekali lagi. Apakah itu sesuatu yang kau sebut dengan kebahagiaan?
Kebahagiaan itu, tahulah, seperti, bagaimana ya? Adalah sesuatu yang mirip :Mungkin semacam perasaan yang kau dapatkan ketika melihat adik perempuan tercintamu memakai celemek untuk menyiapkan sarapan, sambil melantunkan lagu-lagu ceria?
Itulah pemandangan yang tersaji di depan mataku, akupun menguap dan menunggu adikku yang tercinta ini selesai membuatkanku sarapan.
Dan inilah yang kau sebut dengan kebahagiaan. Kita tidak butuh sesuatu seperti pernikahan, yeah!
Kedua orangtua, harus pergi dari rumah sejak pagi sekali karena pekerjaan. Mereka benar-benar sibuk. Serius, mereka benar-benar terlihat seperti kumpulan orang-orang yang dipenuhi banyak sekali masalah. Tapi aku bersyukur, karena merekalah aku bisa belajar bagaimana cara mengisi keseharianku.
Kebetulan, rencanaku adalah menjadi suami rumahan, tapi dengan tren menurunnya angka pernikahan, itu membuat impianku menjadi agak sulit untuk diwujudkan. Belum lagi, angka perceraian yang mulai meningkat belakangan ini.
Mungkin, gaya hidup impianku itu akan sulit terjadi jika melihat bagaimana sikap masyarakat di jaman ini. Lagipula, sejak dulu kala, memangnya ada jaman dimana gaya hidupku akan cocok? Mungkinkah jaman Heian?
Dengan anggapan kalau aku tidak akan bisa menikah, maka aku berharap kalau kedua orangtuaku bisa bekerja lebih keras lagi. Ini mungkin hanya anggapanku saja, mereka bekerja keras demi mereka sendiri, bukan demi apa yang penting bagi mereka, yaitu untuk membuatku tetap bisa mengapung seperti ini.
Ambisi dari Hikigaya Hachiman yang seperti itulah yang mulai membakar dadaku, dan momen itu tepat bersamaan dengan Komachi yang membalikkan badannya di depanku. Sepertinya, dia sudah selesai membuat sarapan.
Komachi lalu membawa beberapa piring dari dapur.
"Maaf sudah menunggu~!"
"Tidak masalah."
Dia menaruh nampannya di meja dan Komachi duduk di seberangku. Menu hari ini adalah roti panggang, salad, telur dadar...dan kopi, huh? Menu ini agak berbau Amerika. Atau mungkin Nagoya. Tampak sangat lezat sekali.
Komachi mulai melakukan pekerjaan rumah setelah dia masuk SD, tapi belakangan ini, dia tampak sangat ahli sekali, terutama skill memasaknya yang sudah melampaui diriku dimana dia sudah mulai memasuki area yang akan menyebutnya sebagai Ibu Rumah Tangga.
Dari sudut pandang kedua orangtuaku, mereka mungkin akan tergugah hatinya ketika melihat anak-anak mereka mulai melampaui mereka. Akupun juga, aku merasa kalau aku akan melampaui ayahku sebagai bajingan di masa depan.
"Maaf sudah merepotkanmu."
"Onii-chan, kau berjanji untuk tidak mengatakan itu lagi, benar tidak?"
Setelah obrolan basa-basi yang biasa dilakukan oleh saudara selesai, kami berdoa. Mengatakan terima kasih kami kepada yang telah menyediakan makanan ini adalah hal yang penting. Aku mempelajari itu dalam "Silver Spoon". Juga, para budak perusahaan harusnya menerima Kansha Kangeki Ame Arashi. Kita bisa makan hari ini karena Ayah dan Ibu yang bekerja. Memakan makanan yang didapat tanpa harus bekerja memang enak sekali. Super enak.
Meski super enak, sayangnya, aku melihat salah satu makanan yang kubenci.
"Ah, aku benar-benar benci tomat, masa tidak tahu?"
Tidak peduli seberapa enak makanan gratis itu, ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah mau kuberi label enak. Komachi bahkan tidak mempedulikannya meski aku sudah menusuk-nusuk tomatnya dengan garpuku.
"Yep, karena itulah aku menaruhnya disitu."
Komachi mengatakan itu dengan santainya...Eh? Kenapa bisa menjadi begini? Bukankah ini aneh?
Bukannya kau diajari oleh orangtua kita untuk tidak melakukan apa yang orang lain tidak sukai...? Ngomong-ngomong, aku sendiri tidak diajari itu. Begitulah orangtua kami. Selalu memakai gaya "lihat dan ingat baik-baik". Kenapa tidak ada training yang profesional kepada para pendatang baru?
Ini adalah momen dimana aku harus memberitahu dengan jelas kepada adikku tentang apa yang mengganggu kakaknya.
"Bukan, begini...Komachi-chan?"
"Onii-chan sendiri punya banyak sekali hal yang disukai dan dibenci. Entah itu orang ataupun makanan."
Komachi memakan telur dadarnya dan menjawabku.
Okelah, kalau kau mengatakan sesuatu yang seperti itu, maka aku akan mengatakan sesuatu juga. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengajarimu kebenaran tentang dunia ini. Akupun mengambil cangkir kopiku, meminumnya, dan memasang ekspresi bangga.
"Sebenarnya itu bukan hal yang buruk. Jika kau memaksakan sesuatu dengan sesuatu yang tidak kau sukai, maka semua orang yang terlibat akan berakhir dengan hal yang menyedihkan."
"Haa...Aku mulai merasa kalau Onii-chan akan sulit menikah nantinya."
Komachi mengembuskan napasnya sambil menggerutu "Ya ampun, idiot sekali". Ada apa dengan sikapmu itu, huh? Aku ini tidak mengatakan sesuatu yang salah, benar tidak? Ngomong-ngomong, aku sendiri sadar kalau aku sendiri akan hampir mustahil untuk bisa menikah, jadi bisakah kau tidak membahasnya lagi? Karena demi menghindari itu, Onii-chan saat ini harus mengulang-ulang di kepala Onii-chan setiap harinya kalau aku berkomitmen untuk menjadi suami rumahan, sehingga pada akhirnya itu akan menjadi sebuah komitmen yang berada di alam bawah sadarku.
Lagipula sejak awal, aku adalah tipe pria yang tidak suka 'demi menikah, maka aku akan menjadi sesuatu yang bukan diriku'.
Menipu dirimu sendiri bukanlah sesuatu yang harusnya kau lakukan, karena setiap orang memiliki opini yang berbeda-beda.
Tergantung situasi yang membelitmu juga, bisa saja kau tidak bisa menyangkal hal itu. Kalau menikah itu artinya kau harus mengalah dan memaksa dirimu untuk bersama dengan orang lain, maka itu tidak akan memberimu kebahagiaan.
Setelah berpikir ini dan itu, aku memakan telur dadarku. Yep, ternyata enak sekali.
"Ada kecap disana."
Ya ampun, memangnya kalau ada telur dadar, maka pelengkapnya harus kecap? Ataukah ada yang lain? Ataukah kau lebih suka mayones? Seorang mayo loover? Ataukah Shinoraaaa? Gadis ini benar-benar super santai, huh?
Ketika aku merasa ini sangat nostalgia ketika Komachi lebih baik untuk tidak mengetahui sesuatunya, kutegakkan kepalaku dan ternyata wajah Komachi sudah ada di depanku.
Setelah Komachi menatap wajahku, dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyentuh pipiku dengan ujung jarinya.
Apaan...? Atau begitulah pikirku, tapi ternyata ada kecap di wajahku. Ngomong-ngomong, wajahmu terlalu dekat, sungguh mengganggu, dan memalukan. Sikapmu itu seperti sikap seorang istri yang dapat membuatku malu, jadi hentikan itu. Akupun menatapnya dengan memasang ekspresi kesal, tapi dia tidak sedikitpun peduli, malah dia hanya tersenyum licik di depanku.
"Barusan itu jelas-jelas memberikan Komachi poin yang banyak."
"Kalau kata-katamu barusan itu tidak kau katakan, bisa saja."
Akupun memakan saladku setelah menjawabnya.
Dia benar-benar bukan adik yang manis...Jika dia tidak menambah-nambahi dengan kata-kata semacam tadi, dia akan sangat manis. Entah mengapa aku hanya bisa tersenyum kecut meresponnya. Tapi karena senyum yang kecut itu, bahkan tomat di piringku ini mulai terasa kecut juga...
Well, beginilah hal baik dan buruk dari Komachi. Komachi sangat memahamiku. Kalau boleh kukatakan, keluarga sendiri memang terasa sangat nyaman.
Begitulah, kurasa tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Meski kau tidak menikah, selama kau punya adik perempuan, bukankah itu sudah cukup? Kalau ada perusahaan yang hendak menjual kaset lagu yang disertakan dengan paket pembelian barang tertentu, maka mereka tinggal menyertakan adik perempuan dalam paketnya. Penjualan mereka pasti akan meroket.
Dan inilah yang kau sebut dengan kebahagiaan. Kita tidak butuh sesuatu seperti pernikahan, yeah!
Kedua orangtua, harus pergi dari rumah sejak pagi sekali karena pekerjaan. Mereka benar-benar sibuk. Serius, mereka benar-benar terlihat seperti kumpulan orang-orang yang dipenuhi banyak sekali masalah. Tapi aku bersyukur, karena merekalah aku bisa belajar bagaimana cara mengisi keseharianku.
Kebetulan, rencanaku adalah menjadi suami rumahan, tapi dengan tren menurunnya angka pernikahan, itu membuat impianku menjadi agak sulit untuk diwujudkan. Belum lagi, angka perceraian yang mulai meningkat belakangan ini.
Mungkin, gaya hidup impianku itu akan sulit terjadi jika melihat bagaimana sikap masyarakat di jaman ini. Lagipula, sejak dulu kala, memangnya ada jaman dimana gaya hidupku akan cocok? Mungkinkah jaman Heian?
Dengan anggapan kalau aku tidak akan bisa menikah, maka aku berharap kalau kedua orangtuaku bisa bekerja lebih keras lagi. Ini mungkin hanya anggapanku saja, mereka bekerja keras demi mereka sendiri, bukan demi apa yang penting bagi mereka, yaitu untuk membuatku tetap bisa mengapung seperti ini.
Ambisi dari Hikigaya Hachiman yang seperti itulah yang mulai membakar dadaku, dan momen itu tepat bersamaan dengan Komachi yang membalikkan badannya di depanku. Sepertinya, dia sudah selesai membuat sarapan.
Komachi lalu membawa beberapa piring dari dapur.
"Maaf sudah menunggu~!"
"Tidak masalah."
Dia menaruh nampannya di meja dan Komachi duduk di seberangku. Menu hari ini adalah roti panggang, salad, telur dadar...dan kopi, huh? Menu ini agak berbau Amerika. Atau mungkin Nagoya. Tampak sangat lezat sekali.
Komachi mulai melakukan pekerjaan rumah setelah dia masuk SD, tapi belakangan ini, dia tampak sangat ahli sekali, terutama skill memasaknya yang sudah melampaui diriku dimana dia sudah mulai memasuki area yang akan menyebutnya sebagai Ibu Rumah Tangga.
Dari sudut pandang kedua orangtuaku, mereka mungkin akan tergugah hatinya ketika melihat anak-anak mereka mulai melampaui mereka. Akupun juga, aku merasa kalau aku akan melampaui ayahku sebagai bajingan di masa depan.
"Maaf sudah merepotkanmu."
"Onii-chan, kau berjanji untuk tidak mengatakan itu lagi, benar tidak?"
Setelah obrolan basa-basi yang biasa dilakukan oleh saudara selesai, kami berdoa. Mengatakan terima kasih kami kepada yang telah menyediakan makanan ini adalah hal yang penting. Aku mempelajari itu dalam "Silver Spoon". Juga, para budak perusahaan harusnya menerima Kansha Kangeki Ame Arashi. Kita bisa makan hari ini karena Ayah dan Ibu yang bekerja. Memakan makanan yang didapat tanpa harus bekerja memang enak sekali. Super enak.
Meski super enak, sayangnya, aku melihat salah satu makanan yang kubenci.
"Ah, aku benar-benar benci tomat, masa tidak tahu?"
Tidak peduli seberapa enak makanan gratis itu, ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah mau kuberi label enak. Komachi bahkan tidak mempedulikannya meski aku sudah menusuk-nusuk tomatnya dengan garpuku.
"Yep, karena itulah aku menaruhnya disitu."
Komachi mengatakan itu dengan santainya...Eh? Kenapa bisa menjadi begini? Bukankah ini aneh?
Bukannya kau diajari oleh orangtua kita untuk tidak melakukan apa yang orang lain tidak sukai...? Ngomong-ngomong, aku sendiri tidak diajari itu. Begitulah orangtua kami. Selalu memakai gaya "lihat dan ingat baik-baik". Kenapa tidak ada training yang profesional kepada para pendatang baru?
Ini adalah momen dimana aku harus memberitahu dengan jelas kepada adikku tentang apa yang mengganggu kakaknya.
"Bukan, begini...Komachi-chan?"
"Onii-chan sendiri punya banyak sekali hal yang disukai dan dibenci. Entah itu orang ataupun makanan."
Komachi memakan telur dadarnya dan menjawabku.
Okelah, kalau kau mengatakan sesuatu yang seperti itu, maka aku akan mengatakan sesuatu juga. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengajarimu kebenaran tentang dunia ini. Akupun mengambil cangkir kopiku, meminumnya, dan memasang ekspresi bangga.
"Sebenarnya itu bukan hal yang buruk. Jika kau memaksakan sesuatu dengan sesuatu yang tidak kau sukai, maka semua orang yang terlibat akan berakhir dengan hal yang menyedihkan."
"Haa...Aku mulai merasa kalau Onii-chan akan sulit menikah nantinya."
Komachi mengembuskan napasnya sambil menggerutu "Ya ampun, idiot sekali". Ada apa dengan sikapmu itu, huh? Aku ini tidak mengatakan sesuatu yang salah, benar tidak? Ngomong-ngomong, aku sendiri sadar kalau aku sendiri akan hampir mustahil untuk bisa menikah, jadi bisakah kau tidak membahasnya lagi? Karena demi menghindari itu, Onii-chan saat ini harus mengulang-ulang di kepala Onii-chan setiap harinya kalau aku berkomitmen untuk menjadi suami rumahan, sehingga pada akhirnya itu akan menjadi sebuah komitmen yang berada di alam bawah sadarku.
Lagipula sejak awal, aku adalah tipe pria yang tidak suka 'demi menikah, maka aku akan menjadi sesuatu yang bukan diriku'.
Menipu dirimu sendiri bukanlah sesuatu yang harusnya kau lakukan, karena setiap orang memiliki opini yang berbeda-beda.
Tergantung situasi yang membelitmu juga, bisa saja kau tidak bisa menyangkal hal itu. Kalau menikah itu artinya kau harus mengalah dan memaksa dirimu untuk bersama dengan orang lain, maka itu tidak akan memberimu kebahagiaan.
Setelah berpikir ini dan itu, aku memakan telur dadarku. Yep, ternyata enak sekali.
"Ada kecap disana."
Ya ampun, memangnya kalau ada telur dadar, maka pelengkapnya harus kecap? Ataukah ada yang lain? Ataukah kau lebih suka mayones? Seorang mayo loover? Ataukah Shinoraaaa? Gadis ini benar-benar super santai, huh?
Ketika aku merasa ini sangat nostalgia ketika Komachi lebih baik untuk tidak mengetahui sesuatunya, kutegakkan kepalaku dan ternyata wajah Komachi sudah ada di depanku.
Setelah Komachi menatap wajahku, dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menyentuh pipiku dengan ujung jarinya.
Apaan...? Atau begitulah pikirku, tapi ternyata ada kecap di wajahku. Ngomong-ngomong, wajahmu terlalu dekat, sungguh mengganggu, dan memalukan. Sikapmu itu seperti sikap seorang istri yang dapat membuatku malu, jadi hentikan itu. Akupun menatapnya dengan memasang ekspresi kesal, tapi dia tidak sedikitpun peduli, malah dia hanya tersenyum licik di depanku.
"Barusan itu jelas-jelas memberikan Komachi poin yang banyak."
"Kalau kata-katamu barusan itu tidak kau katakan, bisa saja."
Akupun memakan saladku setelah menjawabnya.
Dia benar-benar bukan adik yang manis...Jika dia tidak menambah-nambahi dengan kata-kata semacam tadi, dia akan sangat manis. Entah mengapa aku hanya bisa tersenyum kecut meresponnya. Tapi karena senyum yang kecut itu, bahkan tomat di piringku ini mulai terasa kecut juga...
Well, beginilah hal baik dan buruk dari Komachi. Komachi sangat memahamiku. Kalau boleh kukatakan, keluarga sendiri memang terasa sangat nyaman.
Begitulah, kurasa tidak ada lagi yang bisa kukatakan. Meski kau tidak menikah, selama kau punya adik perempuan, bukankah itu sudah cukup? Kalau ada perusahaan yang hendak menjual kaset lagu yang disertakan dengan paket pembelian barang tertentu, maka mereka tinggal menyertakan adik perempuan dalam paketnya. Penjualan mereka pasti akan meroket.
x Side A Part 1 | END x
Keinginan Hachiman menjadi suami rumahan akan stop di vol 10.5 chapter 1. Hachiman memutuskan untuk kembali ke masyarakat setelah lulus kuliah, artinya Hachiman memutuskan untuk bekerja. Pemicunya berawal dari sikap Yukino yang mengubah masa depannya yang awalnya ingin menjadi Ibu Rumah Tangga. Tentu mudah sekali untuk ditebak kalau suaminya kelak adalah seorang bajingan, alias pria yang tidak mau bekerja.
Menariknya, ini menjawab was-was Komachi yang khawatir Hachiman tidak akan bisa menikah.
...
Monolog Hachiman tentang tempat untuk mengatakan "Aku pulang" , ada di kesimpulan akhir vol 7.5 side B.
Hachiman menginginkan untuk punya tempat dimana dia bisa pulang.
Wajah anak yang tertidur itu sebenarnya clue dari Watari tentang kejadian di volume-volume sebelumnya. Apakah pembaca tahu? Benar sekali, itu adalah adegan di volume 1 chapter 2, dimana Hachiman ke Klub relawan dan melihat wajah Yukino yang tertidur pulas. Hachiman memilih untuk tidak membangunkannya.
Ini bersambung ke monolog Hachiman di vol 9 chapter 9, setelah rapat Kaihin-Sobu. Hachiman mengingat kembali bagaimana kesehariannya bersama Yukino, dimana mereka berdua akan saling melengkapi dan bahu-membahu.
...
Memaksakan sesuatu dengan hal yang tidak kau sukai, maka semua orang yang terlibat akan berakhir dengan tidak menyenangkan...
Itu sebenarnya garis besar kisah Hachiman di Oregairu. Hachiman harusnya menolak Yui lagi di vol 5 chapter 6, namun berbuntut panjang karena Hachiman memilih untuk menggantungnya. Harusnya, nasib Yui sudah diputuskan di vol 3 chapter 6. Sikap win-win Hachiman ini merembet ke Ebina dan Iroha di volume-volume setelahnya.
Namun, Yui mengetahui faktanya setelah mengintip adegan UKS di vol 10 chapter 7 dan adegan setelah menonton Penguin, vol 11 chapter 8.
...
Buat yang belum tahu, ayah Hachiman ini punya posisi lemah di keluarga. Selain pernah ditipu jasa kredit, juga pernah ditipu oleh seorang wanita di pameran lukisan.
Cukup membamtu untuk menghabiskan waktu👍
BalasHapusini ternyata tidak ada di pdf ya... untung saja saya balik baca ke blog ini karena kangen
BalasHapus