x x x
Aku benar-benar tidak tahu apapun soal buku.
Ini adalah sesuatu yang aku sendiri sadari dengan baik. Bukan juga sesuatu yang
aku sendiri banggakan. Tapi jujur saja, begitulah kondisiku saat ini.
Cerita ini bermula ketika sebuah fax tiba
tepat ketika hari mulai beranjak sore. Si Pemilik Toko, Shinokawa, sedang pergi
ke rumah untuk makan siang, dan aku ditinggal sendirian olehnya di toko ini.
Kumanfaatkan datangnya fax itu untuk
beristirahat sejenak dari menempelkan harga-harga terbaru bagi buku diskonan yang berada di trolly. Ketika
mesin fax tersebut memunculkan pesannya, akupun mendatangi mesin itu.
Aku sedang mencari buku tulisan Kunieda
Shirou, satu set koleksi lengkap dari bukunya yang berjudul Ivy Wood
Crosspiece, dicetak oleh Tougen Publishing. Nanti akan kutelepon untuk
menanyakan kabar buku tersebut.
Sepertinya, itu adalah
permintaan tentang koleksi buku dari toko ini. Memang, selama ini kita menerima
fax ataupun telepon dari pelanggan yang mencari buku-buku tertentu. Meski akan
terasa sangat efisien jika mencarinya lewat katalog buku ataupun website toko
ini, banyak pelanggan-pelanggan tua yang tidak menggunakan telepon ataupun
komputer.
Kulihat kertas fax itu lagi, lalu kudekatkan
wajahku untuk membacanya sekali lagi. Tulisan tangan yang tidak jelas dan tidak
teratur ini bukanlah satu-satunya alasan aku kesulitan untuk membaca fax ini.
Tougen
adalah nama perusahaan penerbitannya, dan Kunieda Shirou adalah nama
penulisnya. Sedang judulnya sendiri, benar-benar misterius bagiku.
“Satu set lengkap...Ivy...Crosspiece...?”
Aku tidak paham. Judulnya terdengar tidak
masuk akal, tidak peduli bagaimana caraku mengejanya. Kutatap pintu yang menuju
ke arah rumah Si Pemilik Toko. Shinokawa pasti tahu apa maksudnya jika aku
bertanya kepadanya.
Telepon toko tiba-tiba berbunyi ketika aku
menaruh tanganku di gagang pintu. Sambil memegang kertas fax tersebut, aku
mengangkat telepon itu dengan tanganku yang satunya.
“Terima kasih sudah menelepon Toko Buku Antik
Biblia, anda sedang berbicara deng – “
“ – Soal fax yang kukirimkan beberapa saat
lalu.”
Suara dari seorang laki-laki di telepon
langsung memotongku. Suaranya yang ramah tersebut memiliki logat Kansai. Dia
bilang beberapa saat lalu, tapi ini
belum satu menit sejak fax itu tiba.
“Apa kalian memilikinya? Koleksi buku tulisan
Kunieda Shirou.”
Dia terus menekanku, seolah-olah sedang
terburu-buru untuk mendapatkan jawabannya.
Aku akan sangat senang jika dia memberikan
keterangan-keterangan yang lebih detail tentang buku itu, tapi tampaknya dia
ini tidak punya rencana lain selain menunggu jawabanku.
“Saya akan memeriksanya dulu. Apa anda tidak
keberatan untuk menunggu sebentar?”
Kuhentikan jariku ketika hendak menekan
tombol Hold di telepon. Aku memang
bilang kalau akan memeriksanya dahulu, tapi bagaimana aku bisa mencarinya jika
aku tidak tahu jenis buku apa yang dia inginkan?
“Err...Apakah buku ini...Novel?”
“Tentu sajalah. Masa
kau tidak tahu?”
Akupun mulai menelan ludahku, dan rasa gugup
ini mulai menyelimuti tubuhku. Aku tidak boleh berbohong kepadanya.
“Saya memang tidak tahu soal itu. Mohon
maaf.”
Lalu kudengar suara-suara kecil di ujung
telepon. Entah apa dia terkejut mendengar responku, ataukah dia sedang berusaha
menahan tawanya.
“Apa cuma ada kamu di toko pada saat ini?”
“Benar sekali.”
“Ah, begitu ya. Kau ini masih amatir ya,
benar tidak?”
Dia tiba-tiba menutup teleponnya, membiarkan
teleponku menggantung begitu saja. Tanpa kusadari, punggungku mulai berkeringat
dingin.
Pelanggan
yang benar-benar marah tidak akan mau menerima permintaan maaf. Jangan pernah
lupakan itu.
Nasehat dari almarhumah Nenekku muncul secara
tiba-tiba di pikiranku. Itu adalah sebuah nasehat dari orang yang menjalankan
usaha restoran selama berpuluh-puluh tahun di Ofune, tapi benar-benar menjadi
nasehat yang sempurna dalam situasi ini.
Aku telah membuat seorang pelanggan marah.
Karyawan toko buku yang macam apa, menanyakan hal-hal semacam itu kepada
pelanggannya?
“Apa terjadi sesuatu?”
Seorang wanita berambut hitam dan panjang
tibat-tiba muncul di sebelahku, melihat ekspresi wajahku dari balik
kacamatanya. Dia adalah Si Pemilik Toko, Shinokawa. Aku tidak sadar kalau dia
sudah kembali dari rumah.
“Apa ada telepon dari seseorang?”
“Ya, dia menanyakan tentang koleksi buku
kita. Dia mengirim fax terlebih dahulu sebelum menelpon, tapi...”
Memberitahunya mengenai apa yang terjadi
benar-benar membuat hatiku menjadi berat, tapi aku memberinya kertas fax
tersebut. Ekspresinya tiba-tiba berubah menjadi antusias.
“Oh, ini buku ini sebenarnya memiliki judul
asli ‘Jembatan Ivy di Kiso’. Dicetak
oleh Tougen Publishing.”
“I-Ivy...?”
“Itu adalah nama jembatan gantung di Kiso.
Ceritanya sendiri memang sangat menarik. Itu adalah novel legenda yang terbit
di jaman Taisho, bercerita tentang dua orang bersaudara yang melakukan
perjalanan untuk membalas dendam kepada Tuan Tanah di Kiso yang telah membunuh kedua
orangtua mereka. Aku pernah membacanya ketika muda dulu...Ngomong-ngomong,
karakter utamanya...”
“Tu-Tunggu dulu.”
Akupun menyadarkan diriku sebelum tersedot
oleh ceritanya itu. Jujur saja, aku benar-benar ingin mendengar cerita itu,
tapi memberitahunya tentang apa yang terjadi barusan adalah hal prioritas untuk
saat ini.
“Sebenarnya, pesanannya itu sudah dia
batalkan. Itu karena salahku, aku melakukan sesuatu yang salah ketika berbicara
dengan pelanggan.”
Akupun menjelaskannya secara singkat, dan
tidak mencari-cari alasan pembenaran. Dia mendengarkan hingga akhir, dan
menganggukkan kepalanya, lalu dia dia bersandar di kruk yang ada di tangan
kanannya. Lalu, dia menatap kembali kertas fax yang berada di tangannya.
“Dan nomor pengirim di fax itu juga tidak
ditampilkan...”
Dia mengatakan itu dengan ekspresi agak
menyesal. Sederhananya, kita tidak bisa menelpon orang itu kembali hanya untuk
sekedar meminta maaf. Kejadian ini memang sungguh disayangkan, karena kita
memang memiliki buku itu disini.
“Maafkan aku.”
Kurendahkan kepalaku untuk meminta maaf.
Rasa penyesalanku ini pasti terlihat jelas di
wajahku, karena dia tiba-tiba menepuk kedua tangannya dan berusaha untuk
memberiku semangat.
“Ti-Tidak apa-apa...Begini, kau kan baru bekerja disini, jadi tidak
masalah jika kau tidak tahu tentang semuanya. Kau mungkin merasa tidak berguna
untuk saat ini, tapi pengalaman-pengalaman itu akan membuatmu lebih baik ke
depannya.”
“....”
Aku tahu, aku ini benar-benar tidak berguna.
Mendengar itu secara langsung malah membuatku bertambah depresi saja.
Aku – amatir yang tidak berguna, Daisuke
Goura – mulai bekerja disini ketika Shinokawa sedang dirawat di rumah sakit
karena cedera kaki. Aku, berkenalan dengannya karena meminta bantuannya untuk
memberikan penilaian tentang Koleksi
Lengkap Souseki yang diwariskan oleh Nenekku.
Selain pengetahuannya tentang buku-buku,
Shinokawa juga punya kemampuan spesial. Dia bisa memecahkan misteri-misteri
yang berada di sekeliling buku-buku itu, hanya dengan petunjuk yang sedikit dan
cerita-cerita orang yang dia dengar. Rahasia dibalik Koleksi Lengkap Souseki yang diwariskan Nenekku itu bisa dia ungkap
begitu saja.
Shinokawa adalah orang yang memintaku untuk
bekerja di toko. Waktu itu aku masih pengangguran, dengan kelebihan fisik
sebagai satu-satunya keunggulanku. Meski aku tidak bisa membaca buku, aku masih
memiliki minat kepada buku. Aku tidak punya alasan untuk menolak tawaran dari
seorang wanita cantik yang suka membicarakan tentang buku.
Dan begitulah, akhirnya aku menjadi karyawan
di Toko Buku Antik Biblia, dan bisa melihat kemampuan Shinokawa yang luar biasa
dalam memecahkan berbagai misteri dibalik buku-buku tua tersebut. Tapi, insiden
yang diakibatkan oleh buku bajakan dari karya Osamu Dazai, Belakangan Ini, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari
pekerjaan ini.
Shinokawa akhirnya bisa lolos dari maniak
buku tua, baik hidupnya dan buku tersebut bisa terselamatkan. Tapi, metode yang
dia gunakan itu mengorbankan kepercayaan diantara kami berdua. Itu adalah
sesuatu yang tidak bisa kuterima begitu saja.
Setelah dia keluar dari rumah sakit, dia
mendatangi diriku dimana aku sendiri waktu itu sedang mencari lowongan pekerjaan.
Dia memberiku edisi perdana dari Belakangan
Ini yang di anggap sebagai sesuatu yang paling berharga darinya, untuk
memperbaiki hubungan kita.
Aku tidak menerima buku itu, malah aku hanya
memintanya untuk menceritakan dengan detail cerita dari buku Belakangan Ini tersebut. Begitulah,
akhirnya kami berdamai. Setelah dia selesai menceritakan itu, ditemani oleh
cahaya matahari senja, dia tiba-tiba
memasang wajah yang serius dan membetulkan posisi duduknya.
“Aku...Um...Kalau...Kau...”
Dia mengatakan sesuatu yang aneh.
Aku mempersiapkan diriku dengan apa yang akan dia katakan selanjutnya.
“...Kembali lagi...Ke toko...”
Sepertinya, dia memintaku untuk bekerja kembali di toko. Wajahnya
memerah dan ekspresi manisnya ini memang benar-benar membuatku terpesona.
“...Ka-Karena...”
Mendengarkannya berbicara memang membuat hatiku tergerak. Membuatku
untuk mempertimbangkan kembali tawarannya, tapi ada hal lain yang membuat
situasiku saat ini menjadi sulit.
Aku merasa kalau interview yang kulakukan tempo hari akan memberiku
kabar yang baik, sehingga aku sangat kesulitan untuk menerima tawarannya. Juga,
mungkin dia juga merasa kesulitan untuk memintaku meninggalkan semua ‘pencarian
lowongan pekerjaan’ ini ketika aku berbincang dengannya saat ini, masih memakai
setelan jas untuk interview.
Pada akhirnya, aku putuskan untuk memberikan jawabannya di lain
kesempatan.
“Bolehkah jika aku memberikan jawabanku dalam beberapa hari lagi?”
“Ah, ba-baiklah.”
Percakapan kami berakhir disana.
Setelah melihatnya pulanng ke Kita-Kamakura menggunakan taksi, tawarannya
barusan mulai menghantui pikiranku. Apakah aku akan terus melanjutkan pencarianku
akan pekerjaan yang layak untukku? Ataukah aku terima saja tawarannya untuk
bekerja paruh waktu dimana bossku adalah pemilik toko buku antik yang cantik
dan eksentrik?
Ternyata, jawabannya tersaji dengan mudahnya. Beberapa hari kemudian,
ada pemberitahuan dari Perusahaan Makanan yang kudatangi untuk interview itu,
dan memberitahuku kalau aku tidak diterima oleh mereka. Mereka menyebut kalau
harga-harga sekarang sedang membumbung tinggi, kondisi keuangan yang sedang
ketat, dan juga banyaknya pelamar untuk posisi yang bisa dihitung jari, adalah
alasan mengapa mereka tidak bisa menerimaku. Ada juga tambahan kalau mereka
berharap masa depanku kelak akan lebik baik dari sekarang ini.
Akupun mencoba mencari-cari informasi mengenai perusahaan itu di intenet
dan menemukan fakta kalau banyak sekali pelamar pekerjaan ke perusahaan mereka
yang merasa yakin setelah interview dengan mereka, akan merasa kalau mereka
akan menerimanya. Aku ternyata salah satu dari orang-orang ini.
Shinokawa lalu menelponku ketika aku masih dihinggapi depresi karena
tidak mendapatkan pekerjaan itu. Dia tidak punya satupun alasan untuk
menelponku, tapi dia benar-benar berusaha menepati janjinya untuk tetap
menghubungiku. Kuberitahu kepadanya tentang apa yang terjadi dengan interview
yang tempo hari, setelah itu aku bertanya kepadanya apakah tawaran pekerjaan
untuk bekerja di tokonya tempo hari masih terbuka atau tidak.
“Te-Tentu
saja masih! Aku berharap bisa bekerja bersama denganmu lagi.”
Dia terlihat terkejut dan terasa antusias ketika mengatakannya.
Dan akhirnya, aku kembali lagi ke tempat dimana
diriku seharusnya berada.
x x x
“..Berikutnya, bisakah kau taruh buku-buku
ini di sana? Di deretan nomor dua rak buku itu.”
Suaranya terdengar olehku.
“Ah, oke.”
Kuambil tumpukan buku yang berada di kasir
itu dan membawanya ke rak yang dia tunjuk, rak yang berada dekat pintu masuk.
Rak buku ini adalah rak buku untuk buku tentang sejarah Jepang, dan banyak
sekali tempat kosong di rak ini. Kutaruh buku-buku yang bersampul gelap ini di
raknya.
Shinokawa setiap harinya membuatku sibuk
dengan mengatur ulang posisi buku di toko setelah aku bekerja kembali di toko.
Biasanya, toko buku akan mengisi kekosongan di rak dengan buku-buku yang belum
pernah dipajang sama sekali. Meski toko kami ini memiliki banyak sekali
pelanggan tetap, tidak akan ada yang mau datang ke toko jika susunan buku di
raknya hanya itu-itu saja.
Mungkin semua buku yang ada di rak ini adalah
buku-buku tua, tapi bukan berarti kita bisa terus-terusan menaruh buku yang
sama di etalase toko. Kalau dipikir-pikir lagi, ini cukup masuk akal.
Para pelanggan yang datang ke toko dan
membawa bukunya mulai ramai setelah Shinokawa kembali dari rumah sakit. Untuk
sementara ini, kami hanya bisa membeli buku jika si pelanggan membawa bukunya
ke toko, tapi kami memiliki rencana untuk mengaktifkan lagi program “mendatangi
pelanggan” untuk membeli buku mereka langsung di rumah si pemilik buku
tersebut.
Shinokawa sendiri, sedang berada di depan
komputernya untuk mengatur pemesanan lewat website sambil memberikan instruksi
kepadaku. Belakangan ini, dia mengupdate katalog buku dengan koleksi-koleksi
baru toko kami.
Suasana toko ini sangat berbeda ketika aku
bekerja sendirian. Ini karena kemunculan si pemilik toko.
Tapi, masih ada saja masalah yang tidak
hilang-hilang dengan kehadirannya disini.
“Shinokawa, aku harus menaruh buku ini
dimana?”
Kubalikkan badanku ke arahnya dan memegang
buku karya Nawa Yumio yang berjudul Ensiklopedia
Jutte, Teknik Untuk Menangkap. Dia sendiri tersembunyi dibalik tumpukan
buku yang ada di kasir, jadi yang terlihat darinya hanyalah sedikit bagian dari
tubuhnya saja.
“Tolong taruh di tingkat ketiga rak yang
sebelah sana, di samping buku Sistem
Sosial di Edo.”
Shinokawa menjawabku dan kembali lagi fokus
dengan pekerjaannya. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun dari buku yang
dibacanya.
Biasanya, kebiasannya itu tidak menghambatnya
untuk melakukan pelayanan kepada pelanggan, meskipun dia kadang agak ketus
ketika menanyakan nomor KTP pelanggan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
harusnya dilakukan karyawan toko buku. Tapi kalau berbicara soal buku, dia
tiba-tiba berubah menjadi seorang penceramah.
Perubahan sikapnya itulah yang biasanya
membuat para pelanggan kaget, dan mereka sering mencari-cari alasan untuk
secepatnya pergi dari toko.
Setiap kali ini terjadi, dia langsung kembali
membaca bukunya, dan memasang ekspresi kelelahan. Meski dia tidak mau mengakui
itu, skillnya dalam menghadapi pelanggan ternyata tidak bagus-bagus amat. Sebenarnya, akar masalahnya bukan di skillnya,
tapi di sifatnya – dia memang tidak benar-benar cocok untuk hal itu.
Aku biasanya melakukan pekerjaan yang tidak
membutuhkan banyak sekali pengetahuan, misalnya mencatat pembayaran dari
pelanggan. Untuk sementara, bagi seorang amatir, inilah yang bisa kulakukan.
“Sudah hampir masuk jam tutup toko, benar
tidak?”
Shinokawa mengatakan itu dari balik tumpukan
buku di kasir. Dia menatap ke arah jendela dan melihat sinar matahari senja
yang memantul di aspal jalanan. Tanpa sadar, ternyata hari sudah menjelang
petang.
“Kebetulan, aku juga selesai dengan yang
disini. Mau kuhitungkan data-data yang masuk hari ini?”
“Ya, kalau boleh.”
Ketika aku berjalan menuju kasir, sesuatu
menarik perhatian kedua mataku. Itu adalah bagian rak untuk novel jaman dulu
dan novel detektif, dan Jembatan Ivy di
Kiso berada tepat di sebelah Koleksi
Karya Edogawa Ranpo.
Seperti seolah-olah diluar kuasaku, aku mengambil
buku itu dari raknya dan membuka halaman pertama. Tiba-tiba bulu kudukku
berdiri, tapi itu karena kondisi
spesialku, bukan karena isi buku tersebut. Dengan cepat, mataku mulai
membaca beberapa kalimat. Sepertinya, suasana novel ini terjadi ketika jaman
peperangan dulu.
Ada dua pria sedang menggosipkan tentang
seorang PSK yang paling cantik.
“Mustahil,
bagaimana jika ada roh jahat yang merasuki wanita itu…?”
“Roh jahat? Apa maksudmu dengan kerasukan?”
“Kau tidak tahu?”
“Ini hanya gossip yang kudengar saja, katanya si Niodori itu dikelilingi
oleh semacam kutukan.”
“Huh, ini pertamakalinya aku mendengar soal itu.”
“Katanya, dia itu pergi dari dunia ini ke dunia arwah setiap malam tiba.
Dengan kata lain, dia seperti mati. Dan tidak lama kemudian, dia hidup lagi!”
Sepertinya, Niodori adalah nama si PSK itu. Apa
maksud mereka ketika mereka mengatakan kalau wanita ini hidup lagi setelah
mati? Meski aku sendiri penasaran dan ingin membacanya sedikit, tapi aku masih
punya pekerjaan disini, jadi aku menaruh buku itu kembali.
Kata Shinokawa, dia membaca buku itu semasa
muda dulu. Tapi, kupikir buku ini dibaca oleh kalangan orang dewasa. Juga,
banyak sekali huruf-huruf kanji yang kompleks. Kira-kira, apa dia tahu buku ini
menceritakan apa?
“Pasti kau akan berpikir kalau wanita ini ternyata sudah membaca buku-buku
sulit sejak muda, huh?”
Shinokawa tiba-tiba menegakkan kepalanya dari
buku yang dia baca. Kutunjukkan kepadanya sampul dari Jambatan Ivy di Kiso. Dia lalu tersenyum malu-malu dan kembali
menatap buku yang dia baca.
“…Aku waktu itu bisa belajar kanji dengan
cepat.”
Aku hanya bisa mendengar suaranya saja.
“Aku suka membaca manga dan buku anak-anak,
aku juga tertarik dengan buku bacaan orang dewasa. Dan…Aku biasanya memakai
uang saku bulananku untuk ke Toko Buku Shimano dengan sepedaku, dan menatap
keseluruhan rak buku disana; satu persatu. Kubeli Jembatan Ivy di Kiso itu sekitar waktu itu karena mereka
menerbitkan ulang buku itu dengan edisi yang bersampul tipis.”
“Shimano katamu; Apakah itu artinya kau dulu
sampai pergi sejauh itu ke Ofune?”
Ada Toko Buku Shimano di area perbelanjaan
yang terletak di Stasiun Ofune, dimana aku dibesarkan waktu kecil dulu.
Mungkin, kita dulu pernah bertemu secara sekilas ketika kita masih kecil.
“Tidak juga. Aku pergi ke kedua toko itu,
toko yang cabang Ofune dan cabang Kita-Kamakura, karena kedua toko itu menjual
buku-buku dari penerbitan yang berbeda.”
“Huh?”
Kita-Kamakura, tempat dimana aku berada saat
ini, berada diantara Stasiun Ofune dan Kamakura. Meski kau ini orang dewasa,
pulang-pergi antara dua stasiun itu adalah hal yang sulit. Belum lagi jalannya
yang menanjak. Aku mencoba membayangkan adegan Shinokawa yang masih SD naik
sepeda menuju salah satu toko buku tersebut, tapi aku sangat sulit untuk
membayangkannya.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak tahu
banyak tentangnya.
Dia lahir dan dibesarkan di daerah sekitar
sini, mewarisi Toko Buku Antik yang ditinggalkan oleh Ayahnya setahun lalu, dan
dia sangat menyukai buku – dan selanjutnya, aku tidak tahu apapun tentangnya.
“Shinokawa, apa saja yang kau…” kataku, tapi
kata-kataku tadi dipotong.
Pintu kaca toko ini terbuka, dan seorang
gadis berambut pendek yang tinggi masuk ke toko. Dia memasang ekspresi yang
kaku. Blus lengan pendek dan rok abu-abu yang dia pakai itu, melambangkan
sebuah SMA yang berada di tengah perjalanan menuju gunung di dekat sini. Itu
adalah SMA dimana aku bersekolah dulu.
“Yo.”
“Halo.”
Nao Kosuga sedikit menundukkan kepalanya dan
melihat-lihat ke sekeliling toko. Sikap dan ekspresi wajahnya ini memang
mengesankan kalau dia ini adalah gadis tomboy.
“Apa yang punya toko ini ada disini?”
“Eh? Err…”
“Bukan begitu, tidak apa-apa kalau orangnya
tidak ada…Salahku juga karena tidak menelpon dan bertanya dahulu.”
Sepertinya, dia langsung menyimpulkannya
begitu hanya dengan melihat situasi toko ini, sedang Shinokawa sendiri ‘tersembunyi’ dibalik tumpukan buku di kasir.
Aku terus menatap ke arah tumpukan buku
dimana ada Shinokawa di belakangnya dengan penuh tanda Tanya.
Aku baru menyadarinya, tapi gadis ini
benar-benar jarang tinggal lama-lama di toko ketika Shinokawa ada disini. Dia
ini sebenarnya seorang pencuri dalam kasus yang melibatkan kami di masa lalu,
tapi pada akhirnya, dia meminta maaf ke sang korban dan sang korban sendiri
memaafkannya, dimana itu sama saja dengan mengatakan kalau kasusnya sudah
selesai. Orang yang menyelesaikan kasus itu adalah Shinokawa.
Siswi SMA ini tidak bisa melupakan
keterkejutannya ketika Shinokawa mengungkap kalau dialah pelakunya. Setelah
itu, dia seperti merasa aneh jika bertemu Shinokawa lagi, mungkin karena dia
merasa kalau Shinokawa bisa membaca pikirannya. Shinokawa sendiri juga tahu,
kalau siswi SMA ini berusaha untuk menghindarinya.
Mungkin
sebenarnya, dia sengaja menyembunyikan dirinya dibalik tumpukan buku-buku itu
karena tidak ingin membuat situasinya bertambah aneh.
“Sebenarnya begini, aku kesini mau
mendiskusikan sesuatu denganmu, Goura.”
Dia lalu mendekatkan tubuhnya kepadaku
seperti kata-katanya yang akan dia katakan selanjutnya itu tidak ingin didengar
oleh orang lain.
“Diskusi, denganku?”
“Ya, tidak masalah kan?”
Entah kenapa dia bertanya seperti itu
kepadaku, tapi ini adalah keinginan pelanggan.
“Apa kau pernah baca A Clockwork Orange?”
“Tidak, belum pernah.”
Aku pernah mendengar judulnya, tapi aku sendiri
tidak tahu itu tentang apa. Kupikir, itu adalah judul dari film yang sudah tua.
Ternyata, ada juga buku yang judulnya seperti itu.
Tampaknya, jawabanku bukan jawaban yang dia
ingin dengar.
“Kupikir kau sudah membacanya. Bukannya kau
ini kerja di Toko Buku Antik?”
Kalau dia mengatakan itu, sepertinya dia
tidak tahu mengenai situasi diriku yang tidak bisa membaca buku. Dia pasti datang
kesini karena berpikir kalau aku bisa dia ajak untuk berdiskusi soal buku. Tapi
jika dia benar-benar ingin berdiskusi mengenai buku, maka orang yang paling
cocok untuk itu sedang bersembunyi di ruangan ini.
“Ya maaf saja,” kataku datar.
“Jangan khawatir. Ngomong-ngomong, ini hanya
suatu hal yang terlintas di pikiranku, tapi bisakah kalau kuminta kau untuk
membacanya nanti?”
“Sesuatu yang terlintas di pikiranmu?”
“Coba baca ini sebentar.”
Dia lalu mengambil lipatan kertas dari tas
sekolah yang bergantung di bahunya dan menyerahkannya kepadaku. Aku membuka
lipatan kertas itu dan membacanya.
Kalimat pertama tertulis, “Aku membaca karya Anthony Burgess, ‘A
Clockwork Orange’…” tertulis dalam sebuah tulisan tangan. Ini seperti
sebuah kertas laporan. Kalimat selanjutnya tertulis “Kelas 2-1, Kosuga Yui” dimana itu menandakan siapa penulis laporan
ini.
“Adikku yang menulis ini. Dia masih kelas 2
SMP, tapi dia itu anak yang pintar.”
“Jadi kau punya adik?”
Ini pertamakalinya aku mendengar hal ini.
Entah mengapa, dia selama ini memberikan kesan kalau dia adalah anak tunggal
dalam keluarganya.
“Aku ini tiga bersaudara di keluarga, kakakku
itu sedikit lebih tua usianya darimu.”
Ekspresinya tampak ceria ketika membicarakan
saudaranya. Dia jelas-jelas punya hubungan yang baik dengan mereka.
“Adikku menulis laporan ini sebagai PR
liburan musim panasnya…Tapi berakhir menjadi sumber perdebatan di rumah…”
x Chapter I Part 1 | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar