x x x
Dengan menyebarnya aroma kue coklat di udara, suasana di ruangan memasak ini terasa tenang dan damai.
Kemudian, orang yang cocok dengan image suasana tenang dan damai ini muncul.
Gadis kecil ini memiliki rambut hitam kebiruan yang dibelah dua, dan dibiarkan begitu saja hingga ke bahunya. Dia juga memakai celemek yang seukuran dengannya. Dia adalah gadis kecil yang kuyakini kelak, akan menjadi seorang gadis yang cantik. Ciri-ciri tampilannya itu mengingatkanku dengan seseorang.
Kawasaki Keika, adik dari Kawasesuatu.
Kawasaki harus ke tempat penitipan anak di TK Keika untuk menjemputnya, dan dia datang terlambat dengan membawa tas belanjaan. Dia sekarang sedang menyiapkan pakaian Keika, dan terlihat bernapas lega setelah menyelesaikannya. Lalu, dia mulai mengambil fotonya, mungkin untuk kenang-kenangan.
Celemek tersebut memang dibuat khusus agar sesuai dengan ukuran Keika; hiasan dan jahitan nama yang terdapat di celemek tersebut memang terlihat manis. Setelah mengambil beberapa foto dari keika, dia tampaknya mulai sadar kalau dia sendiri belum bersiap-siap.
"A, Aku, Aku akan bersiap-siap dulu disana..."
Dia melambaikan tangannya ke arahku untuk sekedar menyapa, dan mengatakan itu sambil membalikkan badannya.
Fumu. Meski aku sendiri tidak tahu kenapa dia harus pergi ke tempat lain untuk menyiapkan sesuatunya, para gadis memang punya cara-cara tersendiri untuk mempersiapkan sesuatu. Jika aku bertanya lebih jauh, itu hanya akan membuatnya marah. Komachi sendiri sudah membuktikan itu. Lagipula, ruangan yang ramai ini dipenuhi oleh banyak sekali peralatan memasak yang berbahaya, kurasa yang perlu dia khawatirkan hanyalah adiknya tersebut.
"Ah, tenang saja, aku akan menjaganya untukmu."
"Ya sudah kalau begitu, aku akan pergi dulu..."
Setelah mengatakan itu, Kawasaki mengangguk dan mulai pergi keluar dari ruangan memasak ini.
Setelah melihatnya pergi, aku lalu menatap ke arah Keika.
Keika sendiri kemungkinan besar sudah sangat lelah sepulang dari tempat penitipan anak, bisa juga dia kelelahan karena banyak sekali fotonya yang diambil oleh Kawasaki? Dia tampak sangat lelah, dan kedua matanya seperti hendak tertidur saja.
Tapi, setelah melihatku, dia mengedip-ngedipkan matanya dan membuka mulutnya.
"Ha-chan!"
Sepertinya, dia masih mengingatku, dia menunjuk ke arahku dengan sekuat tenaga.
"Oh, benar sekali, ini Ha-chan. Well, sebenarnya, namaku adalah Hachiman. Juga, jangan main tunjuk seperti itu. Itu bisa menusuk seseorang "
Aku lalu berlutut di sebelahnya dan mencolek pipinya. Mustahil, ini lembut sekali...
Aku terus mencoleknya, dan Keika mengeluarkan suara "Ou, ou" seperti seekor anjing laut yang kebingungan. ...Umu, hukumannya akan berakhir sebentar lagi. Dia harusnya sudah tidak mau lagi menunjuk jarinya ke wajah orang lain setelah ini.
Meski aku sendiri sudah menyelesaikan misiku, tapi pipinya yang lembut ini membuatku sulit untuk memerintahkan jariku pergi dari wajahnya. Uh-oh, ini buruk sekali, pipinya sangat lembut...Komachi dulu memang ada masa-masanya dimana pipinya selembut ini. Tidak, harusnya tetap lembut hingga saat ini...Sambil memikirkan itu, aku terus mencolek wajahnya. Keika masih memasang ekspresi kebingungan di wajahnya, tapi setelah mengatakan 'Oh', dia seperti baru saja memikirkan sesuatu.
"Ei."
Dengan sebuah shuuuu, dia mulai mencolek wajahku tanpa ragu.
"Ouch...Inilah mengapa kukatakan untuk tidak menunjuk wajah orang lain dengan jari-jarimu. Akan sangat berbahaya jika kena mata orang."
Sebagai hukuman, aku mulai mencoleknya lagi. Dia mungkin berpikir kalau ini adalah semacam game, dan sambil tertawa, dia mulai mencolek wajahku. Un...Sepertinya aku gagal untuk memberinya pelajaran.
Aku terus mencolek wajah keika, sambil memikirkan mengapa situasinya bisa menjadi seperti ini, tiba-tiba, sebuah suara yang dingin terdengar dari belakangku.
"...Hei, apa yang kau lakukan?"
"Eh, ini tidak seperti dugaanmu, serius ini, tidak ada apa-apa."
Kupalingkan wajahku ke arahnya, aku melihat Kawasaki yang sudah memakai celemek. Dengan sebuah mangkuk dan coklat yang dipotong-potong di tangan satunya, dia melihatku dengan tatapan mata yang menyedihkan. Dia lalu menarik napas yang dalam, seperti memiliki sesuatu yang sulit untuk diucapkan dalam kata-kata.
"Tahu tidak, meski kau sebenarnya sudah sangat membantuku dalam menjaganya, tapi ini, ini..."
"Tunggu dulu, jangan dilanjutkan lagi. Ini tidaklah seperti yang kau pikirkan."
Seorang pria dengan wajah yang terlihat berbahaya, sedang mencolek wajah seorang gadis yang manis...Kesan yang semacam itu saja sudah cukup untuk membuatku terlibat masalah hukum. Jika kejadian ini terjadi di luar sana, aku bisa melihat kalau insiden ini akan menimbulkan gosip ke para tetangga, sehingga Ibuku akan membuatnya sebagai bahan candaan "Bukankah ini memang sifatmu? Hahaha" dimana aku sendiri hanya bisa membalasnya dengan "O, ah"...Selain itu, tatapan Kawasaki yang seperti hendak mengatakan "Kupikir aku bisa mempercayaimu..." mulai menimbulkan perasaan bersalah di dadaku.
"Ini, begini..."
Aku langsung berdiri dan menaikkan kedua tanganku, seperti berusaha memberitahu kalau aku sendiri tidak punya niatan untuk menyangkal apapun, dan mulai mempertimbangkan baik-baik semua kata-kata yang akan kuucapkan selanjutnya. Entah mengapa, aku merasa ada yang memegangi kakiku. Ketika kulihat, ternyata Keika sedang memeluk pinggangku.
"Aku sedang bermain dengan Ha-chan~~"
"Umm, ya begitulah, semacam itu."
Meski aku sebenarnya memang ada niatan untuk bermain dengannya, tapi jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, mungkin lebih tepat jika dikatakan kalau ada seorang gadis kecil yang hendak bermain denganku. Meski pada akhirnya aku malah tertarik dengan pipi lembutnya, aku sendiri bisa meyakinkan diriku kalau alasanku tadi adalah benar.
Bisa merebut hati seorang pria ketika masih semuda ini, gadis kecil ini sangat menakutkan...
Well, tapi, menyimpulkan prospek masa depan dari gadis muda yang seperti ini tidaklah salah. Kenyataannya, semua orang yang melihatnya sekilas saja pasti tahu kalau adik dari Kawasaki Saki ini, secara umum, memang cantik. Masalahnya, kakaknya ini selalu memasang ekspresi seperti seorang berandalan atau preman. Tapi dia tiba-tiba mengubah ekspresinya itu secara drastis ketika melihat ke arah adiknya.
"...Begitukah?"
Melihat Keika yang meresponnya dengan ceria, Kawasaki tampaknya mempercayai begitu saja dan tersenyum. Lalu, Keika juga tersenyum dan memiringkan kepalanya sambil memelukku.
"Mau ikut bermain juga, Sa-chan?"
"Tidak, tidak terima kasih. Ok Kei-chan, ayo kesini."
Kawasaki mengambil Keika dariku dan memeluknya. Tidak, serius ini. Aku bahkan tidak berani sedikitpun untuk menyentuhnya jika kau segalak itu.
Tampaknya, aku bisa lolos dari masalah kali ini. Akupun bernapas lega. Berbeda denganku yang bisa bernapas lega, Kawasaki sendiri tampak sedikit cemas. Dia lalu menepuk kepala Keika, melihat-lihat ke seluruh penjuru ruang memasak disini, dan mulai berbicara.
"Apa tidak apa-apa membawanya kesini?"
Bukannya aku tidak paham apa yang dia khawatirkan. Lagipula, semua orang yang berada disini adalah siswa SMA, tidak lupa juga ada beberapa orang yang berasal dari SMA lain. Keika jelas-jelas akan menjadi pemandangan yang sangat tidak wajar di ruangan ini. Tapi, event ini sendiri bukanlah sebuah event resmi, jadi tidak memiliki aturan yang jelas untuk ditaati.
Aku melihat ke arah seberang meja terdekatku, dan melihat Haruno-san yang sedang berbicara dengan Meguri-senpai. Kalau orang itu ada di ruangan ini, kurasa kita tidak perlu mempermasalahkan lagi tentang syarat-syarat orang yang bisa menjadi peserta event ini.
"Kurasa tidak masalah. Banyak peserta disini yang bukan pelajar SMA juga."
Mendengarkan kata-kataku, Kawasaki menganggukkan kepalanya dan menerima kata-kataku. Well, kita juga harus ingat kalau salah satu alasan event ini ada karena request Kawasaki. Kalau dia sendiri merasa tidak nyaman disini, setidaknya diriku ini akan merasa bersalah, karena tidak bisa memenuhi requestnya secara maksimal...Sebenarnya, yang kulakukan dari tadi tidak termasuk dalam bagian requestnya, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya merasa nyaman di event ini.
Tepat ketika aku mencari-cari orang yang bisa meyakinkannya, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari belakangku.
"Oh, Kawasaki. Kau datang juga."
Suara ceria tersebut berasal dari Yuigahama, dengan Yukinoshita mengikutinya dari belakang.
"Aku sudah lama tidak melihat Keika lagi."
Sambil mengatakan itu, Yuigahama mulai menepuk kepala Keika. Baik dirinya dan Yukinoshita pernah bertemu Keika dalam Event Kolaborasi Natal, bisa dibilang kalau mereka berdua ini adalah kenalan Keika.
Tapi Yukinoshita tampak ragu untuk menyentuh kepalanya. Dia menjulurkan tangannya, lalu mengurungkan niatnya. Dia tampaknya khawatir apakah tidak apa-apa menepuk kepala Keika seperti itu. Konyol sekali.
Sambil memikirkan itu, tampaknya ada yang lebih konyol lagi darinya.
"Itu...Hari ini, aku tidak sabar untuk bisa bekerja bersama kalian..."
Kawasaki tampak kebingungan harus menyapa mereka seperti apa, dan pada akhirnya, dia hanya mengatakan kata-kata tersebut dengan malu-malu. Mungkin dia merasa kalau request dari adiknya itu sudah merepotkan banyak orang, dan mengikutinya, Keika yang sedari tadi melihat kakaknya itu, mulai membetulkan posisi berdirinya dan membungkuk.
"Mohon bimbingannya."
Dia mungkin mempelajari itu di tempat penitipan anak. Meski dia mengatakan itu dengan perlahan, dibandingkan dengan kakaknya, kurasa dia lebih mempesona, dan membuat suasana disini mulai cair.
Tidak hanya diriku, tapi Yuigahama juga terpesona oleh Keika dan mengatakan "Kya~". Mata dari Kawasaki mulai berkaca-kaca ketika melihat adiknya yang mulai tumbuh dewasa.
Karena itulah, Yukinoshita juga tersenyum ketika melihatnya. Dia lalu membetulkan roknya dan mulai duduk berjongkok di depannya, lalu menatap ke arah Keika secara langsung.
"Aku juga tidak sabar untuk bisa bekerja denganmu. Kalau begitu, kau mau membuat coklat yang seperti apa?"
Mendengarkan pertanyaan itu, Keika menaikkan kepalanya dan melihat ke arah Kawasaki, dan Kawasaki sendiri meresponnya dengan mengangguk.
"Kei-chan, kau mau coklat yang seperti apa?"
Mendengarkan pertanyaan itu, Keika tampak kebingungan, lalu dia tiba-tiba menjawabnya.
"Belut!"
"O, Be-Begitu ya..."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Begitu ya. Belut?
"Maaf, keluarga kami sebelumnya makan belut bersama-sama, dan dia benar-benar menyukainya."
Kawasaki merendahkan kepalanya, tampak malu-malu. Tapi, semua anak kecil memang seperti itu, ada kalanya mereka mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal sama sekali, dan di lain waktu mereka mengatakan hal apapun yang baru saja terlintas di kepala mereka tanpa memikirkannya baik-baik...Hal-hal semacam ini memang tidak bisa dihindarkan lagi.
Ketika aku memikirkannya, Nona Yukinoshita ini menaruh tangannya di dagu dan memikirkan itu dengan serius.
"Kalau begitu, bagaimana dengan Pie Belut? Kalau pienya sendiri, sangat mudah untuk membuatnya, tapi tentang belutnya sendiri, aku akan cari tahu dahulu..."
"Oh, memangnya bisa dibuat pie semacam itu?"
"Ya."
Yukinoshita menjawabnya dengan tegas. Gadis ini seperti tahu semuanya. Meski begitu, cukup aneh kalau pie-nya sendiri tidak dibuat dengan baik.
"Apa kau mau mencoba membuatnya?"
Wajah Kawasaki tampak memerah ketika mendengar pertanyaan dari Yukinoshita.
"Tidak, tidak perlu segitunya! Ajarkan saja membuat manisan coklat yang mudah untuk dibuat anak-anak..."
"Ya sudah kalau begitu, mungkin semacam coklat truffle...Aku akan menyiapkan bahan-bahannya dulu.
Setelah mengatakan itu, Yukinoshita berjalan menuju meja instruktur yang berada di depan ruang memasak ini.
Sambil menunggunya, aku melihat ke arah Keika, berpikir apakah aku harus menjaganya lagi atau bagaimana. Tapi tampaknya, tugas babysitter kali ini sudah diambil alih oleh Yuigahama.
Yuigahama juga duduk berjongkok di sebelahnya dan mengobrol dengan Keika.
"Soal belut tadi, aku tahu maksudmu. Aku ingin mencicipinya juga~"
"Belut enak sekali. Juga bisa dimakan bersama nasi dan saos."
"Benar kan? Belut juga rasanya lezat~"
"Un, nasi juga enak."
"Eh, nasi..."
Meski pembicaraan keduanya terasa berbeda, keduanya tampak bahagia. Kalau dipikir-pikir, akan muncul masalah besar jika Yuigahama mencoba membuat pie tersebut.
Tapi, kurasa tidak akan benar-benar gagal jika diawasi oleh Kawasaki dan Yukinoshita. Tampaknya diriku, yang bertugas sebagai pencicip rasa, masih harus menunggu agak lama untuk muncul di panggung ini.
Ya sudah, sebelum tugasku tiba, kurasa aku akan berkeliling sebentar. Seperti seekor beruang liar, aku mulai keluyuran di ruang memasak ini.
Haruno-san dan Meguri-senpai tampak sedang berbincang-bincang. Sementara para Pengurus OSIS dan mantan Pengurus OSIS periode lalu sibuk di meja masing-masing, mengerjakan berbagai macam pekerjaan, sedang Wakil Ketua dan Sekretaris-chan sedang asyik mengobrol dan tertawa sedari tadi.
Oi Wakil Ketua, lakukan pekerjaanmu dengan benar!
Pihak SMA Kaihin sedang memiliki DISCUSSION dimana Tamanawa menjadi pusat diskusi mereka. Melihat bagaimana mereka belum memulai kegiatan memasaknya, tampaknya mereka masih berada dalam proses BRAINSTORMING.
Ini artinya, meja yang tersisa untuk kukunjungi adalah meja Miura dan Isshiki. Miura melirik ke arah Isshiki, sementara Isshiki tampak memasang senyum yang licik. Hayama, yang terjebak diantara keduanya, berusaha agar bisa terus tersenyum.
Uh-huh...Tampaknya dia berada dalam masalah besar. Ketika kulihat ke arahnya, Hayama tampaknya menyadari kehadiranku ini.
Seperti melihat ada momentum, dia pergi dari meja Isshiki dan Miura, keluar dari grupnya, dan berjalan ke arahku. Lalu, dia duduk di sebelahku.
"Apa ada masalah?"
"Ah, tidak ada. Tidak ada masalah berarti..."
Aku sengaja membuat suaraku terdengar keras sehingga Hayama bisa mendengarkanku dengan jelas, tapi entah mengapa, aku berakhir dengan menatap kedua matanya. Mustahil ini! Ada apa ini?! Aku ini mirip seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta! Kalau begini terus, bisa-bisa aku akan membeli terompet...
Saat ini, mungkin aku sudah membuat seolah-olah Hayama ini adalah orang yang baik dan peduli dengan masalah di event ini. Tapi, kita berdua berbeda. Hayama Hayato tidaklah benar-benar pria yang baik, dan diriku sendiri, adalah seorang pria yang dipenuhi rasa kebencian.
Karena itulah, aku bisa memprediksi apa yang ingin Hayama lakukan.
"Bukankah harusnya kau punya sesuatu yang ingin kau katakan?"
Aku melihat ke arahnya dengan mata setengah terbuka, dia sendiri tidak berusaha untuk memalingkan pandangannya, mungkin lebih tepatnya, dia hanya tersenyum kecut dan mengatakan, "...Kau tahu saja."
Meski momen seperti ini terlihat langka baginya, mungkin karena aku sendiri pernah melihat sebuah senyuman yang cocok untuk menggambarkan bagaimana pemuda seumurannya.
Hayama membawa dua kaleng kopi yang dia pegang sedari tadi, lalu dia memberiku satu kaleng.
"Keberatan jika mengobrol sebentar denganku?...Ini untuk yang tempo hari."
Setelah dia mengatakan itu, aku tiba-tiba menyadari sesuatu. Kalau dipikir-pikir, dia mungkin merujuk ke situasi dimana kita berdua meminum kopi di sebuah taman yang remang-remang sebelum marathon dimulai. Waktu itu, aku mentraktirnya sekaleng kopi karena aku yang memintanya untuk ikut denganku agar bisa membicarakan sesuatu.
Pria ini baik sekali. Tapi sejujurnya, kopi ini bukan untuk membayar yang tempo hari, mungkin lebih tepatnya, sebuah alasan untuk bisa berbicara denganku. Aku tidak akan menganggap cara semacam ini kejam. Karena kita berdua ini seperti rekan, karena kita ini seperti teman seperjuangan, aku bisa memahami mengapa dia melakukan ini. Aku dan dirinya mungkin sama, yaitu kita membutuhkan alasan untuk bertindak. Untuk meyakinkan diri kita sendiri, juga agar bisa diterima oleh orang lain. Tidak peduli seberapa berbeda diri kita berdua, kita tetap mencari-cari alasan tersebut.
Sambil mengatakan 'Oh', aku menganggukkan kepalaku dan menerima kopi darinya. Merk kopinya tidak tertulis Max Coffee, tapi Black Coffee. Melihatku yang sedari tadi menatap ke arah merk kopi tersebut, Hayama memasang senyum yang kecut.
"Kau suka kopi yang manis?"
"Tidak juga."
Akupun, sebenarnya tidak ada minat untuk meminum sesuatu yang manis saat ini. Lagipula, aku masih harus mencicipi coklat setelah ini. Kubuka kaleng kopi tersebut, dan meminumnya.
Hayama melakukan hal yang serupa, dan dia tampak bernapas dengan lega.
Tidak ada satupun pembicaraan yang terjadi diantara kita, hanya suara dari kaleng kopi yang ditaruh di meja dan desahan yang keluar dari mulut kita. Suara-suara tersebut bisa dikatakan sebagai pengganti percakapan yang harusnya muncul dalam situasi ini.
Kalau melihat berat kaleng kopi yang sedang kupegang saat ini, kurasa sebentar lagi kopiku akan habis, lalu Hayama tiba-tiba mengatakan, "Meski begitu."
"Aku sudah memikirkan soal itu dengan baik-baik."
"Huh?"
Jawabanku terdengar serius, meski aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia bahas. Tapi, dia memasang senyum yang biasanya dipakai oleh Hayama Hayato yang dikenal oleh semua orang, lalu dia melanjutkan kata-katanya.
"Kalau seperti ini, maka semuanya...Semua orang bisa bersikap lebih natural dan seterusnya."
Sambil mengatakan itu, dia menatap ke seluruh penjuru ruangan ini. Melihat arah tatapannya tersebut, aku bisa merasakan kalau banyak sekali kegiatan yang terjadi di sekelilingku.
Miura yang sedang memperhatikan timbangan dengan serius, atau Isshiki yang sedang bersiul sambil menyalakan oven, atau wajah Yuigahama yang memerah disertai Yukinoshita yang memegangi kepalanya sambil melihat Yuigahama.
Setelah itu, Hayama kembali menatapku. Ekspresinya saat ini adalah ekspresi yang kukenal dengan baik, sebuah senyuman kecut dengan ekspresi yang penuh dengan rasa kesepian di dalamnya, karakter khas dari Hayama Hayato.
Semua orang yang Hayama baru saja katakan.
Kepada siapa kata-katanya itu dituju? Dan siapa saja yang dia masukkan ke dalam kategori semua orang? Kupikirkan itu dalam-dalam sambil memalingkan wajahku dari Hayama dan meminum kopiku.
"Kurasa tidak benar-benar seperti itu..."
Aku mengatakan itu, sambil berharap itu bisa menghilangkan rasa pahit yang mulai menghinggapi mulutku ini. Merespon kata-kataku, Hayama melihatku dengan tatapan kosongnya. Setelah itu, dia mengembuskan napasnya dan tersenyum.
"Memang. Terutama untuk Hikigaya. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak natural untuk berada disini."
Dia mengatakan itu sambil menatapku dengan ekspresi yang lebih dewasa. Mustahil tatapan seperti itu kukategorikan sebagai tatapan hangat, dan secara spontan aku mulai memalingkan wajahku lagi.
"Aku sudah begitu sejak lahir. Lagipula, aku ini warga kota yang beradab. Aku ini anak kota, jadi sudah jelas aku tidak hidup natural dengan alam, tahu tidak?"
"Aneh juga mendengar itu dari seseorang yang hidup di Chiba..."
Menanggapi jawabanku, Hayama menaikkan bahunya dan tertawa.
"Memangnya kenapa, apa kau meremehkan Chiba?"
"Tidak juga. Aku hanya mencoba becanda dengan menggunakan perasaan ala anak kota tadi."
Dia memberikan jawaban yang berisi sarkasme disertai senyuman. Apa yang dia remehkan sebenarnya bukan Chiba, tapi diriku? Meski begitu, untuk seseorang seperti Hayama-kun, bukankah ini terlalu kasar...?
Tidak, kurasa ini memang jalan hidup yang Hayama pilih. Aku membenci siapapun yang bercita-cita ingin menjadi seperti Hayama. Melawan seseorang yang sepertiku, orang yang tidak ingin seperti dirinya, Hayama sampai-sampai menjadi orang yang seperti ini.
Sambil memikirkan itu, Hayama tiba-tiba tersenyum kecil.
"Kau terlalu mempedulikan banyak hal."
Senyumnya saat ini, seperti memberitahuku kalau dia bisa melihat apa yang sedang kupikirkan, dimana itu saja sudah membuatku jijik kepadanya.
"Aku tidak peduli dengan siapapun. Malahan, aku tidak pelu dengan apapun."
"Tidak, kau sebenarnya peduli. Peduli dengan berbagai hal."
Setelah mengatakan itu, Hayama memalingkan pandangannya dariku, dia seperti melihat sesuatu yang berada di kejauhan.
Mengikuti arah tatapannya, tampaknya Tobe berhasil memakan coklat dari Ebina-san yang masih dalam proses pengerjaan. Dia tampak berisik sekali sambil mengatakan "Enak!", "Manisnya!", dan "Luar biasa!". Oh, ternyata dia memang berusaha keras untuk itu. Meski begitu, Ebina-san adalah tipe gadis yang berusaha untuk tidak menciptakan masalah dalam berbagai situasi. Orang-orang seperti dirinya, hanya akan membuka hatinya di situasi tertentu. Atau mungkin, mereka memang membentuk mental mereka agar terlihat seperti itu. Akupun, mulai tersenyum kecut ketika memikirkannya.
Melihat senyumanku, Hayama mulai mendesah.
"...Akan sangat luar biasa jika aku bisa terbiasa untuk bersikap seperti itu."
Mendengarkan kata-kata itu dari Hayama memang terdengar mengejutkan, dan tanpa kusadarki, aku mulai menoleh bolak-balik antara Tobe dan Hayama.
"Mustahillah, kupikir itu tidka mungkin..."
Yang kubutuhkan adalah mengatakan satu kalimat, "Karena itu Tobe," dan itu merupakan sebuah dasar argumen yang cukup untuk menghancurkan semua penyangkalan selanjutnya. Meski begitu, aku tidak bisa mengatakannya. Mungkin karena wajah kesepian Hayama tersebut mulai terlihat olehku.
Dari harusnya membuka mulutku, aku putuskan untuk membuka lebar-lebar mataku. Meski begitu, aku tetap melihat ke arah tatapan Hayama. Di depan kami, ada Tobe dan Ebina-san.
Dulu, aku menerima sebuah request dari mereka berdua, tentang darmawisata. Dan kemudian, aku menggunakan metode terburuk untuk menyelesaikannya. Meski mereka berdua terikat banyak sekali larangan-larangan, keduanya masih bisa bersama, tepat di depanku.
Aku sendiri sadar kalau mereka berdua saat ini, jelas-jelas mengingatkanku tentang orang lain.
Aku terus menatap ke arah mereka berdua ketika aku mendengar suara desahan dari sebelahku. Ketika kulihat, Hayama meminum habis kopinya dan menggoyang-goyangkan kalengnya seperti hendak memastikan kalau kalengnya benar-benar kosong. Lalu, dia berdiri dan bersiap-siap untuk membuang kaleng itu. Miura yang mungkin melihat adegan tersebut, mulai memanggilnya dengan nada yang manis.
"Hayato~~~~~~"
"Aku akan segera kesana."
Melihat Hayama yang memberi tanda ke Miura, aku mengatakan sesuatu yang baru saja terlintas di pikiranku.
"Tampaknya cukup merepotkan."
"...Sebenarnya tidak seperti itu."
Hayama mengatakan itu sambil menolehkan kepalanya ke arahku, memberiku jawaban singkat, lalu dia berjalan ke meja dimana mereka sudah menunggunya.
Seperti yang kuharapkan, Hayama tidak menyebutkan nama yang spesifik, meski begitu, kupikir akan lebih baik jika dia terbiasa dengan itu.
Entah itu Tobe, atau yang dia maksud Ebina-san, ataukah mungkin...
Sambil melihat Hayama pergi, kuminum habis kopiku dengan sekali teguk.
Melihat Keika yang meresponnya dengan ceria, Kawasaki tampaknya mempercayai begitu saja dan tersenyum. Lalu, Keika juga tersenyum dan memiringkan kepalanya sambil memelukku.
"Mau ikut bermain juga, Sa-chan?"
"Tidak, tidak terima kasih. Ok Kei-chan, ayo kesini."
Kawasaki mengambil Keika dariku dan memeluknya. Tidak, serius ini. Aku bahkan tidak berani sedikitpun untuk menyentuhnya jika kau segalak itu.
Tampaknya, aku bisa lolos dari masalah kali ini. Akupun bernapas lega. Berbeda denganku yang bisa bernapas lega, Kawasaki sendiri tampak sedikit cemas. Dia lalu menepuk kepala Keika, melihat-lihat ke seluruh penjuru ruang memasak disini, dan mulai berbicara.
"Apa tidak apa-apa membawanya kesini?"
Bukannya aku tidak paham apa yang dia khawatirkan. Lagipula, semua orang yang berada disini adalah siswa SMA, tidak lupa juga ada beberapa orang yang berasal dari SMA lain. Keika jelas-jelas akan menjadi pemandangan yang sangat tidak wajar di ruangan ini. Tapi, event ini sendiri bukanlah sebuah event resmi, jadi tidak memiliki aturan yang jelas untuk ditaati.
Aku melihat ke arah seberang meja terdekatku, dan melihat Haruno-san yang sedang berbicara dengan Meguri-senpai. Kalau orang itu ada di ruangan ini, kurasa kita tidak perlu mempermasalahkan lagi tentang syarat-syarat orang yang bisa menjadi peserta event ini.
"Kurasa tidak masalah. Banyak peserta disini yang bukan pelajar SMA juga."
Mendengarkan kata-kataku, Kawasaki menganggukkan kepalanya dan menerima kata-kataku. Well, kita juga harus ingat kalau salah satu alasan event ini ada karena request Kawasaki. Kalau dia sendiri merasa tidak nyaman disini, setidaknya diriku ini akan merasa bersalah, karena tidak bisa memenuhi requestnya secara maksimal...Sebenarnya, yang kulakukan dari tadi tidak termasuk dalam bagian requestnya, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya merasa nyaman di event ini.
Tepat ketika aku mencari-cari orang yang bisa meyakinkannya, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari belakangku.
"Oh, Kawasaki. Kau datang juga."
Suara ceria tersebut berasal dari Yuigahama, dengan Yukinoshita mengikutinya dari belakang.
"Aku sudah lama tidak melihat Keika lagi."
Sambil mengatakan itu, Yuigahama mulai menepuk kepala Keika. Baik dirinya dan Yukinoshita pernah bertemu Keika dalam Event Kolaborasi Natal, bisa dibilang kalau mereka berdua ini adalah kenalan Keika.
Tapi Yukinoshita tampak ragu untuk menyentuh kepalanya. Dia menjulurkan tangannya, lalu mengurungkan niatnya. Dia tampaknya khawatir apakah tidak apa-apa menepuk kepala Keika seperti itu. Konyol sekali.
Sambil memikirkan itu, tampaknya ada yang lebih konyol lagi darinya.
"Itu...Hari ini, aku tidak sabar untuk bisa bekerja bersama kalian..."
Kawasaki tampak kebingungan harus menyapa mereka seperti apa, dan pada akhirnya, dia hanya mengatakan kata-kata tersebut dengan malu-malu. Mungkin dia merasa kalau request dari adiknya itu sudah merepotkan banyak orang, dan mengikutinya, Keika yang sedari tadi melihat kakaknya itu, mulai membetulkan posisi berdirinya dan membungkuk.
"Mohon bimbingannya."
Dia mungkin mempelajari itu di tempat penitipan anak. Meski dia mengatakan itu dengan perlahan, dibandingkan dengan kakaknya, kurasa dia lebih mempesona, dan membuat suasana disini mulai cair.
Tidak hanya diriku, tapi Yuigahama juga terpesona oleh Keika dan mengatakan "Kya~". Mata dari Kawasaki mulai berkaca-kaca ketika melihat adiknya yang mulai tumbuh dewasa.
Karena itulah, Yukinoshita juga tersenyum ketika melihatnya. Dia lalu membetulkan roknya dan mulai duduk berjongkok di depannya, lalu menatap ke arah Keika secara langsung.
"Aku juga tidak sabar untuk bisa bekerja denganmu. Kalau begitu, kau mau membuat coklat yang seperti apa?"
Mendengarkan pertanyaan itu, Keika menaikkan kepalanya dan melihat ke arah Kawasaki, dan Kawasaki sendiri meresponnya dengan mengangguk.
"Kei-chan, kau mau coklat yang seperti apa?"
Mendengarkan pertanyaan itu, Keika tampak kebingungan, lalu dia tiba-tiba menjawabnya.
"Belut!"
"O, Be-Begitu ya..."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Begitu ya. Belut?
"Maaf, keluarga kami sebelumnya makan belut bersama-sama, dan dia benar-benar menyukainya."
Kawasaki merendahkan kepalanya, tampak malu-malu. Tapi, semua anak kecil memang seperti itu, ada kalanya mereka mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal sama sekali, dan di lain waktu mereka mengatakan hal apapun yang baru saja terlintas di kepala mereka tanpa memikirkannya baik-baik...Hal-hal semacam ini memang tidak bisa dihindarkan lagi.
Ketika aku memikirkannya, Nona Yukinoshita ini menaruh tangannya di dagu dan memikirkan itu dengan serius.
"Kalau begitu, bagaimana dengan Pie Belut? Kalau pienya sendiri, sangat mudah untuk membuatnya, tapi tentang belutnya sendiri, aku akan cari tahu dahulu..."
"Oh, memangnya bisa dibuat pie semacam itu?"
"Ya."
Yukinoshita menjawabnya dengan tegas. Gadis ini seperti tahu semuanya. Meski begitu, cukup aneh kalau pie-nya sendiri tidak dibuat dengan baik.
"Apa kau mau mencoba membuatnya?"
Wajah Kawasaki tampak memerah ketika mendengar pertanyaan dari Yukinoshita.
"Tidak, tidak perlu segitunya! Ajarkan saja membuat manisan coklat yang mudah untuk dibuat anak-anak..."
"Ya sudah kalau begitu, mungkin semacam coklat truffle...Aku akan menyiapkan bahan-bahannya dulu.
Setelah mengatakan itu, Yukinoshita berjalan menuju meja instruktur yang berada di depan ruang memasak ini.
Sambil menunggunya, aku melihat ke arah Keika, berpikir apakah aku harus menjaganya lagi atau bagaimana. Tapi tampaknya, tugas babysitter kali ini sudah diambil alih oleh Yuigahama.
Yuigahama juga duduk berjongkok di sebelahnya dan mengobrol dengan Keika.
"Soal belut tadi, aku tahu maksudmu. Aku ingin mencicipinya juga~"
"Belut enak sekali. Juga bisa dimakan bersama nasi dan saos."
"Benar kan? Belut juga rasanya lezat~"
"Un, nasi juga enak."
"Eh, nasi..."
Meski pembicaraan keduanya terasa berbeda, keduanya tampak bahagia. Kalau dipikir-pikir, akan muncul masalah besar jika Yuigahama mencoba membuat pie tersebut.
Tapi, kurasa tidak akan benar-benar gagal jika diawasi oleh Kawasaki dan Yukinoshita. Tampaknya diriku, yang bertugas sebagai pencicip rasa, masih harus menunggu agak lama untuk muncul di panggung ini.
Ya sudah, sebelum tugasku tiba, kurasa aku akan berkeliling sebentar. Seperti seekor beruang liar, aku mulai keluyuran di ruang memasak ini.
Haruno-san dan Meguri-senpai tampak sedang berbincang-bincang. Sementara para Pengurus OSIS dan mantan Pengurus OSIS periode lalu sibuk di meja masing-masing, mengerjakan berbagai macam pekerjaan, sedang Wakil Ketua dan Sekretaris-chan sedang asyik mengobrol dan tertawa sedari tadi.
Oi Wakil Ketua, lakukan pekerjaanmu dengan benar!
Pihak SMA Kaihin sedang memiliki DISCUSSION dimana Tamanawa menjadi pusat diskusi mereka. Melihat bagaimana mereka belum memulai kegiatan memasaknya, tampaknya mereka masih berada dalam proses BRAINSTORMING.
Ini artinya, meja yang tersisa untuk kukunjungi adalah meja Miura dan Isshiki. Miura melirik ke arah Isshiki, sementara Isshiki tampak memasang senyum yang licik. Hayama, yang terjebak diantara keduanya, berusaha agar bisa terus tersenyum.
Uh-huh...Tampaknya dia berada dalam masalah besar. Ketika kulihat ke arahnya, Hayama tampaknya menyadari kehadiranku ini.
Seperti melihat ada momentum, dia pergi dari meja Isshiki dan Miura, keluar dari grupnya, dan berjalan ke arahku. Lalu, dia duduk di sebelahku.
"Apa ada masalah?"
"Ah, tidak ada. Tidak ada masalah berarti..."
Aku sengaja membuat suaraku terdengar keras sehingga Hayama bisa mendengarkanku dengan jelas, tapi entah mengapa, aku berakhir dengan menatap kedua matanya. Mustahil ini! Ada apa ini?! Aku ini mirip seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta! Kalau begini terus, bisa-bisa aku akan membeli terompet...
Saat ini, mungkin aku sudah membuat seolah-olah Hayama ini adalah orang yang baik dan peduli dengan masalah di event ini. Tapi, kita berdua berbeda. Hayama Hayato tidaklah benar-benar pria yang baik, dan diriku sendiri, adalah seorang pria yang dipenuhi rasa kebencian.
Karena itulah, aku bisa memprediksi apa yang ingin Hayama lakukan.
"Bukankah harusnya kau punya sesuatu yang ingin kau katakan?"
Aku melihat ke arahnya dengan mata setengah terbuka, dia sendiri tidak berusaha untuk memalingkan pandangannya, mungkin lebih tepatnya, dia hanya tersenyum kecut dan mengatakan, "...Kau tahu saja."
Meski momen seperti ini terlihat langka baginya, mungkin karena aku sendiri pernah melihat sebuah senyuman yang cocok untuk menggambarkan bagaimana pemuda seumurannya.
Hayama membawa dua kaleng kopi yang dia pegang sedari tadi, lalu dia memberiku satu kaleng.
"Keberatan jika mengobrol sebentar denganku?...Ini untuk yang tempo hari."
Setelah dia mengatakan itu, aku tiba-tiba menyadari sesuatu. Kalau dipikir-pikir, dia mungkin merujuk ke situasi dimana kita berdua meminum kopi di sebuah taman yang remang-remang sebelum marathon dimulai. Waktu itu, aku mentraktirnya sekaleng kopi karena aku yang memintanya untuk ikut denganku agar bisa membicarakan sesuatu.
Pria ini baik sekali. Tapi sejujurnya, kopi ini bukan untuk membayar yang tempo hari, mungkin lebih tepatnya, sebuah alasan untuk bisa berbicara denganku. Aku tidak akan menganggap cara semacam ini kejam. Karena kita berdua ini seperti rekan, karena kita ini seperti teman seperjuangan, aku bisa memahami mengapa dia melakukan ini. Aku dan dirinya mungkin sama, yaitu kita membutuhkan alasan untuk bertindak. Untuk meyakinkan diri kita sendiri, juga agar bisa diterima oleh orang lain. Tidak peduli seberapa berbeda diri kita berdua, kita tetap mencari-cari alasan tersebut.
Sambil mengatakan 'Oh', aku menganggukkan kepalaku dan menerima kopi darinya. Merk kopinya tidak tertulis Max Coffee, tapi Black Coffee. Melihatku yang sedari tadi menatap ke arah merk kopi tersebut, Hayama memasang senyum yang kecut.
"Kau suka kopi yang manis?"
"Tidak juga."
Akupun, sebenarnya tidak ada minat untuk meminum sesuatu yang manis saat ini. Lagipula, aku masih harus mencicipi coklat setelah ini. Kubuka kaleng kopi tersebut, dan meminumnya.
Hayama melakukan hal yang serupa, dan dia tampak bernapas dengan lega.
Tidak ada satupun pembicaraan yang terjadi diantara kita, hanya suara dari kaleng kopi yang ditaruh di meja dan desahan yang keluar dari mulut kita. Suara-suara tersebut bisa dikatakan sebagai pengganti percakapan yang harusnya muncul dalam situasi ini.
Kalau melihat berat kaleng kopi yang sedang kupegang saat ini, kurasa sebentar lagi kopiku akan habis, lalu Hayama tiba-tiba mengatakan, "Meski begitu."
"Aku sudah memikirkan soal itu dengan baik-baik."
"Huh?"
Jawabanku terdengar serius, meski aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia bahas. Tapi, dia memasang senyum yang biasanya dipakai oleh Hayama Hayato yang dikenal oleh semua orang, lalu dia melanjutkan kata-katanya.
"Kalau seperti ini, maka semuanya...Semua orang bisa bersikap lebih natural dan seterusnya."
Sambil mengatakan itu, dia menatap ke seluruh penjuru ruangan ini. Melihat arah tatapannya tersebut, aku bisa merasakan kalau banyak sekali kegiatan yang terjadi di sekelilingku.
Miura yang sedang memperhatikan timbangan dengan serius, atau Isshiki yang sedang bersiul sambil menyalakan oven, atau wajah Yuigahama yang memerah disertai Yukinoshita yang memegangi kepalanya sambil melihat Yuigahama.
Setelah itu, Hayama kembali menatapku. Ekspresinya saat ini adalah ekspresi yang kukenal dengan baik, sebuah senyuman kecut dengan ekspresi yang penuh dengan rasa kesepian di dalamnya, karakter khas dari Hayama Hayato.
Semua orang yang Hayama baru saja katakan.
Kepada siapa kata-katanya itu dituju? Dan siapa saja yang dia masukkan ke dalam kategori semua orang? Kupikirkan itu dalam-dalam sambil memalingkan wajahku dari Hayama dan meminum kopiku.
"Kurasa tidak benar-benar seperti itu..."
Aku mengatakan itu, sambil berharap itu bisa menghilangkan rasa pahit yang mulai menghinggapi mulutku ini. Merespon kata-kataku, Hayama melihatku dengan tatapan kosongnya. Setelah itu, dia mengembuskan napasnya dan tersenyum.
"Memang. Terutama untuk Hikigaya. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak natural untuk berada disini."
Dia mengatakan itu sambil menatapku dengan ekspresi yang lebih dewasa. Mustahil tatapan seperti itu kukategorikan sebagai tatapan hangat, dan secara spontan aku mulai memalingkan wajahku lagi.
"Aku sudah begitu sejak lahir. Lagipula, aku ini warga kota yang beradab. Aku ini anak kota, jadi sudah jelas aku tidak hidup natural dengan alam, tahu tidak?"
"Aneh juga mendengar itu dari seseorang yang hidup di Chiba..."
Menanggapi jawabanku, Hayama menaikkan bahunya dan tertawa.
"Memangnya kenapa, apa kau meremehkan Chiba?"
"Tidak juga. Aku hanya mencoba becanda dengan menggunakan perasaan ala anak kota tadi."
Dia memberikan jawaban yang berisi sarkasme disertai senyuman. Apa yang dia remehkan sebenarnya bukan Chiba, tapi diriku? Meski begitu, untuk seseorang seperti Hayama-kun, bukankah ini terlalu kasar...?
Tidak, kurasa ini memang jalan hidup yang Hayama pilih. Aku membenci siapapun yang bercita-cita ingin menjadi seperti Hayama. Melawan seseorang yang sepertiku, orang yang tidak ingin seperti dirinya, Hayama sampai-sampai menjadi orang yang seperti ini.
Sambil memikirkan itu, Hayama tiba-tiba tersenyum kecil.
"Kau terlalu mempedulikan banyak hal."
Senyumnya saat ini, seperti memberitahuku kalau dia bisa melihat apa yang sedang kupikirkan, dimana itu saja sudah membuatku jijik kepadanya.
"Aku tidak peduli dengan siapapun. Malahan, aku tidak pelu dengan apapun."
"Tidak, kau sebenarnya peduli. Peduli dengan berbagai hal."
Setelah mengatakan itu, Hayama memalingkan pandangannya dariku, dia seperti melihat sesuatu yang berada di kejauhan.
Mengikuti arah tatapannya, tampaknya Tobe berhasil memakan coklat dari Ebina-san yang masih dalam proses pengerjaan. Dia tampak berisik sekali sambil mengatakan "Enak!", "Manisnya!", dan "Luar biasa!". Oh, ternyata dia memang berusaha keras untuk itu. Meski begitu, Ebina-san adalah tipe gadis yang berusaha untuk tidak menciptakan masalah dalam berbagai situasi. Orang-orang seperti dirinya, hanya akan membuka hatinya di situasi tertentu. Atau mungkin, mereka memang membentuk mental mereka agar terlihat seperti itu. Akupun, mulai tersenyum kecut ketika memikirkannya.
Melihat senyumanku, Hayama mulai mendesah.
"...Akan sangat luar biasa jika aku bisa terbiasa untuk bersikap seperti itu."
Mendengarkan kata-kata itu dari Hayama memang terdengar mengejutkan, dan tanpa kusadarki, aku mulai menoleh bolak-balik antara Tobe dan Hayama.
"Mustahillah, kupikir itu tidka mungkin..."
Yang kubutuhkan adalah mengatakan satu kalimat, "Karena itu Tobe," dan itu merupakan sebuah dasar argumen yang cukup untuk menghancurkan semua penyangkalan selanjutnya. Meski begitu, aku tidak bisa mengatakannya. Mungkin karena wajah kesepian Hayama tersebut mulai terlihat olehku.
Dari harusnya membuka mulutku, aku putuskan untuk membuka lebar-lebar mataku. Meski begitu, aku tetap melihat ke arah tatapan Hayama. Di depan kami, ada Tobe dan Ebina-san.
Dulu, aku menerima sebuah request dari mereka berdua, tentang darmawisata. Dan kemudian, aku menggunakan metode terburuk untuk menyelesaikannya. Meski mereka berdua terikat banyak sekali larangan-larangan, keduanya masih bisa bersama, tepat di depanku.
Aku sendiri sadar kalau mereka berdua saat ini, jelas-jelas mengingatkanku tentang orang lain.
Aku terus menatap ke arah mereka berdua ketika aku mendengar suara desahan dari sebelahku. Ketika kulihat, Hayama meminum habis kopinya dan menggoyang-goyangkan kalengnya seperti hendak memastikan kalau kalengnya benar-benar kosong. Lalu, dia berdiri dan bersiap-siap untuk membuang kaleng itu. Miura yang mungkin melihat adegan tersebut, mulai memanggilnya dengan nada yang manis.
"Hayato~~~~~~"
"Aku akan segera kesana."
Melihat Hayama yang memberi tanda ke Miura, aku mengatakan sesuatu yang baru saja terlintas di pikiranku.
"Tampaknya cukup merepotkan."
"...Sebenarnya tidak seperti itu."
Hayama mengatakan itu sambil menolehkan kepalanya ke arahku, memberiku jawaban singkat, lalu dia berjalan ke meja dimana mereka sudah menunggunya.
Seperti yang kuharapkan, Hayama tidak menyebutkan nama yang spesifik, meski begitu, kupikir akan lebih baik jika dia terbiasa dengan itu.
Entah itu Tobe, atau yang dia maksud Ebina-san, ataukah mungkin...
Sambil melihat Hayama pergi, kuminum habis kopiku dengan sekali teguk.
x x x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar