x x x
Ketika berjalan melewati pintu kelas, kulihat suasana lorong yang ramai di jam makan siang ini. Sepertinya, situasi ini terjadi karena banyak siswa yang tidak bisa pergi keluar gedung, karena itulah suasana di lorong ini jauh lebih berisik daripada biasanya. Seperti dugaanku, ada beberapa orang yang termakan gosip itu dan menatapku seperti hendak bermain petak-umpet. Meski begitu, sikap janggal mereka tidak menarik perhatian para siswa yang berlalu-lalang di lorong ini....Hujan ini memang cukup mengganggu. Andai saja, suhu tempat ini bisa dua derajat lebih dingin.
Ketika berjalan menyusuri lorong kelas dua, aku merasakan banyak sekali siswa yang sedang menatapku. Aku merasa kalau para siswa di sekitarku seperti berusaha menjauh dari sekitarku, ditambah lagi cuaca yang panas seperti ini, membuatku sangat tidak nyaman.
Para siswa di sekolah ini memiliki pemikiran yang salah dengan prinsip 'Hajar terus orang yang sudah babak belur itu'. Menjadi orang yang digosipkan jelas buruk, tapi orang buruk pasti akan selalu digosipkan, dan akan selalu menjadi topik perbincangan dengan pendapat-pendapat yang sangat bias.
Tapi yang paling penting, adalah tidak berusaha membalas balik ataupun meneriaki mereka. Selama kau tidak mengakui kalau kau kalah, maka kau tidak akan kalah. Jika kau tidak melihat sebuah masalah sebagai masalah, maka tidak akan menjadi sebuah masalah.
Tapi jika kau mengakui kalau kau ini salah, maka kau itu seperti menerima sebuah pukulan telak. Karena ada istilah kalau keadilan pasti akan menang, maka yang kalah pastilah penjahatnya. Dan ketika kau menghadapi penjahat, tidak peduli tindakan apapun yang akan kau lakukan, kau akan selalu dianggap melakukan hal yang benar.
Ini adalah hukum mutlak dalam sekolah dan komunitas sosial.
Warga kelas bawah atau orang gagal akan selalu dihina, bahkan dibully sekalipun akan terlihat sebagai hal yang wajar. Sekolah adalah tempat dimana hukum akan dijalankan tanpa mempedulikan hak-hak korbannya.
Semua orang merasa dirinya sebagai penegak hukum, menjatuhkan vonis dengan mudahnya ke orang-orang. Semua orang merasa dirinya seperti jaksa, pengacara pembela, dan juga juri yang memberi pertimbangan. Tidak hanya itu, yang berperan sebagai hakim adalah mereka-mereka juga. Pada akhirnya, semua orang membaur menjadi satu dalam konsep 'semua orang'.
Aku sendiri ragu kalau diriku bisa merdeka dari hukum yang semacam ini.
Di luar dugaan, para Riajuu yang selalu akrab dengan semuanya adalah kaum yang kebal dalam hukum ini. Sepertinya, itu didesain agar mereka tidak bisa ditusuk dari belakang oleh orang lain ketika mereka lengah.
Kubiarkan tatapan-tatapan mata itu, kucoba memasang wajah menyeramkan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menghilangkan itu. Akhirnya, aku sampai di mesin penjual minuman yang terletak di lantai satu.
Meski aku kesini hanya berniat untuk membeli minuman manis, tapi bagi warga Kota Chiba, minuman manis berarti merujuk ke Max Coffee. Kumasukkan beberapa koin dan menekan tombol berwarna hitam dan kuning yang melambangkan lebah. 'KACHA'. Bersamaan dengan suara tersebut, ada sebuah kaleng yang jatuh di tempat mengambil minumannya. Setelah itu, akupun mulai berpikir.
Totsuka dibelikan apa?
Well, Max Coffee adalah minuman yang diminum oleh seluruh warga Chiba. Max Coffee akan susah sekali ditolak oleh siapa saja.
Ketika tanganku hendak menekan tombol itu, aku mendengar suara langkah kaki yang bergegas ke arahku dari arah belakang. Sepertinya ada orang yang hendak membeli minuman di mesin ini, atau juga hendak membeli makanan ringan.
Kuambil Max Coffee yang keluar dan menggeser diriku ke arah samping. Aku sangat percaya diri dengan kemampuanku yang tidak akan mengganggu orang lain.
Tapi, suara langkah kaki tersebut terhenti.
Eh, ada apa ini? Apa orang itu ragu-ragu untuk mendekatiku? Akupun menoleh ke arah orang itu untuk menghilangkan rasa penasaranku.
Kemudian, aku melihat Hayama Hayato dengan senyumnya yang terlihat kecut.
Hayama, sepertinya tahu kalau aku sendiri tidak punya satupun hal yang ingin kukatakan, dia terlihat mengangguk dan berjalan menuju mesin penjual minuman. Setelah berpikir sejenak tentang apa yang ingin dia beli, dia menekan tombol black coffee.
Oi, apa lu mau mengajak gue berantem dengan memilih minuman selain Max Coffee di depan gue?
Kubuka kalengku, dan kata-kata Hayama selanjutnya terdengar seperti hendak mengajakku berkelahi.
"...Sepertinya situasinya tidak berjalan dengan baik ya."
"Ah?"
Apa dia hendak mengajakku berkelahi atau hendak komplain? Meski maksudnya belum jelas, tapi jika ada orang yang benar-benar paham Hayama, mungkin maksud sebenarnya bukan yang orang-orang pikirkan selama ini. Hidup tanpa memberikan masalah ke orang lain adalah jalan hidup yang dia pilih.
"Bukankah wajar jika ada masalah? Selama kepanitiaan melibatkan banyak orang, maka pasti akan ada masalah yang terjadi."
Bagiku, tidak, bagi Hayama juga, ini adalah hal yang normal. Akan menjadi sebuah keajaiban jika pimpinan panitianya sendiri juga terlihat akur-akur saja. Hanya gara-gara ada beberapa oknum, semuanya menjadi berantakan. Akupun memaksa diriku untuk tertawa dan menambahkan.
"Apa kau serius mau membahas itu?". Meski begitu, Hayama tidak tertawa.
"Aku tidak sedang membicarakan soal kepanitiaan. Yang kubicarakan itu soal situasi kelas."
Kupikir dia sedang membicarakan tentang Panitia Festival Olahraga, dan ternyata aku salah. Masalah kelas, bukankah itu artinya melibatkan Sagami? Mungkin Miura juga merasa khawatir dengan itu.
Meski begitu, sebanyak apapun masalahnya, bagiku itu semua terlihat sama saja.
"Jawabanku masih sama seperti sebelumnya."
Pada akhirnya, akar dari masalahnya tetap tidak berubah. Yang terpenting adalah, apakah orang itu bisa mengerjakan bagiannya dengan benar atau tidak? Lagipula, hubungan antar sesama manusia memang sesuatu yang merepotkan. Entah kau melihatnya dari sisi makro ataupun mikro, apa yang harus kita lakukan kurang lebih sama.
Karena itulah, jawaban dari kedua permasalahan itu adalah sama.
"Setelah rasa kuah berubah menjadi asam, mustahil untuk membuat rasanya menjadi sama seperti sebelumnya."
Hayama tampaknya tidak mengerti maksud jawabanku. Dia tidak meminum kopinya sama sekali, hanya menatapku keheranan.
"....Begitukah menurutmu?"
"Mungkin begitu."
Setelah mengatakan itu, kubalikkan badanku dan bersiap untuk kembali ke kelas. Lalu, aku mendengar sebuah suara dari belakangku.
"Maaf soal masalah yang ada di Kepanitiaan Festival Olahraga."
"Huh?"
Kutolehkan kepalaku ke arahnya, dan tatapan Hayama terlihat merendah.
"Karena aku yang meyakinkan Sagami untuk menerima jabatan itu tanpa memikirkannya dengan matang-matang."
"Bukan begitu, akulah yang memutuskan kalau Sagami sejak awal memang terpilih untuk pekerjaan itu. Meski kau tidak membujuknya untuk menerima itu, akulah yang akhirnya akan turun tangan untuk membujuknya. Mungkin lebih tepat jika dikatakan, kau sudah membantuku untuk tidak turun tangan. Karena itulah, ini tidak ada hubungannya denganmu."
Seperti merasa kalau situasi ini sebentar lagi akan memasuki sebuah perdebatan, Hayama berusaha menenangkan dirinya. Ini memang sifat asli Hayama. Akulah yang membuat situasinya menjadi panas. Meminta maaf kepadaku merupakan sikap yang tidak logis.
"Tapi, aku sendiri mendukung ide yang menempatkan Sagami sebagai Ketua Panitia. Kalau ada masalah, tolong beritahu aku, aku akan membantu."
"Ah, un..."
Menjelaskan masalahnya tidak semudah yang kau bayangkan.
Ketika aku hendak mengatakan itu, Hayama seperti tahu apa yang ada di pikiranku dan tersenyum.
"Aku sudah mendengar sebagian ceritanya dari para member Klub yang menjadi perwakilan di kepanitiaan."
Ha, apa situasinya sudah bocor kemana-mana? Tapi melihat bagaimana Totsuka saja bisa khawatir dan tahu soal itu, maka Hayama yang tahu masalah itu merupakan hal yang wajar.
Tapi, efek masalah ini ternyata jauh lebih besar dari yang kubayangkan.
Bahkan bagi Klub Sepakbola, yang dipimpin oleh siswa super kharismatik, Hayama, juga kalau melihat kesan Klub Sepakbola dan Tenis yang terlihat diisi orang-orang ramah dan akrab, maka ini benar-benar menjadi masalah besar.
Dengan kata lain, situasi di Klub lainnya pasti jauh lebih buruk dari ini. Bahkan ada kemungkinan kalau mereka sudah tidak mau bekerjasama lagi dengan panitia. Di saat bersamaan juga, ada gosip tidak sedap yang beredar, dan itu hanya membuat mereka yakin dengan pendapatnya. Pada akhirnya, mereka akan menjadi keras kepala dan bersikap bertahan dengan menggunakan opini-opini tersebut. Situasi ini akan menjadi sebuah beton yang solid ketika semua orang bertemu dan sepakat dalam aksinya.
Dalam situasi ini, bermain menggunakan kartu yang dimiliki Hayama memang sebuah pilihan yang bagus.
Hayama ini, tidak hanya sebagai trendsetter opini siswa, dia bisa mengumpulkan dukungan dari Klub Sepakbola dan pada akhirnya bisa menggerakkan Festival Budaya ini selangkah lebih maju.
Tapi, ini juga tidak hanya meningkatkan citra Hayama, tapi juga meningkatkan citra Sagami. Ini seperti mengulangi cerita sinetron di Festival Budaya lalu dan pada akhirnya Yukinoshita-lah yang mengambil alih tugasnya.
...Well, Sagami sendiri mungkin akan senang jika dibantu Hayama.
Tapi, jika Hayama dan Sagami terlihat dekat, maka suasana hati Miura bisa bertambah parah, dan situasi dengan Miura akan membuat Sagami semakin tidak terkendali. Suasana kelas akan suram sepanjang tahun. Rivalitas keduanya ini memang cukup mengganggu.
Tunggu, tunggu dulu. Jika Kepanitiaan menerima bantuan Hayama, maka Sagami pastinya akan bersikap jauh lebih menjengkelkan. Kalau begitu, maka aku harus mempertimbangkan untuk menolak tawarannya...
Entah itu Hayama atau Yukinoshita, meski mereka berdua adalah kartu As, tapi menempatkan mereka untuk dimanfaatkan secara efektif bukanlah perkara mudah. Situasi kali ini, bagaimana caranya agar bisa menempatkan mereka tanpa membuat lampu sorot panggung itu berpindah dari Sagami.
Ketika aku mulai memikirkan semua langkah yang mungkin seperti memainkan sebuah catur, aku mendengarkan suara yang terdengar ragu-ragu.
"Apa ada sesuatu?"
Melihat diriku yang tiba-tiba diam, Hayama menatapku dengan terkejut.
"Ah, bukan...Begini, harusnya tidak ada masalah. Kau tidak perlu khawatir."
"...Benarkah?"
"Well, kalau benar-benar ada masalah, aku akan memberitahumu nanti."
Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku dan pergi. Meski Hayama sendiri terlihat seperti ada hal yang masih ingin dia katakan, tapi melihat aku yang sudah tidak punya niatan untuk melanjutkan obrolan itu, dia tampaknya bisa menerima itu dan melambaikan tangannya kepadaku.
Akupun berjalan menuju lorong kelas.
Hayama adalah kartu penting melawan anti-Sagami atau Gerombolan Anti-Panitia. Tapi, kartu ini tidak bisa digunakan jika Sagami sendiri sudah menjadi musuh Panitianya. Akan sangat sulit jika menggunakan Hayama hanya untuk mendamaikan keduabelah pihak. Malahan, itu bisa memperumit masalahnya.
Untuk itu, akan bagus sekali jika menerapkan rencana itu untuk rapat hari ini. Setidaknya, aku sudah mempersiapkan sesuatu.
Meski begitu.
Kata-kata yang pernah kukatakan tadi, terus terbayang di dalam kepalaku.
x Chapter VII Part 2 | END x
Monolog klasik Watari terjadi lagi. Mungkin sangat langka melihat monolog semacam ini light novel lainnya, tentunya kecuali Kuzukin.
...
Hachiman berbohong dengan mengatakan kalau itu idenya yang menempatkan Sagami sebagai ketua panitia. Vol 6.5 chapter 2 jelas-jelas itu ide Yukino. Mengapa Hachiman pasang badan demi Yukino?
Ini lucu jika mengingat monolog-monolog Hachiman kalau dia mengatakan tidak peduli dengan siapapun dan tidak mau berhubungan dengan siapapun.
...
Anggapan Hachiman terhadap Hayama yang berpikir jalan hidup Hayama adalah jalan hidup yang tidak memberikan masalah ke orang lain adalah salah besar.
Di vol 10 chapter 7 terungkap kalau Hayama selama ini adalah pria brengsek yang memanfaatkan Miura.
...
Anjay juga sepoler ya min
BalasHapusSebenarnya translate 6.5 baru digarap setelah anime zoku berakhir (adegan Hayama berkhianat), jadi saya rasa tidak bisa dibilang sopiler sih...
HapusHayama brengsek? Sedari awal bila karakter terlalu sempurna... hampir pasti dia akan jadi busuk nantinya. Oke... bisa kita mulai membuat Doujin untuk Sagami? Yang alurnya bikin dia takluk pada Hachiman 😄
BalasHapus