Waktuku di kelas 2 SMA ini sudah mendekati akhir. Setelah
berakhirnya Upacara Kelulusan dan Malam Perpisahan, maka hari-hari para siswa
disini sudah bisa dihitung jari sebelum memasuki libur musim semi. Sisa waktu
ini terisi dengan ujian dan upacara kenaikan kelas.
Setelah ujian selesai, antusiasme para siswa akan liburan
musim semi sudah terasa di seluruh penjuru sekolah. Sekolah meniadakan segala
kegiatan Klub pada periode ujian, dan hari ini kegiatan klub sudah
diperbolehkan kembali. Diluar gedung utama terdengar teriakan-teriakan dan
suara pemukul baseball yang memukul bola.
Namun, klub yang kegiatannya menggunakan gymnasium tidak
mendapatkan hal yang sama dengan klub lainnya. Biasanya, Klub Voli dan
Badminton sudah mulai memasang net di gym, tapi yang terjadi saat ini yaitu
banyak sekali kursi dan ruang ganti baju. Kumpulan orang yang merupakan para
calon siswa baru dan pendampingnya mengisi ruang ini.
Partisi dibuat untuk ruang ganti baju dan tiap partisi
dilapisi kain gorden. Aku duduk di kursi ketika Komachi memasuki ruang ganti.
Sementara menunggu proses fitting, aku mulai teringat dengan beberapa kejadian
di kelas tadi.
Kelasku sendiri mulai ramai setelah ujian usai.
Obrolan-obrolan menghiasi para siswa di kelas sementara mereka bersiap-siap
untuk pulang. Ada beberapa yang langsung pulang ke rumah, atau ada juga yang
tetap di kelas dan mengatakan hal-hal seperti “Ya ampun, sepertinya tadi banyak
soal yang engga bisa kukerjakan, nilaiku bakal kacau ini!”,
dimana itu pasti Sagami...Seperti biasa, hanya hal-hal pansos yang
keluar dari mulutnya.
Di lain pihak, Totsuka dan Grup Hayama pergi ke Klub
masing-masing dimana selama ini kegiatannya ditiadakan karena ujian. Tiga orang
yang tersisa, Miura, Yuigahama, dan Ebina-san, duduk di tempat biasanya, dekat
jendela belakang, mendiskusikan akan kemana setelah pulang sekolah. Memang, aku
sudah berjanji dengan Yuigahama akan bertemu setelah ujian, tapi kalau
mendengar diskusi grupnya, mungkin pertemuan kita akan berlangsung besok.
Akupun mulai memikirkan kira-kira apa yang mau dia bicarakan denganku dan
akupun mulai menyilangkan kakiku.
Dibalik tirai pembatas, Komachi sedang berdiskusi dengan
petugas seragam sekolah.
“Bagaimana menurut anda dengan ukuran ini?”
“Hmm, kurasa bagus...Oh, apa maksudmu panjang roknya...?”
“Panjang roknya...”
Pikiranku mulai terganggu oleh obrolan mereka dan akupun
kembali ke realita. Mendengarkan panjang rok membuat perasaanku tidak
tenang...Kutajamkan pendengaranku untuk mendengar suara Komachi, kutatap tirai
itu sambil membayangkan kapan dia akan keluar dari sana. Tidak lama kemudian,
tirai terbuka.
“Ta-da!”
Komachi tiba-tiba muncul dengan mengenakan seragam SMA
Sobu.
“Oooh...” akupun mulai bertepuk tangan.
Komachi membusungkan dadanya, dan menaruh tangannya di
pinggang.
“Jadi? Bagaimana? Apa aku terlihat manis? Manis kaaan?”
“Yeah, yeah, paling manis.”
“Wow, komentarmu datar banget.”
Dirinya yang manis ini tidak terbatas hanya di dunia ini,
juga di dunia lain dan di sejarah umat manusia. Tapi, yang paling penting, banyak
hal dari tampilannya barusan yang membuat komentarku sengaja kubuat datar.
Karena tidak mampu lagi menyimpannya, akupun menggaruk-garuk kepalaku dan
mengatakannya.
“Um, bukankah rokmu itu terlalu pendek? Apa itu benar
tidak masalah? Kakakmu ini sedang mengkhawatirkanmu loh.”
“Ugh, memang terlihat begitu kah?”
Dia memasang gestur menjijikkan di hadapanku, tapi itu
tidak menyurutkan tekadku.
“Ya sudah, rok bisa dibahas nanti karena masih bisa
dipanjangkan, tapi blazermu...”
Dia menggerak-gerakkan tangannya seperti memahami
maksudku, dan melihat lengan blazernya. Lengan blazernya terlalu panjang
sehingga menutupi separuh telapak tangannya. Dia lalu menarik lengan itu dan
berpose seperti seekor kucing.
“Oh, jadi ini maksudmu?”
“Yeah, itu. Itu manis sekali.” akupun menyatakan itu
dengan kepuasan tertinggi melihat posenya yang seperti itu.
Komachi malah membalasku dengan tatapan yang kesal.
“Wow, kau menjijikkan sekali...Tapi kalau terlihat manis,
kurasa tidak masalah.”
Komachi lalu mencoba mengukur seberapa panjang kelebihan
lengannya itu, tapi si Petugas Seragam memiliki pendapat yang berbeda.
“Memang, ini terlihat sedikit kebesaran untuknya, tapi
semua calon siswa sengaja memesan ukuran yang sedikit lebih besar dari biasanya.”
“Oh, berarti sudah cocok! Oke, aku pilih ini saja,”
Komachi mengatakan itu dengan malu-malu.
Si Petugas tampak tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah, kutulis ukuran ini sudah cocok dengan
pesananmu...”
Waktu mencoba seragam hampir selesai, tapi aku masih
memiliki satu tugas lagi.
“Oh, maafkan saya, bolehkah saya mengambil beberapa
foto?” tanyaku. “Saya ingin mengirimkan foto-foto itu kepada orangtua kami
tentang bagaimana tampilannya dengan seragam ini.”
Si Petugas melihat ke sekeliling kami dan berkata.
“Tidak ada yang menunggu di belakang kalian, jadi silakan beritahu saya kalau kalian sudah
selesai mengambil foto.”
Dia tersenyum, sepertinya sudah terbiasa dengan
permintaan sejenis, lalu Si Petugas kembali ke balik tirai. Kuambil HP-ku dan
mengarahkan lensa kameraku ke Komachi.
“Oke, saatnya berfoto.”
Kusetting kameraku ke mode foto dan mulai mengambil foto.
Ini bagus sekali! Ayo kita ambil foto!
“Oke, ganti pose. Sekarang, berputarlah. Oke, sekarang
pose lagi.”
Dia mengikuti instruksiku dan berfoto dengan pose manja, mengganti
posisinya, dan akhirnya, berputar dengan memasang gestur peace sambil
tersenyum.
“Hmm, kurasa ini sudah cukup. Oke, kita selesai.”
Akupun duduk dan memeriksa foto-foto tersebut. Hmm, ini
sepertinya bisa. Kuambil yang terbaik dan mengirimnya ke orangtuaku via email.
Sementara itu, Komachi tampak kelelahan. Dia lalu duduk
di sebelahku. Senyum puas selalu terlihat dari wajahnya, dengan perlahan dia
memegang seragamnya dan melihat sekeliling gym.
“Tidak lama lagi, aku akan jadi siswa disini, huh?”
“Sepertinya ada yang tidak sabaran.”
“Yep, aku tidak sabar!”
Bola matanya tampak berkaca-kaca, dan tidak lama setelah
itu, dia mulai memasang wajah serius.
“Banyak yang ingin kulakukan setelah masuk sekolah nanti!
Seperti belajar...Well, kupikirkan soal belajar nanti setelah masuk saja, tapi
aku ingin bekerja part-time, jalan-jalan dengan temanku setelah sekolah, dan
berpartisipasi di event-event seperti Malam Perpisahan!”
Akupun mengangguk, dan merasa kalau dia harus lebih
serius lagi kalau soal belajar. Tapi, tiba-tiba dia menatap ke arah lantai dan
mengatakan sesuatu.
“Juga...Bergabung dengan klub.”
Dia menatapku setelah itu, dan aku sudah tahu apa
maksudnya. Aku berusaha menahan diriku soal ini, tapi aku harus memberitahunya
cepat atau lambat.
Hari dimana terjadi Upacara Kelulusan dan Malam
Perpisahan adalah hari terpanjang dalam hidup Hikigaya Hachiman. Setelah
menerima ilmu dari mentorku, aku sudah menemukan jawabanku. Tapi masalahnya,
aku tidak tahu proses menuju itu, dan butuh apa saja, atau bisa kubuktikan
dengan apa.
“Klub itu Klub Relawan akan bubar.”
Komachi hanya mengangguk dan tersenyum datar. Dia yang
awalnya mencondongkan tubuhnya ke arahku, kini mulai bersandar di kursi.
Bahunya tampak menurun dan dia menatap ke arah rok seragamnya.
“Akan bubar ya, huh...?” dia mengatakan itu ke dirinya
sendiri.
“Yeah...Karena aku akan membuatnya bubar.” kutepuk
bahunya. Lalu, dengan jari telunjukku mengarah kepada wajahku sendiri, akupun
memasang senyum yang santai.
Ini adalah kesimpulan akhir yang kudapatkan, untuk sebuah
jawaban yang tidak bisa kuberikan waktu itu. Aku akan membuat keputusanku
sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh pendapat orang lain.
Komachi menatapku dengan keheranan, namun tidak lama
kemudian dia tertawa.
“Uh, kenapa kau kelihatan sombong sekali...?”
Ketika dia menatapku dengan jijik, akupun berkata.
“Kalau nanti situasinya bertambah awkward, tolong maafkan
aku, oke?”
“Uh, jangan khawatirkan itu. Aku akan cari cara untuk
terbiasa dengan itu. Tidak masalah apakah Klub Relawan itu ada atau tidak ada,
karena Yukino-san dan Yui-san adalah temanku juga!”
Dia menepuk-nepuk dadanya dengan bangga dan tersenyum.
Kemudian, dia menyandarkan kepalanya di bahuku dan berbisik.
“Jadi, kuharap Onii-chan sekarang bisa melakukan apa yang
menurutmu harus kaulakukan.”
“Terimakasih.” jawabku.
Komachi tersenyum dan segera berdiri.
“Oke kalau begitu, aku ganti baju dulu.”
“Yeah...Ayo pulang ke rumah.”
Akupun ikut berdiri, dan mendapati ajakanku ditolak
olehnya.
“Soal itu, aku sebenarnya hendak makan-makan bersama dengan
calon murid baru lainnya.”
“Huh? Bisa kau ulangi lagi?”
“Khan dulu pernah kubilang? Siswa SMA jaman
sekarang ini banyak yang sudah mulai berteman lewat Media Sosial, bahkan
sebelum sekolah dimulai. Kurang lebih semacam kumpul-kumpul untuk berkenalan lebih
jauh.”
Sebuah acara perkenalan sebelum sekolah dimulai...
Bukankah itu otomatis akan memberikan gelar
“penyendiri” bagi orang yang tidak bisa menghadirinya?
Di jaman menjamurnya media sosial, berusaha menjadi
siswa SMA yang selalu kekinian bisa dikatakan memilih kehidupan SMA di level
“hard mode”.
x x x
Dari gym, Komachi langsung menuju ke acara makan-makan
teman media sosialnya, dan aku sendiri kembali menuju Gedung Utama. Tanpa
sadar, menunggu Komachi diukur, mencoba seragam, dan mengambil foto-fotonya ternyata
memakan banyak waktu. Cahaya matahari sore yang menembus jendela lorong mulai
berubah menjadi kemerahan karena senja yang akan tiba sebentar lagi.
Suara ramai dari aktivitas klub olahraga dan suara timbre
dari Klun Drum Band terdengar, namun suara yang terdengar di lorong ini
hanyalah suara langkah kakiku, ditemani bayangan yang selalu mengikuti
kemanapun aku pergi.
Pemandangan seperti ini mengingatkanku akan sesuatu.
Setahun lalu, aku melewati lorong ini tanpa adanya sesuatu
di pikiranku. Tapi sekarang, entah mengapa diriku dihinggapi rasa kesepian dan
nostalgia yang mendalam. Bayangan nostalgia dan cuaca dingin yang menusuk
menemani diriku yang berjalan menuju pintu masuk sekolah. Disana, aku melihat sosok
seseorang.
Ada seorang gadis duduk di dekat tempat payung, memegangi
tas yang besar di depannya, dan hanya diam saja melihat ke arah luar pintu.
Pintu masuk sekolah terlihat terbuka, dan mengundang masuk angin di luar untuk
ke dalam, dan tiba-tiba rambut sanggul yang disinari matahari senja mengibas.
Tidak ada satupun figur yang cocok dengan sosok ini kecuali Yuigahama Yui.
Debu yang beterbangan bisa terlihat olehku karena cahaya
matahari sore ini, dan sosoknya yang disinari matahari ini seperti mengesankan
sebuah bentuk penderitaan yang mendalam. Ekspresinya terlihat lebih dewasa dari
biasanya, dan ini sungguh indah.
Dari yang seharusnya memanggil dirinya, akupun hanya
menelan ludahku. Malahan, dengan santainya aku menaruh sandal indoorku di
tempat sepatu dan mengeluarkan sepatuku. Mendengar suara sepatu yang menghentak
lantai, Yuigahama menatapku.
“Oh, Hikki.”
Ketika memanggil namaku, dia tersenyum seperti biasanya. Aku
merasa lega melihat ekspresinya yang seperti itu. Sesudah memakai sepatuku,
akupun berjalan menuju dirinya.
“Oh, apa yang kau lakukan disini?”
“Menunggu.”
“Huh? Kenapa...? Tunggu dulu, apa terjadi sesuatu?”
akupun panik karena merasa melupakan sesuatu, tapi dia malah menggelengkan
kepalanya.
“Oh, bukan itu. Sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Aku
tadi melihat kotak sepatumu dan ternyata kau belum pulang, jadi aku...” dia ngibas-ngibaskan
tangannya. Kemudian tangannya terdiam, merapikan rambutnya, dan tampak malu-malu.
“...Menunggumu.”
“Be-Begitu ya, ah benar...”
Ujung telinga dan pipinya tampak memerah karena cahaya senja.
Merasa malu melihat sosoknya yang seperti itu, akupun hanya bisa terdiam. Dia
tampak berusaha mengatakan sesuatu setelah melihat ekspresi keterkejutanku itu
dan mulai memegangi sanggul rambutnya.
“Aku tidak sempat berbicara denganmu waktu ujian, tapi
kita sudah berjanji untuk pergi ke suatu tempat setelah ujian. Jadi, kuputuskan
untuk menunggumu.”
“Ah maaf, harusnya aku memberitahumu dulu.”
“Tidak apa-apa!” dia menggelengkan kepalanya. Meski dia
tampak ceria, senyumnya tampak kaku. “Aku...Hanya ingin menunggumu saja.”
Melihat sosoknya yang menatap ke arah kejauhan, membuatku
sulit untuk mengucapkan sesuatunya. Mungkin dia kesulitan untuk mencari
alasannya. Atau memang sengaja tidak ingin mengekspresikannya dengan kata-kata.
Entahlah. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, dia biasanya menunggu seperti ini
kalau tidak menungguku, ya kami. Menyadari hal itu, akupun berterimakasih.
“Begitu ya...Kalau begitu terimakasih.”
Diapun mengangguk dan berdiri. Setelah itu, dia menunjuk
tas ranselnya itu kepadaku.
“Tolong bawakan ini sampai ke rumah.”
Dia menggunakan tangannya untuk membersihkan debu di
roknya dan tas ranselnya. Sepertinya, tasnya terisi penuh barang-barang yang
akan dia bawa pulang ke rumah menjelang berakhirnya kelas 2 SMA. Karena aku
diminta tolong untuk membawa tasnya, ada baiknya aku segera mengambilnya. Lalu,
aku menjulurkan tanganku kepadanya.
“Mm.”
“Hm?”
Yuigahama tampak kebingungan. Dia memiringkan kepalanya
dan menaruh tangannya di atas tanganku.
Kali ini, aku yang memiringkan kepalaku.
Kenapa dia harus melakukan hal yang manis seperti ini?
“Yang kumaksud bukan tanganmu, tapi tasmu. Aku akan
membawakannya untukmu”
“Oh...Ke-Kenapa kau tidak bilang saja dari awal!”
Wajah Yuigahama memerah dan memukul tanganku. Dia lalu
memberi tas ranselnya kepadaku. Setelah itu, dia membisikkan “Terimakasih” dan
bergegas pergi.
Meskipun tidak sakit, aku mengucapkan “ouch”. Kalau aku
tidak mengatakan itu, bisa jadi aku mengatakan hal yang lain...
x x x
Langit di sebelah barat bermandikan cahaya senja. Cahaya
yang sama pula menyinari pepohonan yang arahnya
menuju stasiun. Kutuntun sepedaku melewati cahaya senja yang menembus daun
pepohonan ini.
Yuigahama berjalan di sebelahku sambil membicarakan
banyak hal. Kemudian, dia bertanya.
“Oh ya, apa kau tadi pergi ke suatu tempat?”
“Tadi Komachi ada acara orientasi sekolah. Aku menemaninya
ketika mengukur baju seragam.”
“Aww, kuharap aku juga ada disana dan melihatnya.”
“Kau bisa melihatnya dengan puas di April nanti,” kataku,
tapi nada suaraku tampak tidak tenang oleh itu.
April sudah di depan mata, tapi aku masih belum bisa membayangkan
akan menjadi seperti apa April nanti. Ketika Yuigahama melihat keraguan di
wajahku, ekspresinya tampak gelap.
“Benar...Oh, mungkin aku akan membelikannya hadiahseperti
sesuatu yang bergunasesuatu yang akan cocok dengan seragamnya.” katanya sambil
bertepuk tangan, mungkin dia sadar akan suasana suram ini, dan menambahkan
kesan ceria di dalamnya.
Kujawab dengan ekspresi sedatar mungkin.
“Yeah, kedengarannya bagus. Dia pasti senang,” kataku.
Yuigahama beberapa langkah di depanku dan memegangi
keranjang sepedaku, dimana ada tas besar dan ransel miliknya. Dia lalu menulis
sesuatu di HP-nya.
Anak-anak yang budiman, menggunakan HP ketika berjalan
adalah sesuatu yang berbahaya! Tolong jangan lakukan di rumah! Daripada
menasehatinya, aku memilih untuk berhenti. Seperti paham maksudku, dia berhenti
dan terus mengoperasikan HP-nya. Setelah selesai, dia menaruh HP-nya di ransel
dan mengangguk. Akupun mengangguk dan mulai berjalan lagi, sementara terus
terfokus ke tas besar di keranjang sepeda.
“Jadi, ada apa dengan tas-tas ini?”
“Oh itu? Waktuku di kelas 2 SMA akan berakhir, jadi aku
ambil barang-barangku kembali ke rumah. Ternyata, barangku yang kubawa ke
sekolah banyak sekali.”
“Uh-huh...Kurasa itu sering terjadi menjelang kenaikan
kelas.”
Hal-hal semacam ini wajar menjelang liburan musim panas,
liburan musim semi, atau sekedar libur panjang biasa, terutama dengan anak SD.
Mereka biasanya membawa banyak benda di ranselnya, seperti alat menggambar,
papan gambar, dan peralatan kaligrafi ketika pulang ke rumah. Mirip dengan
Gundam Freedom yang memakai Meteor Unit atau sejenisnya. Dan ketika mereka
terjatuh, mode Full Burst akan teraktivasi. Dulu, tasku sering basah karena
benda-benda itu...
Ketika aku bernostalgia dengan masa itu, Yuigahama
menatap keranjang sepedaku.
“Kau sepertinya tidak membawa banyak barang, Hikki.”
“Itu karena aku tidak membawa barang dari rumah dan
ditaruh di sekolah.”
Kami akhirnya masuk di area kondominium rumah Yuigahama, tepat di depannya ada taman
dan minimarket. Dia lalu melihat ke arah gedung—gedung itu dan bertanya
kepadaku dengan malu-malu.
“Umm...Kau mau mampir?”
Aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Tidak, lain kali saja. Bisa-bisa disuruh makan malam
lagi disana.”
“Benar juga, ahaha...Oh, aku tahu. Tunggu sebentar ya.” Yuigahama
tampak tertawa kering. Setelah teringat akan sesuatu, dia masuk ke minimarket.
Harusnya aku ikut ke dalam minimarket, tapi dia bilang
untuk menunggu disini, maka aku tinggal menurutinya. Sadar atau tidak, aku
lebih ramah dan pintar daripada
peliharaan di rumah keluarga Gahama.
Kuparkir sepedaku di dekat minimarket. Ketika kulihat,
Yuigahama masih di dalam toko membeli dua gelas kopi di kasir, dan menunggu
kopi tersebut untuk diisi air panas. Tidak lama kemudian, dia keluar dan
membawa dua kopi di tangannya.
“Ini untukmu, terimakasih atas bantuannya.”
“Oh, benarkah? Terimakasih.”
Apakah ini hadiah karena membawakan tasnya? Kalau begitu,
aku akan menerimanya dengan senang hati.
Meski begitu, hari ini aku pergi bersama sepedaku, jadi
akan jadi aneh rasanya kalau aku meminum kopi sambil mengayuh sepeda. Ketika
mencari solusinya, Yuigahama berjalan menuju taman di dekat minimarket, dimana
ada gazebo dan bangku disana. Melihat waktunya, sepertinya panas dari terik
matahari sudah hilang dan mulai dingin, membuat taman ini menjadi tempat yang
baik untuk menghabiskan waktu, cocok untuk coffee break.
Bocah-bocah dari kompleks sekitar tampak bermain
kejar-kejaran dengan aturan yang tidak kumengerti. Mereka lari beramai-ramai,
terjatuh dan menangis, setelah itu berdiri lagi. Sambil melihat mereka, aku dan
Yuigahama duduk di bangku terdekat. Angin yang berembus memang terasa nyaman,
dan ini memang sore yang indah.
Kuminum kopiku lewat sedotan, dan Yuigahama tampak
mengembuskan napas lega. Dia lalu melihat ke arah kejauhan.
“Ini sungguh menyegarkan...”
“Yeah, setelah kesibukan yang terjadi belakangan ini.”
kataku sambil meminum kembali kopiku.
Yuigahama memalingkan tubuhnya ke arahku.
“Benar. Sangat menyenangkan bisa hang out sama
Yumiko dan lainnya, tapi kami hanya pergi ke tempat-tempat tertentu saja.
Seperti, karaoke, sedang kau sendiri terlalu khawatir dengan waktunya, sehingga
ditelan kesibukan. Sebenarnya cukup menyenangkan loh, jadi aku tidak
keberatan dengan semua kesibukan itu.”
“Ahh, ya memang begitu, itulah yang perlu dilakukan agar
semuanya berjalan sesuai jadwal. Seperti ketika kau hendak pergi sauna selama 2
jam. Tapi ketika kau sadar, ternyata kau menghabiskan waktu lebih banyak dari
biasanya, dan kau mulai panik,” kataku.
“Oh, aku paham maksudmu!” Yuigahama menepuk bahuku, tapi
tiba-tiba dia terdiam. “Ya, mungkin kecuali bagian saunanya.”
“Benarkah? Kau tidak paham soal sauna? Memangnya kau dari
negara mana sih?”
“Memangnya aku perlu tahu soal itu...? Ngomong-ngomong,
memangnya sauna dari negara mana?”
“Sauna berasal dari Finlandia...Tapi ada beberapa sumber soal
awal mula sauna itu sendiri.”
“Kalau masih belum jelas mengapa disebutkan!?”
“Well, agak sulit untuk dijelaskan...Budaya ruangan yang
bisa memberikan uap panas memang ramai di berbagai belahan dunia, termasuk Jepang.
Kalau yang kita bicarakan ini adalah Sauna ala Finlandia, maka bisa
dikatakan Finlandia yang pertama. Tapi kalau kita artikan sauna sebagai ruangan
dengan uap panas, maka akan muncul banyak teori. Jadi kalau kau tanya asal mula
sauna secara umum, yang bisa kukatakan adalah banyak teori yang menjelaskan
asal usulnya.”
Akupun mulai menjelaskan sementara Yuigahama mendengarkan
penjeasanku dengan tatapan kosong. Setelah selesai, dia tampak kembali ke
dirinya yang biasa.
“Kau memang menakukau memang tahu banyak. Dan itu cukup
menakutkan...”
“Apa gunanya membatalkan kata-kata di awal kalau akhirnya
dikatakan juga?” kataku.
Akan lebih baik kalau kau katakan saja dari awal. Merasa
tidak enak tapi mengatakan di akhir malah membuat orang lebih terluka, tahu
tidak?!
Yuigahama hanya tertawa datar dan meminum kembali
kopinya. Setelah itu, dia tampak berusaha merelaksasi tubuhnya.
“Akan sangat menyenangkan bila bisa menghabiskan waktu
kita seperti ini...” dia merenggangkan lengannya dan menatapku untuk mencari
konfirmasi.
Akupun mengangguk.
“Memang benar jika setiap hari begini...Kalau setiap hari
seperti ini, itu artinya kita tidak punya kegiatan sama sekali.”
“Yeah. Setiap hari ke klub setelah memasuki kelas 2 SMA.
Aku bahkan tidak ingat lagi apa yang sudah kulakukan di kelas 1 dulu.”
“Benar sekali...Kira-kira bagaimana kita akan
menghabiskan waktu kita di kelas 3 SMA nanti?”
Yuigahama menaruh kedua tangannya di bangku dan mulai
mengayun-ayunkan kakinya. Sementara itu dia hanya terus menatap ke arah langit.
Aku sendiri sedari tadi hanya menendang-nendang kerikil dengan sepatuku.
Aku mengatakan sesuatu yang kurang nyaman.
“Kita tidak akan mendapatkan waktu luang itu karena ujian
masuk universitas sudah menunggu.”
“Begitu ya.”
Dia hanya tersenyum kecut, begitu pula diriku. Malahan,
tidak ada satupun dari kita merasa nyaman dengan itu. Kita sedang membicarakan
kejadian di masa depan, namun kita tidak bisa melihat apa yang penting dari
itu. Mungkin, karena kita hanya bisa melihat hal-hal yang pragmatis saja.
Tidak, itu tidak benar. Itu karena kita sudah memuntahkan
semua semua hal yang ada saat ini sebelum membicarakan masa depan. Entah
Yuigahama sadar atau tidak, tapi diriku, pada akhirnya, menyadari kalau aku memang
sengaja menghindari itu.
Angin sore mulai beranjak dingin, dan speaker taman
tiba-tiba memainkan lagu anak-anak. Mendengar itu, bocah-bocah yang bermain itu
langsung pergi pulang.
Langit di ufuk barat sudah bercampur dengan senja, dan
warna biru indigo mulai menyelimuti langit timur. Antara ufuk barat dan timur
seperti terpisahkan oleh sebuah warna merah yang pekat. Tidak lama lagi, langit
akan gelap.
Aku hanya menatap ke arah langit, dan Yuigahama
mengatakan sesuatu.
“Hey, Hikki...”
“Hmm?”
Kulihat sebelahku, dia hanya menatap ke arah bawah dan
bibirnya tampak kesulitan mengatakan sesuatunya. Dia kemudian menarik napas
dalam-dalam, seperti berusaha mencari cara untuk membantunya bicara. Tidak lama
kemudian, dia menatapku langsung.
“Apa kau tidak masalah dengan semua ini?”
Aku ingin meyakinkan diriku kalau aku tahu akibat dari
pertanyaannya ini.
“Apakah aku tidak masalah atau tidak.”
Yang memutuskan tidak masalah atau tidak, sebenarnya
bukan aku.
Sebelum aku mengatakannya, Yuigahama menggelengkan
kepalanya.
“Tolong pikirkan baik-baik jawabanmu. Kalau kau tidak
masalah dengan semua ini, jika memang benar semuanya sudah berakhir, aku akan
memberitahumu keinginanku...Request yang benar-benar penting.”
Semakin intens tatapannya, semakin sulit aku menjawabnya.
Tanpa sadar, aku hanya bisa menggigit bibirku sendiri dan tatapanku mulai
menatap ke bawah. Tatapannya itu memberitahuku kalau dia sekarang tidak akan
mau menerima jawaban yang setengah-setengah.
“Aku merasa tidak suka dengan semua ini...” kukatakan itu,
dan senyum yang kelam muncul di wajahnya.
Yuigahama mengangguk dan memintaku terus melanjutkan
kata-kataku, dan akupun melanjutkan.
“Soal bubarnya klub, kurasa tidak ada lagi yang bisa kita
lakukan. Jujur saja, cepat atau lambat kita harus pensiun dari klub, seperti
klub-klub lainnya di SMA Sobu. Belum lagi, Hiratsuka-sensei tidak ada disini
lagi. Jadi soal bubarnya klub, menurutku itu wajar, karena suatu saat nanti
klub harus berakhir.”
Yuigahama mengangguk.
“Bubarnya klub tidak bisa dihindari lagi. Dan aku sendiri
tahu Yukinoshita tidak ingin melanjutkannya lagi. Dan kita semua setuju kalau klub
akan dibubarkan...Jadi, bubarnya klub tidak ada masalah sama sekali bagiku.”
Akhirnya kukatakan kata-kata soal klub yang tidak bisa
kukatakan kepada mereka berdua waktu itu. Meski aku tahu kalau klub akan bubar
cepat atau lambat, sifat kekanak-kanakanku berusaha membuatku tidak bisa
menerima itu. Tapi kali ini, aku akhirnya bisa mengatakan selamat tinggal.
Mengatakan kata-kata itu membuatku lega.
Yuigahama menaruh gelas kopinya di samping, membetulkan
postur tubuhnya, dan menepuk-nepuk lututnya. Kemudian, dia menatapku.
“Begitu ya...Kemudian soal...” Yuigahama tampak ragu
untuk melanjutkan, dan hanya bisa menepuk-nepuk lututnya sedari tadi.
Tapi, dia menatapku kembali.
“Kemudian soal...”
Aku sebenarnya tidak perlu mendengarkan pertanyaannya
lebih jauh. Karena aku masih memiliki sesuatu untuk dikatakan.
“Tapi...Ada satu hal yang tidak bisa kuterima.”
Kupotong, dan suara Yuigahama menghilang. Keterkejutan
dan kebingungan tampak di kedua matanya, tapi dia tidak mengatakan apapun dan
memilih membiarkan diriku untuk melanjutkan kata-kataku.
“Kalau keputusannya itu adalah sebuah kompensasi, karena
dia menyerah akan sesuatu, berpura-pura kalau itu adalah sebuah tujuan
lanjutannya, maka aku tidak akan menerimanya. Kalau akulah yang menjadi
penyebab dia mengambil keputusan itu, maka ini akan menjadi tanggung jawa.”
Akupun berhenti.
Mengesampingkan apa yang telah kukatakan tadi, aku tahu
kalau sebenarnya bukan itu alasannya. Aku hampir jatuh ke sebuah perangkap
murahan dengan kata-kataku lagi. Kenapa aku bisa terperangkap dalam lingkaran
ini begitu lama?
Ada sesuatu yang lebih dari itusesuatu yang harus
kukatakan.
Aku tiba-tiba terdiam dan dia melihatku dengan penasaran,
tatapannya tampak penasaran dan kurang nyaman akan sesuatu. Butuh satu tarikan
napas dan tepukan ke dadaku untuk itu. Dia sendiri juga memindahkan tangannya
ke dadanya seperti sedang menahan sesuatu. Kemudian, dia bertanya.
“Ta-Tadi itu apa?”
“Maafkan aku, tolong lupakan tadi. Tadi itu aku hanya
berusaha mengungkapkan dengan kata-kata.” kataku, dan mulai menatapnya.
Kedua matanya berkedip beberapa kali. Kemudian, dia
tertawa. “Apa-apaan barusan?” Yuigahama tertawa karena reaksiku. Bahkan diriku
sendiri tertawa dengan sikapku tadi.
Inilah kebiasaan burukku. Tidak peduli kapan dan dimana,
aku secara tidak sadar berusaha pamer kebaikan-kebaikanku kepadanya.
Akupun meminum kopiku untuk melarutkan kata-kata manis
tadi, tapi kali ini kukatakan begitu saja.
“Aku akan mengatakan sesuatu yang menjijikkan, tapi aku
akan membuatnya sesederhana mungkin. Aku tidak ingin hubunganku dengannya
berakhir, karena itulah, aku tidak akan pernah menerima situasi ini.”
Setelah kata-kata itu keluar, aku baru sadar betapa
bodohnya kalimat itu tadi. Barusan itu adalah puncak kebodohanku, dan yang
tersisa hanyalah tawa kering yang keluar dari mulutku.
Yuigahama terdiam, tapi dia tidak tertawa. Kemudian, dia agak memejamkan
matanya dan menatap ke bawah.
“Bukankah kau masih bisa berhubungan denganya...”
“Memang bisa dalam situasi biasa. Kita bisa bertemu, lalu
berbicara ini dan itu, setelah itu berjanji untuk bertemu di lain waktu,”
Kukatakan apa yang dikatakan Hiratsuka-sensei tentang
bersosialisasi waktu di mobil. Tapi ini hanyalah sebuah generalisasi saja.
“Aku tidak bisa menjalani hubungan semacam itu dengannya.
Aku tidak bisa menjalani hubungan palsu dengannya.”
Setelah mengatakannya, aku akhirnya paham. Dengan
kata-kata tadi, untuk pertamakalinya, aku bisa menerima itu. Sebenarnya tidak
ada yang spesial. Yang kukatakan adalah aku tidak suka kita berpisah seperti
itu.
Selama ini aku selalu beralasan, memakai semua alasan itu
untuk, alasan lingkungan, alasan situasi hubungan, dan kata yang kutemukan pada
akhirnya tidak ada gunanya. Aku bisa melihat diriku yang kekanak-kanakan dan
menyedihkan. Bahkan, aku akan menertawai diriku yang dulu.
“Memang bisa untuk sementara waktu, tapi aku yakin aku
dan dia akhirnya akan terpisah. Aku sangat pengalaman dalam memutus sebuah
hubungan.”
“Tidak ada yang bisa dibanggakan dari itu...”
Yuigahama tersenyum kecut, tapi dia tidak menyangkalnya.
Sudah kuduga. Kami sudah tumbuh bersama sekitar setahun saat ini, jadi kita
memahami itu. Tapi, dalam selang waktu itu, ada seseorang lagi yang kita tahu
juga mengalaminya.
“Mungkin, Yukinoshita mengalami hal yang sama.”
“Itu...Benar.”
“Benar kan? Jadi jika aku menyerah akan hubungan kami,
maka mungkin itu akan menjadi akhir dari itu...Sulit rasanya bagiku untuk
menerima itu.”
Aku hanya bisa tertawa kering atas alasanku itu,
kata-kata sederhanaku, dan diriku yang pengecut karena tidak bisa memikirkannya
dengan baik. Yuigahama melihatku dengan tatapan menyedihkan. Akhirnya, dia
mengembuskan napasnya.
“Kalau kau tidak memberitahunya, dia pasti tidak akan
memahami itu.”
“Dia tidak akan paham meski kuberitahu seperti
itu...Memang tidak masuk akal, dan itu bukanlah alasan yang terdengar bagus.
Memang terdengar tidak masuk akal.”
Bagi seseorang yang egois sepertiku, aku sendiri tidak
bisa membungkus kepalaku ini dengan logika yang mengada-ada. Aku sudah menyerah
untuk memahami itu dengan segala kata yang kutahu. Ekspresiku saat ini seperti
mengatakan itu.
“Yep. Jujur saja, aku tidak begitu memahami itu. Memang
itu tidak masuk akal. Dan memang menjijikkan.”
“Betul sekali. Akupun merasakan itu...Tapi bukankah kau
sebetulnya tidak perlu menambahkan yang terakhir tadi?”
Bahkan aku sendiri merasa terpukul ketika dia
mengatakannya dengan nada seperti itu. Meski begitu, kedua matanya tersenyum.
“Tapi...Entah mengapa aku paham maksudmu. Kedengarannya
memang sesuatu yang akan kau katakan, Hikki.”
“Benarkah?” kataku.
Yuigahama lalu mengambil jarak sekitar beberapa cm dan
membetulkan posisi duduknya. Kini lututnya menghadap ke arahku dan dia
menatapku langsung.
“Yep...Karena itulah, kau harus mengatakan itu
kepadanya.”
“Meskipun dia nantinya tidak paham apa maksudku?”
Tiba-tiba, dia memukul bahuku.
“Tidak masalah jika dia tidak! Apapun itu, Hikki, kaulah
yang kurang usahanya untuk memberitahu dia.”
“Tega sekali kata-katamu itu.”
Memang benar. Aku memang selalu menyerah ketika berpikir
apakah aku bisa menyampaikannya. Aku berharap kalau aku tidak perlu mengatakan
hal penting itu. Tapi, dia mendukungku untuk itu.
“Beberapa hal memang tidak akan tersampaikan dengan baik
meskipun kita mengatakannya langsung...Tapi itu tidaklah masalah, karena aku
akan melakukan yang terbaik untuk memahaminya. Kupikir Yukinon akan melakukan
hal yang sama.”
Begitu ya. Sekarang, aku bisa paham bagaimana Yuigahama
melakukan sesuatunya. Karena saat ini, aku berusaha memahami apa yang dia
katakan kepadaku. Mungkin tidaklah logis, mungkin sesuatu yang tidak bisa
dijelaskan, dan mungkin juga itu campuran dari sebuah subjektivitas dan
intuisi, tapi ketika mencoba metode itu, maka kita akan menemukan perbedaan
kita.
“Ada sesuatu yang kuinginkan sejak lama.”
Yuigahama berdiri, dan membalikkan tubuhnya ke arahku,
sambil melihat langit yang mulai gelap. Senja yang berada di belakangnya, melambangkan
warna yang sama dengan waktu itu, warna yang sama ketika senja menyinari
gelombang laut ketika salju turun.
“Aku ingin semuanya...”
Kata-kata yang sama ketika itu, tapi kali ini tanpa bau
lautan dan salju yang turun. Yuigahama
menarik napas dalam-dalam dan menatapku.
“Karena itulah, aku ingin Yukinon ada disana lagi ketika
tidak ada yang dilakukan sepulang sekolah. Aku ingin berada di tempat dimana
Yukinon dan dirimu bersama.”
Dirinya yang berlatar cahaya senja dan dinginnya angin,
mengucapkan permintaanya.
“Jadi, kau harus memberitahunya.”
Cahaya senja memancarkan sosok dirinya yang cantik,
senyumnya yang indah, dan kedua matanya yang hendak meneteskan air mata, dan
dia terus menatap kedua mataku meski sosoknya mulai tertutup cahaya senja.
“Jangan khawatir, kupastikan kalau akan kulakukan.”
kukatakan dengan jelas.
Yuigahama tersenyum dan duduk kembali di bangku taman.
Kemudian, dia menatapku dengan tatapan santainya.
“Benarkah itu?”
“Yeah. Tapi, pertama-tama aku akan membuat persiapannya
dahulu. Sulit, tapi akan kucoba.”
Jawabanku yang ambigu membuatnya terlihat keheranan.
“Persiapan?”
“Banyak hal yang harus kulakukan...Kami berdua biasa
menyiapkan jalur pelarian seperti membahas topik lain, mencari-cari alasan,
bersembunyi dibalik sesuatu, atau paling umum dengan mengaitkan ini semua hanya
sekedar mengerjakan sebuah pekerjaan...Pertama-tama, aku harus memblokir semua
itu.”
Ekspresi Yuigahama beragam, antara aneh, marah, dan
lainnya. Dia hanya terdiam sedari tadi, dan ketika dia membuka mulutnya,
kata-katanya terdengar dingin.
“Kupikir kau harusnya tidak perlu melakukan itu.”
“Aku tahu...Tapi kupikir akulah yang akan kesulitan
mengatakannya jika aku tidak sejauh itu. Aku harus menyeretnya ke sebuah tempat
dimana kami berdua sudah tidak bisa lari lagi.”
Menjawab pendapatnya tadi, aku sengaja mengatakannya
dengan nada yang menyedihkan. Aku memang merasa jijik dengan diriku yang pengecut.
Tapi kalau kau ini adalah Hikigaya Hachiman yang sudah 17 tahun di dunia ini,
kau perlu menyudutkan dirimu sendiri dengan mengeliminasi semua faktor yang
bisa membuatmu berpikir untuk melogiskan sesuatunya, atau tidak terjadi sama
sekali.
Akupun mengembuskan napas beratku, dan Yuigahama
tersenyum hangat.
“Sebenarnya yang perlu kau katakan kepadanya hanyalah
satu hal saja.”
“Kalau kukatakan satu hal itu, dia tidak akan bisa
memahaminya dengan baik.”
Dalam situasi normal, itu mungkin cukup. Tapi itu tidak
cukup untuk meyakinkanku. Aku merasa itu tidak cukup, tapi di waktu yang sama,
aku juga merasa kalau itu berlebihan. Kupikir aku tidak akan bisa
mengekspresikan itu dengan berimbang. Dan yang terpenting, mustahil aku akan puas
hanya dengan kata-kata itu saja.
Kata-kataku tampaknya tidak bisa tersampaikan dengan baik
kepada Yuigahama, karena dia tampak terdiam saja sedari tadi. Merasa kurang,
akupun menambahkan.
“Ada orang yang terlihat pintar, tapi sebenarnya bodoh.
Dia sangat merepotkan, keras kepala, dan terlalu kompleks. Bahkan ketika kau
berbicara dengannya, dia akan selalu menemukan cara untuk membuatnya salah
paham dan lari, jadi dia hanya akan membuatmu sedih dan jengkel. Yang
terpenting, kau tidak bisa mempercayai satupun yang dikatakan olehnya...”
Komplain demi komplain keluar dari mulutku. Yuigahama
hanya bisa memiringkan kepalanya mendengarkan kata-kataku.
“Siapa yang kau bicarakan itu?”
“Diriku.”
Dia lalu tersenyum kecut.
Aku memang sudah tidak tertolong lagi. Aku selalu
memberinya masalah seperti sekarang, dan dia selalu memaafkanku. Aku selalu
memanfaatkan kebaikan hatinya dari dulu. Rasa nyaman ini kadang membuatku terlelap,
sehingga aku bisa pura-pura tidak melihat sesuatu dengan menutup kedua mataku,
tapi dia selalu mau membantuku. Hari-hari itu memang sungguh berharga, tidak
tergantikan, jujur saja menyenangkan, dan hanya hal-hal yang bagus saja yang teringat
olehku.
“Maaf sudah menyusahkanmu selama ini.”
“Huh?”
Tiba-tiba dia keheranan dengan permintaan maafku.
“Suatu hari nanti, aku akan mencoba menjadi lebih baik
dalam hal ini. Malahan, aku yakin kalau
aku akan bisa mengatakannya dengan tepat, bisa menerima dengan seharusnya tanpa
harus mencari-cari alasan ataupun kata-kata.”
Kuutarakan kata-kataku tadi. Mungkin, aku bisa menjadi
orang dewasa yang seharusnya, seorang pria sejati, sehingga aku bisa mengatakan
kata-kata itu tanpa ragu. Mungkin aku bisa mengatakannya dengan jelas apa yang
kurasakan sehingga situasinya akan berbeda dengan sekarang.
“Tapi kau tidak perlu menunggu untuk itu.”
Kuselesaikan itu, dan Yuigahama hanya mendengarkanku
sambil memegangi gelasnya. Kemudian, dia tampak emosional.
“Apa-apaan tadi? Tentu saja aku tidak mau menunggu.”
“Benar. Karena itu adalah hal yang menjijikkan jika harus
dikatakan.”
“Serius ini.”
Aku tampak malu-malu dengan kebodohanku itu dan berusaha
menghilangkannya dengan tersenyum. Yuigahama lalu tertawa dan berdiri dari bangku
tersebut.
“Oke...Tampaknya kita harus pergi.”
Akupun berdiri, mengambil sepedaku di parkiran, dan
menuntunnya kepada Yuigahama. Keluar dari taman, hanya beberapa meter saja maka
kita akan masuk ke kondominium keluarganya.
“Terimakasih sudah membawakan tasku,” katanya di depan pintu
masuk, dan mengambil tasnya di keranjang sepedaku. “Sampai jumpa lagi di
sekolah.”
“Yeah, sampai jumpa.”
Setelah melihatnya melambaikan tangan, akupun mulai
mendorong sepedaku. Untuk beberapa saat, yang bisa kudengar hanyalah suara
putaran ban sepeda dan tanah yang menempel di sepatuku. Kemudian, semua suara
itu terhenti. Dalam suasana menjelang malam, tampak orang berlalu-lalang, tapi
entah mengapa kakiku tidak bisa bergerak sama sekali.
Meski begitu, kuputuskan untuk berlari. Kupaksakan kakiku
untuk melangkah dan melompat ke sadel sepedaku. Di momen tersebut, aku mencoba
menoleh ke arahnya lagi. Dia masih melambaikan tangannya, tapi melihatku
menoleh ke arahnya, dia membuat lambaian tangan yang lebih lebar dengan
tangannya.
Kunaikkan satu tanganku, dan dengan napas yang
tersengal-sengal, akupun mengayuh pedal sepedaku tanpa sedikitpun menoleh balik.
x Chapter 6 | END x
Kalau kalian menterjemahkan percakapan di chapter semacam ini dengan polos, maka anda belum cukup lama membaca LN Oregairu ini.
Pertama, mari kita analisis sikap Yui terlebih dahulu.
“Akan sangat menyenangkan bila bisa menghabiskan waktu
kita seperti ini...” dia merenggangkan lengannya dan menatapku untuk mencari
konfirmasi.
Yang diinginkan Yui saat ini adalah mencari konfirmasi Hachiman apakah dia juga menginginkan hal yang sama, yaitu menghabiskan waktu berdua dengannya setiap sepulang sekolah. Namun, Yui harus memastikan bahwa Hachiman dengan sadar menyatakan bahwa dirinya dan Yukino sudah selesai. Karena itulah, Yui menanyakan ini sebelum meminta Hachiman selalu bersamanya.
“Tolong pikirkan baik-baik jawabanmu. Kalau kau tidak
masalah dengan semua ini, jika memang benar semuanya sudah berakhir, aku akan
memberitahumu keinginanku...Request yang benar-benar penting.”
Apakah Hachiman tahu maksud asli Yui? Hachiman tahu, dari monolog ini.
Aku ingin meyakinkan diriku kalau aku tahu akibat dari
pertanyaannya ini.
Jadi, secara keseluruhan, Hachiman mengatakan kalau dia mencintai Yukino. Bahkan Yui tahu kalau yang perlu Hachiman lakukan adalah mengatakan kepada Yukino kalau dia mencintainya. Dengan jelas dari kata-kata Yui:
“Sebenarnya yang perlu kau katakan kepadanya hanyalah
satu hal saja.”
Disini, anda harus respek dengan Yui. Entah rasanya bagaimana, mengetahui kalau pria yang dia cintai sebenarnya tidak mencintai dirinya.
...
Hachiman sudah meminta maaf sudah beberapa kali sengaja membuat Yui gagal mengatakan perasaannya. Dia berjanji akan menjadi pria yang lebih baik ke depannya, dan tidak mempermainkan perasaan gadis seperti Yui.
Meski kita sebenarnya tahu, Hachiman menolak seperti itu antara dia sudah suka gadis lain dan dia takut dirinya menjadi orang "brengsek" yang menolak dirinya semasa SMP dulu.
...
Disini, saya sejak awal translate LN ini sudah saya katakan, kalau MC menyukai Yukino. Dengan berbagai alasan logis sesuai LN. Saya bukan hendak menggurui kalau yang membantah ini bodoh atau pengikut aliran agama otaku jenis baru. Marilah kita berdiskusi itu sesuai kaidahnya, kalau berdiskusi soal LN, marilah kita pakai acuan volume berapa, dan bagus lagi disertakan chapter berapa.
Jangan memakai perasaan anda atau sumber selain LN (kecuali bahas anime/ manga), ini bukanlah fan-fic.
...
“Tapi kau tidak perlu menunggu untuk itu.”
Disini Hachiman sudah siap untuk mengatakan perasaannya terhadap Yui, meski tidak berguna karena Hachiman dengan jelas menyukai Yukino. Tahu dari mana ini mau membahas soal perasaan cinta?
“Benar. Karena itu adalah hal yang menjijikkan jika harus dikatakan.”
Kata menjijikkan sebelum ini terucap sejak awal dipakai oleh Yui dan Hachiman untuk mengungkapkan "sesuatu yang dari hati".
...
Akhirnya, Yui memilih keputusan yang bijak dengan mengatakan kalau request terakhirnya adalah ingin melihat Hachiman dan Yukino bersama lagi di tempat yang sama.
Hachiman sempat menerima damage dari Haruno, namun Sensei memberikan supportnya. Lalu Komachi memberikan support, dan terakhir Yui mendorong Hachiman untuk mengatakannya ke Yukino.
Jika tidak ada support lagi di chapter selanjutnya, maka pastinya akan menjadi chapter klimaks di cerita LN ini.
“Tapi kau tidak perlu menunggu untuk itu.”
Disini Hachiman sudah siap untuk mengatakan perasaannya terhadap Yui, meski tidak berguna karena Hachiman dengan jelas menyukai Yukino. Tahu dari mana ini mau membahas soal perasaan cinta?
“Benar. Karena itu adalah hal yang menjijikkan jika harus dikatakan.”
Kata menjijikkan sebelum ini terucap sejak awal dipakai oleh Yui dan Hachiman untuk mengungkapkan "sesuatu yang dari hati".
...
Akhirnya, Yui memilih keputusan yang bijak dengan mengatakan kalau request terakhirnya adalah ingin melihat Hachiman dan Yukino bersama lagi di tempat yang sama.
Hachiman sempat menerima damage dari Haruno, namun Sensei memberikan supportnya. Lalu Komachi memberikan support, dan terakhir Yui mendorong Hachiman untuk mengatakannya ke Yukino.
Jika tidak ada support lagi di chapter selanjutnya, maka pastinya akan menjadi chapter klimaks di cerita LN ini.
Min mau nanya. Itu kenapa Yui kok sering dipanggil 'anjing' ya sama Hachiman dalam monolognya.....
BalasHapusDi chapter2 sebelumnya
Hapussetahu saya, tidak ada monolog yang mengatakan seperti itu
HapusPernah sih dia hachiman panggil begitu, cuma mungkin untuk menggambarkan yui yg idiot. Ke idiotan yui kayak jadi running gag di ln ini sih
HapusYui yg bijak yui yg malang. Apakah ini yui yg sama dg yui di volume pertama? Entahlah
BalasHapusSeandainya yui tidak bijak dan requestnya adalah agar hachiman menjadi pacarnya bagaimanakah jawaban hachiman? Entahlah
Bisa menyebabkan kekacauan
BalasHapusSulit sih, karena yui yg sekarang jg sayang sana yukinonnya
HapusYui sudah memahami semuanya. Pada akhirnya, dia merelakan Hachiman dan Yukino bersama. Dramatis sekali sih, meski berat tapi Yui telah mengambil keputusan yang tepat.
BalasHapusTerimakasih, Admin. Sehat selalu ya!
maksih min,, buat penjelasannya, akhirnya jadi lega.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusY
BalasHapusSaya respect banget sama Yui, kalau dilihat Yui memang selalu berusaha untuk lebih dekat dengan Hachiman, meski kita tahu request di Vol 1 adalah modus Yui. Tapi yg bikin saya respect sekaligus heran, sudah tahu perasaan Hachiman tapi dia minta request "sepulang sekolah". Akan sangat sedih bagi anda yg membaca monolog Yui di next interlude.
BalasHapus