Kamis, 12 Maret 2020

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol.14 Chapter 4 : Secara Diam-Diam, Yukinoshita Yukino Melambaikan Tangannya -4

Kalau sesuatunya selalu seperti ini, aku yakin nantinya aku akan punya ide yang diluar dugaan dan terjebak di tempat yang tidak seharusnya. Namun, itu tidak lagi diperlukan. Lebih tepatnya, aku paham kalau aku tidak boleh melakukannya lagi.

Hal yang bisa kulakukan hal yang boleh kulakukan sangat terbatas. Kalau kita membahas tentang yang terjadi saat ini, maka hanya ada satu hal  bekerja.

Kulepaskan napas beratku ini dan berjalan menuju ruang kontrol. Menaiki tangga yang berisik ini dan akhirnya membuka pintunya.

“Terimakasih atas kerja kerasnya.”

Isshiki sedang bersandar di kursinya dan sesekali memutar kursinya. Akupun duduk di sampingnya dan memberikan headset untuknya.

“Yeah. Ini headsetmu.”

“Oke, terimakasih.”

Isshiki memutar kursinya dan menerima headsetnya. Kemudian, dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat kepadaku dan berbisik.

“Apa semuanya baik-baik saja? Apa Nenek Tua itu mengatakan sesuatu?”

“HaJadi begini, Nona...”

Sebenarnya dia terlihat awet muda kalau kau mengesampingkan usianya, tahu tidak? Bukannya aku sudah tahu umurnya berapa atau sejenisnya. Beliau adalah Ibu dari dua orang putri, jadi wajar saja kalau dia secantik itu. Tentunya, dia juga menakutkan, tapi juga punya sisi yang mengagumkan, tahu tidak?

Meski yang terakhir tadi malah membuatnya tambah menakutkan.

Aku sebenarnya hanya memberinya sebuah retorika, tapi aku merasa itu sudah tidak masalah lagi. Isshiki sepertinya punya kesan yang berbeda dengan dirinya setelah pertemuan terakhir mereka. Kebetulan sekali! Aku juga begitu!

Jadi, daripada aku membela Beliau, lebih baik aku menjawab pertanyaannya tadi.

“Yukinoshita sedang mengurus itu, jadi kita aman untuk sementara.”

“Ohh,” kata Isshiki.

Dia lalu menopang pipinya dengan tangan, dan melanjutnya keluh kesalnya lagi.

“Itu artinya kalian berdua sudah tidak butuh pendamping lagi.”

“Huh?”

“Kau berbicara dengan Yukino-senpai seperti biasanya, benar tidak? Misalnya, waktu rapat tadi.” dia lalu mengarahkan dagunya ke arah jendela kecil itu, sepertinya dia melihat interaksi kami di samping panggung tadi.

“Oh...Itu. Begini, kita tidak butuh yang semacam itu kalau membahas soal pekerjaan. Aku sebenarnya sangat payah kalau soal mengobrol dan mengisi pembicaraan. Tapi, kalau soal membahas pekerjaan, aku tidak ada masalah sama sekali.”

“Uh, aku tidak yakin kenapa kau malah terlihat bangga soal itu...” Isshiki mengibaskan tangannya untuk mengatakan ketidaksetujuannya. Kemudian, dia menaruh tangannya di dagunya.

“Well, ternyata ada orang yang berpikir kalau pembicaraan mereka selama ini terjadi hanya karena pekerjaan saja.”

“Hei, hentikan itu. Pasti ada pria yang butuh alasan agar bisa berbicara dengan seorang gadis. Tolong bersimpatilah kepada mereka.” aku mengatakannya agar dia tidak meneruskan topiknya itu.

“Mereka itu biasanya orang yang mulai memanggilmu dengan nama pertamamu setelah berbicara denganmu sekitar tiga kali saja. Kemudian, di momen yang kelima, mereka akan mengajakmu pergi jalan. Tapi setelah dia menembak, dia tidak mau lagi berbicara denganmu lagi.”

“Tunggu, stop, stop, stop. Serius ini, stop. Kenapa kau membahas soal masa SMP-ku?”

“Bukan...Tapi itulah yang kau lakukan, Senpai. Kau melakukan hal yang sama dan menggunakannya sebagai alasan...”

Isshiki melihatku dengan tatapan menyedihkan, tapi seperti menyadari sesuatu, tiba-tiba dia berdiri.

“Oh! Jangan bilang kalau kau sengaja menggunakan alasan pekerjaan agar bisa dekat denganku, dan akhirnya menembakku? Aku sebenarnya tidak masalah pergi keluar denganmu, tapi tolong tunggu setelah event ini selesai dulu, maafkan aku.”

Kemudian, dia membungkuk.

“Ya ya ya ...Setelah ini selesai. Sekarang, tolong jalankan pekerjaanmu. Kalau tidak, ini tidak akan pernah ada akhirnya.”

“Tuh kan...Apa kau ini pernah dengar kata-kataku...”

Kau malah bisa gila kalau kau coba dengar kata-katamu sendiri tadi...

“Aku bukannya tidak suka dengan pekerjaan yang semacam ini sih.”

Isshiki memakai headsetnya sambil menggerutu dan membuka susunan acara eventnya. Kemudian, dia mengambil laptop di dekatnya dan mulai mengetik ini dan itu. Akupun mulai menatap ke arah sound mixer sambil meliriknya dari kejauhan.

Tiba-tiba, dia tertawa kecil.

“Sebenarnya, aku cukup suka menghabiskan waktu luangku seperti ini...”

“Ya begitulah, bekerja di belakang layar sebuah event memang memiliki kesenangan tersendiri.”

Malahan, mengoperasikan mixer dan memakai headset membuatku merasa seperti seorang asisten sutradara, ini ternyata menjadi sesuatu bagiku. Aku menaruh earphone di telingaku untuk memeriksanya, dan Isshiki memutar kursinya ke arahku.

“Apa kau mau melakukannya lagi di tahun berikutnya?”

“Entah kau tahu atau tidak, aku akan lulus tahun depan.”

Sebenarnya, pekerjaan semacam ini tidak membuatku merasa terganggu, tapi melakukannya hingga kelulusan bukanlah sebuah definisi dari menyenangkan...Akupun hanya tersenyum kecut, tapi Isshiki tidak.

“Maksudku bukan begitu. Yang kumaksud itu Klub Relawan.”

Isshiki tampak emosional, dan menatapku serius. Pertanyaannya tadi memang membutuhkan jawaban yang bisa berimplikasi serius, tapi jawabanku tidak berubah.

“Kau tanya ke Ketua Klubnya saja kalau soal itu. Aku tidak berwenang dengan rencana aktivitas di Klub,” kataku.

Tapi tatapannya tidak ingin momen ini selesai dengan jawaban yang ambigu. Akupun coba kabur dari tekanan ini dan menjawabnya.

“Lagipula, Klub akan bubar.”

Mungkin, ini pertamakalinya aku mengucapkan itu. Yukinoshita, Yuigahama, dan bahkan Hiratsuka-sensei sudah tahu soal ini, namun mereka tidak pernah membahas itu sampai sekarang. Ada momen dimana kami secara tidak sengaja membahas itu, namun tidak ada resolusi untuk topik bahasan itu. Karena itulah, yang bisa kita lakukan hanyalah memalingkan pandangan mata kami semua. Tapi, aku akhirnya bisa mengucapkan itu, dan itu adalah sebuah kebenaran yang tidak terhindarkan.

“Aku sendiri sudah tidak punya alasan lagi untuk bekerja,” kataku, dan akupun menatap kembali kedua mata Isshiki. Ekspresinya tampak bersimpati dengan kata-kataku, tapi entah mengapa dia mulai tersenyum.

“Aku tahu kau akan mengatakan itu, tapi itu bukan masalah, bukan?”

“Apa...Kenapa itu menjadi bukan masalah...?”

“Maksudmu, kau sendiri tidak butuh Klub. Itu bukanlah masalahnya. Kau masih bisa bekerja sebagai bagian dari Pengurus OSIS.” katanya, sambil tersenyum.

Kemudian, dia menambahkan.

“Kuberitahu ya, sekarang ini ada satu lowongan terbuka di kepengurusanku.”

Akupun tersenyum.

“Coba kau tawarkan ke Yukinoshita. Sepertinya yang semacam itu cocok untuknya.”

“Akan kulakukan. Juga, aku akan mengundang Yui-senpai. Aku tidak masalah kalau semuanya ikut bergabung.”

“Kau sudah gila ya. Katanya hanya ada satu posisi yang lowong?”

Isshiki mengembungkan pipinya dan tertawa licik.

“Yaaa nanti tinggal kupecat saja si Wakil Ketua.”

“Itu kejam sekali...”

Dia sebenarnya juga sudah bekerja keras...Aku hendak menagis saja karena kasihan dengan orang itu. Tidak, tunggu, bukankah dia belakangan ini sedang PDKT dengan si Sekretaris? Lupakan rasa kasihanku tadi.

Brengsek kau, kerja yang benar!

Aku tahu kalau kata-katanya tadi hanya becanda saja, dan aku tahu itu tidak mungkin terjadi. Karena itulah, aku tidak mengatakan apapun untuk meresponnya, karena ini bisa menjadi bahan becandaan di lain waktu. Malah kalau tidak begitu, aku akan mulai berpikir kalau “Ini adalah ide yang bagus”. Aku memikirkan itu sambil tersenyum, seperti kataku, ini adalah salah satu hal dimana aku sendiri kurang yakin akan kemampuanku.

Dia tersenyum dan menatapku hangat. Ekspresinya, rambutnya, dan tangannya yang memegangi headset itu memang terlihat seperti seorang wanita dewasa. Tidak, dia bukan “terlihat seperti”, dia memang lebih dewasa dari sebelumnya.

“Jujur saja, mengajakmu bergabung adalah pilihan yang paling logis. Maksudku, kau bisa menjaga hubungan dan bisa menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan juniormu yang manis terdengar tidak buruk-buruk amat, benar tidak?”

Itu memang penawaran yang menarik. Mungkin, ini penawaran yang paling menarik yang pernah ditawarkan kepadaku. Hatiku sempat goyah. Seperti bisa membaca pikiranku, dia tersenyum dan berdiri dari kursinya.

Rambutnya menyentuh pipiku, dan aku bisa mencium bau shampoo beserta parfum yang menusuk indra penciumanku. Dia menaruh satu tangannya di sandaran tangan kursiku dan satu tangan lainnya untuk berbisik ke telingaku.

“Kalau kau butuh alasan, aku akan memberikannya kepadamu...”

Tiba-tiba aku menggerakkan kursiku menjauh darinya, Isshiki sendiri mulai kembali ke kursinya.

Jantungku berdetak kencang, keringat mulai membanjiri wajahku, dan wajahku tampak memerah. Sebaliknya, dia tampak tenang, seperti tidak pernah terjadi sesuatu.

Kalau dia meminta bantuanku, aku pastinya akan membantunya, entah apakah sebagai Wakil Ketua, atau Pembantu Umum di OSIS. Tapi ini bukan masalah posisi, sebenarnya karena aku memang bersedia untuk membantunya. Kita ini sedang membicarakan Isshiki, seseorang yang kuperlakukan mirip dengan Komachi. Setidaknya begitu. Aku ini lemah kalau soal adikku dan dirinya. Jika dia minta tolong, aku akan membantunya tidak peduli seperti apa. Begitulah selama ini, dan dia harusnya sudah tahu soal ini. Tapi sikapnya barusan yang seperti itu juga bisa kupahami.

“Kau ini benar-benar orang yang baik...” akupun tersenyum sambil mengembuskan napas legaku.

Isshiki kemudian membuat tanda “peace” dan mengedipkan matanya.

“Benar, kan? Entah kau sadar atau tidak, selalu menyenangkan untuk bisa berhubungan denganku.”

Ekspresinya memang manis, licik, dan tersampaikan dengan sempurna. Sikapnya memang sesuai ekspektasi seorang juniorku, seorang Isshiki Iroha. Kalau soal menyenangkan yang dia klaim itu, aku tidak yakin, tapi setidaknya, dia orang baik. Aku hanya punya satu jawaban untuk ini.

“Akan pertimbangkan dahulu penawaranmu yang barusan.”

“Itu adalah jawaban yang kauucapkan ketika kau tidak akan melakukannya...Kau memang seperti ini.” Isshiki tampak kecewa, namun tiba-tiba dia tersenyum.

“Tapi entah kau tahu atau tidak, aku ini tipe wanita yang tidak mengenal kata menyerah.”

“Yeah, aku bisa melihatnya...”

Kami hanya bisa menatap satu sama lain sambil tersenyum. Kemudian, dia melihat ke arah jam di dinding.

“Sepertinya, sebentar lagi mulai...”

Sebuah bunyi statis terdengar di headset kami, dan terdengar suara setelahnya.

“Disini Yukinoshita. Kami akan melakukannya sesuai jadwal, dan ruangan akan dibuka untuk undangan.”

“Isshiki disini, siap. Memainkan background musik dari event.”

Dia menatapku, dan akupun mengangguk. Akupun menekan tombol untuk memutar lagu, dari volume kecil hingga membesar. Tidak ada masalah. Pekerjaanku hanyalah memutar terus lagu itu untuk membuat suasana antusias di panggung.

Dengan adanya undangan yang mulai masuk, interior tampak mulai ramai. Jika kita punya kamera pengawas, kita bisa melihat situasinya disana, sayangnya kita tidak punya hal itu. Kulihat dari jendela kecil itu. Yang kulihat adalah pemandangan yang luar biasa. Para Undangan yang memakai kostum ini tampak seperti bunga sakura yang hendak mekar saja.

Bunga yang mekar sempurna sangat indah karena setelah itu mereka akan berpisah. Mungkin, karena itulah pemandangan ini terlihat luar biasa bagiku.

Dan event terakhir kami ini, akan segera dimulai.




x x x




Banyak hal dan masalah yang muncul hingga saat ini, tapi ketika acaranya dimulai, kami mengerjakan satu-persatu susunan acara dengan baik. Pembukaannya berjalan lancar. Bagian slideshow yang kukhawatirkan telah berakhir dengan tanpa adanya masalah. Setelah ini, adalah acara dansa.

Isshiki mulai memanaskan acara sebagai MC, dan akupun memainkan musik sesuai kode dari Yukinoshita. Musiknya sudah disetting untuk saling menyambung selama acara dansa, jadi aku tidak perlu mengoperasikan sesuatunya selama acara dansa.

Akupun bersandar di kursi. Dari tadi aku ada di ruangan ini saja, jadi aku berpikir untuk mulai meregangkan punggungku. Bunyi “crack” dari punggungku disertai bunyi derit kursi yang kududuki ini.

“Terima kasih atas kerja kerasnya.”

Kulihat asal suaranya, ternyata Isshiki yang baru saja kembali dari panggung.

“Hmm, kau juga.” kataku, sambil memujinya.

Isshiki memasang ekspresi “Orang ini seperti tidak berguna saja” dan duduk di sebelahku.

“Kenapa kau tidak istirahat dulu? Aku akan menangani ruang kontrol ini.”

Mungkinkah dia mengatakan itu karena mendengar suara tulang-tulangku tadi? Sebenarnya, aku tidak begitu lelah, tapi aku memang ingin mengambil beberapa bunga yang ada di event ini. Jadi, kuterima tawarannya itu.

“Mm, ya sudah, aku akan segera kembali.”

“Oke.”

Setelah tanggapannya itu, aku meninggalkan ruangan. Kugerakkan lenganku yang setengah kaku itu, sambil melepas earphone dari telingaku, akupun menuruni anak tangga ini. Suara alunan musik yang lembut, hentakan nada yang diiringi bass sukses mengocok ruang kosong di perutku ini. Sampai di area gymnasium, terisi oleh keramaian undangan acara ini. Sebagai orang yang baru melihat suasana seperti ini, mungkin bisa kukatakan kalau event ini luar biasa sukses.

Memakai seragam sekolah diantara para undangan yang memakai kostum, jelas terlihat mencolok. Aku melihat Yuigahama yang duduk di ujung meja panjang prasmanan. Dia menyadari kehadiranku dan akupun mengangguk sambil berjalan ke arahnya.

“Hai Hikki.” Yuigahama berdiri tepat di sampingku untuk memastikan suaranya tidak tenggelam oleh speaker.

“Yeah, bagaimana dengan bagian resepsionisnya?”

“Berjalan dengan baik, dan ini sudah cukup larut, jadi aku pikir tidak akan ada lagi yang datang kesini. Jadi, kuputuskan untuk istirahat sebentar.”

“Masuk akal, acara Malam Perpisahannya memang mendekati akhir.”

“Hei, aku mulai lapar. Kau juga?” katanya sambil mengambil beberapa makanan di atas meja. “Kau kesini karena mau makan juga, kan?”

Aku hendak memberitahunya kalau aku tidak lapar, tapi dia tidak menungguku, dan tidak lama kemudian di depanku tersaji banyak sekali makanan manis. Di tengah-tengah makanan itu, ada roti panggang madu. Begitu ya, memang ini pilihan yang lezat...Tidak seperti waktu Festival Budaya lalu, roti kali ini punya topping buah dan cream sehingga terlihat enak dilihat. Tapi, ini roti ya? Yeah, sepertinya roti. Entah seperti apa toppingnya, roti tetaplah roti. Pastinya kalau pihak katering mau, mereka bisa saja menyembunyikan tanda-tanda roti di makanan ini. Tapi, kali ini dominan roti.

“Ini!”

Yuigahama membagi roti tersebut seperti berada di sebuah kontes memasak, dan memberiku satu potong roti tersebut dengan piring kertas.

Kau menaruh rotinya ke piring kertasku dengan tangan...? Bukannya aku mau mempermasalahkan itu. Ketika aku terdiam saja, Yuigahama mulai memakan rotinya.

“Enak sekali! Fresh Creamnya enak!”

Seperti biasa, dia selalu menikmati makanannya dengan cara yang luar biasa...Melihat pemandangan itu malah membuat roti panggang madu ini terlihat lebih enak. Yang terakhir kali kucicipi adalah buatan seorang amatir, tapi kali ini, kalau tidak salah ini diorder dari restoran dengan jasa UBEReats, jadi ini terjamin buatan seorang profesional. Jelas terjamin enaknya...
[note: Layanan pembelian dan pengantaran makanan di aplikasi Uber, adalah UberEats. Menariknya, aplikasi ini bekerjasama dengan aplikasi kuliner Zomato. Jadi, anda bisa memesan langsung  di Zomato jika tertarik.]

Dengan keyakinan itu, akupun mencicipi roti tersebut. Om, nom, nom. Hmm...Memang terasa sekali rotinya...

Tekstur yang kurang solid terasa di mulutku. Sepertinya ini sudah terlalu lama sejak roti ini dibuat...Mungkin lebih enak jika mencicipinya lebih awal. Meski begitu, krim dan madunya memang enak, jadi kurasa ini baik-baik saja...Ketika aku memikirkan itu, Yuigahama tersenyum.

“Ekspresimu sama persis dengan waktu itu.”

Memangnya harus bagaimana lagi? Ini kan hanyalah roti...

Ekspresi tatapanku mengatakan itu, sedang mulutku dipenuhi oleh rasa manis dari roti tersebut. Setelah berhasil kutelan, aku akhirnya bisa bernapas lega. Akupun mulai mengambil kopi yang ada di meja, tapi, tiba-tiba musiknya berubah disertai oleh pencahayaan panggung.

Warna merah dan hijau bermunculan karena efek dari bola disko yang diiringi oleh house music, setelah itu muncul hujan cahaya dari langit-langit menuju lantai. Kemudian, Yuigahama tersenyum.

“Apa kau sudah punya keinginan untuk dipenuhi...?”

Kugerakkan kepalaku untuk menjawabnya.

“Tidak...Aku belum memikirkan itu. Bagaimana denganmu?”

“Umm...Kau sudah melakukan mayoritas permintaanku, seperti membantu acara Malam Perpisahan, pergi ke pesta, dan merayakan ulangtahun Komachi-chan...Oh, aku lupa kalau kita harus pergi jalan-jalan juga.”

Yuigahama mengatakan itu sambil melipat jari-jemarinya satu-persatu, tapi membatalkan lipatan terakhirnya karena teringat sesuatu.

“Apa kau ingin pergi jalan-jalan setelah ujian nanti?”

“Ujian ya, huh...? Oh, itu malah memotivasiku!”

Bahunya tampak menurun ketika mendengar kata ujian, tapi rencana jalan-jalan itu setidaknya membuatnya tersenyum. Karena sudah jujur, kurasa ada baiknya kalau aku menawarkan ekstra service kepadanya.

“Kalau kau punya permintaan lainnya, silakan beritahu.”

“Benarkah? Mungkin aku ingin meminta satu hal lagi.”

Dia kemudian mengambil satu langkah menjauh dariku. Kemudian, dia memegang lipatan ujung roknya, menaruh kaki kanannya di belakang, dan agak membungkuk.

“Bolehkah saya mengajak anda berdansa?”

Dia membungkuk.

Untuk beberapa detik, aku terbawa oleh pemandangan ini. Tidak, mungkin terpesona lebih tepat.

Setelah itu, Yuigahama menaikkan kepalanya. Dari yang seharusnya bersikap tenang, malah terlihat malu-malu.

“A-Atau yang sejenis itu, ahaha...” dia mengatakannya sambil menyembunyikan rasa malunya.

Itu membuatku sedikit lega, dan juga membuatku tersenyum kecut.

“Ini bukanlah tempat untuk dansa yang sejenis itu...”

“A-Aku tahu, benarkah? Ya ampun, cukup memalukan...”

Yuigahama lalu menutup wajahnya dengan tangan , lalu menatap ke arah langit-langit, bahkan tangannya tampak mengepal dengan keras.

Untunglah, suasana ini bisa menyadarkannya. Mengapa kau perlu mengajak orang berdansa sedangkan situasinya memang cocok untuk berdansa sendiri? Akupun mengembuskan napas panjangku dan memasang wajah keheranan. Aku benar-benar heran...Heran dengan yang akan kulakukan sebentar lagi.

Kutarik napasku sekali lagi, bukan untuk melegakanku dari keheranan ini, tapi untuk menguatkanku. Akupun mundur selangkah dan agak memiringkan tubuhku. Yuigahama hanya menatapku dengan keheranan.

“Bolehkan saya mengajak anda...?” tanyaku. Kutaruh tangan kiriku di dada, mencondongkan tubuhku ke depan, dan menjulurkan tangan kananku.

Dia hanya membatu, dan tiba-tiba tertawa. Dia berusaha menahan tawanya.

“Bukannya ini bukan tempat untuk dansa yang semacam itu?”

“Bukannya kamu yang memulainya...”

Aku sebenarnya hanya meniru sikapnya tadi. Tapi ini memang sangat memalukan. Harusnya tidak kulakukan...Ketika penyesalan mulai menyelimuti tubuhku, tanganku mulai merendah. Tapi sebelum itu, Yuigahama memegang tanganku.

“Ayo!”

Dia menarik tangaku menuju tengah arena, sambil menghindari beberapa kerumunan undangan. Cahaya bola disko hilir-mudik di ruangan ini, dan orang-orang yang ada disini tampak terbawa oleh suasana tersebut.

Lagu yang diputar memakai tempa yang cepat dan tinggi. Entah apa nama lagunya karena sesi ini memang sengaja mencampurkan berbagai genre, tapi kurasa lagu-lagu semacam ini bisa kausebut musik disko. Setidaknya, aku seyakin-yakinnya dan sangat yakin kalau ini bukanlah musik untuk dansa dimana pria dan wanitanya berpasangan.

Tanganku yang tadi dipegang olehnya, bergoyang kemana-mana, dan tubuhku mulai berputar-putar, kakiku sejenak ada disini, tidak lama kemudian ada disana. Dikelilingi oleh musik, semangat, dan cahaya seperti ini, aku mulai bergerak tanpa arah, mempraktekkan sejenis dansa yang kacau, jauh dari yang kausebut dengan freestyle dance.

Tapi tidak masalah kalau dansanya seburuk apa. Semua orang yang ada disini sedang menikmati waktu yang paling berharga dalam hidupnya. Entah aku berdansa seperti Vega, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang melihatku. Hanya ada satu orang yang melihatku, dan itu Yuigahama.

Cahaya lampu tampak bergerak kesana-kemari seperti mengikuti alunan musik, membuat kami kesulitan melihat ekspresi masing-masing. Tapi senyum, dan tangan kami ini adalah hal yang terlihat jelas.

Di tengah kerumunan orang-orang yang berkostum, mereka yang memakai seragam sekolah jelas terlihat abnormal, tapi tidak ada yang peduli. Mereka sibuk menikmati momennya, dan ini membuat kami bisa membaur diantara mereka. Lantai dansa ini dipenuhi orang-orang, dan kamipun berdansa, kadang kami memperagakan gerakan berputar dengan poros ujung tanganku, kadang mengikuti gerakan dansa keramaian, dan kadang juga tidak mengikuti gerakan mereka.

Bermandikan suara musik yang keras, lutut kami mengikuti alunan musik tersebut dan bahu kami bergerak mengikuti ritmenya, dan kami tidak ragu untuk melakukan toss.

Tidak peduli seberapa buruk dansaku, ada sebuah perbedaan besar antara menonton dan melakukan. Ini adalah latihan dansa yang sangat berat. Akupun mulai merasa lelah, dan Yuigahama melihat ekspresiku itu. Tiba-tiba, dia tertawa.

“Kau pasti sangat membenci yang sedang kita lakukan ya.”

“Ini adalah request yang benar-benar menyiksaku...”

“Maaf, maaf! Ini kujamin request dansa yang terakhir!” Suaranya bercampur dengan musik dan menghilang. Lalu dia berbisik. “Request selanjutnya, adalah request terakhir dariku.”

Dia mengatakan itu tepat di sampingku, dan keningnya menyentuh bahuku. Kupikir aku hendak menjawabnya, tapi suaraku tenggelam oleh alunan musik.

Tiba-tiba, musik mulai mereda dan berganti musik. Musik yang berputar kali ini temponya lambat, seperti memberitahu kalau waktu dansa sudah berakhir. Kalau melihat susunan lagunya, lagu setelah ini adalah lagu dengan tensi tinggi yang mengiringi cara terakhir. Dengan kata lain, lagu yang sekarang ini adalah lagu jeda, dan penanda kalau aku harus kembali ke ruanganku.

“Aku harus kembali.”

“Oke, aku akan kembali juga.”

Kita melepaskan pegangan tangan, entah siapa yang melepaskan itu terlebih dahulu, kami berdua langsung balik arah begitu saja. Tidak lama kemudian, suara penanda sesi dansa telah usai, berbunyi.




x x x




Suara langkah kaki yang pelan, mengiringi langkahku menuju ruang kontrol. Langkahku ini tidak memakai sepatu kaca ataupun kaki tanpa alas, tapi memakai sepatu indoorku yang kotor. Momen magis sudah berakhir dan akupun kembali ke ruangan berdebu itu.

Yang sudah menunggu Cinderella setelah magisnya hilang adalah Ibu dan Saudara Tirinya yang jahat, tapi apa yang menungguku kali ini? Kubuka pintu itu dengan pertanyaan di kepalaku.

“Selamat datang! Kau terlambat! Apakah kau ingin kerja? Atau kerja? Ataukah...Kerja?”

Yang menungguku adalah juniorku yang berakting seperti istri yang sedih, padahal sebenarnya adalah iblis betina yang menyamar menjadi rubah bersinar yang manis. Dia memainkan peran sebagai seorang istri dengan baik, meski begitu, ketiga pilihan yan dia beri barusan jelas tidak ada hubungannya dengan situasi rumah.

“Oke, maafkan aku. Aku akan kembali bekerja...”

“Tahu tidak, aku daritadi memanggilmu lewat headset loh? Ya sudah, setidaknya kau kembali tepat waktu, jadi tidak apa-apa.” dia mengatakan kekesalannya dan berdiri.

“Ngomong-ngomong, aku harus bersiap-siap untuk pidato penutupanku, jadi tolong tangani sisanya ya.”

“Beres. Semoga sukses ya.”

“Pasti.”

Setelah melihatnya keluar ruangan, aku kembali sendiri disini ditemani oleh bass speaker.

Kugunakan waktu ini untuk melihat kembali jadwal acara. Meski ada masalah disini dan disana, akhirnya kita menuju ending event. Setelah Isshiki selesai dengan pidatonya, akan masuk ke acara terakhir. Akupun memakai kembali headset yang kutaruh tadi. Sebuah suara statis terdengar, dan suara yang jelas mengikuti setelahnya.

“Isshiki-san, apa kau sudah standby?”

Yukinoshita, koordinator event, meminta status. Beberapa detik kemudian, sebuah respon datang.

“Isshiki disini, aku sudah di kiri panggung. Aku sudah siap. Sekarang melepas headset.”

“Oke. Standby untuk kode petunjuk dari backstage.”

“Oke.”

Kemudian, komunikasi di headset kembali sunyi.

Aku bersandar ke kursi dan tanganku menjadi sandaran kepalaku, sambil melihat ke arah langit-langit. Kemudian, musik transisi menuju tahap selanjutnya. Sepertinya ini iringan lagu yang cukup populer karena suara riuh dari lantai bawah mulai ramai. Akhirnya, lagu yang terakhir diputar.

Kuambil mic yang menempel di dadaku ini dan menekan tombolnya, sesuatu yang sangat familiar untukku. Kutunggu beberapa detik untuk memastikan suaraku akan terdengar jelas.

“Ini dari sound control, sekarang ini adalah lagu yang terakhir.”

“Diterima. Aku akan memberitahukan kode akhirannya di sebelah kanan panggung. Jangan sampai terlewat.”

Setelah mendengar instruksinya, akupun mengintip dari jendela kecil. Yukinoshita sedang berdiri di belakang gorden sebelah kanan panggung. Kutaruh tanganku di dagu sambil mengamatinya, dan dia menatapku. Kemudian, secara perlahan dia memindahkan mic di kerahnya ke mulutnya.

“Bisakah kau melihatku?”

“Yeah, aku bisa melihatmu.”

“Oke. Jadi, kau dimana sekarang? Ada bersama penonton?”

Yukinoshita melihat ke arah penonton dan mencari sesuatu.

“Aku di atas ini. Lihatlah ke atas. Tunggu, bukannya kau tadi sudah melihatku, benar tidak?”

Akupun menjawab balik dengan nada suara tidak percaya. Kemudian, dia mundur sejenak, dan bisa kulihat dari bahunya tampak bergetar. Suaranya tidak terdengar di mic, karena tidak menekan tombolnya, tapi aku bisa melihatnya tertawa. Setelah itu, dia melihat ke arah ruang ini, dan tetap tersenyum.

“Aku tidak terbiasa melihatmu dari bawah, jadi bagaimana lagi.”

“Berarti kau terbiasa melihat aku yang di bawahmu? Tapi tidak masalah sih, aku sudah biasa disepelekan orang.”

“Sikapmu yang meremehkan diri sendiri itulah yang harusnya diperhatikan. Lagipula, kalau terus melihat ke atas, leher dan bahuku bisa sakit lama-lama.”

Tapi punyamu kurang besar untuk bisa membuatku terus melihat ke arah bawah...Tapi tidak akan kujelaskan apa yang tidak cukup besar dari dirimu!

Kemudian, dia menatapku dengan serius dan memegang mic di kerahnya.

“Apa kau barusan mengatakan sesuatu? Aku tadi tidak mendengarnya. Bisakah kau ulang lagi?”

“Aku tidak mengatakan apapun...”

Secara spontan, aku mengatakan itu dalam hati, memastikan kalau micnya tidak aktif. Akupun mulai tersenyum kalau mengingat kejadian serupa dengan headset ini. Meski waktu itu, ada orang yang mendengarkan kami, jadi itu adalah kejadian yang memalukan.

Tapi kali ini, hanya ada kita berdua. Dengan dipisahkan oleh jarak, peralatan, dan topik basa-basi, kami bisa berkomunikasi seperti ini. Hal ini bisa kita lakukan terus menerus. Tapi, waktu yang akhirnya memutuskan kalau ini harus berakhir. Angka detik di meja menunjukkan beberapa detik lagi lagu akan selesai.

Akupun kembali menatap ke arah jendela. Yukinoshita melihat ke arahku, dan memberi gestur apakah ada masalah atau tidak. Dia pasti khawatir karena aku tiba-tiba pergi dari jendela ini.

Akupun berbisik “Tidak ada apa-apa” , tanpa mengakan apapun di mic, bahkan bibirku tidak terbuka sama sekali, jadi mustahil dia bisa mendengarku.

Masih penasaran, Yukinoshita memiringkan kepalanya. Akupun menggelengkan kepalaku untuk meresponnya, dan dia mengangukkan kapalanya.

Kegelapan menyelimuti area sisi panggung, tapi area tersebut kadang-kadang disinari cahaya oleh bola disko, dengan mudah aku bisa menemukannya karena ciri-ciri fisiknya yang berbeda, gestur tubuhnya yang polos, dan senyumnya yang indah. Tapi ruang kontrol yang gelap ini, membuatnya sulit melihat ekspresiku saat ini. Tapi, aku berterimakasih akan hal itu. Mustahil aku bisa menunjukkan wajah idiot ini; aku sedang tersenyum dari hal-hal konyol yang  sedang dipikirkan oleh kepalaku.

Aku yakin, hal-hal tidak jelas yang ada di pikiranku ini muncul karena posisi kita saat ini, dua posisi yang membuat satu pihak melihat ke atas, dan pihak lainnya melihat ke bawah.

Tinggi dari jendela balkon dan jendela ruang kontrol sangat berbeda, bahkan gender kita juga berbeda. Bisikan-bisikan yang muncul dari kita sangat jauh untuk dikatakan saling berhubungan dekat, dan bagaimana kita membicarakan pekerjaan juga berbeda. Karena itulah, ending yang menunggu kita pastinya tidak akan pernah sama.

Pikiran-pikiran semacam itu membuatku tersenyum. Meski, aku tahu yang menunggu kami bukanlah happy ending, tapi kami akan selalu menunggu ending itu tiba.

Setelah mengkalkulasi sisa durasi lagu, akupun memegang mic.

“Sebentar lagi lagunya akan berakhir.”

Aku tidak bisa menunggu suara bising mic untuk hilang dahulu. Yukinoshita lalu tampak menekan earphone yang dipakainya.

“Baik, diterima.”

Selanjutnya, yang kudengar hanyalah suara statis, artinya dia sedang menekan tombol mic aktif. Dua detik terlewati. Kemudian, tiga. Dia tampak meremas kerahnya dan berbisik pelan.

“Hey, Hikigaya-kun...”

Aku menunggu suara statisnya hilang untuk menjawab, tapi suara statis tersebut terus ada dan aku mulai mendengar tarikan napasnya yang berat.

“Pastikan kau mengabulkan request dia, oke...?”

Kemudian, suara statisnya hilang. Aku sendiri tidak bisa melihat ekspresinya saat ini.

Hanya ada sedikit perbedaan waktu dan lokasi antara kita berdua, dan suara statis di mic ini hanyalah sebuah jalan satu arah untuk kurir suara kita. Bertemu saat rapat, saling melempar candaan, tapi belum satupun menyentuh hal ini. Aku yakin, ini pastilah jarak yang benar diantara kita. Karena itu, aku sudah menyiapkan jawabanku.

“Aku tahu.”

Beberapa saat kemudian, lagunya berakhir. Setelah itu, musik outro hingga suasana menjadi sunyi. Cahaya menjadi remang-remang kembali, dan para undangan menganggap kalau sesi dansa sudah berakhir, dan bersiap-siap untuk menuju akhir dari acara ini. Tepuk tangan, siulan, dan riuh mengisi event ini.

“Terima kasih. Mari kita akhiri ini.”

Setelah suara tepuk tangan mereda, dia menaikkan tangannya untuk memberi aba-aba.

“Oke.”

Akupun menjawab itu  sendiri, tanpa menggunakan headset.

Setelah lagunya kuputar, riuh dari para undangan menghilang. Setelah itu, kunaikkan fadernya, sehingga menimbulkan kesan emosional.

Setelah menekan tombol di headset, aku menunggu suara statisnya menghilang dahulu.

“Musik sedang diputar.”

“Diterima. Setelah suara narasi dari backstage selesai, rendahkan fadernya ketika Isshiki sudah tiba di posisinya. Aku akan mengatur timingnya.”

Ketika lagunya sudah mencapai satu putaran, para undangan dengan sabar menunggu endingnya. Kemudian, Yukinoshita memulai narasinya.

“Para wisudawan semua, terima kasih sudah menghadiri Malam Perpisahan SMA Sobu. Kami ingin mengucapkan selamat atas kelulusannya. Selanjutnya, Ibu Ketua OSIS akan memimpin penutupan acara.”

Bersamaan dengan tepuk tangan yang membahana, Isshiki berjalan ke atas panggung disinari lampu sorot yang terfokus kepadanya.

Yukinoshita melihat ke arahku. Dalam area yang minim pencahayaan itu,  dia secara perlahan menaikkan tangannya. Lengannya yang kurus itu, tampak tidak yakin apakah harus menaikkan lebih tinggi atau lebih rendah lagi.

Dengan senyumnya yang sedih itu, dia memberikan tanda untuk ending.

Kemudian, diam-diam dia melambaikan tangannya.

Melihat itu, akupun mulai merendahkan fadernya, seperti hendak menurunkan tirai-tirai pertunjukan ini.




x Chapter 4 | END x







Ada yang meragukan kalau Hachiman sedang "diincar" oleh Iroha? Momen Isshiki di part ini benar-benar berani...

...

Momen Yui x Hachiman di lantai dansa benar-benar lucu, romantis, dan aneh? Hahaha.

...

Sangat sedih melihat interaksi Yukino dan Hachiman di part ini.

...

Saya merasa Hachiman sekarang mulai mirip dengan gambaran Hachiman tentang  Hayama di volume 1.

Sekarang, Hachiman adalah siswa populer. Fvckboy SMA Sobu...Yang naksir tidak tanggung-tanggung, Ketua OSIS/ Yui/ Yukino/ Dst.


10 komentar:

  1. Tapi punyamu kurang besar untuk bisa membuatku terus melihat ke arah bawah...Tapi tidak akan kujelaskan apa yang tidak cukup besar dari dirimu!

    Apakah Sebenarnya yukinon punya indra ke 6.sampai tahu isi batin nya hachiman haha

    BalasHapus
  2. Sebenarnya si 8man.
    Seorang yg teliti dalam pekerjaannya.
    Bahkan dia memuji dirinya sendiri. Soal pekerjaanya..

    BalasHapus
  3. Iya, Min, setuju. Interaksi Hachiman dan Tukino, terasa benar-benar memilukan.

    Btw, terimakasih. Semoga selalu sehat ya, Admin!

    BalasHapus
  4. Tuh Hachiman pujaan kalian sebenarnya cuma pakboi

    BalasHapus