Minggu, 30 Juli 2017

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 3 Chapter 2 : Buku Anak-Anak Tentang Seekor Musang, Biawak, dan Anjing? (3/6)






“...Ya begitulah ceritanya.”

Pada pagi yang sunyi ini di Toko Biblia, aku baru saja menjelaskan apa yang terjadi kemarin kepada Shioriko dan kini aku sedang menunggu responnya.

Dia sejak tadi hanya memiringkan kepalanya saja, dan belum bergerak sedikitpun, persis orang yang posisi lehernya memang didesain untuk menopang kepala yang miring. Dia tampaknya tidak menyadari kalau rambut hitam panjangnya itu menutupi lensa kacamatanya.

“Kira-kira kau tahu apa buku yang dia maksud?”

Dia tidak meresponku. Shioriko masih berpikir keras. Sekitar 10 detik kemudian, dia menarik napas yang panjang seperti seorang penyelam yang hendak memasuki perairan.

“Maaf...Aku masih kesulitan untuk menjawabnya.”

Suaranya yang kecil memberikan kesan kalau dia ingin meminta maaf karena ketidaktahuannya.

Kurasa dia tidak perlu meminta maaf seperti itu. Malahan, aku akan terkejut jika dia bisa menjawabnya dengan petunjuk yang sedikit tersebut.

“Tapi sepertinya dulu aku pernah tahu cerita yang semacam itu.”

“Eh? Serius?”

“Ya, tapi...Ini memang agak aneh. Aku jarang sekali lupa judul buku dan penulisnya yang sudah aku baca.”

“Bukankah itu wajar? Tidak ingat setiap buku yang pernah kau baca semasa kecil dulu.”

“Eh, memangnya begitu ya?” dia menjawabnya dengan nada keheranan.

Sepertinya “kewajaran” tidak bisa disematkan begitu saja kepada Shioriko jika membahas tentang buku.

“Kira-kira gambaranmu tentang buku itu bagaimana?”

“Tidak ada yang penting, tapi jika cerita Shinobu bisa sedikit detail, mungkin kita bisa mempersempit kemungkinan judul buku yang dimaksud.”

“Apa maksudmu?”

“Pertama, buku itu baru dijual di toko buku pada pertengahan 1970.”

Shioriko menaikkan jari telunjuknya.

“Cukup masuk akal jika Shinobu bilang dia membacanya sewaktu SD, jadi buku itu pasti ditulis dan diterbitkan sebelum itu. Lalu yang kedua...”

Shioriko menaikkan jari tengahnya.

“Ceritanya kemungkinan besar bersetting abad 20, dan lokasi ceritanya sekitar kota Eropa atau Amerika.”

“Darimana kau tahu soal itu?”

Shinobu saja bilang kalau dia tidak tahu ceritanya di jaman apa, dan dia juga tidak memberitahu setting ceritanya ada di mana.

“Katamu, dia bercerita kalau ada adegan dimana batu bata untuk membangun rumah dibawa dengan truk, benar tidak? Truk sendiri mulai diproduksi pada akhir abad 19, namun baru dijual luas pada awal abad 20. Malah dia berpikir kalau settingnya seperti sebuah kebun binatang, artinya ada kemungkinan kalau setting ceritanya berada di sebuah kota.”

Akupun mengangguk; masuk akal. Tapi jarak tahun antara awal 1900 hingga 1970 masih terlalu jauh. Ini hanya sedikit mempersempit saja tentang dugaan bukunya.

“Yang tidak kumengerti, bagaimana si protagonis cerita adalah seekor musang.”

Shioriko lalu menurunkan jari-jarinya.

“Musang sudah muncul dalam banyak cerita Jepang sejak jaman dulu, karena memang habitat musang ada di Asia Timur, tapi musang sendiri tidaklah begitu dikenal di dunia barat. Mungkin, yang dimaksud olehnya adalah jenis hewan yang berbeda...”

“Tapi gambar yang dia buat bukankah ciri-cirinya benar-benar seekor musang, benar tidak?”

Kulihat lagi secarik kertas yang diberikan Shinobu kemarin, bergambar karakter protagonis cerita itu.

“Jujur saja, gambarnya memang sangat mirip musang...”

Kami berdua hanya bisa terdiam. Petunjuknya terlalu sedikit, dan kami merasa sudah tidak ada lagi yang bisa didapatkan dari info yang segelintir tersebut.

“Apa kau mau pergi ke rumah Shinobu?”

Shinobu memang mengatakan kalau pergi ditemani orang yang tahu tentang buku akan lebih baik, tapi kurasa dia hanya ingin ditemani saja dan tidak mau pulang ke rumah sendirian.

“Aku ada keinginan untuk kesana.” Lalu dia langsung menambahkan. “Juga, aku ingin tahu tentang buku yang sedang dicarinya.”

Akupun merasakan hal yang sama. Tapi pulang ke kampung halaman dengan membawa pegawai Toko Buku jelas merupakan sesuatu yang janggal.

“Ngomong-ngomong, apa dia sudah mengkonsultasikan soal buku ini ke suaminya?”

“Huh?”

“Shinobu tidak mengatakan apapun tentang suaminya ketika membahas buku ini, jadi aku juga agak penasaran...”

Benar juga, aku baru sadar. Masashi adalah tipe orang yang akan memaksa ikut untuk pergi ke kampung halaman Shinobu meski bersama-sama kami. Mungkin ada sesuatu sehingga dia tidak bisa ikut. Shinobu dulu pernah cerita kalau orangtuanya sangat “ketat”, jadi aku tidak tahu apakah orangtuanya merestui dirinya menikahi seorang pria tua.

“Tapi buat apa untuk tidak memberitahunya? Bagaimana jika Masashi juga tidak tahu buku apa yang dimaksud, sehingga Shinobu merasa tidak penting untuk membahas suaminya tahu atau tidak di percakapan kemarin?”

Shinobu pernah cerita kalau dia tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari suaminya.

Shioriko sendiri tersenyum dan mengangguk.

“Begitu ya...Mungkin aku terlalu berpikir berlebihan. Ngomong-ngomong, ayo kita fokus ke pekerjaan dulu; kemarin ada banyak pesanan online yang masuk...”

“Shioriko.”

Suara panggilanku barusan membuat perjalanannya ke tumpukan buku-buku tersebut terhenti. Ada satu hal lagi yang ingin kubahas dengannya.

“Sejujurnya, tempo hari aku mampir ke Toko Hitori.”

Kuberitahu semua yang terjadi disana – Dari kartu ucapan Natal yang diterima pemilik toko, Inoue, yang dikirim oleh Shinokawa Chieko, hingga kecurigaan Inoue yang pernah diceritakan kepadaku.

Shioriko mendengarkan ceritaku dengan diam. Di akhir cerita, aku meminta maaf karena sudah merahasiakan ini cukup lama darinya, namun Shioriko hanya bisa memalingkan wajahnya.

“Kupastikan kalau aku tidak pernah berkomunikasi dengan ibuku, dan aku tidak pernah menceritakan tentangmu ke siapapun. Tidak ada gunanya aku membohongimu. Kau harusnya memberitahuku lebih cepat soal itu.”

“Begitu ya...Maafkan aku.”

“Aku mengkhawatirkanmu sejak awal tahun ini.”

Shioriko mengatakannya masih dengan posisinya yang memalingkan wajahnya dariku.

“Aku khawatir kalau telah terjadi sesuatu denganmu...Apa kau ingat waktu kita minum-minum tempo hari? Itu adalah hari sebelum kita mendapatkan kembali Gadis Dandelion-nya.”

“Eh? Yeah, aku ingat.”

Akupun menjawab pertanyannya dengan kebingungan. Apa maksudnya membahas tentang hal itu? Entah mengapa, wajah Shioriko tiba-tiba memerah.

“Hari itu terasa sangat menyenangkan bagiku...Dan aku minum lebih banyak dari biasanya, jadi aku tidak begitu ingat apa yang sudah kukatakan waktu itu. Aku sempat berpikir apakah mungkin waktu itu, aku melakukan sesuatu yang aneh...”

“Aneh yang bagaimana?” kukatakan saja secara spontan.

Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi wajahnya malah semakin memerah.

“Maksudku, umm...Seperti tertawa terus-terusan...Atau mengomel tidak karuan...Ataupun tidur begitu saja...”

Suaranya bertambah kecil dan kecil. Ini lucu sekali, ternyata dia berpikiran seperti itu selama ini. Ini membuatku berusaha untuk menahan tawa sedari tadi.

“Semua hal tersebut tidak terjadi.”

“Benarkah? Atau kau hanya pura-pura tidak terjadi?”

Dia menatapku dari ujung mataku hingga seluruh ekspresi wajahku. Jujur saja, aku mengatakan apa adanya tadi, kemampuannya untuk minum tidaklah buruk. Malahan, kebalikan dari itu.

“Serius ini, benar tidak terjadi hal-hal tersebut.”

Setelah mengatakan itu, tiba-tiba aku memperoleh ide yang aneh.

“Bagaimana kalau kita minum lagi di lain kesempatan? Tentunya kalau kau tidak keberatan.”

“Akan kupikirkan dahulu.”

Aku lega sekali karena kupikir dia akan menolaknya langsung, tapi aku melihat kalau ekspresi wajah Shioriko tampak suram dari biasanya.

“Bagaimana jika, seandainya yang Inoue katakan itu benar, bukankah artinya ada orang di luar sana yang memberikan informasi ke ibuku...”

“Benar juga...”

Jika Shioriko tidak berkomunikasi dengan ibunya, maka pasti ada orang lain yang menghubungi ibunya.

Orang yang berada di dekat kita, yang sedang mengumpulkan informasi secara rahasia tentang kita, dan memberitahukannya ke Shinokawa Chieko.

Aku cukup yakin kalau orang ini pasti juga punya informasi tentang dirinya.

Tapi siapa orang itu?

Perasaan dimana aku mulai tidak bisa mempercayai orang-orang di sekitarku malah membuat perasaanku menjadi tidak tenang.

“Ya sudah, ayo kita kerja dahulu?” kata Shioriko.

Tepat ketika aku mengangguk setuju, pintu kaca terbuka dengan suara yang cukup keras. Ketika kubalikkan badanku, kulihat seorang pria tua yang memakai kacamata sedang berdiri di pintu masuk. Dia memakai mantel abu-abu dan syal rajut berwarna merah di sekitar lehernya.

“Selamat tahun baru semuanya.”

Sakaguchi Masashi merendahkan kepalanya dan memberi salam.

“Aku kesini ingin membicarakan tentang istriku. Apa kalian ada waktu?”

Masashi langsung to the point sambil melepas syalnya.

Beberapa bagian syalnya tampak tidak rapi dan beberapa bagian tebalnya tidak rata; jelas sekali kalau syalnya itu buatan tangan.

“Tentu saja...Apa yang bisa kami bantu?”

“Kudengar Shinobu meminta bantuan kalian tentang buku yang pernah dia baca semasa kecil dulu. Bisakah kalian memberitahuku secara detail tentang hal itu?”

Seperti biasanya, caranya meminta informasi sangat blak-blakan dan tidak ada basa-basinya.

Shioriko dan diriku hanya bisa menatap satu sama lain.

“Itu adalah sebuah permintaan kepada kami untuk menemukan sebuah buku, dia tidak tahu judul dan penulisnya. Shinobu bilang dia ingin pergi ke rumahnya di kampung halamannya untuk menanyakan itu ke orangtuanya, sekaligus meminta kami apakah kami bisa menemaninya pergi kesana...”

Kujawab pertanyaannya karena akulah yang berbicara dengan Shinobu kemarin. Ketika aku mengatakan Shinobu ingin ke rumahnya di kampung halaman, ekspresi wajah Masashi menjadi suram.

“Begitu ya.” dia menggumamkan itu.

“Apa ada sesuatu?”

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan ini. Pasti ada sebuah alasan mengapa Shinobu tidak mau memberitahu cerita yang utuh soal ini ke suaminya? Setelah beberapa saat hanya terdiam, Masashi lalu berkata.

“Kupikir tujuan utamanya bukan untuk menemukan buku yang pernah dia baca semasa kecil dulu. Tapi untuk berbicara dengan kedua orangtuanya.”

“Eh?”

“Apa kalian tahu kalau Shinobu tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan orangtuanya?”

“Yeah.” akupun mengangguk.

“Kedua orangtuanya adalah tipe orang terdidik. Mereka sudah pensiun, ayahnya dulu adalah PNS di Kanagawa, dan ibunya adalah guru les. Setahuku dia punya saudara, tapi aku tidak pernah bertemu dengan saudaranya.”

Aku ingat dulu Shinobu pernah memberitahuku kalau kedua orangtuanya adalah orang pintar dan mengutamakan pendidikan di atas segalanya. Melihat apa pekerjaan orangtuanya, kurasa itu benar adanya.

“Ibunya sangat ketat kepadanya, dan sering berujung cekcok diantara mereka. Hubungan Shinobu dengan orangtuanya yang panas sepertinya sudah mereda setelah dia lulus SMA...Tapi kembali panas setelah mereka mempermasalahkan pernikahan kami. Karena ibunya jelas tidak merestui, Shinobu meninggalkan keluarganya dan mengganti namanya mengikuti nama keluargaku. Sudah hampir 20 tahun dia tidak kembali ke rumah orangtuanya.”

“Apa dia masih bertemu dengan ayah atau saudaranya?”

“Sesekali dia berbicara dengan mereka lewat telepon, tapi setahuku dia belum bertemu mereka lagi. Dia bahkan menjadikan hubungan keluarganya yang mudah putus itu sebagai bahan candaan denganku.”

Masashi, ketika menjelaskan hal itu, mulai tampak bergetar hebat. Mengesampingkan apa kata Shinobu, dia pasti merasa kalau dirinya menjadi biang kerok hancurnya hubungan keluarga Shinobu.

“Mungkin, beberapa tahun belakangan ini sudah merubah pikirannya. Shinobu memang tidak mengatakannya secara langsung kepadaku, tapi kupikir dia selama ini mencari momen dimana dia bisa berbaikan kembali dengan orangtuanya. Manusia akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai perasaan orangtuanya ketika mereka semakin tua. November lalu, Shinobu dan diriku mendapatkan pesan dari kedua orangtuanya kalau mereka ingin kita berempat makan bersama. Sepertinya, mereka juga menunggu waktu yang tepat selama ini untuk memperbaiki hubungan mereka.”

“Apa kau pergi memenuhi undangan mereka?”

Masashi hanya mengangguk secara perlahan mendengar pertanyaanku.

“Mereka bahkan sudah pesan tempat di sebuah restoran terkenal di Pecinan. Itu adalah reuni pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya, dan akhirnya kita bisa makan dengan tenang. Shinobu dan kedua orangtuanya menikmati pembicaraan mereka tentang nostalgia masa lalu. Aku tidak ingin merusak suasana itu, jadi aku tidak ikut pembicaraan mereka dan hanya makan dengan diam.”

Aku bisa membayangkan Masashi hanya duduk diam di restoran dan memakan sajian restoran tersebut. Kurasa itu jauh lebih logis daripada bergabung dengan pembicaraan mereka.

“Itu bertahan hingga topiknya beralih ke kesehatan mataku. Mereka tampaknya mempermasalahkan itu sehingga membuat kami merasa tidak nyaman. Masalah mulai membesar ketika mereka mulai mempertanyakan tentang bagaimana mulanya kesehatan mataku ini tiba-tiba menurun.”

Akupun menelan ludahku. Beberapa puluh tahun lalu, Masashi mencoba untuk merampok bank dan dia mendapatkan luka yang serius di matanya ketika berusaha kabur dari kejaran polisi. Kesehatan matanya saat ini ada hubungannya dengan insiden itu – tentunya, itu bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mudah.

Baru beberapa bulan lalu, Masashi bisa berterus terang kepada istrinya, Shinobu.

“Sejak awal aku berniat memberitahu mereka semuanya, tapi Shinobu memaksa kalau aku tidak boleh menceritakan kasus kriminalku itu. Aku sudah menjalani hukumanku dan bertobat...Jadi membicarakan hal itu dirasa tidaklah perlu. Aku setuju saja dengan itu dan akhirnya makan malam dengan mereka tanpa berencana memberitahu hal itu, tapi...”

...Tiba-tiba Masashi terdiam. Kini, keringat mulai mengucur dari keningnya.

“Apa mereka...Tahu soal itu?” suaraku tiba-tiba merendah.

Masashi lalu menggaruk-garuk keningnya.

“Benar.”

“Bagaimana mungkin – “

“ – Aku yang memberitahunya.”

Aku tidak percaya dengan barusan yang kudengar. Apa dia mengatakan itu dengan maksud tertentu?

“Aku tidak tahan melihat diriku berusaha menyembunyikan sesuatu dari orang yang tepat berada di depanku. Begitu saja, aku ceritakan seluruh masa laluku. Ayahnya masih mendengarkan ceritaku, tapi ibunya...Mungkin sebaiknya aku tidak menceritakan adegan setelah itu.”

Melihat penjelasan Masashi yang mulai tidak jelas, pasti terjadi sesuatu yang buruk waktu itu. Aku bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya, tapi aku masih ingin mendengarkan itu langsung darinya.

“Lalu apa yang terjadi setelahnya?”

“Shinobu cekcok dengan ibunya dan hampir berkelahi. Makan malam kami berakhir disitu...Semua gara-gara aku.”

Masashi lalu menarik napas yang panjang.

Aku bukannya tidak mengerti mengapa dia tidak ingin menyembunyikan sesuatu karena dia berkomitmen untuk bertobat, karena sudah bertahun-tahun dia hidup menderita dengan menyimpan masa lalunya, andai saja dia tidak melakukannya...

“Aku memang seharusnya lebih sadar diri akan suasana dan tempat kita waktu itu...”

Masashi mengatakan itu seperti baru saja membaca pikiranku. Sepertinya, pria ini juga sudah mengerti situasinya.

“Umm...Jadi apa yang hendak kau bicarakan dengan kami...Yang katamu tadi tentang istrimu?”

Mendengarkan pertanyaan Shioriko, Masashi lalu menganggukkan kepalanya dan berkata.

“Shinobu menjadi emosi karena membelaku, tapi aku masih merasa kalau dia ada keinginan untuk akur kembali dengan orangtuanya. Dia seperti sering melamun belakangan ini. Ketika kutanya ada apa, dia hanya bilang kalau dia memikirkan buku yang pernah dia baca dulu, tapi aku merasa kalau itu tidak sepenuhnya benar. Aku yakin dia sedang mengkhawatirkan hubungannya dengan orangtuanya dan mencari alasan yang tepat untuk menemui mereka.”

Serius?

Aku sendiri agak ragu. Ketika aku berbicara dengan Shinobu, aku merasa kalau dia tidak ingin bertemu orangtuanya dan hanya ingin menemukan bukunya lagi.

“Mungkin orangtuanya – lebih tepatnya ibunya – memiliki pemikiran yang sama. Tapi, jika mereka bertemu lagi, mungkin akan terjadi pertengkaran lagi. Aku mengatakan ini bukannya ingin menjadi mediator antara putri dan ibunya...Tapi bisakah kalian membantuku untuk memastikan kalau pertengkaran mereka nanti tidak akan bertambah panas?”

Sebelum Shioriko meresponnya, Masashi menambahkan.

“Sebenarnya yang tepat untuk mendamaikan mereka itu adalah diriku...Tapi aku dilarang mengunjungi rumah mereka. Mereka bahkan tidak mau menanggapi kata-kataku jika aku berusaha menelpon mereka...Ini harusnya permasalah yang harus kupikul sendirian dan tidak seharusnya kalian juga terlibat di dalamnya, tapi aku mohon, aku butuh bantuan kalian.”

Masashi mengatakan itu sambil membungkukkan kepalanya.






x Chapter II part 3 | END x


1 komentar: