x x x
Komachi
turun dari tangga, seperti sehabis dari bangun tidur. Kalau melihat penampilannya,
dia tampaknya baru bangun dari tertidur
secara tidak sengaja, dan satu-satunya pakaian yang dia pakai selain
pakaian dalamnya adalah T-Shirt milikku yang terlihat kebesaran.
“Sedang istirahat dari belajar?” tanyaku.
“Yep, aku sudah menyelesaikan semuanya
kecuali laporan dan penelitiannya,” katanya.
“Kerja bagus. Apa kau ingin sesuatu untuk
diminum? Kopi, Teh Barley, atau Max Coffee...?”
“Jadi saat ini, kopi dan Max Coffee sudah
dikategorikan dua hal yang berbeda ya...Oke
deh, aku pilih teh barley.”
Max Coffee bukanlah kopi biasa. Ini adalah
sebuah pengetahuan umum. Cafe au lait dan Max Coffee itu berbeda, seperti siang
dan malam. Setahuku, yang satunya itu masih dikategorikan kopi, sedang Max
Coffee dikategorikan variasi dari susu.
Ini adalah sebuah anomali dalam dunia kopi –
begitulah Max Coffee. Ngomong-ngomong, kalau kita berbicara tentang anomali
dunia light novel, maka jawabannya adalah GaGaGa Bunko.
Akupun pergi ke dapur, mengambil botol teh
barley dingin dari kulkas, dan menaruhnya di gelas.
“Ini.”
“Terima kasih.”
Komachi menerima tehnya dengan kedua
tangannya dan meminumnya. Setelah merasa puas, dia menaruh cangkir gelas
tersebut.
“Tahu tidak, Onii-chan.”
Wajah Komachi tiba-tiba berubah menjadi
serius.
“Aku ini sudah belajar dengan sangat, sangat
keras.”
“Oh pasti, kupikir begitu. Tapi, kau masih
ada beberapa tugas yang harus kau selesaikan.”
Dia masih punya laporan dan penelitian untuk
diselesaikan. Juga, ketika membahas tentang belajar untuk ujian masuk sekolah,
akhir dari jalanmu adalah sebuah jalan yang tiada akhir – itu adalah Gold
Experience Requiemku seperti yang di manga Jojo.
Meski begitu, kuakui kalau dia sudah bekerja
keras untuk menyelesaikan semua PR Liburan Musim Panas dalam beberapa hari
belakangan.
“Karena aku sudah bekerja keras, kupikir ada
bagusnya jika aku memberikan diriku sendiri sebuah hadiah.”
“Apa kau ini wanita karir?”
Kalau begini terus, kata-kata “memberikan diriku sendiri hadiah”
jelas-jelas berasal dari seorang wanita yang sedang single. Untuk sejenak,
image wajah dari Hiratsuka-sensei terbayang di kepalaku.
“Intinya, aku butuh hadiah. Karena itulah kau
harus menemaniku pergi ke Chiba, Onii-chan.”
“Kuakui logikamu barusan. Saking logisnya,
itu bisa membuatmu menang perlombaan Birdman,”kataku.
[note:
Lomba Birdman itu semacam lomba dengan kostum atau peralatan buatan sendiri
yang bisa membantu terbang. Mayoritas, pesertanya akan mengalami kecelakaan
yang konyol. Anehnya, lomba ini cukup populer.]
Komachi lalu terlihat kecewa dan menggerutu
kesana-kemari. Entah mengapa, dia sepertinya tidak mau menerima jawaban tidak untuk hal ini.
“Oke, aku paham. Apa kau ingin membeli
sesuatu? Kalau terlalu mahal, aku menyerah saja. Aku cuma punya 400Yen di
dompetku.”
“Bahkan semurah itu saja, kau sudah
menyerah...” Komachi menggumam. “Aku sebenarnya tidak ingin sesuatu yang bisa dibeli dengan uang,”
katanya. “Pergi bersama Onii-chan saja kurasa sudah cukup. Ah, poin milik
Komachi tampaknya akan bertambah banyak lagi!”
“Kau mengganggu sekali...”
Sepertinya, dia tidak menginginkan sesuatu
yang berbentuk fisik. Intinya, kurang lebih dia ingin sekedar jalan-jalan
denganku. Mungkin akan terasa bagus dan baik jika dia pergi bersama
teman-temannya, tapi, aku tidak suka jika nanti ada teman laki-laki yang
datang dan mendekatinya ketika sedang berjalan-jalan di Chiba.
Sebenarnya, ada sebuah tempat di dekat
Stasiun Chiba yang berdekatan dengan pusat hiburan, orang-orang menyebutnya “Tempat Gaul”. Dulunya, tempat itu
adalah tempat nongkrongnya anak-anak
nakal dan preman, jadi aku tidak pernah lagi mendekati daerah itu.
Lagipula, jika nanti terjadi hal-hal aneh
dengan laki-laki yang ada di sana, maka aku tidak punya pilihan lain selain
mengotori tanganku dengan darah. Akan lebih baik jika aku memberitahu ini sejak
awal kepada Komachi.
“Aku tidak keberatan, tapi ganti dulu
pakaianmu. Kalau kau pergi keluar dengan pakaian seperti itu, aku harus
menembakkan laser beam ke setiap pria yang memandangimu. Ah, apa poinku baru
saja bertambah?”
“Entahlah...Sikap siscon-mu itu sangat menakutkan. Lagipula, metodemu itu buruk
sekali.”
Adikku yang tersayang ini seperti baru saja
mundur dua langkah.
...Oh benarkah? Kupikir aku sudah punya
sekitar 80,000 poin atau lebih. Khusus
untuk Hachiman – aku diam-diam mencatat secara detail segala responnya
tentang poin di dalam hatiku. Satu kalimat untuk menggambarkan itu, “Sistem poin Komachi agak keterlaluan”.
Bersaudara dan berlainan jenis, lalu tinggal
di Chiba, punya kemungkinan besar untuk menjadi seorang siscon. Seperti judul light novel, oreimo. Orang-orang biasanya mengatakan hal-hal semacam ini, ‘Aku punya adik perempuan, tapi dia tidak
ada manis-manisnya,’ tapi kau tahu kebenarannya. Selama mereka bersaudara,
mereka akan terus mengatakan kalau adik perempuan mereka tidak manis sama
sekali.
“Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan di
Chiba. Meski begitu, aku sendiri tidak keberatan untuk pergi kesana,” kataku.
“Oooh, terima kasih. Okey, aku akan bersiap-siap dulu kalau begitu. Kau juga ganti
bajumu dengan baju yang membuatmu mudah untuk bergerak, Onii-chan.”
Baju
yang membuatku bergerak dengan mudah.
Memangnya kita akan pergi ke tempat bowling
atau sejenisnya? Atau menggali sesuatu dari dalam tanah? Kurasa bowling yang
pertama lebih masuk akal.
Meski begitu, kenapa orang-orang masih
menyebut ‘baju yang membuat penggunanya
bebas bergerak’? Maksudku, paling mudah untuk bergerak jika kau dalam
keadaan telanjang. Ada juga orang yang sewaktu SD, waktu itu ada lomba lari 50
meter, dia berkata, ‘aku akan serius kali
ini’, dan dia berlari tanpa alas
kaki. Maksudku, orang yang dalam
cerita barusan itu adalah diriku.
Aku mengganti pakaianku, dan memakai celana jeans,
lalu memilih kemeja yang akan kupakai. Ketika aku memakai sepatuku, aku
mendengar suara dari Komachi yang mulai menggeledah seisi rumah.
Ada apa dengan sikapnya itu? Suara itu mulai
terdengar sejak tadi. Meski begitu, kuakui kalau dia itu mirip binatang kecil
dan level manisnya itu sudah menembus atap-atap rumah ini.
Sambil menunggu dan menatap ke arah
langit-langit rumah ini (salah satu skill spesialku), Komachi tampak selesai
berganti baju. Sekali lagi, dia berganti baju di depanku seperti biasanya, tapi
dia sendiri seperti tidak mempedulikanku – dimana ini memang seperti biasanya,
kuanggap terlalu berlebihan.
Akhirnya, dia berpose di depan cermin besar
dengan menaruh tangannya di dagu. Ya, ya, dia memang manis dan sejenisnya.
Jadi, bisakah dipercepat?
Akhirnya, Komachi memasang topinya dan
menatapku.
“Oke, ayo pergi!” dia mengatakan itu sambil
menarik koper dengan kedua tangannya.
Ada dua koper. Koper-koper itu terlihat
padat, jadi kupikir koper itu akan terasa sangat berat. Ketika aku menjulurkan
tanganku, entah mengapa Komachi dengan ceria memberikannya kepadaku.
Jangan
senang dulu. Dia ini mirip-mirp dengan heroine yang bodoh dan memicu emosi
karakter utama sepanjang hari.
Aku memastikan kalau pintu rumah sudah
dikunci dengan aman sebelum pergi, dan kita pergi menuju stasiun.
“Ayolah, tolong jelaskan koper-koper apa ini?”
kutanya Komachi sambil menunjuk ke arah tas yang sedang kubawa. “Kenapa malah
aku yang membawa ini? Apa aku budak pembawa kopermu?”
Komachi menaruh jari telunjuknya di depan
mulutnya.
“Ini adalah sebuah RA-HA-SI-A!” dia
mengatakannya sambil mengedipkan sebelah matanya.
“Kau ini benar-benar mengganggu...”
“Heh, Onii-chan. Rahasia adalah sesuatu yang
membuat seorang wanita, menjadi wanita.”
“Apa kau mengambil quote dari Sherry? Aku
ingat kalau itu ada di manga Conan...”
Ini sering terjadi jika sesaudara membahas
manga – biasanya manga yang sering kupinjam dan dia ikut membacanya juga
sewaktu SD dulu. Tren-nya lebih parah lagi kalau yang dibawa adalah manga
populer yang disukai anak gadis dan laki-laki. Jadi wajar-wajar saja jika
memakai quote manga terkenal.
...Well, ketika aku membaca manga di rumah,
dia akan terus menatap ke arahku, jadi Ibuku yang melihat hal itu akan
mengatakan sesuatu seperti, ‘Biarkan
Komachi ikut membacanya juga’. Juga waktu aku mendengarkan sesuatu lewat
earpohone, dia juga mengatakan sesuatu seperti, ‘Biarkan Komachi juga ikut mendengarkan lewat earphone satunya’.
Konyol sekali. Apa Ibuku pikir kami ini semacam sepasang kekasih atau
sejenisnya? Atau bagaimana jika ada dua anak laki-laki yang melakukan itu
ketika naik kereta untuk pulang dari sekolah? Kalau Ebina-san melihatnya, dia
akan menjadi gila...
Akupun melihat ke arah Komachi, yang
dilakukannya hanyalah bermain-main dengan HP-nya sambil berjalan, melewati
trotoar pinggir jalan, dan masuk ke jalan yang sepi. Matahari tampak menyinari
jalan ini hingga menuju stasiun. Pepohonan yang berada di pinggir jalan tampak
meneduhi jalan ini dengan dedaunan dan dahannya, sementara kucing-kucing
jalanan terlihat sedang tidur dalam daerah yang teduh itu. Aku juga mencium bau
obat nyamuk dari sebuah kebun yang kami lewati, bersamaan dengan suara siaran
TV.
Ketika aku dan Komachi berjalan di trotoar,
beberapa siswa SD tampak naik sepeda dan melewati kami. Mereka tampak sedang
bersenang-senang. Entah mengapa, Komachi dan diriku melihat mereka berdua dan
kembali lagi fokus dengan jalan yang kita lalui. Langkahku terasa lebih lambat
dari biasanya, itu karena aku berusaha menyesuaikan langkahku dengan Komachi
hingga mencapai stasiun.
Kami akhirnya tiba di depan stasiun, dan
ketika aku hendak membeli tiket, Komachi menarik lenganku.
“Onii-chan, kesini! Kesini!”
“Huh? Kalau kita mau pergi ke Chiba, maka
keretanya...”akupun mengatakan itu sambil menoleh ke arahnya.
Merespon kata-kataku, Komachi menarik
lenganku dan menunjuk.
“Kesana!”
Dia akhirnya menarikku ke sebuah tempat di
dekat halte bus. Sebuah minivan yang tidak dikenal tampak terparkir di depanku.
Di kursi pengemudi, tampak sebuah sosok
hitam. Dari bentuk tubuhnya, kutebak kalau dia ini adalah wanita. Dia memakai
celana denim dan kaos hitam ketat dengan lengan tergulung, dan kakinya memakai
sepatu untuk mendaki gunung. Rambut hitam panjangnya diikat dengan model
ponytail, dan dia memakai topi berwarna khaki. Karena dia memakai kacamata, aku
tidak tahu dia sedang memasang ekspresi apa. Tapi ketika dia menatapku,
bibirnya tampak tersenyum dengan kecut.
Aku
punya firasat yang sangat buruk tentang ini...
x Chapter II Part 2 | END x
Dimna analisis nya
BalasHapus