Kamis, 26 Oktober 2017

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 3 Chapter 3 : Spring & Asura (4/9)


"Ayahku tidak meninggalkan wasiat tentang bagaimana seharusnya harta warisannya akan dibagi,  tapi kurang lebih masalah itu sudah selesai sebelum beliau meninggal. Ibuku meninggal terlebih dahulu, jadi masalah warisannya cukup sederhana, dibagi antara kakakku dan aku."

"Kakakku mewarisi toko perlengkapan olahraga milik Ayahku, beserta kepemilikan gedungnya. Sedang aku mendapatkan rumahnya...Juga aku diserahi tanggung jawab mengenai koleksi buku almarhumah di perpustakaan ini. Separuh koleksi disumbangkan ke perpustakaan almamater almarhumah. Dan separuhnya dijual ke Biblia."

"Karena itulah, kami mengundang Ayahmu ke rumah ini...Kalau tidak salah, itu sekitar dua tahun lalu, dan Ayahku merasa kalau usianya tidak akan lama lagi. Tuan Shinokawa juga waktu itu juga tampak kelelahan, meski begitu dia tetap berbagi banyak cerita kepadaku ketika aku membantunya memeriksa koleksi buku disini...Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kondisinya agak...Mungkin karena kita memintanya untuk melakukan sesuatu yang kurang masuk akal."

"Aduh maaf. Ceritanya malah kesana-kemari."

"Oke kulanjutkan. Diputuskan kalau mayoritas koleksinya, termasuk buku Spring and Asura, akan disumbangkan ke almamater Ayahku setelah perpustakaan almamaternya selesai dibangun. Tapi, Ayahku meninggalkan sebuah buku untukku...Dan buku itu adalah buku yang dia beli dari Chieko. Itu adalah buku favoritku dari semua buku yang ada."

"Kakakku, Ichirou, dia tiga tahun lebih tua dariku dan hubungannya dengan Ayah...Ah, hubungannya denganku juga tidak begitu baik. Dia dulunya sering bantu-bantu di toko Ayahku, tapi dia pergi dari rumah ketika remaja. Dan sekarang dia tinggal di Takano bersama istri dan anaknya."

"Rumahnyah memang tidak jauh dari sini, tapi dia jarang berkunjung kesini. Setelah kesehatan kaki Ayahku memburuk, Ayahku sudah mulai jarang kontak dengan kakak beserta keluarganya.  Dari situ Ayahku sudah jarang bertemu lagi dengan dia dan keluarganya, kecuali kadang cucunya mampir kesini untuk meminta uang saku. Baru setelah pemakaman Ayahku, kakakku mulai sering menelponku."

"Ngomong-ngomong, sebulan yang lalu, kakakku tiba-tiba mampir kesini. Katanya, dia sedang senggang dan ingin mengobrol denganku karena sudah lama sekali tidak mengobrol langsung. Ketika kita sedang mengobrol dan minum teh bersama, raut wajahnya berubah drastis setelah kukatakan kalau separuh koleksi perpustakaan dijual ke Biblia. Dia lalu memintaku untuk menyerahkan separuh uang penjualan buku ke Biblia kepadanya karena dia juga pewaris perpustakaan ini."

"Karena aku yang dipercaya mengelola perpustakaan ini, aku tidak pernah memberitahunya kalau buku-buku itu telah dijual."

"Sebenarnya dia berusaha menyembunyikan itu, tapi akhirnya kakakku mengakui kalau bisnisnya belakangan ini tidak berjalan dengan baik, dan keuangannya juga kurang baik. Mungkin, maksud kedatangannya waktu itu untuk meminjam uang kepadaku."

"Meski begitu, kuakui kalau dia ada benarnya soal uang penjualan buku ke Biblia. Akhirnya, kutransfer separuh uang penjualannya ke rekeningnya."

"Waktu itu, kuberitahu kepadanya kalau buku yang tersisa di perpustakaan akan disumbangkan, alias tidak untuk dijual...Tapi beberapa hari setelahnya, ada yang menelponku     kali ini adalah istrinya. Katanya, dia diberitahu suaminya kalau masih ada buku tersisa di perpustakaan, lalu menyarankan agar buku tersebut dijual saja, lalu hasil penjualannya dibagi separuh seperti dulu."

"Tentunya, aku menolak...Tapi dia malah terus menelponku setiap hari. Saking muaknya, aku mulai tidak mau mengangkat telepon darinya."

"Pada hari minggu kemarin, kakakku tiba-tiba datang lewat gerbang taman bersama istrinya. Katanya, dia ingin berdiskusi tentang buku-buku yang tersisa di perpustakaan."

"Aku yakin kalau mereka memilih momen dimana mereka tahu kalau aku pasti ada di rumah. Bibiku pernah datang ke rumah beberapa hari sebelumnya, dan aku memberitahunya kalau aku berencana untuk merawat kebunku di hari minggu. Kakakku dan istrinya pasti mendapatkan info darinya."

"Kuajak mereka ke ruang tamu ini, ya mau bagaimana lagi. Meski obrolan kita hanya satu jam, kuakui obrolan kami waktu itu tidak bisa dikatakan obrolan yang menyenangkan."

"Kuberitahu kepada mereka, selalu dan selalu, kalau menyumbangkan buku-buku tersebut adalah wasiat Ayah dan sudah ada perjanjian dengan pihak universitas, tapi kakakku dan istrinya terus bersikeras kalau aku harus membatalkan perjanjian tersebut dan membiarkan kakakku dan istrinya yang mengatur soal koleksi buku yang tersisa."

"Di akhir percakapan kami, mereka menyatakan kalau mereka sudah menghubungi toko buku di Jinbocho, dan mereka bilang akan menjual buku-buku di perpustakaan ini minggu depan, jadi aku mulai hilang kontrol setelah mendengar itu. Dengan emosi, aku katakan kepada mereka kalau aku berniat untuk mengikuti wasiat Ayahku. Sambil mengusir mereka keluar, kukatakan kepada mereka kalau aku tidak mau menerima mereka lagi sebagai tamu di rumah ini."

"Tapi emosiku menurun ketika aku berdiri di gerbang dan melihat kepergian mereka. Kupikir, aku terlalu kasar ke mereka. Akupun berjalan kembali ke rumah dan menuju perpustakaan Ayahku sambil berpikir bagaimana caranya untuk meyakinkan mereka."

"Tapi setelah aku masuk ke perpustakaan, aku menyadari sesuatu yang janggal."

"Ada tanda-tanda kalau ada orang selain diriku sudah masuk ke ruangan ini. Pintu rak buku tampak terbuka, dan satu hal lagi, sebuah buku yang memang tidak untuk disumbangkan, yaitu buku Spring and Asura dimana itu diwariskan Ayahku untukku, hilang..."

"Aku yakin kalau buku tersebut ada di perpustakaan ketika aku membersihkan perpustakaan ini di pagi hari, jadi aku yakin kalau tidak kakakku, maka istrinya yang mengambilnya. Waktu percakapan terjadi, mereka berdua memang secara bergantian permisi keluar ruangan, disitulah mereka punya peluang tersebut. Lagipula, pintu rak buku disini memang tidak memiliki kunci."

"Kutelpon kakakku setelah itu dan memintanya mengembalikan buku tersebut, tapi dia malah balik berteriak kalau dia tidak tahu apapun soal buku yang kumaksud. Istrinya juga bersikeras kalau dia tidak tahu apa yang kubicarakan..."

"Aku tidak mempermasalahkan tentang uang. Kalau saudaraku ada masalah dan ingin meminjam kepadaku, maka aku akan berusaha memberikan yang terbaik...Yang kuinginkan hanyalah buku tersebut kembali kepadaku. Aku ingin kalian mencari pelakunya dan memintanya untuk mengembalikan buku milikku itu. Tentunya, ini tidak gratis dan aku berniat membayar jasa kalian."

"Kukatakan dengan jujur saja, tolong terima request dariku ini."

Setelah menyelesaikan pidatonya yang cepat itu, Tamaoka Satoko menundukkan kepalanya. Shioriko yang sedari tadi hanya mendengarkan saja, mulai meresponnya.

"Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya...Saya tidak tahu akan seberapa bergunanya diri saya ini dalam masalah anda." nada suaranya tampak lebih kuat dari biasanya. "Meski begitu, saya punya keinginan untuk mewujudkan wasiat Ayah anda. Jadi tolong, tegakkanlah kepala anda."

Aku merasakan sisi yang berbeda dari Shioriko. Ini adalah kasus dimana dia memilih untuk menerimanya secara ikhlas; bukan karena diseret dengan sengaja oleh pihak lain. Meski dia memang tidak begitu baik dalam komunikasi dengan orang lain, kurasa bukan berarti dia tidak punya simpati ke orang lain.

Kata Takino, Shioriko hanya baru-baru ini saja menerima request, kupikir karena memang peluang untuk menerima requestnya saja yang tidak ada, tidak ada hubungannya dengan diriku yang bekerja disana.

Entah mengapa, aku merasa ada sebuah perasaan kesepian yang mendalam dalam pemikiranku barusan.

"Meski begitu, saya masih memiliki beberapa pertanyaan untuk anda. Apakah anda tidak keberatan?"

"Tentu. Silakan tanya apa saja." Satoko merespon kata-kata Shioriko.

"Pertama, apa pendapat anda tentang si pencuri yang memilih mengambil buku Spring and Asura yang kondisinya lebih buruk? Padahal ada buku lainnya yang kondisinya jauh lebih baik di perpustakaan, benar tidak?"

"Aku percaya kalau kakakku itu tidak tahu kalau ada dua buku disini. Ketika dulu Ayahku beli buku yang kedua, dia sudah pergi dari rumah. Memang buku yang lainnya waktu itu ada di perpustakaan, tapi dia juga tidak tahu kalau buku itu tidak termasuk dalam buku yang hendak disumbangkan. Malah, aku juga ragu dia tahu kalau ada dua buku sejenis disini."

Ada benarnya juga, akan sulit mengenali kalau ada dua buku serupa disini, meski dalam ruangan yang sama. Dan jika sejak awal dia tahunya hanya ada satu buku sejenis, maka dia tidak punya alasan kuat untuk mencari buku yang lainnya.

"Itu cukup masuk akal. Terima kasih." Shioriko mengangguk dan melanjutkan pertanyaannya.

"Kalau boleh tahu, seperti apa ipar anda itu? Bisakah anda beritahu saya usia dan pekerjaannya?"

"Namanya Sayuri dan usianya 41 tahun, mungkin juga 42 tahun. Ada jarak usia yang cukup jauh antara kakakku dan dia, tapi dulunya iparku itu adalah mantan karyawannya. Mereka mulai dekat sebelum bekerja di tempat yang sama...Dan karena hamil diluar nikah, akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Sampai sekarang, iparku itu bisa dianggap tangan kanan kakakku."

Tidak heran. Kalau ceritanya benar tentang usahanya yang tidak berjalan dengan baik, maka mereka berdua sedang berada dalam kesulitan ekonomi. Masuk akal kalau mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan mendapatkan uang mudah.

"Apa mereka berdua suka membaca?"

"Aku tidak tahu apakah dulu kakakku itu sering membaca buku di perpustakaan Ayah, tapi mungkin lebih tepatnya aku sendiri tidak yakin kalau dia suka membaca. Kupikir Sayuri juga tidak punya minat untuk membaca. Pernah, Ayahku hanya tersenyum kecut ketika dia bilang kalau dia tidak tahu satupun puisi karya Takuboku."

Akupun berusaha menahan tawaku. Aku sendiri juga tidak tahu soal puisi itu.

"Kata anda tadi, mereka sempat pergi keluar sesekali. Bisakah anda memberitahuku waktu tepatnya?"

"Kuantar Kakak dan Iparku itu ke ruangan ini sekitar jam 11."

Satoko lalu melihat ke arah jam dinding seperti berusaha mengingat sesuatu.

"Sekitar 15 menit kemudian, Sayuri permisi keluar ruangan dengan alasan harus menelpon rumah. Karena HP-nya tertinggal di rumah, dia meminjam HP-ku...Lalu dia menuju lorong dengan membawa tasnya."

"Jadi saya asumsikan dia menelpon rumahnya di lorong." jawab Shioriko. Sepertinya dia berusaha mengingat-ingat seluruh keterangannya.

"Apakah anda bisa mendengar suara Sayuri di lorong?"

"Tidak...Waktu itu aku masih berdebat dengan saudaraku, jadi mustahil untuk bisa mendengarnya. Sayuri lalu kembali kurang lebih 5 menit kemudian. Tidak lama kemudian, kakakku permisi keluar, sekitar dua menit untuk ke toilet. Setelah itu, mereka berdua tidak pernah meninggalkan kursinya lagi."

Aku merasa kalau kakakknya lebih mencurigakan. Aku tadi ke toilet sebentar dan ternyata lokasinya berdampingan dengan perpustakaan. Bisa saja dia pura-pura ke toilet, tapi kenyataannya ke perpustakaan untuk mengambil buku. Istrinya juga berpeluang, tapi memang sulit bagi orang yang tidak tahu soal buku untuk memilih buku mana yang dimaksud dari sekian banyak buku yang ada di perpustakaan.

"Dan ketika Kakak dan Ipar anda pulang, anda melihat mereka pergi keluar lewat gerbang, benar?"

"Mungkin melihat kurang tepat ya, lebih tepatnya kita terus berdebat sampai di gerbang...Aku merasa tersinggung waktu itu..." Satoko menjawabnya dengan agak ragu. Pasti perdebatan yang sangat serius.

"Jadi momen-momen tadi adalah waktu dimana anda tidak tahu persis apa yang sedang mereka lakukan?"

Satoko mengangguk dan membenarkan itu.

"Ya, itu benar."

Shioriko memegangi dagunya dan melihat ke arah meja. Dia mungkin sedang menyusun waktu kejadian di kepalanya. Mungkin saja, dia menemukan beberapa petunjuk.

"Apa anda ingat mereka waktu itu memakai apa?"

"Memakai?"

"Ya. Baju apa yang dipakai kakak  dan ipar anda waktu itu?"

AKupun bingung dengan pertanyaan ini, tapi mungkin Shioriko ini ingin tahu lebih detail tentang sesuatu.

Pakaian mereka pasti cukup berkesan baginya, karena Satoko langsung menjawabnya tanpa berpikir.

"Kakakku memakai sweater tipis berwarna merah dengan celana hijau...Dia tidak membawa mantel. Sedang Sayuri memakai gaun biru dengan mantel ungu...Kurasa begitu."

Mereka tipe-tipe orang yang suka memakai pakaian formal...Berkebalikan dengan Satoko.

"Apa mereka membawa sesuatu?"

"Bagaimana ya...Kakakku tidak membawa apa-apa, tapi Sayuri membawa tas tangan yang bermerk. Dia terus membawanya ketika sedang menelpon."

"Begitu ya..." Shioriko lalu mengubah posisi duduknya. "Apa ada orang lain selain penghuni dan mantan penghuni rumah ini yang tahu tentang koleksi buku Ayah anda?"

"...Paling-paling teman lama Ayahku...Kupikir kerabatnya sekalipun tidak tahu soal ini. Ayahku hanya berbicara soal buku kepada mereka yang menyukai buku saja."

Shioriko kini hanya menatap ke arah Satoko saja. Sepertinya itu adalah pertanyaan terakhirnya.

"Apakah kau menemukan sesuatu?" Satoko sedang menunggu sebuah jawaban.

Shioriko hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.

"Hmm...Agar memperoleh gambaran lebih jelas, yang harus kulakukan adalah     hal pertama yang harus kulakukan     adalah berbicara dengan keluarga Kakak anda. Apakah anda bisa memberi saya kontak mereka?"

"Pasti bisa. Tolong tunggu sebentar." Satoko kemudian mengambil pena dan menulis nomor telepon di sebuah kertas memo.

Tulisan tangannya seperti tulisan anak kecil, dan sulit untuk dibaca. Kalau dilihat lebih detail, ujung dari penanya tampak bergetar     dia mungkin sedang dihinggapi kecemasan. Cukup jelas untuk menggambarkan kalau buku itu sangat penting baginya.

"Maaf ya kalau aku sudah memberi kalian request yang tidak masuk akal ini. Aku sudah tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa." Satoko tampak menangis ketika memberikan nomor kontak saudaranya.

"Aku akan memberitahunya kalau kalian ingin menemuinya. Aku sangat berterimakasih atas bantuan kalian."



x Part 4 | END x

3 komentar:

  1. Kapan gan translate oregariu volume 12?

    BalasHapus
  2. Tanya gan. Blibia ln sama manga detail yg mana ya gan? XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sumber original adalah light novel, jadi jelas lebih detail LN.

      Hapus