Percikan air membasahi wajahku, membuat riak-riak
di atas permukaan air. Pagi yang sunyi dan hanya terdengar suara riak air
memang agak menyeramkan.
Kubuka perlahan kedua mataku, terdapat pantulan
cahaya matahari yang masuk lewat jendela. Di permukaan air tersebut muncul
sesosok wajah yang familiar, melankolis, dan kedua matanya yang sayu. Kutarik
penutup dasar wastafel, dan air yang keruh yang tadinya memantulkan wajahku,
kini mulai menghilang.
Kuseka wajahku dengan handuk kering, dan
mengembuskan napas yang cukup dalam.Aroma menthol dari pembersih wajah yang
kupakai mulai tercium di ruangan ini. Kulihat di depan cermin wastafel, ada
sesosok wajah dengan ekspresi malas disana. Meski terlihat malas, mungkin lebih
tepat dibilang wajah malas yang segar, karena baru saja terkena air. Ekspresi
wajahku memang tampak lebih baik jika dibandingkan semalam. Mungkin, inilah
yang terjadi setelah sesuatu berakhir.
Kemarin, kontes yang sudah berjalan hampir setahun
di Klub Relawan telah berakhir, aku kalah. Tarikan napasku yang lemah ini,
diiringi perasaan lega daripada perasaan sedih.
Sekarang, semuanya sudah berakhir.
Yang tersisa bagiku adalah melaksanakan permintaan yang
sudah diberikan kepadaku, permintaan yang hanya harus dilakukan olehku seorang.
Permintaan Yukinoshita Yukino adalah menjalankan
keinginan dari Yuigahama Yui, itulah yang harus kulakukan.
Kugunakan Nivea Face Lotion di wajahku, lalu
membersihkan kedua tanganku seakan-akan aku sudah siap untuk melakukan
aktivitas hari ini.
Musim berganti seiring bergantinya penanggalan di
kalender, dimana wajar saja kalau merasakan temperatur air mulai menjadi
sedikit hangat dari biasanya, dan membuat kegiatan mencuci wajah di pagi hari
lebih santai dari biasanya. Meski begitu, jari-jariku masih terasa dingin.
Kuselimuti jari-jariku sejenak dengan handuk, lalu meninggalkan kamar mandi.
Rumahku sendiri, meski tidak bisa dibilang besar,
sepertinya sedang dalam sebuah kesunyian yang mendalam, dimana tidak ada
satupun suara yang terdengar. Hanya suara dari jarum detik jam dinding yang
mengisi kekosongan di ruang keluarga ini.
Biasanya, aku habiskan waktuku di kamar tidur saja.
Kalau kedua orangtuaku, antara mereka sedang tidur pulas, atau sudah pergi
kerja karena kesibukan yang tinggi di akhir tutup buku perusahaan. Entahlah,
kurang lebih seperti itu, tapi bukan masalah yang serius.
Aku berjalan menuju dapur, dan menyiapkan pemanas
air. Sambil menunggu air mendidih, kuambil botol kopi bubuk di sampingku,
kugoyang-goyangkan sekali, dua kali. Tiba-tiba, suara berderit muncul dari
pintu ruang keluarga yang baru saja terbuka.
“Whoa...Menakutkan...” kataku, sambil berusaha
menenangkan diriku yang baru saja ketakutan.
Kulihat dengan seksama pintu tersebut, ternyata
yang muncul adalah kucing kami, Kamakura, dia terlihat menguap dan berusaha
merenggangkan tubuhnya. Aku tidak tahu persisnya kapan, tapi kucing ini mulai
bisa membuka pintu dengan memukul-mukul dan bergelantungan di gagang pintu. Dia
pernah membuatku takut setengah mati ketika melakukannya tengah malam.
Kulihat kembali mugku, ada tumpahan bubuk kopi
gara-gara efek spontan dariku yang baru saja terkejut.
“Bisa tidak lain kali masuknya lebih tenang...?
Kalau saat ini adalah momen dimana kau menghadiri interview, kau sudah
dinyatakan gagal.”
Tentunya, Kamakura tidak mempedulikan kata-kataku,
dan mulai sibuk menjilati cakar-cakarnya. Kulihat dirinya sambil
menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak lama kemudian, dari belakang Kamakura muncul
Komachi yang memakai piyama. Setelah menyadari kehadiranku, dia menggosok-gosok
kedua matanya dan menyapaku dengan kondisi setengah menguap.
“Oh, Pagi Onii-chan.”
“Yeah, pagi.” Kuanggukkan kepalaku.
Komachi lalu berjalan menuju kulkas dan mengambil susu
karton. Kuambil secangkir gelas dari dapur untuknya, dan menawarkan gelas
tersebut kepadanya. Dia mengambil gelas tersebut, berterimakasih kepadaku
dengan suara yang menggumam, dan sempoyongan berjalan menuju meja kotatsu.
Kamakura mengikutinya sambil merayu Komachi untuk memberinya susu juga. Komachi
bermain dengan Kamakura dengan menggosok-gosokkan kaki Kamakura ke kepala
Komachi.
Komachi lalu mengisi gelasnya dengan susu, dan
meminumnya hingga habis. Setelah diam sejenak, dia membetulkan posisi badannya
seakan-akan memberitahu kalau dia sudah sepenuhnya terjaga. Komachi membuka
kedua matanya dan melihat ke arahku. Setelah itu, dia mengedipkan kedua matanya berkali-kali.
“Apa!? Kalau bangun pagi sekali! Seperti, serius
ini!”
“Apa...Kau saja yang lemot...Serius, lemot sekali...”
Komachi lalu menajamkan pandangan matanya, dengan
susu yang belepotan di bibirnya, dia bertanya.
“Ada apa ini? Apa ada sesuatu hari ini?”
“Tidak, tidak ada. Hanya saja aku kebetulan saja
bangun pagi, itu saja...” jawabku, sambil menaruh bubuk kopi di gelasku.
Kuisi gelasku dengan air panas. Aroma yang khas
disertai dengan uap yang mengepul seperti membentuk sebuah pola yang tidak bisa
bertahan lama. Minuman ini masih terlihat terlalu pekat, tapi dengan adanya
tambahan susu dan gula, akan membuatnya terasa pas. Lalu akupun berjalan menuju
kotatsu sambil membawa dua buah mug di tanganku.
Komachi berada dalam kotatsu, lalu menaruh Kamakura
di pangkuannya, dia merasa heran dengan diriku yang sedari tadi menatap bekas
susu yang ada di mulutnya.
“Mmhmm...?”
Dia menatapku dengan keheranan, atau mungkin,
sedang mengagumiku. Merasa ini sudah dalam level yang tidak nyaman, aku
mengambil tiga helai tissue dan memberikan itu kepadanya.
“Kumis...”
“Oh, oops.”
Sementara dia membersihkan mulutnya, kuambil susu
yang berada di atas kotatsu, dan menuangkannya ke dalam kedua mug tersebut.
Setelah selesai membuat dua Cafe au laits, aku memberikan satu ke Komachi.
Awalnya dia agak keheranan, namun tidak lama kemudian dia menerima mug tersebut
dengan senang hati.
“Terimakasih.”
Kubalas terimakasihnya, dan memegang erat-erat mug
milikku. Kutiup pelan-pelan untuk sedikit mendinginkan kopiku, dan meminumnya
sedikit. Komachi juga meniru apa yang aku lakukan, namun dia melakukannya
sambil menatap ke arahku. Ketika kedua pandangan kami bertemu, diapun
mengangguk.
“...Oke, katanya kau sudah tidur dengan cukup. Tapi
kalau melihat matamu yang membusuk itu, sulit rasanya untuk mengetahui itu
benar atau tidak.” Kali ini candaannya memang kelewatan.
Memang jarang bagiku untuk bangun pagi, karena itu
Komachi mulai khawatir dengan kesehatanku. Ya ampun, Komachi-chan, kamu baik
sekali...Untuk menunjukkan rasa terimakasihku, akupun tersenyum. Aku sebenarnya
orang yang pemalu! Sulit rasanya bagiku untuk bilang terima kasih! Aku lebih
baik melakukan hal selain itu.
“Pergi dari sini, kuberitahu ya, aku tidur seperti
kayu gelondongan. Mungkin saja rekor tidurku selama ini sudah kupecahkan.
Tataplah kedua mataku yang udah terbakar matang ini.” Kataku, kubuka kedua
mataku lebar-lebar seperti hendak mengeluarkan Starburst Stream. Meski, itu
mirip-mirip Kirito.
Sebaliknya, Komachi melihatku dengan tatapan ragu.
Kemudian dia menaruh tangannya di dagu seperti hendak memikirkan sesuatu. Tidak
lama kemudian, dia memiringkan kepalanya.
“...Terbakar matang, seperti?” tanyanya. Melihatnya
seperti itu, membuatku merasa tidak nyaman. Ketika mulutku hendak mengatakan
sesuatu, dia tersenyum.
“Yang terpenting, kau ini baik-baik saja.”
“Yeah, jangan khawatir. Tidurku nyenyak, meskipun
tidak lama.”
Sebenarnya, tidurku semalam memang nyenyak. Seperti
baterai yang baru saja di-charge penuh, entah karena merasa terbebas dari
stress karena kesibukan belakangan ini atau karena kelelahan sampai pulang
larut. Saking nyenyaknya, aku tidak bermimpi apapun.
Meski alasannya seperti itu, sebenarnya ada
beberapa hal yang terjadi sebelum aku benar-benar berada dalam fase “tidur
lelap”. Itu karena tadi malam aku terus menatap handphoneku setelah melemparnya ke kasur. Aku bingung
ketika hendak menghubungi Yuigahama tentang kejadian-kejadian yang terjadi
belakangan ini. Aku terjebak dalam dalam sebuah loop diantara aku mencoba
menulis pesan yang terlalu pendek, atau terlalu malam, dan juga berkali-kali
menghapusnya, lalu menuliskan kembali. Tiba-tiba, mataku terasa berat dan
secara tidak sadar aku tertidur ketika memikirkan apakah sopan bila
menghubunginya pada larut malam ataukah aku harusnya membicarakan itu dengannya
secara langsung.
Kuhitung dengan cermat waktunya sebelum ketiduran,
dan kukalkulasi kalau aku akan tidur sekitar 3 jam.
Ada sebuah teori, kalau pola tidur manusia sekitar
90 menit dan terbagi dua tahap: REM, dimana memulihkan kelelahan mental, dan
non-REM, dimana memulihkan kelelahan fisik. Kalau hanya ingin bangun dan merasa
segar, bangunlah ketika periode REM berakhir, atau dinamakan tidur sejenak.
Kalau kau mampu menguasai teknik ini dan punya
pekerjaan, kau akan dijamin aman, seorang SDM yang murah dan bisa menjadi budak
perusahaan andalan. Yang kau butuhkan hanyalah tidur selama 90 menit setiap
harinya dan kau bisa bekerja untuk selamanya!
Bleh...Itu bisa membunuhku.
Masa depan semacam itu, hanya membunuhku saja, tapi
masa depan bukanlah yang terjadi saat ini. Malahan, saat ini aku merasa lebih
berenergi dari biasanya. Komachi, yang sudah lama tinggal bersama, sepertinya
menyadari hal itu.
“Uh huh...Sepertinya kau memang tampak lebih
segar.” Komachi mengatakan itu dengan pelan sambil meminum Cafe au laitnya.
“Lagipula, aku sudah menyelesaikan pekerjaanku.”
Akupun memegangi bahu dan leherku, dan mulai
menggerak-gerakkan leherku. Komachi tampak penasaran dan memiringkan kepalanya.
“Maksudku, soal Malam Perpisahan, ingat tidak?
Akhirnya, kita akan mengadakannya.”
“Oh, betul. Begitu ya. Kedengarannya menyenangkan!”
diapun tersenyum.
Kalau Malam Perpisahan menjadi sebuah event
tahunan, Komachi, yang sudah resmi akan menjadi siswi SMA Sobu, bisa
berpartisipasi dalam event tersebut. Mungkin, dia sangat antusias karena itu.
Hal itupun membuatku merasa sedikit terhibur.
“Terlalu dini untuk membayangkan Malam
Perpisahannya, benar tidak...? Kau masih harus menjalani upacara penerimaan, oh
tunggu dulu, sebelum itu kau juga harus hadir di acara perpisahan SMP, benar
tidak?” akupun baru menyadari itu.
“Yep, itu minggu depan.” Komachi menjawab.
“Serius? Cepat sekali. Tunggu, tanggal pastinya
kapan? Lokasi dimana? Apakah keluarga juga diundang?”
“Oh, tidak, tidak tidak, kau jangan datang, itu
malah akan membuat acaranya menjadi aneh, tahu tidak? Tidak ada yang
mengundangmu. Kau masih harus sekolah, tahu tidak?” dia mengulang-ulang itu,
menggoyang-goyangkan tangannya sambil menatapku dengan serius. Sikapnya itu
membuatku terdiam dan mulai membuatku jengkel.
Memang, kalau tidak ada yang mengundangmu, maka kau
jangan datang. Misalnya saja: acara alumni teman sekelas, atau pertemuan
alumni, atau juga pertemuan lingkaran pertemanan. Jika ada orang yang tidak
diundang ikut serta dimana tidak ada seorangpun yang mengharapkan itu, maka
suasana pertemuan akan kacau. Kemudian, ketika mereka sepakat untuk bubar, akan
ada orang yang bertanya langsung atau posting di media sosial, “Uh, jadi akan
kutanya satu persatu, kenapa dia bisa
datang? Tolong dijawab dengan jujur. Oke, aku akan bertanya pertama kepada
Enraku-san.”. Begitulah diskusi dimulai dan akhirnya akan berujung saling
sindir, dan menjadi hiburan terbaik hari itu.
Well, tanda tanya besar memang lumrah terjadi
ketika ada orang luar tiba-tiba datang dan ikut bergabung. Maksudku, mengapa
orang itu datang meskipun tahu mereka tidak diundang? Brengsek.
Ada orang yang bernama Deadline. Orang ini tidak tahu membaca situasinya. Dia akan
memanggilmu “Halo, saya Deadline...Saya
sekarang berada tepat di belakangmu...” dan ketika kau membalikkan badanmu, dia
ternyata berada disana. Pasti suasananya akan menjadi horor waktu itu. Dia
pasti sejenis hantu atau iblis, sebuah hal mistis...
Tunggu dulu, bukankah itu artinya Deadline adalah hal yang tidak nyata?
Hal-hal aneh mulai membanjiri kepalaku, tapi jika
merunut pengalamanku, deadline dan hari pengiriman memang nyata adanya.
Deadline benar-benar nyata. Yang tidak nyata adalah kemungkinan aku akan
menghadiri acara kelulusan Komachi.
Akupun bertambah kesal dan menatap Komachi. Dia
sendiri sedang menyilangkan lengannya, dan tampak kurang senang. Kerutan di
alis matanya merupakan penanda kalau ini adalah momen dimana aku tidak boleh
mengatakan hal yang konyol seperti “Tidak apa-apa! Onii-chan memang tipe orang
yang tidak pernah diundang apapun, jadi aku akan baik-baik saja! Bahkan ketika
seseorang menatapku dengan tatapan serius, aku akan baik-baik-saja! Aku sudah
terbiasa!”.
“...Yeah, yeah, aku paham. Aku tidak akan datang.”
Kataku, sambil menggerutu. Komachi lalu bernapas lega dan menutup kedua
matanya, seperti puas akan responku.
“Selama kau mengerti...Tapi jujur saja, kurasa aku
akan menangis dan merasa sangat memalukan jika kau melihatku,” dia mengatakan
itu sambil memalingkan pandangannya dariku.
Sebagai kakaknya, aku sudah paham ekspresinya yang
seperti ini, jadi aku tidak butuh waktu lama untuk memikirkan itu, tapi kurasa
itu harusnya tidak dilakukan lagi karena mengingat umurnya yang sudah seperti
itu. Tunggu dulu. Tentu saja, ada sesuatu yang terpikirkan olehku. Seperti
betapa manisnya dia! Maksudku, dia tidak harus menangis, karena dia selalu,
maksudku, selalu manis. Lihat saja dia, cara dia mengganti topik pembicaraan
dengan pura-pura batuk saja sudah manis. Cara dia tersenyum untuk
menyembunyikan rasa malunya juga manis. Dan terakhir, bibirnya ketika sedang
berbicara juga manis!
“Jadi, aku tidak masalah jika merayakan kelulusanku
diluar acara itu!”
“Betul...Aku akan memikirkan dahulu seperti apa.
Aku dulu tidak melakukan apapun waktu hari ulang tahunmu dulu.” Kataku, sambil
meminta maaf. Belakangan ini aku merasa terlalu sibuk dengan urusanku, sehingga
harus menunda beberapa hal, dan aku menyesal tidak merayakan ulang tahunnya
bersama-sama.
Komachi menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tidak apa-apa, kau tidak perlu memaksakan dirimu
seperti itu. Aku tidak masalah kalau kegiatannya di sela-sela kesibukanmu.
Lagipula semuanya sedang sibuk, benar tidak? Seperti, dengan acara Malam
Perpisahannya.”
Mendengar itu membuatku terdiam sejenak, meski dia
mengatakan itu hanya sekedar mengisi topik.
“...Yeah, kau benar. Yeah...Tunggu, aku punya
banyak waktu luang. Memang benar, aku ada pekerjaan yang harus kulakukan, hanya
saja aku belum merencanakan itu.” Aku mengatakannya dengan terburu-buru, sambil
menggerakkan bahuku agar terlihat meyakinkan. Tapi, usahaku itu tampak tidak
memberikan hasil. Dia sudah hidup bersamaku lebih dari 15 tahun, dia tahu betul
gestur dan karakterku. Meski aku terlihat berhasil menyembunyikan sesuatu
ataupun bisa memberikan alasan yang logis, dia pasti tahu sesuatu.
“Hey...” dia tidak melanjutkan kata-katanya, dan
meminum minumannya terlebih dahulu. Cafe au laitnya tampak berusaha melembabkan
bibirnya yang kering, dan dia tampak ragu apakah terus melanjutkan itu atau
tidak.
Aku tidak perlu mengatakan apapun, karena aku sudah
tahu apa yang hendak dia tanyakan. Kutunggu dia menyelesaikan kata-katanya,
sambil kuminum cae au laitku.
“Onii-chan, apakah terjadi sesuatu?” dia bertanya
kepadaku dengan hati-hati, dan menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya.
Beberapa waktu yang lalu, dia bertanya tentang hal
yang sama. Kata-kata yang sama persis di hari setelah event Darmawisata Sekolah
yang terjadi pada akhir musim gugur atau awal musim dingin. Dulu, dia
menanyakan itu sambil becanda, namun berbeda kali ini. Sikapnya agak ragu
mungkin karena pertengkaran setelah dia menanyakan itu dulu, pertengkaran yang sudah
lama tidak pernah kita lakukan. Tapi, kali ini sepertinya dia sudah kehabisan
opsi selain bertanya langsung, bukannya itu hobinya atau merasa senang dengan
yang menimpaku, tapi karena dia ingin meringankan bebanku, meski itu artinya bisa
jadi pertengkaran jilid selanjutnya. Kepeduliannyalah yang membuatku tergerak
untuk mengatakan sesuatu.
“...Yeah, memang terjadi sesuatu.” Gumamku.
Komachi tampak terdiam, seperti terkejut dengan
responku. Dia mengedipkan matanya dua sampai tiga kali, seperti masih dalam
kondisi kaget, lalu dia mengatakan sesuatu dengan pelan.
“Terjadi sesuatu ya, huh?”
“Yeah, banyak sekali yang terjadi...” kataku dengan
senyum yang kecut. Entah mengapa, kata-kataku tampak lebih nostalgia dari
biasanya, seperti merasa nostalgia dengan rumah yang tidak bisa kudatangi lagi.
Kata-kata tersebut juga diselimuti fakta kalau hari-hari yang membahagiakan itu
sudah berakhir.
“Banyak sekali ya, huh?”
“Yeah,” jawabku, suaraku tampak lebih meyakinkan
dari yang kukira. Kutatap Komachi tanpa rasa ragu sedikitpun.
“Begitu ya,” dia menjawabnya, dan terdiam. Sambil
berpikir, dia menatap ke arahku.
“Huh? Apaan?” Tanyaku, aku merasa tidak nyaman
dengan kesunyian ini.
“Oh bukan begitu, aku baru saja berpikir kalau
sikap jujurmu tadi itu terasa menjijikkan,” dia menjawabnya dengan begitu saja.
“Wow...Bukannya kau yang tanya duluan?” tanyaku.
“Maksudku, aku tidak pernah menduga kalau kau akan
menjawabnya,” jawabnya, sambil menggerutu.
“Oh, benar...Yea, benar juga.” Kataku, dan diapun mengangguk.
Benar. Biasanya aku akan mengalihkan topiknya. Bisa
juga aku mengambil sikap pasif-agresif dan memberinya kode untuk berhenti
membahas itu lagi. Tapi kali ini, aku memilih untuk tidak lari dari topik
tersebut, malahan memberitahunya dengan tersenyum. Karena itulah, dia terlihat
curiga, bahkan sekarang mulai cemas denganku.
“...Boleh tahu ada apa?”
Dia tampak memilih kata-katanya dengan hati-hati.
Akupun membuat gestur berpikir dan melihat ke arah jam dinding. Dia meniru
gesturku, melihat ke arah jam, dan menatapku kembali, seperti menunggu
kata-kataku selanjutnya.
Sebenarnya masih banyak waktu sebelum pergi ke
sekolah, tapi jika aku mulai bercerita sekarang, maka akan memakan banyak
sekali waktu. Lagipula, ini bukanlah pembicaraan yang cocok untuk dilakukan di
pagi hari. Lagipula, ada hal yang harus kulakukan terlebih dahulu. Kalau melihat
situasinya, menceritakan itu kepadanya saat ini, malah hanya memberinya info
yang setengah-setengah, dan membuatnya sulit menangkap inti permasalahannya.
Tidak banyak yang bisa kukatakan saat ini, tapi ada kata-kata yang tepat untuk
itu.
“Akan kuceritakan nanti,” kataku.
Ketika semuanya selesai, aku yakin akan
menceritakan itu kepadanya, dengan jujur Tapi bukan saat ini, di suatu waktu di
masa depan.
“...Oke.” Komachi tersenyum. Dia memutuskan untuk
tidak mencari tahu lebih jauh. Komachi yang kutahu memang yang peduli dengan
perasaanku saat ini.
“...Maaf. Mungkin juga nanti kita merayakannya
tidak dengan semuanya,” tambahku, aku merasa bersalah jika tidak memberitahunya
tentang ekspektasi ulang tahunnya. Beberapa hari lalu, aku membuat request
untuk merayakan ulang tahun Komachi, sepertinya requesku tidak akan terpenuhi.
Setidaknya, dia sudah tahu sebelum itu.
Aku merasa kalau tidak memberitahunya terlebih dahulu, itu akan
membuatku terlihat buruk, meski itu bisa memuaskan egoku.
Sebenarnya cukup sulit memahami sepenuhnya
pernyataan yang ambigu dan abu-abu seperti tadi. Tapi, dia menatapku dengan
tatapan hangatnya.
“Oh, Oke...Ya sudah kalau memang akhirnya begitu,
mau bagaimana lagi,” dia menjawabnya dengan tersenyum. Meski terdengar ceria,
aku merasakan nada kesepian dalam ucapannya tadi, meski hanya sebentar.
Dia mengembuskan napasnya, dan menunjuk ke arahku.
“Ingat tidak kata-kataku dulu? Aku tidak peduli kalau kau menjadi
Onii-chan yang terburuk sepanjang sejarah.”
“Be-Benar...”
Dia lalu memukul pipiku dengan jarinya.
“Sebenarnya, memang lebih nyaman berdua saja,
karena aku akan membuatmu terkejut dengan hadiah yang kubawa! Maksudku, bagaimana
malunya kalau ada orang lain yang melihatnya!” dia mengoceh kesana-kemari, pura-pura
tidak peduli, dan berusaha mendinginkan wajahnya yang tampak memerah.
“Ha-Hadiah apa itu? Pemberitahuanmu barusan sudah
membuatnya kurang mengejutkan, meski begitu itu hampir membuatku menangis...”
Candaku, berusaha mengikuti skenarionya.
“Benar kan? Nilainya sangat tinggi di Point
Komachi!”
“Yeah...Itu juga tinggi di Point Hachiman, meski...AKu
sendiri tidak yakin kalau nantinya bisa pura-pura terkejut...”
Aku yang memasang ekspresi keheranan, membuat
Komachi memasang ekspresi serius, lalu dengan setengah becanda dia mengatakan
sesuatu.
“Ya sudah, kita tinggal menggelar acara yang
menyedihkan dan dihadiri kerabat dekat saja.”
“Kenapa seperti itu? Apa itu semacam acara pemakaman?
Bukankah itu terdengar seperti upacara pemakaman, benar tidak...?” gumamku,
sedang Komachi hanya tersenyum jahat kepadaku.
“Ngomong-ngomong, ayo sarapan!” katanya.
Dia berdiri dan menuju ke dapur sambil menyanyikan
lagu. Kamakura tampak mengikutinya dari belakang, sepertinya sekarang memang
sudah masuk waktu sarapan. Kamakura tampak merenggangkan tubuhnya, mencakar
lantai sambil berjalan pelan. Woi, berhenti, lantainya nanti lecet-lecet!
Suara cakarnya di lantai membuat telingaku gatal,
kalau dipikir-pikir lagi, mungkin memang sudah waktunya kukunya dipotong.
Tiba-tiba, suaranya terhenti. Ketika kulihat, dia sedang menatapku dan seperti
meminta perhatianku.
“Oh, Onii-chan, bisakah kau ambilkan mainan kucing
disana?” tanya Komachi, sambil melihat ke arahku dari dapur.
“Oke.”
Akupun berdiri, dan Kamakura menggesek-gesekkan kepalanya
ke kakiku. Karena Komachi sibuk, dia memutuskan untuk pergi kepadaku. Ya ampun,
dia ini anak yang pintar.
Kulihat ke arah jam, sepertinya kita akan sarapan
lebih awal dari biasanya. Jarang sekali aku bangun sepagi ini. Memang sudah
lama sejak terakhir kalinya aku bermain dengannya, tapi hari ini, aku akan
menghabiskan waktuku dengan kucing rumah tercinta kami.
x Chapter 1 Part 1 | End x
Pola nya sama, hehehe, sehat selalu min
BalasHapusnyuri waktu pas istirahat jam kerja, loh nongol chap 1
Sangkyuuuuu
Lanjut min!! Makasih translate nya
BalasHapusSaya Ampe keluar air mata bacanya .
BalasHapusApa gw yg lebay yah haha.
Terimakasih untuk sebesar-besarnya admin.
Dan sehat selalu
Lanjutkan min :"
BalasHapusLanjutkan min
BalasHapusAkhir mantap lah ngetl disaat kerja semangat terus min
BalasHapusVolume 12 ama 13 gk di lanjutin? Di reddit ny oregairu udah lengkap loh
BalasHapusRencananya akan dilanjutkan setelah vol.14 chapter 3. BTW kalau bisa login google dulu agar jelas siapa komentar siapa, soalnya bingung banyak anonim.
HapusMulai ngebut min
BalasHapusMantap
Thanks
Soryy admin saya belum daftar
BalasHapusprelude ny gk lengkap min
BalasHapusapakah ada masalah?
prelude ny gk lengkap min
Hapusapakah ada masalah dlm translasinya?
Akhirnya setelah sekian lama menunngu
BalasHapusmantap bang aoi. btw, gak bikin analisis di akhir bagian? padahal, analisisnya bang aoi itu salah satu yang paling ditunggu lo haha
BalasHapusHaha, nanti akan saya taruh. Sekarang fokus kerjain TL dulu.
HapusMakasih Mimin atas TL nya
BalasHapusNice desu
BalasHapus