Bermacam-macam suara menghiasi jam pulang sekolah
kali ini: suara pemukul baseball, teriakan untuk memberitahu arah bola, dan
juga suara latihan drum band. Semakin jauh suaranya, semakin jelas jenis-jenis
suara yang kudengar.
Kami baru saja melewati gerbang sekolah, tepatnya baru
saja melewati momen padatnya lalu lintas jam pulang sekolah. Tidak banyak yang
memilih jalur yang kami lewati ini. Jalan kecil yang mengarah ke sebuah kompleks
hunian, dan sekitarnya memiliki taman, dimana taman tersebut banyak sekali
dedaunan yang ditiup angin musim dingin ini. Kutuntun sepedaku di jalan yang
sepi ini, berjalan lebih lambat dari biasanya untuk menyamakan langkahku dengan
langkah Yuigahama.
“Maaf sudah menyita waktu luangmu.”
“Oh, tidak apa-apa,” katanya, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Akupun mengangguk untuk membalas gesturnya. Keinginanku untuk berbicara beberapa saat
lebih awal nampaknya tidak terjadi, tapi setidaknya aku barusaja memulai
percakapan yang akan menyelesaikan masalah ini untuk selamanya.
Jadi, kata-kata apa yang harus kukatakan
selanjutnya? Kalau aku hendak menjelaskan dari awal, maka itu akan memakan
waktu. Kalau ada tempat yang tenang untuk berdiskusi, kurasa itu akan lebih
baik, karena kalau ada orang di sekitar, akan menarik perhatian orang sekitar
dan akan timbul kesulitan untuk membicarakan sesuatu. Kalau merunut hal
tersebut, maka Saize atau Kafe bukanlah tempat yang tepat. Hmm...
Ketika hal itu berkecamuk di pikiranku, Yuigahama
tiba-tiba mengatakan sesuatu.
“Oh iya, kudengar dari Yukinon kemarin. Malam
Perpisahannya sudah mendapat lampu hijau ya?”
Kata-katanya tadi membuatku terkejut, dan membuatku
hampir terdiam. Tapi, kedua kakiku tetap berjalan dan akupun mengatakan sesuatu
untuk menghilangkan kesunyian ini.
“Y-Ya...Kau diberitahu olehnya ya?”
“Yep, aku diberitahu tadi malam sih. Dia menghubungiku lewat LINE, kami
bertemu, kemudian mendiskusikan itu,” kata Yuigahama sambil memasang senyum,
meski begitu dia sedari tadi hanya menatap ke arah jalanan saja.
“Be-Begitu ya...” Kataku, dengan senyum yang
ironis. Tidak ada yang aneh kalau dia tahu, karena seperti itulah hubungan
mereka. Yuigahama sendiri merasa khawatir apakah kita bisa menggelar acara itu
atau tidak, jadi wajar saja kalau dia
tetap berhubungan dengannya untuk mengetahui kelanjutannya.
Tapi, sikap Yukinoshita Yukino memang menunjukkan dirinya
yang dulu. Di suatu titik, dia sangat cepat dan tepat. Di lain titik, dia
terburu-buru mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kondisi, ekspektasi,
atau hal-hal lainnya. Hal itu memang sangat nostalgia.
Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidaklah banyak
berbeda. Aku selalu plin-plan seperti biasanya. Setiap waktu, aku harus mencari
alasan untuk melakukan sesuatunya, misalnya kemampuanku untuk mengirim mail
yang sederhana. Setelah semalaman memikirkan itu, akhirnya aku bisa berbicara
langsung ke orang yang dituju, dan akhirnya terciptalah situasi yang sekarang
ini kuhadapi. Tapi setidaknya, itu bisa membuatku mengambil keputusan akhir.
“Bagaimana kalau kita berbicara disana?” kataku,
sambil menunjuk sebuah area taman.
“...Oke.” Yuigahama mengatakan itu sambil mengangguk.
Kalau aku tidak mendiskusikan situasi kita saat
ini, maka aku cukup yakin kalau ini akan ditunda-tunda hingga beberapa hari
kemudian.
Kubeli sekaleng kopi dingin dan teh botol hangat
dari mesin penjual minuman terdekat, lalu menuju ke taman. Kuparkir sepedaku di
dekat bangku taman yang disinari lampu jalanan, lalu aku duduk disana.
Kupersilakan Yuigahama duduk dengan gestur wajahku, dia tampak meremas tali tas
ranselnya. Ekspresinya tampak tegang, namun perlahan menghilang ketika datang
menghampiriku. Ketika kukira dia hendak duduk, dia malah menaruh ranselnya di bangku.
“Wow, sepertinya sudah lama sekali aku belum
kesini.” Yuigahama lalu berjalan mengelilingi jalan setapak taman seperti orang
yang baru pertamakali kesini. Dia lalu terdiam dan menatap sesuatu. Ketika
kulihat, dia sedang menatap sebuah ayunan, hal yang biasa kau temukan di TK
manapun. Tidak ada yang spesial dari itu, tapi Yuigahama tampak bergegas
menujut ayunan tersebut.
“Um, Apa? Halo?” akupun mencoba menghentikannya,
tapi dia sudah terlanjur berdiri dan memegangi rantai ayunan disana. Aksinya
itu membuatku terdiam, dan diriku mulai bergegas menuju arahnya.
“Whoa, ayunannya kecil sekali. Apa memang seperti
ini ukurannya?” tanya Yuigahama, sambil duduk di ayunan tersebut. Tidak lama
kemudian, dia mulai mengayun, dan suara rantai yang bergerak mulai terdengar.
“Ya ampun, wow! Sudah lama aku tidak naik ini,
ternyata cukup menyeramkan juga!”
Dia lalu menghentikan ayunannya, menapakkan kedua
kakinya di tanah, dan mengembuskan napas leganya. Di momen itu, akupun
memberikan teh botol itu kepadanya.
“Kau dulu tidak perlu mengkhawatirkan apapun,
namanya juga anak-anak. Aku sendiri biasanya langsung lompat dari ayunan itu
dan ujung-ujungnya lututku selalu terluka.”
Yuigahama menerima teh botol tersebut, mengucapkan
terimakasih, lalu meminumnya.
“Ohh, aku juga seperti itu, kalau tidak salah...Kupikir,
kau bukan tipe orang yang akan melakukan itu, Hikki,” katanya, sambil memegangi
rantai ayunan. Dia lalu melihat ke arahku, menginjakkan kakinya beberapa kali
ke tanah. Dia lalu memberikan gestur untuk mempersilakanku duduk disana. Tapi,
aku tidak menyambut tawarannya. Malahan, aku duduk bersandar ke pagar. Kubuka
kaleng kopiku, dan mulai membasahi tenggorokanku yang kering.
“Yuigahama,” kataku, lalu aku minum seteguk kopi
tersebut dan melanjutkan. “Katakan padaku apa keinginanmu.”
Dia terdiam sejenak, seperti tidak menangkap apa
maksudku, lalu tersenyum.
“Apa maksudmu?”
“Begini. Apakah kau punya permintaan yang bisa
kulakukan, atau ingin aku melakukan sesuatu untukmu?” tanyaku.
“Ehh?” dia kemudian menaruh tangannya di pinggang,
dan mulai berpikir. Dia tiba-tiba mengatakan sesuatu.
“Banyak sih.
Seperti, ingin kau bersikap natural ketika berbicara kepadaku, atau ingin kau
berhenti mencuri pandang ke arahku, atau aku ingin kau membalas mailku lebih cepat,
atau aku ingin kau berhenti jadi orang yang plin-plan, oh, juga begini-“
“Oke, oke, maaf sudah dilahirkan, oke? Lagipula,
apa aku memang seburuk itu? Apa aku sebegitu menjijikkannya...”
Yuigahama mulai melipat jari-jarinya seiring
dirinya menyebut hal-hal tersebut, dan kuhentikan itu sebelum dia
melanjutkannya lagi. Kalau diteruskan lagi, aku bisa-bisa akan terserang
depresi. Ketika aku mulai jijik dengan diriku sendiri, Yuigahama memiringkan kepalanya
dan menatapku.
“Kenapa baru sadar sekarang...?”
“Menyakitkan bila mendengar hal-hal itu dari orang
lain. Maksudku, banyak sekali yang kausebutkan, dan panjang-panjang juga,
semuanya mengkritisi diriku, dan itu sangat menyakitkanku...Percaya atau tidak,
aku tidak ada niatan untuk memperbaiki itu.”
“Kupikir kau tidak akan melakukannya, jadi lupakan
saja...” dia tampak menyerah, dan menurunkan posisi bahunya.
Aww, dia menyerah terhadapku...Setiap hal yang kau
katakan tadi akupun sadar akan hal itu, dan aku akan melakukan yang terbaik
untuk itu...Lagipula, akan ada beberapa hal yang tidak akan bisa berubah, meski
aku berusaha merubahnya secara perlahan, jadi yang bisa kulakukan hanya
meresponnya dengan senyum yang kecut.
“Oh, juga, kupikir akan bagus jika kau tidak
membiasakan diri merencanakan sesuatunya secara mendadak. Tidak masalah kalau
aku ada waktu luang, tapi akan lebih baik jika aku diberi waktu untuk
mempersiapkan diri dan sejenisnya.”
“Ah, betul. Maaf.”
Memang benar kalau belakangan ini aku sering
meminta waktunya secara mendadak. Sepertinya dia tadi memang hendak membahas
akan pergi kemana setelah pulang sekolah bersama Miura Cs, jadi aku merasa bersalah
dan meminta maaf. Dia lalu mengangguk seperti menerima permintaan maafku.
“Dan juga...”
“Aku harus meminta maaf juga atas kata-kataku tadi?
Ya sudah, aku minta maaf ya, oke?” kataku. Yuigahama mengatakan itu sambil
tertawa, dan akupun tersenyum.
Akupun mulai membayangkan betapa mudahnya hidup
kita jika kita selalu bisa berdiskusi semacam ini; selalu bisa menghindari
membicarakan hal penting, berpura-pura semuanya baik saja, dan tidak pernah
menyentuh akar permasalahan. Tapi membiarkan diriku terlena dengan segala kemewahan
itu, sama saja dengan mengkhianati apa yang sudah kupercayai selama ini.
“...Sebenarnya, itu bukanlah jawaban pertanyaanku
tadi,” kataku, suaraku tampak lebih lembut dari biasanya.
“Lalu, ini tentang apa?”
“Ini tentang perlombaan tempo hari. Dimana kau bisa
meminta orang lain melakukan sesuatu untukmu jika kau menang.”
“...Tapi itu kan
belum selesai.”
Nada suaranya seperti kesal akan sesuatu. Bagi
orang yang baru saja menjelaskan bagaimana orang dewasa harusnya bersikap, kali
ini dia benar-benar terlihat seperti anak kecil. Ini sedikit menggangguku.
“Ya, begitulah...Tapi aku sudah menyatakan kekalahanku.
Jadi perlombaan itu telah selesai.”
“Tapi hanya kau saja yang menganggapnya begitu.”
Langit di barat, tampak mulai gelap, dan terlihat
beberapa bintang disana.
“Tidak, aku memang kalah. Aku bahkan bisa menerima
kekalahanku,” kataku, sambil menatap ke langit tersebut.
Sebenarnya, aku benar-benar menerima kekalahanku.
Masalah apakah Malam Perpisahan bisa diadakan atau tidak, ternyata diluar
dugaan menjadi kasus puncak dari kompetisi ini. Yukinoshita tahu kalau usul
Malam Perpisahan dariku hanyalah akal-akalan untuk membuat usulnya terlihat
lebih baik, lalu menerima kontes ini dalam keadaan tahu kalau itu semua hanya
akal-akalanku saja. Dengan kata lain, aku salah membaca kartunya; aku tidak
salah dalam membaca strateginya, tapi aku salah dalam membaca determinasinya.
Akupun mengembuskan napasku, membuat tubuhku terasa
rileks.
Selama yang kalah bisa menerima keputusan itu, maka
perlombaannya dinyatakan selesai.
“Karena itulah, biarkan diriku melaksanakan
keinginanmu,” kataku, akhirnya mengucapkan kata-kata yang sudah lama
menghantuiku. Mengucapkan itu saja sudah memakan banyak waktu. Bukan hanya saat
ini. Ketika perlombaan dimulai, aku mulai merasa akhirnya aku bisa
menyelesaikan apa yang sudah kuhabiskan setahun ini.
Yuigahama lalu menghentikan ayunannya.
“Aku ini orangnya serakah, jadi aku tidak punya
hanya satu keinginan...Apa itu tidak masalah? Apakah boleh kalau semua
keinginanku dikabulkan?”
Dia lalu menatapku, sambil tersenyum. Akupun hanya
bisa menaikkan posisi bahuku.
“Kurasa itu masih standar saja...Selama aku bisa
melakukannya, maka akan kulakukan.”
“Kupikir kau harus berhenti melakukan itu,” katanya,
sambil memalingkan pandangannya dariku. Akupun terdiam melihat ekspresinya itu.
“Kau selalu seperti ini, Hikki. Kau jelas-jelas
tidak bisa melakukan sesuatunya, lalu kau akan mengatakan kalau kau akan
melakukan sebisanya, dan pada akhirnya kaupun melakukan itu. Kau selalu memaksakan
dirimu sendiri,” katanya, sambil mengayunkan lagi ayunannya.
“Karena itulah, aku berpikir kalau kali ini aku akan
meminta hal yang sederhana. Aku sendiri tidak yakin menginginkan apa, tapi ada
beberapa hal yang ingin kulakukan.”
“Uh huh, apa itu?” kulihat tatapan matanya.
“Pertama...Aku ingin membantu Yukinon. Aku ingin
melihat Malam Perpisahan berlangsung sampai selesai.”
“Begitu ya.”
“Aku ingin merayakan bersama...Klub Game yang itu?
Dan juga si Chuuni, bersama Yumiko, dan Hina, dan...”
“Begitu ya...”
“Aku ingin merayakan bersama Komachi-chan juga.”
“Kalau itu betul sekali.”
“Aku juga ingin jalan-jalan ke suatu tempat.”
“Masuk akal.”
Hal-hal yang diinginkan oleh Yuigahama tidaklah
mengejutkan. Aku paham mengapa dia ingin membantu event Malam Perpisahan. Aku
juga pernah mendengar tentang keinginannya menggelar pesta. Kalau soal merayakan
dengan Komachi, malahan aku yang berterimakasih. Kalau soal jalan-jalan, aku
sendiri tidak tahu banyak soal jalan-jalan, tapi kalau dia tidak masalah, aku
sendiri dengan senang hati akan menemaninya.
Ayunannya mulai melambat dan dia tiba-tiba terdiam.
“Dan juga...” suaranya terdengar pelan, namun tiba-tiba
terhenti.
Suara riuh terdengar dari ujung taman. Ketika
kulihat, ada sekelompok siswa dan siswi yang sedang lewat. Ketika kulihat, tidak
ada wajah-wajah familiar disana. Yuigahama tetap terdiam hingga mereka pergi.
Yang tersisa hanyalah suara rantai ayunan yang mulai melemah hingga terdiam
sepenuhnya.
Aku juga terdiam, hanya melihat ke arahnya, dan
menunggu kata-katanya selanjutnya. Dia tampaknya menyadari apa yang sedang
kulakukan, dan mulai tersenyum kepadaku.
“Dan juga, kurasa...Aku ingin mengabulkan
keinginanmu, Hikki,” dia tersenyum bersamaan dengan mulai tenggelamnya
matahari. Kegelapan mulai mengisi horizon, dan lampu jalanan menyinari sosoknya
yang kurus tersebut.
Aku sendiri tidak bisa memberikan respon yang seharusnya.
Karena alasanku ada disini adalah untuk melaksanakan keinginan Yukinoshita
Yukino. Keinginannya adalah melaksanakan keinginan Yuigahama. Tapi dia bilang
ingin melakukan keinginanku. Kalau begini, ini akan menjadi loop yang tanpa
akhir.
“Keinginanku? Apa ya...” akupun meresponnya dengan
jawaban yang tidak jelas.
“Benar. Jadi pakai waktumu untuk memikirkan itu
sambil melaksanakan keinginanku tadi. Aku juga akan memikirkan tentang
keinginan-keinginanku yang lain,” Yuigahama mengatakan itu, sambil menapak
tanah dan berdiri. Dia berdiri dari ayunan yang masih bergoyang dan menatap ke
arahku.
“...Akan kupastikan kalau aku akan memberitahumu
soal keinginanku nanti. Karena itu, kau nanti harus memberitahuku apa
keinginanmu itu, Hikki.”
Akupun terus menatap ke arahnya, meski cahaya senja
terus menyinari mataku. Akupun mengangguk. Setelah dia melihat responku, dia
lalu tersenyum manis kepadaku.
x Chapter 1 | End x
Hanya 2 Light novel yg gw suka. "OREGAIRU SAMA OVERLORD"
BalasHapusYg lain gw GK suka.
Mungkin yg lain gw berakhir menonton anime nya..
Dan tentunya hanya blog ini yg mentranslate oregairu dengan kualitas terbaik..
Terimakasih untuk admin yg selalu update.
Makasihhhhhhhh^^
HapusLah kok sama
Hapus👍👍👍👍👍
BalasHapusSemangat tl nya gan :)
BalasHapusMuter muter nih yui:(
BalasHapusoww owwwww yui akhirnya mengakui kekalahannya
BalasHapuskeren min, lanjut terus!
BalasHapus