x Chapter V x
Setelah pulang sekolah. Ketika aku meninggalkan ruangan klub, aku melihat ke arah luar dari lorong Gedung Khusus.
Air hujan turun melalui jendela kaca. Hujan yang turun sejak tadi pagi terus mengguyur sekolah ini.
Di hari sebelumnya, setelah memberitahu Yukinoshita mengenai ujian Komachi dan aku ingin pulang dari klub lebih awal, dia sepertinya tidak curiga dan aku bisa meninggalkan klub lebih awal.
Apa jendelanya terbuka atau semacamnya? Lantainya seperti tergenang dengan air dan sepatu indoorku terasa basah ketika berjalan di lorong.
Natal akan tiba dalam seminggu lagi.
Salju sangat jarang terlihat ketika bulan Desember di Chiba. Jadi, aku tidak perlu khawatir mengenai White Christmas. Tetapi yang perlu aku khawatirkan adalah tempat kerja yang akan aku tuju ini.
Aku meninggalkan gedung sekolah dan berjalan menuju community center di Stasiun Chiba.
Karena hujan sudah turun sebelum aku pergi ke sekolah, akhirnya aku memilih untuk pergi ke sekolah dengan naik kereta dan bis. Jika dekat musim panas, aku biasanya datang ke sekolah memakai sepeda dan bermandikan keringat, tetapi karena ini musim dingin, aku benar-benar ingin menghindari hal itu.
Suasana jalan yang dipenuhi dedaunan yang jatuh dari pohonnya, membuatnya terlihat lebih gelap dari biasanya.
Biasanya, matahari tidak akan tenggelam dalam beberapa jam lagi, karena cuaca hari ini yang mendung, maka sekarang sudah terlihat sangat gelap.
Dalam jarak pandang yang agak tidak jelas ini, payung yang dipakai orang di depanku terasa sangat menarik perhatianku. Payung yang terbuat dari kain vinil tersebut memiliki motif bunga-bunga yang indah.
Pemilik payung itu nampak memutar-mutar payungnya sambil berjalan, tampaknya dia ingin menghilangkan rasa bosannya. Tiba-tiba, rambut yang berwarna kuning muda terlihat di balik payung itu.
Jika melihat gaya rambut dan tingginya, orang yang berada di depanku nampaknya Isshiki.
Isshiki berjalan cukup lambat sehingga aku bisa mengejarnya dengan cepat. Ketika aku berada tepat disampingnya, dia menyadari kehadiranku dan memiringkan payungnya untuk melihat wajahku.
"Ah, senpai."
"Hey."
Aku menjawab balik dengan menaikkan payungku.
"Apa kamu hendak membeli snack juga untuk hari ini?"
"Enggak. Sepertinya hari ini tidak ada rapat."
"Ah, begitu ya."
Seperti kata Isshiki, tidak ada rapat untuk hari ini. Kemarin, kami membagi-bagikan tugas untuk menilai opini tiap orang dan membuat daftar pro dan kontranya untuk tiap ide yang ditulis. Jadi, seharusnya memang tidak ada rapat hari ini. Nampaknya pekerjaan sebagai 'pembawa snack' tidak akan terjadi untuk hari ini.
Ketika aku memikirkan hal itu, Isshiki mengintip dari bawah payungku dan tersenyum licik.
"...Fufufu, sayang sekali ya. Tidak bisa membuat poin denganku untuk hari ini."
"Kamu mengatakannya seperti setiap bersama kamu, maka aku berpeluang mendapatkan poin."
Ketika kita terus membicarakan hal-hal yang tidak penting, ada gadis yang memakai payung bermotif polos berhenti di depan kita. Gadis tersebut terlihat memakai kemeja seragam dan rok dari SMA Sogo Kaihin.
"Oooh, tumben sekali? Apa ini Isshiki-chan dan Hikigaya?"
Menaikkan payungnya agak tinggi, gadis yang memanggil kami berdua adalah Orimoto.
"Hellooo."
"Heeya. Maaf kalau terlambat, aku daritadi berjalan sambil mengobrol."
Seperti biasanya, Orimoto selalu berdiri dekat dengan semua orang. Dari posisinya tadi, dia sekarang berada di samping Isshiki dan memulai sebuah pembicaraan. Tentu saja, Isshiki tidak menunjukkan rasa tidak senang di wajahnya. Dia tersenyum dengan manis dan mengobrol dengannya.
Kita melanjutkan perjalanan kita di bawah derasnya hujan sambil mendengarkan percakapan mereka dari samping.
Ketika pembicaraan hendak berakhir, Isshiki sepertinya menyadari sesuatu dan berbicara.
"Ngomong-ngomong, kalau tidak salah kau itu kenalannya senpai?"
"Yep, yep, kita dulu sekelas di SMP yang sama."
Ketika Orimoto menjawabnya, Isshiki lalu menatapku.
"Jadi bahkan senpai yang seperti ini pernah punya seseorang yang dekat dengannya, ya?"
Responnya sungguh seperti hendak mengundang masalah. Dan senada dengan dia, kata-kata Orimoto selanjutnya juga mengundang masalah yang diinginkan Isshiki.
"Kalau dibilang dekat sih, umm...Bisa dikatakan kita 'agak' dekat."
Ketika mendengar kata-kata ambigu tersebut, tatapan Isshiki semakin tajam dan dia seperti menggigit umpannya.
"Oh, ada apa ini? Kok kata-kata barusan seperti agak mencurigakan?"
Orimoto membuat wajah 'oops' dan menatapku.
Aku tidak bisa menyalahkannya. Tidak seperti aku dan dirinya memang sedekat itu, jadi jika dia mengatakan kata-kata ambigu tadi memang ada benarnya.
Tetapi Isshiki tidak membiarkan momen itu terlewat begitu saja. Dia seperti merengek dan menarik pergelangan tanganku.
"Senpaaai, apa yang terjadi...?"
Stop, jangan menarik-narikku. Kedua tangan kita seperti sedang bersentuhan, aku merasakan jari jemari yang lembut dan aku sangat menyadarinya, jadi hentikan itu!
Ketika aku mulai melemah oleh sikapnya itu yang mungkin bertujuan untuk membuatku menjadi malu-malu, aku mengatakan sesuatu yang formal.
"Sebenarnya, panjang ceritanya..."
"Banget..."
Isshiki lalu melihat ke arah Orimoto. Orimoto seperti tidak tahu harus menjawab apa dari suasana ini, jadi dia hanya bisa tertawa setelahnya.
"Sebenarnya, itu cuma cerita yang sudah lama saja."
Jawabannya agak mengejutkan. Aku tadi sempat berpikir kalau dia akan membuat peristiwa penembakan yang kulakukan di masa lalu menjadi bahan becandaan, lalu dia memalingkan wajahnya dari Isshiki dan mengatakan kata-kata ambigu itu lagi.
Aku tidak mengatakan kalau aku sendiri tidak keberatan kalau dia membicarakan masa lalu kami, tetapi dengan sikapnya yang tadi membuatku tertarik untuk melihat apa yang membuatnya merubah sikapnya?
Isshiki sepertinya hendak menanyakan lebih jauh dan Orimoto sepertinya menyadari hal itu, Orimoto menatap ke arahku dengan cepat dan mengganti topiknya.
"Ngomong-ngomong, Hayama-kun apa tidak tertarik untuk datang ke rapat semacam ini?"
Kata 'Hayama' membuat Isshiki merespon balik.
"...Apa kau juga kenalan dari Hayama-senpai juga?"
Suara Isshiki sangat dalam. Menakutkan. Dia mungkin tersenyum sambil berkata 'ufufu'.
"Kami pernah pergi keluar bersama sebelumnya."
"Hoh, pergi keluar bersama..."
Isshiki memilih kata-kata yang keluar dari mulut Orimoto. Sial. Ini sepertinya akan berubah menjadi sebuah masalah besar.
"Dia sedang sibuk dengan klubnya, jadi aku ragu kalau dia mau datang."
Ketika aku memotong pembicaraan mereka, Orimoto memiringkan payungnya dan bertanya.
"Hikigaya, kau sepertinya berteman baik dengannya. Kukira setidaknya Hayama mau membantumu atau semacam itu."
"Kami berdua tidak sedekat itu dan memanggilnya di saat seperti ini hanya akan mengganggu dirinya."
"Benarkah? Maksudku, apa kau tidak berpikir kalau situasi rapat juga kurang begitu bagus? Ketua OSIS kami baru saja menjabat dan dia belum berpengalaman dalam hal ini. Oleh karena itu kupikir kau akan meminta bantuannya seperti pengurus OSIS kami yang juga memanggil beberapa siswa yang berpengalaman untuk membantunya."
Begitu ya. Jadi dari pihak SMA Sogo Kaihin, setidaknya, Orimoto tahu kalau situasinya sudah seburuk itu. Dia di rapat terlihat seperti setuju terhadap semuanya, tetapi di balik itu dia ternyata sadar apa yang sedang terjadi.
"Benar, event ini bisa jadi akan menjadi kacau, tetapi aku sendiri tidak akan meminta tolong ke Hayama."
"Hmmm...Tapi ada benarnya sih, kalau kami bertemu, mungkin suasananya akan terasa aneh."
Kata-katanya barusan memang masuk akal. Melihat bagaimana kita berpisah ketika aku, Hayama, dan lainnya kencan di Chiba, mungkin dia akan merasa sulit untuk bertemu dengan Hayama. Bahkan akupun sendiri malas untuk bertemu Hayama empat mata.
Dia memintaku mengajak Hayama mungkin karena dia sendiri untuk bertemu Hayama terasa sulit dan mungkin saja dia ingin meminta penjelasan tentang peristiwa itu. Aku cukup bisa memahami maksudnya.
Tetapi Isshiki terlihat sedang memikirkan sesuatu, dia menatapku dan Orimoto secara bergantian. Jika Hayama memang tidak ingat dengan Orimoto, mungkin aku seharusnya tidak memberitahunya. Aku bahkan berani bertaruh kalau dia tidak mau peduli dengan gadis lainnya juga...
Ketika kita berhenti berbicara tentang Hayama yang menjadi topik penghubung kita bertiga, kita berjalan tanpa mengatakan sesuatu lagi.
Ketika kita sudah dekat dengan community center, Orimoto mengatakan 'aah' dan dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Lalu Orimoto menatap wajahku.
"...Juga, apa bisa jika kedua gadis yang dekat dengan Hikigaya kemarin membantu kita atau semacamnya?"
"Tidak...Kemungkinan besar tidak."
Tidak mungkin aku memanggil mereka. Tidak, sangat mustahil aku memanggil mereka.
"Huuuh..."
Orimoto memperlihatkan kekecewaannya sambil menginjak genangan air. Dia lalu memiringkan payungnya dan menatap ke arah langit. Aku ikut menatap langit mengikuti dirinya. Dari arah barat, terlihat ada cahaya matahari menembus kegelapan awan. Sepertinya, hujan akan berhenti sebentar lagi.
Meski begitu, langit tetap terlihat gelap seperti biasanya.
x x x
Beberapa saat setelah memasuki ruang community center, aku melihat ke arah jam dinding.
Nampaknya kami hanya akan membuang-buang waktu lagi hari ini.
Aku menutup laptop yang kupinjam dan menekan kedua mataku dengan jari-jariku.
Tugasku adalah melihat opini rapat kemarin, dan ternyata ini lebih sulit dari yang kubayangkan.
Waktu berlalu, dan opini-opini yang harus kuperiksa semakin sedikit jumlahnya.
Waktu yang tidak cukup, orang yang kurang, dana yang kurang. Jika kamu punya tiga alasan di atas, maka kau punya alasan yang benar untuk menolak. Memiliki ketiga alasan di atas, juga berarti kamu bisa menyerah dalam segala situasi dan opsi terakhir hanyalah berkompromi.
Sebenarnya, tidak terlambat untuk menunda event ini dan membekukan proyeknya, tetapi kita sudah berjalan di titik dimana kita tidak bisa mundur lagi.
Dan ketika kita tetap seperti ini, jam terus berdetak dan waktu terus berjalan. Kita bisa katakan ini adalah cara untuk menghabiskan waktu dan tenaga, tetapi jujur saja, ini seperti sebuah kerja rodi. Jika ini sebuah anime, ini seperti panitia event meninggalkan lapangan karena ada sesuatu dan meninggalkan tempat itu dalam keadaan kacau balau...atau sejenisnya.
Yang terpenting adalah keseimbangan dan determinasi. Dalam situasi ini, keduanya adalah hal yang tidak kita jumpai.
Setelah mengeluhkan itu, aku kembali lagi ke laptop.
Aku menghitung ulang dananya, mencocokkannya dengan jadwal, dan menghitung biaya pertunjukan yang direncanakan. Untuk jaga-jaga, aku juga menyimpan kontak dari beberapa grup musik jazz dan lainnya.
Meski begitu, semakin aku berpikir ke dalam tentang pekerjaan ini, semakin aku pesimis eventnya bisa terlaksana. Ya ampun, apa sih ini, ini seperti ide-ide orang idiot atau semacamnya? Aku menggumam seperti mengatakan ini mustahil untuk dilaksanakan. Dan pengurus OSIS Sobu yang hadir disini nampaknya senada dengan Wakil Ketua OSIS yang tampak pesimis daritadi.
Setelah itu, dia menunjukkan kepadaku sebuah dokumen.
"Soal ini, sudah kuhitung berkali-kali, uangnya tidak cukup. Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita bisa berhemat di beberapa pos pengeluaran atau mencari sumber dana baru. Kupikir kita harus mengadakan voting soal ini di rapat selanjutnya."
Jujur saja, mengambil keputusan soal ini esok hari adalah hal yang membuang-buang waktu.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dan mengambil kopiku. Aku hendak mencari rasa manis dan pahit dari kopi di gelas kertasku namun tampaknya sudah habis, ini nampaknya hal yang buruk bagiku.
Apa ada makanan atau minuman yang manis disini...? Ketika aku mencarinya di atas meja, Isshiki berjalan ke arahku.
"Senpai. Hiasannya sudah hampir selesai. Sesudah itu, kita akan melakukan apa lagi?"
Ahh, benar juga. Bekerjasama dengan siswa-siswa SD merupakan bagian dari tugas kita juga, huh...Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan menyilangkan lenganku.
Hal yang dirasa perlu, tetapi juga memberikan pengalaman kepada siswa-siswa SD akan hal yang akan mereka lakukan juga di masa depan, huh? Kalau hiasannya hampir selesai, jadi yang tersisa adalah...
Sesuatu terlintas di kepalaku.
"Apa pohon natalnya sudah disiapkan?"
Ketika aku mengatakannya, Isshiki nampaknya agak keberatan.
"Kita sudah punya pohonnya...Tetapi apakah tidak terlalu cepat kalau kita hias sekarang?"
Jawaban itu memang sudah kuduga akan keluar. Benar sekali, akan sangat janggal kalau kita melihat pohon natal di tengah ruangan ini. Lagipula, pohon natal ini juga agak besar, sehingga memberikan sebuah kesan natal dari penampakannya. Kalau begitu, kita ambil keuntungan dari penampakan yang besar tersebut.
"Kita bisa minta tolong untuk memindahkan pohon natalnya di pintu masuk community center. Itu akan terlihat sempurna karena seminggu lagi akan Natal. Nanti sehari sebelum event kita digelar, kita pindahkan lagi pohon natalnya ke dalam."
Setelah mengangguk, Isshiki berjalan kembali menuju tempat siswa SD bekerja. Aku melihatnya pergi dan kembali ke laptopku. Aku memang tidak menemukan makanan yang manis pada akhirnya, tetapi berbicara dengan Isshiki barusan sudah memberiku suasana segar.
Tetapi ini bukan waktunya bagiku untuk santai-santai. Meskipun aku disini hanya sekedar membantu Isshiki karena telah memaksanya menjadi Ketua OSIS, aku baru sadar kalau selama ini akulah yang memberikan perintah ke pengurus OSIS Sobu. Meski begitu, tidak ada satupun yang keberatan.
Kalau kita tidak mengganti situasi rapat selanjutnya, event ini pasti akan gagal. Nampaknya situasi ini cukup familiar denganku. Meski begitu, ini adalah situasi dimana Ketua OSIS, Isshiki Iroha, pasti tidak akan menyukainya.
Untuk merubah situasinya dengan cepat, aku harus menyerahkan sisanya ke Isshiki dan memutuskan sesuatu dengan Tamanawa.
Aku membawa beberapa dokumen di tanganku dan memberikannya ke Tamanawa. Merubah situasi melalui rapat yang biasa, nampaknya gagal selama ini. Kalau perwakilan rapat tidak mau memutuskan sesuatu, maka aku tinggal mendekati salah satunya dan mengajaknya untuk memutuskan sesuatu.
"Hei, ada waktu?"
"Ada apa?"
Tamanawa tampaknya sedang mengerjakan sesuatu. Terlihat dari layar laptopnya sebuah kata "Garis Besar Perencanaan". Ketika aku mengintipnya, nampaknya judul itu melambangkan hendak menggabungkan ide-ide tentang event tersebut menjadi satu.
Jadi, dia terlihat sedang mempertimbangkan untuk membuat seluruh pendapat peserta rapat menjadi nyata.
"Sepertinya di dokumen ini terdapat banyak sekali gagasan tentang eventnya. Gagasan mana yang bisa kita lakukan dan tidak...Meski begitu, tidak semua gagasan yang ada disini bisa kita lakukan..."
"Ooh! Terima kasih!"
Tamanawa membuka dokumen yang kuberi.
"Dengan dokumen ini, kita bisa melihat permasalahan tiap ide dengan lebih baik, bukan?"
"Yeah."
Sejujurnya, kita kehabisan waktu dan dana.
"Oke, mari kita rapatkan besok untuk mencari jalan keluarnya."
"Tidak,tidak. Tunggu. Itu sangat mustahil. Waktu kita tersisa seminggu lagi."
"Yeah, oleh karena itu kita punya pilihan untuk memakai jasa BAND luar dan semacamnya. Aku sendiri sudah mencarinya juga dari tadi, tetapi mereka juga memiliki PRIVATE LIVE deployment SERVICES. Kalau kita bisa menggabungkan mereka, kupikir kita akan membuat EVENT yang sesuai dengan yang kita rencanakan."
Memangnya menyewa band seperti itu uangnya dapat dari mana...? Aku menyimpan kesimpulanku tadi di tenggorokanku.
Tamanawa sebenarnya bukan tidak mau mendengar kata-kata orang lain, malah sebaliknya, dia mendengarkan semua kata-kata orang lain.
Oleh karena itu, dia berusaha mengambil kesimpulan dengan mempertimbangkan pendapat setiap orang.
"Pertama, kita akan membicarakan ini di depan semua orang dan memutuskannya di rapat selanjutnya."
Aku baru saja sadar.
Tamanawa baru saja menjadi Ketua OSIS. Dia memiliki penampilan impresif yang membuatku tertipu, dia tidak jauh berbeda dengan Isshiki yang baru menjadi Ketua OSIS.
Itulah mengapa dia menginginkan pendapat semua orang dan mendengarkannya. Hanya ketika semua menyetujuinya, baru dia akan melakukan tindakannya. Untuk menghindari permasalahan yang datang setelahnya, maka dia mengumpulkan semua masukan terlebih dahulu dan menjadikan keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama.
Bagi Isshiki yang hanya menunggu instruksiku, mental yang dimiliki mereka berdua kurang lebih sama. Aku tidak bisa bersikap seperti support bagi Isshiki yang baru saja kukenal, apalagi untuk Tamanawa yang baru kukenal beberapa hari.
Tidak ada yang bisa kuharapkan lagi. Lain kali, pastikan untuk mengambil keputusan; aku akan mencoba untuk menekankan hal itu kepadanya.
"...Jika kamu tidak memutuskannya di rapat selanjutnya, kita pasti tidak akan bisa mengadakan eventnya. Aku sangat mengandalkanmu."
"Tentu saja."
Tamanawa menjawab itu dengan ekspresi yang sudah kuduga, dia masih menunjukkan ekspresi segarnya. Tetapi untuk saat ini, bagiku, ekspresi itu terlihat mencurigakan.
Selesai meyakinkan Tamanawa, aku kembali ke tempat dudukku.
Ini tidaklah bagus...Aku mulai kehilangan satu-persatu pilihanku.
Pada akhirnya, apa yang akan kita lakukan mungkin diputuskan di rapat selanjutnya, tetapi apakah ada yang menjaminnya seperti itu? Melihat bagaimana rapat serupa berjalan selama ini, aku tidak bisa mengatakan itu dengan nada yang meyakinkan.
Apapun masalahnya, pada saat ini, aku sudah tidak punya apapun yang bisa kulakukan. Yang tersisa hanyalah menonton event ini yang akan gagal secara perlahan-lahan.
Ketika aku memikirkan itu, aku melihat Rumi sedang mengerjakan pekerjaannya.
Aku melihat di sekitarnya, tetapi tidak ada satupun siswa SD di sekitarnya. Mereka mungkin lagi sibuk mendekorasi Pohon Natalnya. Aku penasaran apa yang dia lakukan sendirian disini.
"...Apa kamu sedang membuat hiasan?"
Rumi memotong kertas yang dilipatnya dengan gunting mengikuti arah lipatannya. Sepertinya dia sedang membuat hiasan untuk membuat efek salju palsu.
Jika melihat situasinya, nampaknya hiasannya tidak selesai sepenuhnya, dan Rumi sedang menyelesaikannya sendirian. Well, kalau kamu berpikir memakai otak seorang anak kecil, mereka mungkin akan memilih untuk bekerja di sesuatu yang baru seperti menghias Pohon Natal daripada sekedar mengulangi tugas membuat hiasan yang sama berulang-ulang.
Meski begitu, memakai peralatan dan benda tajam tanpa pengawasan orang dewasa terlihat cukup ganjil. Kurasa, ada baiknya aku mengawasinya sejenak. Lagipula, tidak ada orang yang melihat kita berdua disini, Rumi seharusnya tidak merasa canggung jika aku mengajaknya berbicara.
"Kau mengerjakan ini sendirian?"
Aku mengambil posisi jongkok di dekatnya sambil berusaha mengajaknya berbicara, tetapi Rumi tidak menjawab. Dia terus melanjutkan kegiatannya melipat kertas dan mengguntingnya.
...Well, kalau dia memang memutuskan untuk diam, maka aku tidak bisa melakukan apapun.
Aku urungkan niatku dan ketika hendak berdiri untuk meninggalkannya, Rumi menatap ke arahku. Lalu dia mengambil lagi beberapa potongan kertas dan memalingkan wajahnya dariku.
"...Kan bisa kau lihat sendiri?"
Dia membalasnya dengan nada mengejek seakan-akan membodohiku. Apa-apaan dengan delay waktu membalasnya?
Sudah kuduga kalau anak nakal ini tidaklah manis, meski begitu, bagaimana dia mengerjakan tugas ini sendirian bisa meninggalkan kesan bagus baginya.
Sekali lagi, keadaan Tsurumi Rumi sekarang sedikit banyak dipengaruhi tindakanku di masa lalu kepadanya. Dalam kasus ini, aku setidaknya juga harus bertanggung jawab.
Aku duduk di sebelahnya dan mengambil tumpukan kertas dari tempatnya. Aku memotongnya dengan gunting yang tidak dipakai.
Uhh...Haa, karena sudah ada gambar garis-garis berbentuk kristal di kertasnya, kurasa aku akan cukup mudah untuk memotongnya...Tidak, itu salah. Ini sepertinya harus melipat dahulu kertasnya, lalu memotongnya...Ternyata, pekerjaan ini tidak semudah yang kubayangkan.
Ketika aku melakukannya, suara gunting yang sedang memotong di sebelahku berhenti. Ketika aku melihatnya, Rumi berhenti mengerjakan pekerjaannya dan melihatku dengan terkejut.
"...Apa yang kau lakukan?"
"Kan bisa kau lihat sendiri?"
Aku menjawabnya dengan jawaban yang sama dengan miliknya tadi. Rumi terlihat mengerti dan menatapku sambil menggerutu.
"...Kamu tidak ada pekerjaan lain yang harus dikerjakan?"
"Itulah masalahnya, sekarang benar-benar tidak ada yang bisa kukerjakan."
Di lain pihak, ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan, tetapi untuk pekerjaanku sendiri, sudah tidak ada yang bisa kukerjakan lagi. Sisanya tergantung di hasil rapat selanjutnya.
Ketika aku mengatakan itu, Rumi melihatku dengan tatapan mata yang rendah.
"...Dasar pengangguran."
"Jangan ganggu aku."
Setelah itu, kita berdua melanjutkan membuat hiasan dengan sunyi.
Aku tidak tahu ini ide siapa, tetapi menciptakan hiasan dengan lipatan kertas ini terlihat lebih sulit dari apa yang kubayangkan dan memotong kertas membutuhkan banyak sekali konsentrasi.
Aku terlihat mengeluh dengan tugas ini dan aku mendengar suara riuh dari Training Room pergi entah kemana.
Ketika aku melihat ke arah itu, Isshiki sedang berlari ke arahku.
"Ah, aku ingin pinjam cutternya, okeeeee?"
Dia memberikan alasan itu dan mengambil beberapa cutter yang berada di atas meja. Nampaknya cutter tersebut dibutuhkan untuk mendekorasi Pohon Natalnya.
Saat itu, Isshiki melihat Rumi. Rumi sendiri terlihat fokus mengerjakan pekerjaannya sehingga tidak menyadari kehadiran Isshiki. Tetapi Isshiki terlihat tertarik.
Isshiki melambaikan tangannya di depan mataku. Ada apa ini...? Aku mendekatkan tubuhku ke dirinya dan Isshiki berbisik di telingaku.
"...Senpai, jangan bilang kalau Senpai suka gadis yang lebih muda?"
"Well, sebenarnya cukup terbiasa dengan mereka."
Ini karena adik perempuanku, tetapi tentunya tidak semuda Rumi. Bahkan faktanya, aku lebih gugup bersama orang yang umurnya tidak beda jauh denganku. Tentu saja, jika mereka seumuran dengan adik perempuan Kawasaki, aku jelas tidak tahu harus bagaimana berhadapan dengan mereka, ya kurang lebih begitu. Ah, aku juga buruk dengan anak laki-laki yang lebih muda dariku. Berandalan itu, mereka seperti hewan sehingga kata-kata tidak akan bisa membuat mereka mengerti...
Aku manjawabnya, tetapi Isshiki tidak. Apa dia semacam mayat? Aku melihat ke wajahnya dan Isshiki seperti tertegun.
"...Mungkinkah Senpai barusan sedang berusaha untuk mendekatiku? Maafkan aku, memang benar aku suka pria yang lebih tua, tetapi yang barusan itu tidak akan mempan kepadaku."
"Tunggu dulu, memangnya aku barusan bermaksud seperti itu?"
Serius ini, aku ini seperti orang goblok saja, mau-maunya menjawab pertanyaannya dengan serius seperti itu.
Ketika aku memberi tanda untuk menyuruhnya pergi dari sini, Isshiki pergi dengan mengatakan "Apa-apaan sikapmu itu...?".
Ketika Isshiki pergi, suasana yang sunyi kembali berlanjut.
Suara dari kertas dan gunting. Tidak ada yang mengatakan apapun dan kami terus membuat tumpukan salju buatan dari lipatan kertas ini.
Akhirnya, kami selesai mengerjakan semuanya dan kami saling melihat satu sama lain.
"Kupikir kita sudah selesai disini..."
"...Uh huh."
Setelah dia menjawabnya, dia menghembuskan napas yang panjang panjang dan diikuti dengan senyuman. Tetapi ketika matanya bertemu dengan mataku, dia cepat-cepat memalingkan wajahnya seperti berusaha menyembunyikan perasaan malu-malunya.
Aku mendesah dan berdiri.
"...Sekarang, saatnya untuk kembali?"
"U-Um..."
Tetap duduk disitu, Rumi melihatku terus seperti hendak mengatakan sesuatu. Meski begitu, aku menjawabnya balik tanpa menunggunya.
"Mungkin mereka masih bekerja mendekorasi pohon, kalau mau, kau bisa pergi kesana dan membantu mereka?"
"...Ah, oke."
Ketika dia menjawabnya, Rumi berdiri dan berjalan menuju ke Training Room. Sedangkan aku sendiri, aku kembali ke kursiku semula.
Apa yang hendak Rumi katakan, aku tidak tahu apa itu. Mungkin karena hatiku sendiri sudah terluka melihat senyum seperti itu.
Ketika aku melihat senyum itu, membuatku teringat bagaimana aku berbohong kepadanya untuk melakukan kegiatan ini. Meski senyum milik Rumi bukanlah senyum yang membuatku melakukan aksi ini.
Setidaknya aku sedang menyelamatkan sesuatu akibat bagaimana caraku menyelesaikan masalah di masa lalu.
Namun itu sendiri tidaklah cukup.
Ini adalah kesalahanku. Disini, aku masih tidak tahu jawaban yang sebenarnya.
Setelah mengeluhkan itu, aku kembali lagi ke laptop.
Aku menghitung ulang dananya, mencocokkannya dengan jadwal, dan menghitung biaya pertunjukan yang direncanakan. Untuk jaga-jaga, aku juga menyimpan kontak dari beberapa grup musik jazz dan lainnya.
Meski begitu, semakin aku berpikir ke dalam tentang pekerjaan ini, semakin aku pesimis eventnya bisa terlaksana. Ya ampun, apa sih ini, ini seperti ide-ide orang idiot atau semacamnya? Aku menggumam seperti mengatakan ini mustahil untuk dilaksanakan. Dan pengurus OSIS Sobu yang hadir disini nampaknya senada dengan Wakil Ketua OSIS yang tampak pesimis daritadi.
Setelah itu, dia menunjukkan kepadaku sebuah dokumen.
"Soal ini, sudah kuhitung berkali-kali, uangnya tidak cukup. Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita bisa berhemat di beberapa pos pengeluaran atau mencari sumber dana baru. Kupikir kita harus mengadakan voting soal ini di rapat selanjutnya."
Jujur saja, mengambil keputusan soal ini esok hari adalah hal yang membuang-buang waktu.
Aku menggaruk-garuk kepalaku dan mengambil kopiku. Aku hendak mencari rasa manis dan pahit dari kopi di gelas kertasku namun tampaknya sudah habis, ini nampaknya hal yang buruk bagiku.
Apa ada makanan atau minuman yang manis disini...? Ketika aku mencarinya di atas meja, Isshiki berjalan ke arahku.
"Senpai. Hiasannya sudah hampir selesai. Sesudah itu, kita akan melakukan apa lagi?"
Ahh, benar juga. Bekerjasama dengan siswa-siswa SD merupakan bagian dari tugas kita juga, huh...Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan menyilangkan lenganku.
Hal yang dirasa perlu, tetapi juga memberikan pengalaman kepada siswa-siswa SD akan hal yang akan mereka lakukan juga di masa depan, huh? Kalau hiasannya hampir selesai, jadi yang tersisa adalah...
Sesuatu terlintas di kepalaku.
"Apa pohon natalnya sudah disiapkan?"
Ketika aku mengatakannya, Isshiki nampaknya agak keberatan.
"Kita sudah punya pohonnya...Tetapi apakah tidak terlalu cepat kalau kita hias sekarang?"
Jawaban itu memang sudah kuduga akan keluar. Benar sekali, akan sangat janggal kalau kita melihat pohon natal di tengah ruangan ini. Lagipula, pohon natal ini juga agak besar, sehingga memberikan sebuah kesan natal dari penampakannya. Kalau begitu, kita ambil keuntungan dari penampakan yang besar tersebut.
"Kita bisa minta tolong untuk memindahkan pohon natalnya di pintu masuk community center. Itu akan terlihat sempurna karena seminggu lagi akan Natal. Nanti sehari sebelum event kita digelar, kita pindahkan lagi pohon natalnya ke dalam."
Setelah mengangguk, Isshiki berjalan kembali menuju tempat siswa SD bekerja. Aku melihatnya pergi dan kembali ke laptopku. Aku memang tidak menemukan makanan yang manis pada akhirnya, tetapi berbicara dengan Isshiki barusan sudah memberiku suasana segar.
Tetapi ini bukan waktunya bagiku untuk santai-santai. Meskipun aku disini hanya sekedar membantu Isshiki karena telah memaksanya menjadi Ketua OSIS, aku baru sadar kalau selama ini akulah yang memberikan perintah ke pengurus OSIS Sobu. Meski begitu, tidak ada satupun yang keberatan.
Kalau kita tidak mengganti situasi rapat selanjutnya, event ini pasti akan gagal. Nampaknya situasi ini cukup familiar denganku. Meski begitu, ini adalah situasi dimana Ketua OSIS, Isshiki Iroha, pasti tidak akan menyukainya.
Untuk merubah situasinya dengan cepat, aku harus menyerahkan sisanya ke Isshiki dan memutuskan sesuatu dengan Tamanawa.
Aku membawa beberapa dokumen di tanganku dan memberikannya ke Tamanawa. Merubah situasi melalui rapat yang biasa, nampaknya gagal selama ini. Kalau perwakilan rapat tidak mau memutuskan sesuatu, maka aku tinggal mendekati salah satunya dan mengajaknya untuk memutuskan sesuatu.
"Hei, ada waktu?"
"Ada apa?"
Tamanawa tampaknya sedang mengerjakan sesuatu. Terlihat dari layar laptopnya sebuah kata "Garis Besar Perencanaan". Ketika aku mengintipnya, nampaknya judul itu melambangkan hendak menggabungkan ide-ide tentang event tersebut menjadi satu.
Jadi, dia terlihat sedang mempertimbangkan untuk membuat seluruh pendapat peserta rapat menjadi nyata.
"Sepertinya di dokumen ini terdapat banyak sekali gagasan tentang eventnya. Gagasan mana yang bisa kita lakukan dan tidak...Meski begitu, tidak semua gagasan yang ada disini bisa kita lakukan..."
"Ooh! Terima kasih!"
Tamanawa membuka dokumen yang kuberi.
"Dengan dokumen ini, kita bisa melihat permasalahan tiap ide dengan lebih baik, bukan?"
"Yeah."
Sejujurnya, kita kehabisan waktu dan dana.
"Oke, mari kita rapatkan besok untuk mencari jalan keluarnya."
"Tidak,tidak. Tunggu. Itu sangat mustahil. Waktu kita tersisa seminggu lagi."
"Yeah, oleh karena itu kita punya pilihan untuk memakai jasa BAND luar dan semacamnya. Aku sendiri sudah mencarinya juga dari tadi, tetapi mereka juga memiliki PRIVATE LIVE deployment SERVICES. Kalau kita bisa menggabungkan mereka, kupikir kita akan membuat EVENT yang sesuai dengan yang kita rencanakan."
Memangnya menyewa band seperti itu uangnya dapat dari mana...? Aku menyimpan kesimpulanku tadi di tenggorokanku.
Tamanawa sebenarnya bukan tidak mau mendengar kata-kata orang lain, malah sebaliknya, dia mendengarkan semua kata-kata orang lain.
Oleh karena itu, dia berusaha mengambil kesimpulan dengan mempertimbangkan pendapat setiap orang.
"Pertama, kita akan membicarakan ini di depan semua orang dan memutuskannya di rapat selanjutnya."
Aku baru saja sadar.
Tamanawa baru saja menjadi Ketua OSIS. Dia memiliki penampilan impresif yang membuatku tertipu, dia tidak jauh berbeda dengan Isshiki yang baru menjadi Ketua OSIS.
Itulah mengapa dia menginginkan pendapat semua orang dan mendengarkannya. Hanya ketika semua menyetujuinya, baru dia akan melakukan tindakannya. Untuk menghindari permasalahan yang datang setelahnya, maka dia mengumpulkan semua masukan terlebih dahulu dan menjadikan keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama.
Bagi Isshiki yang hanya menunggu instruksiku, mental yang dimiliki mereka berdua kurang lebih sama. Aku tidak bisa bersikap seperti support bagi Isshiki yang baru saja kukenal, apalagi untuk Tamanawa yang baru kukenal beberapa hari.
Tidak ada yang bisa kuharapkan lagi. Lain kali, pastikan untuk mengambil keputusan; aku akan mencoba untuk menekankan hal itu kepadanya.
"...Jika kamu tidak memutuskannya di rapat selanjutnya, kita pasti tidak akan bisa mengadakan eventnya. Aku sangat mengandalkanmu."
"Tentu saja."
Tamanawa menjawab itu dengan ekspresi yang sudah kuduga, dia masih menunjukkan ekspresi segarnya. Tetapi untuk saat ini, bagiku, ekspresi itu terlihat mencurigakan.
Selesai meyakinkan Tamanawa, aku kembali ke tempat dudukku.
Ini tidaklah bagus...Aku mulai kehilangan satu-persatu pilihanku.
Pada akhirnya, apa yang akan kita lakukan mungkin diputuskan di rapat selanjutnya, tetapi apakah ada yang menjaminnya seperti itu? Melihat bagaimana rapat serupa berjalan selama ini, aku tidak bisa mengatakan itu dengan nada yang meyakinkan.
Apapun masalahnya, pada saat ini, aku sudah tidak punya apapun yang bisa kulakukan. Yang tersisa hanyalah menonton event ini yang akan gagal secara perlahan-lahan.
Ketika aku memikirkan itu, aku melihat Rumi sedang mengerjakan pekerjaannya.
Aku melihat di sekitarnya, tetapi tidak ada satupun siswa SD di sekitarnya. Mereka mungkin lagi sibuk mendekorasi Pohon Natalnya. Aku penasaran apa yang dia lakukan sendirian disini.
"...Apa kamu sedang membuat hiasan?"
Rumi memotong kertas yang dilipatnya dengan gunting mengikuti arah lipatannya. Sepertinya dia sedang membuat hiasan untuk membuat efek salju palsu.
Jika melihat situasinya, nampaknya hiasannya tidak selesai sepenuhnya, dan Rumi sedang menyelesaikannya sendirian. Well, kalau kamu berpikir memakai otak seorang anak kecil, mereka mungkin akan memilih untuk bekerja di sesuatu yang baru seperti menghias Pohon Natal daripada sekedar mengulangi tugas membuat hiasan yang sama berulang-ulang.
Meski begitu, memakai peralatan dan benda tajam tanpa pengawasan orang dewasa terlihat cukup ganjil. Kurasa, ada baiknya aku mengawasinya sejenak. Lagipula, tidak ada orang yang melihat kita berdua disini, Rumi seharusnya tidak merasa canggung jika aku mengajaknya berbicara.
"Kau mengerjakan ini sendirian?"
Aku mengambil posisi jongkok di dekatnya sambil berusaha mengajaknya berbicara, tetapi Rumi tidak menjawab. Dia terus melanjutkan kegiatannya melipat kertas dan mengguntingnya.
...Well, kalau dia memang memutuskan untuk diam, maka aku tidak bisa melakukan apapun.
Aku urungkan niatku dan ketika hendak berdiri untuk meninggalkannya, Rumi menatap ke arahku. Lalu dia mengambil lagi beberapa potongan kertas dan memalingkan wajahnya dariku.
"...Kan bisa kau lihat sendiri?"
Dia membalasnya dengan nada mengejek seakan-akan membodohiku. Apa-apaan dengan delay waktu membalasnya?
Sudah kuduga kalau anak nakal ini tidaklah manis, meski begitu, bagaimana dia mengerjakan tugas ini sendirian bisa meninggalkan kesan bagus baginya.
Sekali lagi, keadaan Tsurumi Rumi sekarang sedikit banyak dipengaruhi tindakanku di masa lalu kepadanya. Dalam kasus ini, aku setidaknya juga harus bertanggung jawab.
Aku duduk di sebelahnya dan mengambil tumpukan kertas dari tempatnya. Aku memotongnya dengan gunting yang tidak dipakai.
Uhh...Haa, karena sudah ada gambar garis-garis berbentuk kristal di kertasnya, kurasa aku akan cukup mudah untuk memotongnya...Tidak, itu salah. Ini sepertinya harus melipat dahulu kertasnya, lalu memotongnya...Ternyata, pekerjaan ini tidak semudah yang kubayangkan.
Ketika aku melakukannya, suara gunting yang sedang memotong di sebelahku berhenti. Ketika aku melihatnya, Rumi berhenti mengerjakan pekerjaannya dan melihatku dengan terkejut.
"...Apa yang kau lakukan?"
"Kan bisa kau lihat sendiri?"
Aku menjawabnya dengan jawaban yang sama dengan miliknya tadi. Rumi terlihat mengerti dan menatapku sambil menggerutu.
"...Kamu tidak ada pekerjaan lain yang harus dikerjakan?"
"Itulah masalahnya, sekarang benar-benar tidak ada yang bisa kukerjakan."
Di lain pihak, ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan, tetapi untuk pekerjaanku sendiri, sudah tidak ada yang bisa kukerjakan lagi. Sisanya tergantung di hasil rapat selanjutnya.
Ketika aku mengatakan itu, Rumi melihatku dengan tatapan mata yang rendah.
"...Dasar pengangguran."
"Jangan ganggu aku."
Setelah itu, kita berdua melanjutkan membuat hiasan dengan sunyi.
Aku tidak tahu ini ide siapa, tetapi menciptakan hiasan dengan lipatan kertas ini terlihat lebih sulit dari apa yang kubayangkan dan memotong kertas membutuhkan banyak sekali konsentrasi.
Aku terlihat mengeluh dengan tugas ini dan aku mendengar suara riuh dari Training Room pergi entah kemana.
Ketika aku melihat ke arah itu, Isshiki sedang berlari ke arahku.
"Ah, aku ingin pinjam cutternya, okeeeee?"
Dia memberikan alasan itu dan mengambil beberapa cutter yang berada di atas meja. Nampaknya cutter tersebut dibutuhkan untuk mendekorasi Pohon Natalnya.
Saat itu, Isshiki melihat Rumi. Rumi sendiri terlihat fokus mengerjakan pekerjaannya sehingga tidak menyadari kehadiran Isshiki. Tetapi Isshiki terlihat tertarik.
Isshiki melambaikan tangannya di depan mataku. Ada apa ini...? Aku mendekatkan tubuhku ke dirinya dan Isshiki berbisik di telingaku.
"...Senpai, jangan bilang kalau Senpai suka gadis yang lebih muda?"
"Well, sebenarnya cukup terbiasa dengan mereka."
Ini karena adik perempuanku, tetapi tentunya tidak semuda Rumi. Bahkan faktanya, aku lebih gugup bersama orang yang umurnya tidak beda jauh denganku. Tentu saja, jika mereka seumuran dengan adik perempuan Kawasaki, aku jelas tidak tahu harus bagaimana berhadapan dengan mereka, ya kurang lebih begitu. Ah, aku juga buruk dengan anak laki-laki yang lebih muda dariku. Berandalan itu, mereka seperti hewan sehingga kata-kata tidak akan bisa membuat mereka mengerti...
Aku manjawabnya, tetapi Isshiki tidak. Apa dia semacam mayat? Aku melihat ke wajahnya dan Isshiki seperti tertegun.
"...Mungkinkah Senpai barusan sedang berusaha untuk mendekatiku? Maafkan aku, memang benar aku suka pria yang lebih tua, tetapi yang barusan itu tidak akan mempan kepadaku."
"Tunggu dulu, memangnya aku barusan bermaksud seperti itu?"
Serius ini, aku ini seperti orang goblok saja, mau-maunya menjawab pertanyaannya dengan serius seperti itu.
Ketika aku memberi tanda untuk menyuruhnya pergi dari sini, Isshiki pergi dengan mengatakan "Apa-apaan sikapmu itu...?".
Ketika Isshiki pergi, suasana yang sunyi kembali berlanjut.
Suara dari kertas dan gunting. Tidak ada yang mengatakan apapun dan kami terus membuat tumpukan salju buatan dari lipatan kertas ini.
Akhirnya, kami selesai mengerjakan semuanya dan kami saling melihat satu sama lain.
"Kupikir kita sudah selesai disini..."
"...Uh huh."
Setelah dia menjawabnya, dia menghembuskan napas yang panjang panjang dan diikuti dengan senyuman. Tetapi ketika matanya bertemu dengan mataku, dia cepat-cepat memalingkan wajahnya seperti berusaha menyembunyikan perasaan malu-malunya.
Aku mendesah dan berdiri.
"...Sekarang, saatnya untuk kembali?"
"U-Um..."
Tetap duduk disitu, Rumi melihatku terus seperti hendak mengatakan sesuatu. Meski begitu, aku menjawabnya balik tanpa menunggunya.
"Mungkin mereka masih bekerja mendekorasi pohon, kalau mau, kau bisa pergi kesana dan membantu mereka?"
"...Ah, oke."
Ketika dia menjawabnya, Rumi berdiri dan berjalan menuju ke Training Room. Sedangkan aku sendiri, aku kembali ke kursiku semula.
Apa yang hendak Rumi katakan, aku tidak tahu apa itu. Mungkin karena hatiku sendiri sudah terluka melihat senyum seperti itu.
Ketika aku melihat senyum itu, membuatku teringat bagaimana aku berbohong kepadanya untuk melakukan kegiatan ini. Meski senyum milik Rumi bukanlah senyum yang membuatku melakukan aksi ini.
Setidaknya aku sedang menyelamatkan sesuatu akibat bagaimana caraku menyelesaikan masalah di masa lalu.
Namun itu sendiri tidaklah cukup.
Ini adalah kesalahanku. Disini, aku masih tidak tahu jawaban yang sebenarnya.
x x x
Para siswa SD sudah pulang lebih dulu. Setelah pekerjaan kecil ini, mengumpulkan dokumen-dokumen menjadi satu, tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan.
Para Pengurus OSIS Sobu sedang mengerjakan pekerjaannya dan menghitung dana untuk sekedar membuang waktu. Sedangkan para siswa SMA Kaihin, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu.
Kupikir pekerjaan hari ini sudah selesai?
"Isshiki, sepertinya tidak ada pekerjaan lain lagi, tidak apa-apa jika aku pulang?"
Ketika aku bertanya ke Isshiki yang sedang membolak-balik tumpukan kertas, dia melihat ke arah jam dinding, berpikir sebentar, dan berkata.
"Kupikir begitu...Kita tutup kegiatan kita hari ini?"
"Yeah, kalau begitu aku akan pulang dulu."
Isshiki menepuk punggungku dan berkata "Terima kasih untuk kerja kerasnya" dan akupun meninggalkan Training Room.
Ketika aku keluar dari Community Center, hujan telah berhenti. Terlihat dari genangan air adalah pantulan dari pemandangan kota dan tetesan kecil air membuat cahaya di sekitarnya seperti diserap oleh titik air tersebut.
Aku membetulkan kerah mantelku dan terus berjalan. Ketika aku hendak berjalan ke tempat parkir sepeda, aku baru sadar kalau aku tidak membawa sepeda hari ini. Karena dari pagi sudah turun hujan, aku memakai kereta dan bis untuk ke sekolah.
Setelah sadar, aku mengubah arahku menuju ke stasiun. Ketika di perjalanan, aku melihat Mall Marinpia. Di gedung tersebut ada sebuah papan iklan yang bersinar terang, dibalik pintu otomatis itu aku bisa melihat deretan pertokoan yang terlihat hangat.
Ah benar, ada KFC di Marinpia bukan? Aku hampir lupa tentang pesanan KFC dari Ibu.
Meski aku memesannya jauh hari sebelum Natal, setidaknya aku sudah menyelesaikan pesanan Paket Pesta Natal KFC yang Ibu pesan. Rumah kami memang agak jauh dari sini, tetapi kami mungkin akan menghangatkannya lagi di oven, dan jangan lupa kalau yang akan disuruh menjemput paket itu ketika Natal adalah aku, jadi membelinya dari sini kurasa cukup bagus.
Ketika aku memasuki Marinpia, aku melihat banyak sekali orang-orang membawa tas berukuran besar seperti habis berbelanja diskon Natal. Aku mencari-cari sejenak, dan akhirnya menemukan KFC disana.
Bagi KFC, ketika Natal menjelang dalam kurang dari seminggu, bisnis mereka menjadi sibuk karena banyak sekali antrian orang yang memesan paket pesta Natal. Bagi orang-orang yang baru pulang dari kantor, ini adalah tempat yang bagus untuk mampir. Lagipula ini dekat dengan stasiun. Aku masuk ke barisan antrian dan membuat pesanan paket untuk Natal nanti tanpa halangan berarti.
Aku sudah menyelesaikan apa yang harus kulakukan. Sisa tugasku kali ini hanyalah pulang ke rumah.
Aku berjalan menuju ke pintu keluar terdekat. Karena padatnya orang yang keluar masuk mall, pintu otomatisnya selalu terbuka. Selain orang yang berada di lantai dasar, orang-orang yang menuju ke eskalator juga ikut andil menyebabkan keramaian ini.
Mau bilang apa lagi, ini adalah Natal dan Akhir Tahun. Memang suasana yang normal...Dan kemudian, aku melihat ke arah eskalator.
Ketika aku melakukannya, di dalam gelombang orang yang sedang turun menggunakan eskalator, aku melihat Yukinoshita Yukino. Meskipun aku tahu kalau aku harusnya segera pergi dari tempat ini, kakiku tidak mau bergerak dari posisinya.
Yukinoshita tiba-tiba terlihat mencolok dari keramaian ini. Padahal aku sebenarnya tidak berniat untuk melihatnya, meski begitu kenapa aku bisa melihatnya begitu cepat?
Yukinoshita nampaknya habis berbelanja di sebuah toko buku karena aku melihat dia memegang tas berlogo toko buku di tangannya.
"Yo."
Langkahku yang terhenti sejak tadi ketika melihat Yukinoshita, tiba-tiba berjalan menuju eskalator, berjalan bersamanya ke pintu keluar dengan langkah yang senada.
Orang-orang terlihat sedang pulang ke rumah di jalan utama dan berdekatan dengan pintu Mall ini menciptakan sebuah keramaian.
Setelah keluar dari Mall melewati pintu keluar di samping KFC, kami melihat ada sebuah tempat peristirahatan bagi pejalan kaki di pojokan. Aku tidak begitu yakin bagaimana kondisinya jika di malam hari ketika musim panas, namun di malam yang dingin dan sehabis hujan turun, tidak ada orang yang berada di tempat itu.
Namun disitulah kita berhenti untuk suatu alasan yang tidak bisa kita katakan.
Yukinoshita membetulkan mantel dan syalnya. Aku secara refleks tiba-tiba juga melakukannya.
Apa ini sudah menjadi kebiasaan setelah lama bersama di satu klub? Ketika aku sedang mencari-cari kata yang pas, aku akhirnya mengucapkan sesuatu.
"Aah, apa kau sedang berbelanja?"
"Ya...Aku sebenarnya hendak bertanya hal yang sama kepadamu, apa yang kau lakukan disini?"
ketika aku bertanya kepadanya, Yukinoshita berkata dengan ekspresi yang sama dan dengan nada yang dingin.
Hari ini, aku pulang lebih dulu dari Klub. Oleh karena itu, berada disini di waktu ini adalah hal yang aneh. Sangat normal bertanya hal itu disini. Bertemu secara kebetulan dengannya disini adalah hal yang sebenarnya ingin kuhindari. Meski begitu, akhirnya bertemu juga, ini sudah tidak bisa kuhindari.
Aku menggaruk pipiku, dan aku memalingkan wajahku dari Yukinoshita.
"...Aku, ada sesuatu yang harus kulakukan disini."
Aku tidak bisa mengatakan alasan kenapa aku disini. Oleh karena itu jawabanku agak abu-abu, kata-kata yang umum. Tetapi tidak ada kebohongan di dalamnya.
Yukinoshita melihat ke arah lantai dan menjawabnya dengan suara yang kecil.
"Begitu ya..."
Lalu dia menaikkan wajahnya. Bibirnya yang dia gigit sepertinya khawatir hendak mengatakan atau tidak mengatakan, dan matanya terlihat menatapku dengan tajam.
"...Aku lihat kamu sedang membantu request Isshiki-san."
Suara yang bernada lemah. Kata-kata itu seperti akan pecah jika kamu menyentuhnya atau seperti salju yang jatuh di malam hari. Oleh karena itu, aku merasa sangat dingin mendengarnya.
Sepertinya Yuigahama tidak memberitahunya. Kupikir Yukinoshita mungkin menebaknya sendiri. Dia mungkin memakluminya hingga saat ini, namun sekarang dia melihat dengan mata kepala sendiri sikapku yang mencurigakan, dia mungkin tidak tahan untuk menanyakannya kepadaku sendiri.
"Aah, well, sebenarnya dia ada masalah dan..."
Tidak masalah seberapa abu-abunya kata-kataku tadi, kebenarannya tidak akan berubah, tetapi aku tidak bisa mengatakannya dengan cara lain. Mencoba berbohong dalam hal ini tidak akan memberiku apapun.
"Kau tidak perlu berbohong sampai segitunya."
Yukinoshita mengatakannya sambil menatap tanah kosong dimana angin dingin berhembus. Dia mungkin mengatakan alasanku soal Komachi adalah bohong dan menjadikannya alibi.
"Bukannya aku berbohong. Itu sebenarnya juga termasuk alasannya."
"...Begitukah. Itu benar, karena yang kau katakan tadi juga tidaklah bohong."
Ketika aku mengatakannya untuk membela diri, Yukinoshita membetulkan rambutnya yang ditiup angin dingin dengan tangannya.
Melihat bahasa tubuhnya yang seperti itu, mengingatkanku akan sesuatu.
Yukinoshita Yukino tidak berbohong. Karena itulah, aku lupa kalau dia juga tidak mengatakan kebenarannya.
Tetapi ini tidak tentang Yukinoshita. Satu-satunya orang yang salah dalam hal ini adalah aku yang di masa lalu memaksakan image dirinya adalah yang seperti itu.
Di lain pihak, aku sendiri bagaimana? Aku terlihat jauh lebih buruk daripada waktu itu. Aku sekarang percaya kalau tidak mengatakan hal yang sebenarnya adalah bentuk kalau aku tidak berbohong. Aku menipu diriku sendiri dan bahkan sekarang sedang melakukannya.
Untuk diriku yang menggunakan kepalsuan yang seharusnya sudah ditolak oleh diriku yang lama membuatku berpikir seberapa bobroknya diriku.
"...Maaf, karena aku melakukannya sendirian."
Yukinoshita menutup matanya lalu mencodongkan kepalanya.
"Ini tidak seperti aku keberatan atau semacamnya. Apa yang kau lakukan bukanlah sesuatu dimana aku bisa muncul dan berkomentar tentang itu. Kecuali..."
Yukinoshita menghentikan kata-katanya disana. Tangannya yang memegang tas terlihat meremas dengan keras.
"Kau butuh ijinku?"
Yukinoshita memiringkan kepalanya dan matanya yang transparan seperti sedang bertanya kepadaku. Suaranya yang lembut tidak sedang mengkritikku. Oleh karena itu, aku merasakan sakit yang luar biasa. Sebuah tekanan seperti sedang memanjat menuju dadaku.
"...Tidak, aku hanya ingin memastikan saja."
Aku seperti terpukul dengan kata-katanya. Aku tidak tahu harus menjawabnya dengan apa. Jawaban yang tepat belum kusediakan untuk kata-kata yang seperti ini.
Aku menatap ke arah Yukinoshita. Dia tersenyum seperti senyum yang dia buat di klub yang sudah lama tidak kulihat belakangan ini.
"...Begitu ya. Kalau begitu kau tidak perlu meminta maaf. Selain itu, bekerja bersamamu akan membuat Isshiki-san lebih rileks."
Yukinoshita mengatakannya dengan lambat, tanpa terburu-buru. Aku tetap terdiam dan mendengarkan saja. Jika aku tidak boleh meminta maaf, apa ada hal lain lagi yang bisa kukatakan?
Yukinoshita terus melanjutkan kata-katanya.
"Kalau itu kau, kupikir kau akan bisa menyelesaikannya. Bukankah itu yang kau lakukan belakangan ini?"
Aku berpikir kalau itu tidaklah benar. Aku tidak pernah menyelesaikan apapun hingga sekarang. Apa itu Isshiki, Rumi, dan pada akhirnya, aku hanya membuat hal-hal tidak jelas dan berakhir menjadi kekacauan. Ketika dibilang menyelesaikan sesuatu, jelas-jelas aku tidak menyelesaikan apapun.
"Yang kulakukan dulu itu ternyata tidak menyelesaikan sesuatunya... Selain itu, ini karena aku selama ini memang sendirian, maka aku melakukannya sendirian, itu saja."
Aku selalu melakukan sesuatu jika sudah terlibat. Bukankah itu hal yang wajar. Ketika aku dilibatkan sesuatu, maka aku menganggap masalah itu adalah masalahku. Oleh karena itu aku melakukannya sendirian.
Itu adalah sesuatu yang mendasar dalam diriku dan bergantung ke orang lain akan membuat semuanya tidak berarti.
Oleh karena itu aku melakukannya sendirian. Tidak ada yang perlu kukatakan lagi.
Yukinoshita yang sudah bersama denganku selama setengah tahun lebih juga pasti akan berpikir begitu.
"Bukankah kau juga jika merasa kau ini berada dalam situasi sendirian, maka akan melakukan sesuatunya sendirian juga?"
Dengan percaya diri, dan tanpa ekspektasi, akupun mengatakannya. Tetapi kata-kata Yukinoshita bertambah keras.
"Itu...Sebenarnya bukan begitu."
Dia terdiam, menutup rapat mulutnya, dan meremas ujung mantelnya. Aku mengintip dibalik syalnya yang sedikit terbuka, tenggorokannya seperti hendak mengatakan sesuatu. Dia seperti sedang berjuang untuk mengatakannya seperti melawan angin. Ini pertama kalinya bagiku untuk melihat Yukinoshita seperti ini.
"Waktu itu aku hanya pura-pura sanggup melakukannya...Aku bersikap seperti orang yang sudah mengerti tentang semua hal yang telah terjadi."
Siapa yang dia bicarakan? Apa itu diriku?
Oleh karena itu, aku harus mengatakan sesuatu .
"Hei, Yukinoshita..."
Aku mencoba mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku lebih jauh. Yukinoshita lalu memotongku dengan nada bicaranya yang biasa.
"Kenapa kau tidak cuti dulu dari klub untuk sementara? Jika kau selama ini datang ke Klub karena merasa tidak enak dengan kami, maka tindakanmu itu sebenarnya adalah tindakan yang tidak perlu."
Ekspresinya diikuti dengan senyum. Aku melihat sebuah kehangatan disana.
"Bukannya aku tidak enak atau semacamnya."
Aku tahu kalau ini bukan kata-kata yang tepat untuk dikatakan. Meski begitu, jika aku diam saja, bahkan sebuah ruang kosong akan hilang begitu saja.
Meski begitu, kesalahan tetaplah sebuah kesalahan. Tidak peduli bagaimana caramu untuk menutupinya, itu tidak akan bisa ditutupi.
Yukinoshita agak mencondongkan kepalanya ke depan. Dia mulai mengendurkan genggaman tangannya ke tasnya dan bahunya agak menurun.
"Kamu selalu merasa sungkan selama ini...Sejak saat itu, selalu...Oleh karena itu..."
Ketika aku mulai mendengarkan kata-katanya yang mulai lemah, kata-kata terakhir yang kutunggu tidak terdengar lagi. Tetapi kata-kata tersebut tidak keluar dan Yukinoshita mengatakan sesuatu yang berbeda.
"Tetapi kamu tidak perlu memaksakan dirimu lagi. Jika hal yang kecil dengan mudah bisa menghancurkannya, bukankah itu berarti sejak awal memang rapuh, bukan?"
Pertanyaan itu, membuatku terdiam.
Sesuatu itu adalah hal yang dulu aku percayai, tetapi sekarang tidak lagi.
Tetapi, Yukino mempercayai hal itu. Hal yang mulai tidak kupercayai lagi semenjak darmawisata itu.
Aku membuat sebuah kebohongan waktu itu. Request yang menginginkan tidak ada yang berubah, dan ada yang meminta untuk berubah, akhirnya selesai dengan kebohongan itu.
Ebina-san, Miura dan terakhir, Hayama.
Mereka mengharapkan sebuah hari-hari yang biasa mereka jalani bersama tetap berjalan seperti biasanya. Oleh karena itu, mereka mulai berbohong sedikit demi sedikit, saling menipu satu sama lain, dan setelah melakukan sampai sejauh itu, mereka berpikir ingin mempertahankan hubungan yang seperti itu. Setelah memahami itu, mustahil bagiku untuk menolak requestnya dengan mudah.
Keputusan yang kuambil, memilih untuk melindungi hubungan mereka kupikir bukanlah hal yang salah.
Aku berusaha menggabungkan keputusan itu dengan pikiranku dan akhirnya diriku sendiri menyetujuinya. Pada awalnya aku sangat puas tentang bagaimana caraku menyelesaikannya dan akhirnya akupun merasa sedikit demi sedikit menyesal karena aku kehilangan sesuatu secara perlahan-lahan.
Meski, aku sadar kalau hubungan mereka pada akhirnya akan hancur.
Oleh karena itu, apa yang sudah kupercayai selama ini menjadi abu-abu dan aku berbohong kepada diriku sendiri. Aku tahu kalau hal penting yang hilang tidak akan tergantikan dengan apapun. Sekali kamu menghilangkan hal yang penting itu, kamu tidak akan bisa mencari gantinya. Oleh karena itu, kamu harus melindunginya selagi kamu bisa; oleh karena itu aku berbohong.
Ini tidak seperti aku telah melindungi sesuatu. Malahan aku setiap hari selalu bertanya apakah aku sudah melindungi sesuatu itu.
Sekarang, pertanyaan yang Yukinoshita ajukan kepadaku adalah sebuah ultimatum.
Tidak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang palsu. Itu adalah satu-satunya dasar dimana baik aku dan Yukinoshita percayai.
Apakah aku masih mempercayai itu?
Aku tidak bisa menjawabnya. Untuk diriku yang sekarang, aku masih percaya kalau mengatakan kebenarannya kepada seseorang bukanlah hal yang sia-sia. Itu adalah salah satu cara yang kutahu, aku sadar betul kalau opsi tersebut ada tetapi tidak kulakukan. Oleh karena itu, aku tidak bisa membantah apa yang dia katakan.
Tidak bisa mengatakan apapun, Yukinoshita menatapku dengan mata yang penuh rasa kesepian. Yukinoshita terdiam dan menunggu jawabanku. Meski begitu, ketika dia memahami kalau sia-sia menungguku berbicara, dia mendesah kecil dan tersenyum.
"Kamu tidak perlu memaksakan dirimu lagi untuk datang ke klub..."
Cara bicaranya cukup sopan untuk didengar.
Suara-suara keramaian terdengar jelas di atas tangga. Bahkan di keramaian ini, aku merasa mendengar jelas suara dari langkah kaki yang semakin menjauh dan menjauh dariku.
Yukinoshita menghilang di keramaian. Aku cukup yakin dia tidak jauh dariku, tetapi entah mengapa kita berdua terasa jauh.
Melihat kepergiannya tanpa mengatakan satupun kata-kata, aku duduk di tangga Mall.
Aku menyadari, ada sebuah lagu Natal terdengar di toko terdekat. Di tengah Mall ada Pohon Natal yang dihiasi dekorasi-dekorasi indah.
Ada kotak-kotak hadiah yang tergantung di pohon tersebut, mungkin saja isi kotak tersebut kosong.
Kotak tersebut mirip dengan ruangan klubku. meski begitu, aku masih berusaha untuk meraih kotak kosong itu.
Meski itu bukanlah hal yang benar-benar kuinginkan.
Pertama-tama, masalah yang perlu dibahas adalah waktu. Waktu yang tersisa hanyalah seminggu dan tidak ada celah untuk membalikkan situasi.
Masalah selanjutnya adalah penyebab hilangnya waktu. Juga menjelaskan mengapa kita bergerak sangat lambat. Di satu pihak, kita punya Tamanawa yang bersikap untuk mendengarkan opini semua orang. Di lain pihak, kita punya Isshiki yang mendukungnya. Karena kedua orang tersebut berada di posisi pimpinan tertinggi, hal ini memakan banyak sekali waktu.
Untuk mempercepat proses, mereka mengundang beberapa orang untuk ikut terlibat dan memimpin rapat, tetapi nampaknya tidak begitu efektif karena tidak ada yang mau.
Bagi para pengurus OSISnya, nampaknya tidak ada yang terbiasa untuk memimpin rapat. Orang-orang yang disini cuma berpura-pura berpikir dan menghindari berurusan dengan Ketua OSIS masing-masing. Bahkan para pengurus OSIS kita yang memiliki beberapa ide berpikir untuk sebaiknya berada di bawah Ketua OSISnya.
Merubah pola pikir dari Isshiki dan Tamanawa, adalah hal yang sangat sulit.
Pengalaman mereka menjadi Ketua OSIS memang kurang karena baru saja dilantik. Jadi alasan kurang pengalaman memang tidak bisa dijadikan patokan. Masalahnya adalah sebagai pemimpin, mereka tidak memiliki visi tersebut. Mereka tidak memiliki visi untuk sukses. Tetapi mereka hanya memiliki visi jika mereka gagal. Ketika menjadi Ketua OSIS dan gagal dengan tugas kegiatan bersama dengan sekolah lain, maka semuanya akan berakhir. Mereka berdua mungkin takut akan hal itu.
Ada saatnya dimana kamu terpeleset ketika berada di panggung besar. Yang mengatakan bahwa kegagalan adalah bagian dari pengalaman adalah orang yang tidak tahu apa-apa, yang terjadi adalah kegagalan menghantui orang itu setiap saat.
Orang-orang yang berada di zona aman akan berteriak hal-hal seperti "Coba lagi lain kali" dan "semua orang pernah gagal". Mereka akan mengatakan hal-hal semacam itu. Ada waktu dimana tidak akan ada lain kali karena kegagalan pertama akan menutup kesempatan kedua. Kata-kata "tidak masalah jika gagal" adalah kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Kegagalan itu akan terus menghantui dan membuat orang tersebut menjadi orang gagal.
Bagi orang yang memiliki pemikiran seperti itu, mereka pasti paham kalau ini adalah saatnya dimana tidak boleh ada kata gagal. Ini seperti Tamanawa dan Isshiki saat ini.
Oleh karena itu mereka meminta pendapat orang lain dan menyatukannya. Mereka melakukannya agar ketika gagal, maka tanggung jawab kegagalan itu akan dibagi ke orang yang memberikan pendapat juga.
Itu membuat orang ragu untuk mengatakan "ini salahmu" ke seseorang. Tetapi mereka akan merasakan kalau itu seharunya juga ditanyakan ke mereka sendiri.
Aksi dari melihat, memberitahu, berdiskusi, menyusun rencana, dan beraksi bersama adalah cara yang dilakukan secara berkelompok, demi membagi tanggung jawab yang dipikul seseorang. Jika mereka bisa membagi sebuah kegagalan menjadi tanggung jawab bersama, mereka bisa mengurangi rasa sakit yang diterima setiap orang.
Mereka tidak mampu untuk menanggung tanggung jawab kegagalan itu sendirian, oleh karena itu mereka berusaha untuk menanyakan pendapat orang lain.
Dan itu adalah alasan utama mengapa event ini berjalan super lambat sekarang. Siapa yang harus bertanggung jawab? Tidak memutuskan hal itu dari awal adalah penyebab semua kesalahan ini.
"Ya, semacam itu Sensei..."
Aku tidak begitu yakin kalau aku akan bisa menjelaskannya dengan baik. Tapi setidaknya aku sudah mengatakan apa yang ada di pikiranku.
Hiratsuka-sensei mendengarkan dari awal sampai akhir dengan diam, ketika aku selesai, dia mengangguk dengan ekspresi yang sangat kompleks.
"...Kau nampaknya bisa melihat itu dengan baik. Kau sangat luar biasa ketika membaca kondisi pikiran seseorang."
Bukannya pujian seperti itu yang kuharapkan. Jika aku berada di posisi mereka, itulah setidaknya yang kupikirkan. Itu hanya sebuah opini yang egois. Ketika aku mencoba mengatakannya, Hiratsuka menutup mulutku dengan menunjuk menggunakan jari telunjuknya dan mengambil alih. Dia lalu melihat ke arah mataku dan menggodaku.
"Namun, kau tidak mengerti perasaan mereka."
Napasku serasa berhenti. Kata-kataku, bahkan sebuah bahasa tubuh tidak bisa kukeluarkan. Aku merasa kalau dia sudah menyentuh akar dari masalahnya. Aku berusaha untuk memahami apa yang terjadi dari sisi itu, namun aku, Hikigaya Hachiman, tidak mampu melakukannya.
Aku teringat seseorang pernah memberitahuku beberapa waktu lalu. "Kamu perlu melihat perasaan orang lain juga. Kenapa kamu yang bisa memahami semuanya, tetapi tidak bisa memahami hal sekecil itu?".
Tidak bisa menjawab kata-katanya, Hiratsuka-sensei lalu melanjutkan kalimatnya sambil meletakkan rokoknya di asbak.
"Pikiran dan perasaan seseorang tidaklah selalu sama. Ada saat dimana kesimpulan yang kau ambil terdengar tidak rasional dan itulah alasannya...Oleh karena itu, Yukinoshita, Yuigahama, dan dirimu juga beberapa kali salah paham."
"...Tidak, keduanya tidak ada hubungannya dengan masalah ini, bukan?"
Aku merasa aneh dengan dua nama yang baru saja dia sebutkan. Saat ini, aku benar-benar tidak ingin membicarakan atau memikirkan sesuatu tentang mereka. Ketika aku mengatakannya, Hiratsuka-sensei menatapku.
"Sejak awal, 'bagaimana situasinya' itu maksudnya ya mereka berdua."
Dia mengatakannya dengan ekspresi kecewa dan menyalakan rokok yang baru. Memang benar, dia tidak mengatakan itu secara spesifik. Akulah yang dari tadi mengoceh tentang Event Natal.
"Tetapi, seperti yang kau tahu, baik pikiran dan perasaan seseorang itu pada dasarnya berasal dari satu hal yang sama. Akar dari segala permasalahan itu adalah satu hal...yaitu hati."
Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokoknya. Asap tersebut membentuk suatu pola lalu hancur tertiup angin.
Hati. Perasaan. Pikiran.
Meski begitu, hal itu cuma retorika belaka. Pada akhirnya, aku tidak bisa melihat hal itu. Meski aku berpikir tentang bagaimana perasaan orang lain, tetapi aku hanya bisa melihat di permukaannya saja. Aku bertindak hanya berdasarkan oleh sebuah kebenaran yang baru saja kudapatkan. Berarti itu tidak ada bedanya dengan sebuah pembenaran akan kepuasan diri sendiri?
Kalau memang begitu kenyataannya, mungkin selamanya aku tidak akan bisa memahaminya.
"Tetapi...Itu bukanlah sesuatu yang bisa kita pahami hanya dengan memikirkan hal itu saja, bukan?"
Kebaikan hati, kebusukan hati, resiko, dan akibat; kalau yang kita bahas adalah hal-hal seperti itu, maka aku bisa memahaminya.
Keinginan dan melindungi diri sendiri, kebencian dari rasa iri. Aku bisa menganalisa secara pikiran dasar tindakan yang berasal dari emosi seperti itu. Itu karena aku punya banyak sekali pikiran-pikiran buruk seperti itu di dalam diriku. Oleh karena itu, aku mudah sekali memikirkannya. Jika mereka adalah hal-hal yang mirip dengan itu, maka ada peluang kalau aku bisa memahaminya. Aku bisa menjelaskannya dengan logika.
Namun apabila bukanlah hal-hal semacam itu, maka akan sulit bagiku untuk menganalisisnya.
Tanpa konsep untung dan rugi, aku sulit untuk membayangkan perasaan orang-orang yang bertindak diluar logika dan teori. Aku hanya punya sedikit hal yang lebih baik dari orang lain, tetapi aku punya terlalu banyak kesalahan yang kulakukan hingga saat ini.
Keinginan untuk berbuat baik, persahabatan, atau bahkan cinta; mereka adalah hal yang selama ini membuatku salah paham. Aku cukup yakin kalau dulu aku sudah salah paham tentang hal-hal tersebut meskipun sekarang aku memikirkannya lagi.
Aku menerima e-mail, lalu tubuh kita tidak sengaja bersentuhan, kita lalu saling tersenyum ketika kedua mata kita bertemu di kelas, rumor seseorang yang menyukaiku sedang ramai, kita saling berbicara banyak meskipun duduk bersebelahan adalah suatu kebetulan, kita selalu pulang ke rumah bersama-sama; ketika itu terjadi, aku selalu salah paham.
Bahkan...Bahkan jika ada kemungkinan kalau yang kuduga itu benar adanya.
Aku tidak punya kepercayaan diri untuk mempercayai hal itu. Aku selalu menolak segala macam opini mendukung yang muncul di kepalaku dan selalu mencari opini yang menolaknya sebagai pembenaran. Meskipun begitu, pikiran-pikiran semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa kusebut hal yang tulus.
Jika itu adalah sesuatu yang akan terus berubah, maka jawabannya tidak akan pernah bisa kutemukan disini.
Hiratsuka-sensei mendengarkan kata-kataku dan tersenyum kecil setelahnya, lalu dia menatapku dengan intens.
"Belum paham ya? Coba pikir lagi. Jika kau hanya bisa berpikir untung ruginya, maka lakukan saja terus sampai kau tidak bisa. Cari semua kemungkinan jawaban yang ada dan hancurkan mereka satu-persatu dengan proses eliminasi. Yang tersisa itulah, jawabanmu."
Pikirannya dipenuhi dengan gairah. Tetapi yang dia katakan tadi adalah hal yang tidak rasional. Tidak, bahkan aku tidak bisa memikirkannya secara logis.
Bagi seseorang yang hanya bisa mengambil kesimpulan berdasarkan alasan dan perhitungan, maka tinggal melakukan itu terus menerus sampai dia tidak bisa melakukannya lagi.
Metode yang kurang efisien dan sia-sia? Lagipula, tidak ada jaminan kalau jawabannya pasti akan kuperoleh. Aku sendiri terkejut sehingga aku tidak bisa mengatakan apapun.
"...Pada akhirnya, ada hal-hal yang tidak bisa kau pahami, bukan? Maka artinya, perhitunganmu itu salah dan perhatianmu teralihkan. Maka solusinya adalah, kau harus merubah caramu memperhitungkan sesuatu."
Hiratsuka-sensei melemparkan candaannya. Aku tertawa kecil mendengarnya.
"Anda sangat absurd..."
"Bodoh. Jika kau bisa memperhitungkan perasaan, kita sudah memasuki jaman full digital pada saat ini...Sisa-sisa jawaban yang tidak bisa kau perhitungkan itulah yang mereka sebut dengan perasaan manusia."
Nadanya memang terkesan kasar, tetapi aku melihat sebuah kebaikan di dalamnya.
Seperti kata Hiratsuka-sensei, kupikir memang ada hal yang tidak bisa kita kalkukasi. Bahkan jika kita berusaha, hal-hal seperti nilai phi ataupun nilai desimal tidak terbatas ternyata eksis.
"Well, aku juga pernah salah perhitungan juga, jadi mungkin karena itulah aku belum menikah, huh...Memikirkannya membuatku teringat kalau ada temanku baru saja menggelar pernikahannya..."
Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei tersenyum kecut. Seperti biasanya, ini adalah momen dimana biasanya aku menggodanya dengan mengatakan sesuatu yang random.
Tetapi aku merasa tidak perlu melakukannya hari ini.
"Saya rasa bukan begitu, hanya saja para pria yang berada di dekat Sensei selama ini tidak memiliki mata yang baik."
"Heh...?A-Apa itu barusan?"
Hiratsuka-sensei terkejut dan dia menggumam sambil malu-malu, dia memalingkan wajahnya.
Tetapi sebenarnya aku tidak ingin menggodanya. Jika aku terlahir sepuluh tahun lebih awal dan bertemu dengannya sepuluh tahun lalu, mungkin aku akan jatuh cinta kepadanya. Meski begitu, memikirkan itu adalah hal yang kurang berguna untuk saat ini.
Aku hanya bisa tersenyum sementara pikiranku semakin menggila. Hiratsuka-sensei tiba-tiba tertawa. Setelah tertawanya selesai, dia pura-pura membersihkan tenggorokannya.
"Ba-Baiklah. Kau bisa katakan ini sebagai rasa terima kasihku, tetapi...Aku akan memberimu sebuah petunjuk spesial."
Setelah mengatakannya, dia memandangiku seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Kau tidak akan pernah salah jika kau memikirkan hal itu."
"Haa..."
Itulah kata-katanya, tetapi aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya karena melihat ekspresiku yang tidak mengerti.
"Begitu ya...Misalnya, mari kita coba pikir kembali alasan kenapa kau membantu Isshiki, tidak sebagai anggota Klub Relawan, tetapi sebagai seorang individu. Apakah ini demi Klub Relawan, ataukah demi Yukinoshita?"
Permisalan yang cukup aneh, nama yang baru saja dia sebutkan membuatku terkejut. Spontan saja, aku menatap wajah Hiratsuka-sensei dan dia tersenyum kecil.
"Kau akan paham cuma dengan melihatnya. Setelah masalah kandidat Ketua OSIS Isshiki, Yukinoshita melaporkan kepadaku situasinya...Dia tidak mengatakan apapun tentang dirinya, tetapi kalau melihat kebiasaannya ketika melaporkan kegiatan klub, aku melihat kemungkinan itu. Apakah kamu tidak merasakannya?"
"Aah, tidak, memangnya perasaan semacam apa..."
Aku memikirkan beberapa kata untuk menjawabnya, namun Hiratsuka-sensei tidak mau menunggu dan melanjutkan kata-katanya.
"Kalau kalian berdua memikirkan perasaan yang sama, maka kamu akan tiba di sebuah jawaban yang membuatmu tidak ingin melukai mereka...itu misalnya. Itu misalnya saja, misalnya saja loh."
"...Well, kupikir saya bisa merasakannya. Tapi ini cuma misalnya ya, misalnya."
Ini cuma permisalan. Aku diberitahu begitu, maka aku akan menjawabnya begitu. Ini adalah sebuah contoh kasus dan yang dikatakan Hiratsuka-sensei tidaklah benar karena hanyalah permisalan.
Hiratsuka-sensei lalu mengangguk untuk mengkonfirmasi itu.
"Tetapi kamu jangan berpikir seperti itu. Dalam hal ini, yang harus kau pikirkan adalah alasan kenapa kau tidak ingin menyakiti seseorang. Dan jawabannya akan datang kepadamu. Itu karena orang itu sangat berarti di hatimu sehingga kau tidak ingin melihatnya terluka."
Ketika dia melihat ke arah mataku, dia menambahkan kata-kata finalnya tadi. Sepertinya dia tidak mau mendengar keberatanku, dan akhirnya aku memalingkan mataku.
Wajah Hiratsuka-sensei menghadap ke arah jalanan yang disinari cahaya orange dari lampu jalan dan lampu kendaraan yang melintas. Lalu, dia berbisik dengan lembut, suara yang hangat.
"Tapi kau harus melihat realitasnya, Hikigaya. Kau tidak bisa melakukan sesuatu dan berharap tidak ada seorangpun yang akan terluka. Manusia adalah makhluk yang selalu melukai sesamanya secara sadar ataupun tidak. Apakah kau hidup atau sedang sekarat, kau pasti akan melukai seseorang. Sekali kamu terlibat, kamu akan melukai seseorang, dan bahkan jika kau tidak terlibat, kau mungkin akan melukai seseorang juga..."
Setelah mengatakannya, Hiratsuka-sensei mengambil rokoknya yang lain. Dia menatap ke arah rokoknya dan melanjutkannya lagi.
"Tetapi, jika orang itu bukanlah orang yang kau pedulikan, maka itu tidak akan menyakitimu. Yang terpenting adalah apa yang kau pedulikan. Karena kau peduli kepadanya maka kau akan merasakan dirimu tersakiti jika melihatnya terluka."
Ketika dia selesai, dia menaruh rokoknya itu di mulutnya. Suara batu korek yang dinyalakan memperlihatkan sisi wajah dari Hiratsuka-sensei. Kedua matanya tertutup seperti sedang tertidur dan ekspresinya sangat lembut. Lalu dia menghembuskan napas panjangnya bersamaan dengan asap rokoknya.
"Jika kau ingin melihatnya bahagia, itu artinya akan ada orang lain yang terluka."
Dia mengatakannya sambil melihat ke arah langit.
Aku melihat ke arah yang sama dengannya, membayangkan apa yang sedang dia pikirkan. Aku melihat sedikit cahaya bulan bersinar dari balik awan.
"Itu adalah petunjuk terjauh yang bisa kukatakan kepadamu."
Setelah mengatakannya, Hiratsuka-sensei bergerak menjauhi mobil tempat dia bersandar dan tersenyum kepadaku. Lalu dia seperti hendak meregangkan tangan dan punggungnya.
"Ini terjadi karena kedua belah pihak sama-sama berpikir bahwa itu sudah diluar garis yang boleh mereka lewati. Meski begitu, kita tidak perlu bersedih melihatnya. Mungkin itu adalah hal yang bisa dibanggakan juga."
Kata-katanya sangat indah. Tetapi itulah faktanya. Memikirkan tentang hal yang tidak bisa kamu dapatkan, hal itu berada di depanmu namun tanganmu tidak bisa menggapainya karena kurang panjang, tentunya akan terasa sakit. Mungkin harusnya kamu menyerah saja dan melihatnya dari kejauhan.
Seperti yang kupikirkan barusan, aku ingin menanyakannya kepadanya.
"...Bukankah itu sesuatu yang sangat berat?"
"Uh huh. Itu benar-benar berat."
Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei berjalan kembali ke mobilnya dan bersandar lagi.
"...Tetapi itu bisa terjadi. Setidaknya itu menurut pengalamanku."
Hiratsuka-sensei mengatakannya dengan mengerang, senyuman terlihat di wajahnya menggambarkan sebuah determinasi. Bukannya dia tidak mau menceritakannya, tapi aku rasa banyak hal terjadi dengannya di masa lalunya. Aku kurang yakin untuk menanyakan ini kepadanya. Apa dia akan menceritakannya suatu hari nanti jika aku sudah cukup dewasa? Melihat pemikiranku semacam itu, aku secara spontan memalingkan pandanganku darinya.
"Tapi agak arogan jika anda berpikir orang lain juga bisa melakukannya hanya karena anda pernah melakukannya."
"...Ah murid yang kurang manis."
Ketika dia mengatakannya, dia menggaruk-garuk rambutku seperti memegang sebuah cakar besi. Aku merasakan rasa sakitnya di tulang kepalaku. Ketika aku mencoba menolaknya, dia tiba-tiba mengendurkan tekanannya. Tetapi, tangannya masih menyentuh rambutku.
"...Baiklah aku akan jujur kepadamu."
Nada suaranya lebih dalam dari biasanya. Karena tangannya memegangi kepalaku, aku tidak bisa menolehkan kepalaku dan hanya bisa menggerakkan mataku dan dia tersenyum dengan sedih.
"Sebenarnya, orang itu tidak harus kamu. Bisa saja di masa depan, Yukinoshita berubah. Suatu hari, seseorang yang bisa memahaminya bisa saja muncul. Mungkin akan ada seseorang yang mau berjalan disampingnya dan menemaninya. Orang itu juga bisa Yuigahama."
Jadi maksud sebenarnya apa? Itu sudah terlalu jauh hingga membahas masa depan, namun aku merasakan ini juga bisa saja terjadi pada saat ini karena aku sendiri merasa seakan-akan tidak berdaya.
"Aku yakin bagi kalian, kau merasa bahwa masa muda adalah segalanya. Tetapi itu bukanlah masalahnya. Tetapi, itu akan menjadi masuk akal nantinya. Persis seperti bagaimana dunia ini dibuat."
Kata-kata yang diucapkannya sangatlah benar. Suatu hari nanti, di suatu tempat, seseorang pasti akan melewati garis milik Yukinoshita. Ketika aku memikirkan tentang kebenaran itu, suatu titik di dalam diriku merasa sangat sakit sekali dan aku menggoyang-goyangkan tubuhku untuk mengusir rasa sakit itu.
Saat ini, tangan yang sebelumnya berada di kepalaku sekarang berpindah ke bahuku. Suara Hiratsuka-sensei terdengar lebih dekat dari biasanya.
"...Hanya saja aku merasa akan luar biasa jika orang itu adalah dirimu. Aku berharap dirimu dan Yuigahama mau melintasi garis milik Yukinoshita."
"...Tidak, meski anda mengatakan hal itu, itu..."
Ketika aku hendak menjawabnya, Hiratsuka-sensei menekan pundakku dengan lembut. Rasa hangat dari jarak yang dekat ini membuatku kehilangan kata-kataku. Seperti terbius, Hiratsuka-sensei menatap wajahku ketika berbicara.
"Waktu bukanlah segalanya...Tetapi ada satu hal yang hanya bisa kau lakukan untuk saat ini, hal yang hanya ada pada saat ini. Inilah saatnya, Hikigaya...sekarang saatnya."
Aku tidak bisa memalingkan pandangannya dari matanya yang berlinang. Sekarang, aku tidak punya jawaban yang bisa kuberikan kecuali ekspresiku yang jujur ini. Oleh karena itu, aku hanya terdiam disini, tidak mampu menjawabnya.
Tangan sensei yang menyentuh pundakku menekan dengan lebih keras.
"Pikirkanlah, berjuanglah, hadapilah, dan merasa khawatirlah. Tanpa perasaan itu, maka itu tidaklah tulus."
Ketika mengatakannya, dia melepas tangannya dari bahuku. Lalu dia tersenyum menandakan pelajaran hari ini telah usai. Dengan itu, kekakuan di tubuhku sudah terasa hilang.
Hujan kata menghajarku dari luar dan mulai mengisi dadaku dengan banyak sekali kata-kata. Meski begitu, aku tidak akan mengatakannya balik. Ini mungkin adalah sesuatu yang harus kupikirkan sendiri, kusaring sendiri, lalu kutelan sendiri.
Oleh karena itu aku akan mengatakan hal yang agak berbeda sebagai ucapan terima kasih, kata-kata yang agak menggodanya.
"...Tetapi karena anda menderita karenanya, anda tidak bisa mengatakan itu hal yang tulus."
"Kau memang muridku yang tidak ada manis-manisnya."
Hiratsuka-sensei tertawa dan memukulku dari belakang.
"...Sekarang, ayo pulang. Cepat naik."
Setelah mengatakannya, Hiratsuka-sensei duduk di kursi pengemudi. Aku menjawabnya dengan "roger" dan berputar menuju kursi penumpang.
Ketika melakukannya, aku melihat sebentar ke arah langit.
Bulan yang seharusnya muncul tampak bersembunyi dibalik awan. Air laut tidak memantulkan cahaya bulan dan angin dingin yang menembus pipiku terasa sangat dingin.
Meski begitu, aku terkejut, aku sendiri tidak merasa kedinginan dan merasakan sebuah kehangatan menyelemuti tubuhku.
Tentu saja sikap Kaori yang tidak lagi mau menceritakan kisah Hachiman yang menembaknya semasa SMP membuat Hachiman tertarik. Karena, di vol 8 chapter 3, Kaori dengan mudahnya menceritakan itu ke Haruno. Dalam chapter yang sama, Hachiman dalam monolognya mengatakan kalau kejadian itu benar-benar menimbulkan trauma yang mendalam baginya.
Tentu saja, ini membuat Hachiman tertarik. Apakah mungkin Kaori ini paham apa yang dirasakan oleh Hachiman ketika membahas hal itu di depan orang lain?
...
Kita harus jeli disini. Dijelaskan dalam monolog, bahwa Hachiman masih datang ke Klub terlebih dahulu, lalu ke Community Center, baru setelah itu ke KFC di Marinpia.
Lalu mengapa Yukino memilih untuk membicarakannya di Marinpia? Kenapa tidak membicarakannya di Klub ketika ada Yui disana?
Ini sangat sederhana dan cukup jelas: Karena apa yang Yukino dan Hachiman bahas di Marinpia adalah tentang hubungan mereka berdua, bukan tentang urusan Klub.
Kalau ini memang urusan Hachiman dengan Klub, maka Yukino sudah membahasnya sepulang sekolah ketika ada Yui di ruangan Klub.
...
Tentunya Yukino tahu kalau Hachiman membantu Iroha. Ingat di vol 8 chapter 8, Hachiman sendiri mengatakan peluang untuk membujuk Iroha mau maju menjadi kandidat ketua adalah 50:50. Patut dicurigai kalau Iroha menerima tawaran Hachiman tersebut karena ada deal-deal terselubung. Terutama, Iroha memiliki keuntungan sebuah balas budi di dalam diri Hachiman.
Datangnya Iroha ke Klub Relawan dengan mencari 'Senpai' terlebih dahulu membuktikan kalau Iroha sejak awal memang berniat meminta tolong Hachiman, bukan Klub Relawan.
...
Yukino terlihat emosi karena offiside sampai mengatakan "Isshiki pasti nyaman bekerja denganmu". Jelas Yukino tidak punya dasar kuat menyimpulkan hal yang seperti itu, kecuali Yukino cemburu dengan Iroha.
...
"Kecuali, kau butuh ijinku?"
Pertanyaan Yukino tadi dijawab tidak oleh Hachiman. Sebenarnya, jawabannya adalah "YA! Aku butuh ijinmu". Itu karena di vol 9 chapter 3, Hachiman hendak memastikan kepada Yui apakah Yukino tahu soal dirinya membantu Iroha di event Natal. Padahal, di vol 9 chapter 2, Hiratsuka-sensei selaku pemegang kuasa tertinggi di Klub Relawan sudah mengijinkan Hachiman mengerjakan request tersebut sebagai request pribadi. Dengan kata lain, Hachiman sebenarnya sudah memperoleh ijin tertinggi untuk mengerjakan request Iroha tersebut sebagai request pribadi.
Lalu mengapa butuh ijin Yukino? Pengandaian ini pernah dikatakan Watari dalam afterwords seri [A] tentang cerita di Marinpia ini. Jawaban ini sebenarnya sudah dikatakan Yukino dengan sindiran cemburunya : Isshiki-san pasti nyaman bekerja denganmu. Itu karena Hachiman merasa Yukino bisa salah paham dengan situasi dirinya setiap hari harus menemani Iroha.
Ini diperkuat dengan monolog vol 11 chapter 8. Hachiman masih mempertanyakan lagi apakah menebus hutang kencan Yui tersebut adalah tindakan yang benar? Kita tahu, janji itu sendiri dibuat oleh Hachiman di vol 6 chapter 6, tentu saja itu adalah hal yang benar, menebus hutang janji akan selalu menjadi hal yang benar. Tapi lain ceritanya jika Hachiman sedang punya hubungan dengan gadis lain, tapi Hachiman harus menebus hutang dengan berkencan bersama Yui.
...
Yang dikritik Hachiman tentang Yukino yang sendirian mengerjakan sesuatunya itu adalah sikap Yukino di vol 8 chapter 6, tiba-tiba memutuskan sepihak akan maju menjadi kandidat calon ketua.
Tentu saja Yukino mengatakan waktu itu dia hanya pura-pura sanggup menjadi ketua OSIS, pura-pura tahu semuanya. Karena yang Yukino lakukan waktu itu adalah untuk menyelamatkan Hachiman. Tapi Yukino malu untuk mengakuinya.
Tapi, Yukino mengakui itu di vol 9 chapter 8, setelah turun dari perahu atraksi Spride Mountain. Yukino melakukannya untuk menyelamatkan Hachiman.
...
Hal yang kecil menghantam hubungan mereka dan hancur, berarti hubungan mereka sejak awal memanglah rapuh.
Kata-kata Yukino tersebut sebenarnya diambil dari kata-kata Hachiman sendiri di vol 4 chapter 7 ketika melihat grup Rumi dibully oleh Tobe, Miura, dan Hayama. Ini menjelaskan banyak hal.
Pertama, Yukino mengakui kalau antara Hachiman dengannya, terdapat sebuah hubungan. Lebih detail lagi, sebenarnya permintaan Hachiman untuk menjadi teman Yukino di vol 6 chapter 10, diterima. Tapi, Yukino tidak ingin memiliki teman pria karena itu memberikan trauma yang mendalam. Jadi, Yukino menganggap hubungannya dengan Hachiman seperti sebuah hubungan saling percaya. Ini sendiri dikonfirmasi oleh Hachiman di vol 8 chapter 4 dan vol 8 chapter 5. Hachiman sendiri juga mengkonfirmasi lagi dengan adanya monolog yang flashback ke insiden penembakan Ebina.
Kedua, itu adalah pertamakalinya Yukino dan Hachiman benar-benar berbicara tentang apa yang ada di hati mereka. Tapi, Yukino dan Hachiman masih menyimpan kepingan-kepingan pentingnya, dan tidak mau mengatakannya. Misalnya, Yukino tidak mau mengatakan kalau dia cemburu dengan Iroha, Yukino tidak mau mengatakan kalau dulu dia maju menjadi calon ketua karena hendak menyelamatkan Hachiman, dll. Untuk Hachiman sendiri, misalnya tentang apa yang terjadi di penembakan Ebina, apa yang terjadi ketika membujuk Iroha, dan apa yang sebenarnya terjadi dengan event kolaborasi Natal, dll.
Hal terakhir yang harus mereka lakukan adalah mengatakan dengan jujur apa yang sebenarnya mereka harapkan dari pasangannya, bukan menyimpan dalam hati dan berharap pasangannya bisa membaca itu dengan sendirinya.
Watari juga dalam reviewnya mengatakan kalau hubungan antara Yukino dan Hachiman dalam chapter ini tidak benar-benar habis...
...
Cukup lucu, Hiratsuka-sensei mengatakan Yukino sebagai objek permisalan. Tapi faktanya, dari awal hingga akhir di percakapan mereka, Yukino benar-benar menjadi objek pembicaraan mereka.
...
Demi siapa Hachiman mengerjakan request Isshiki Iroha secara pribadi?
Ini sudah dijawab sendiri oleh Watari di reviewnya dalam afterwords seri [A]. Hachiman melakukannya demi Yukinoshita Yukino.
Ini sama saja menjawab kalau orang yang sangat berarti di hati Hachiman adalah Yukino, jika merunut penjelasan Sensei.
Ini juga menjawab monolog puitis Hachiman di ending vol 7 chapter 8, dimana di akhir monolognya Hachiman mengatakan sang pahlawan (Hachiman) punya seseorang yang berarti di hatinya. Orang yang berarti di hatinya tersebut adalah Yukinoshita Yukino.
...
Sensei benar-benar memberikan pencerahan kepada Hachiman tentang bagaimana berpikir dengan menggunakan perasaan Hachiman.
Dalam hal ini, Hachiman diberitahu tentang bagaimana caramu tahu kalau kau mencintai gadis ini...
Usaha Sensei di chapter ini bisa dikatakan sukses, karena di vol 11 chapter 5, Hachiman mengatakan hatinya sedang gelisah kepada Sensei. Itu benar-benar sebuah kemajuan karena sebelumnya, Haruno bercerita kalau Hayama pernah menerima coklat dari Yukino waktu valentine. Hachiman mulai berpikir menggunakan perasaannya, Hachiman merasakan cemburu.
...
Lucu sekali, hati Hachiman galau ketika dia berpikir kalau orang yang kelak muncul dan berjalan di sisi Yukinoshita tidaklah harus dirinya.
Ini juga memiliki hubungan dengan vol 10 dimana berkali-kali Hachiman gelisah tentang kebenaran hubungan antara Yukino dan Hayama. Di vol 10 chapter 7, Hachiman sendiri mengakui kepada Hayama kalau gosip pacaran Hayama-Yukino mengganggunya.
...
Ini menjawab penjelasan Sensei di vol 2 chapter 5 tentang sebuah rencananya menaruh Hachiman berdua dengan Yukino di Klub Relawan. Sensei ternyata berharap Hachiman akan menjadi orang yang akan berjalan bersama Yukinoshita. Membuka hati Yukinoshita yang tertutup.
Jadi kenapa Sensei berharap orang itu adalah Hachiman? Dijelaskan sendiri oleh Sensei, kalau permasalahan Hachiman saat ini juga pernah dialami oleh Sensei ketika muda dulu. Artinya, Sensei memilih Hachiman kemungkinan besar karena sifat Hachiman saat ini mirip dengannya ketika muda dulu.
Ini menjelaskan mengapa Sensei menjadi single, karena Sensei dulunya salah perhitungan. Kasusnya mirip dengan Hachiman, dan Sensei berharap dengan saran-saran yang barusan dia berikan, Hachiman akan mulai berubah dan tidak berakhir seperti dirinya.
...
Sensei berusaha menekan Hachiman untuk segera melakukan tindakan terhadap hubungannya dengan Yukino, karena momennya dianggap sebagai momen yang tepat.
...
"Pikirkanlah, berjuanglah, hadapilah, dan merasa khawatirlah. Tanpa perasaan itu, maka itu tidaklah tulus."
Kata-kata di atas diulang lagi oleh Hachiman di vol 11 chapter 9 setelah Hachiman menolakkan ajakan Yui untuk mempertaruhkan semua yang Yukino miliki di sayembara Klub.
....
Sensei merasa tidak masalah jika tindakan Hachiman salah, karena mereka masih muda.
Ini lucu karena Hachiman sendiri pernah menulis essay di prolog vol 1 kalau pemuda yang memanfaatkan alasan masa muda untuk melakukan kesalahan harusnya mati saja.
...
Kata-kata Hachiman mengenai dirinya yang sendiri, efektif menangani masalah Iroha sendirian (adegan Marinpia), sebenarnya kata-kata tersebut berasal dari Yukino sendiri di vol 6 chapter 3. Tapi karena permasalahan mereka mengenai Festival Budaya sendiri sudah benar-benar selesai (adegan romantis di vol 6 chapter 8), maka ini mengacu ke masalah yang terjadi setelahnya.
Yukinoshita agak mencondongkan kepalanya ke depan. Dia mulai mengendurkan genggaman tangannya ke tasnya dan bahunya agak menurun.
"Kamu selalu merasa sungkan selama ini...Sejak saat itu, selalu...Oleh karena itu..."
Ketika aku mulai mendengarkan kata-katanya yang mulai lemah, kata-kata terakhir yang kutunggu tidak terdengar lagi. Tetapi kata-kata tersebut tidak keluar dan Yukinoshita mengatakan sesuatu yang berbeda.
"Tetapi kamu tidak perlu memaksakan dirimu lagi. Jika hal yang kecil dengan mudah bisa menghancurkannya, bukankah itu berarti sejak awal memang rapuh, bukan?"
Pertanyaan itu, membuatku terdiam.
Sesuatu itu adalah hal yang dulu aku percayai, tetapi sekarang tidak lagi.
Tetapi, Yukino mempercayai hal itu. Hal yang mulai tidak kupercayai lagi semenjak darmawisata itu.
Aku membuat sebuah kebohongan waktu itu. Request yang menginginkan tidak ada yang berubah, dan ada yang meminta untuk berubah, akhirnya selesai dengan kebohongan itu.
Ebina-san, Miura dan terakhir, Hayama.
Mereka mengharapkan sebuah hari-hari yang biasa mereka jalani bersama tetap berjalan seperti biasanya. Oleh karena itu, mereka mulai berbohong sedikit demi sedikit, saling menipu satu sama lain, dan setelah melakukan sampai sejauh itu, mereka berpikir ingin mempertahankan hubungan yang seperti itu. Setelah memahami itu, mustahil bagiku untuk menolak requestnya dengan mudah.
Keputusan yang kuambil, memilih untuk melindungi hubungan mereka kupikir bukanlah hal yang salah.
Aku berusaha menggabungkan keputusan itu dengan pikiranku dan akhirnya diriku sendiri menyetujuinya. Pada awalnya aku sangat puas tentang bagaimana caraku menyelesaikannya dan akhirnya akupun merasa sedikit demi sedikit menyesal karena aku kehilangan sesuatu secara perlahan-lahan.
Meski, aku sadar kalau hubungan mereka pada akhirnya akan hancur.
Oleh karena itu, apa yang sudah kupercayai selama ini menjadi abu-abu dan aku berbohong kepada diriku sendiri. Aku tahu kalau hal penting yang hilang tidak akan tergantikan dengan apapun. Sekali kamu menghilangkan hal yang penting itu, kamu tidak akan bisa mencari gantinya. Oleh karena itu, kamu harus melindunginya selagi kamu bisa; oleh karena itu aku berbohong.
Ini tidak seperti aku telah melindungi sesuatu. Malahan aku setiap hari selalu bertanya apakah aku sudah melindungi sesuatu itu.
Sekarang, pertanyaan yang Yukinoshita ajukan kepadaku adalah sebuah ultimatum.
Tidak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang palsu. Itu adalah satu-satunya dasar dimana baik aku dan Yukinoshita percayai.
Aku tidak bisa menjawabnya. Untuk diriku yang sekarang, aku masih percaya kalau mengatakan kebenarannya kepada seseorang bukanlah hal yang sia-sia. Itu adalah salah satu cara yang kutahu, aku sadar betul kalau opsi tersebut ada tetapi tidak kulakukan. Oleh karena itu, aku tidak bisa membantah apa yang dia katakan.
Tidak bisa mengatakan apapun, Yukinoshita menatapku dengan mata yang penuh rasa kesepian. Yukinoshita terdiam dan menunggu jawabanku. Meski begitu, ketika dia memahami kalau sia-sia menungguku berbicara, dia mendesah kecil dan tersenyum.
"Kamu tidak perlu memaksakan dirimu lagi untuk datang ke klub..."
Cara bicaranya cukup sopan untuk didengar.
Suara-suara keramaian terdengar jelas di atas tangga. Bahkan di keramaian ini, aku merasa mendengar jelas suara dari langkah kaki yang semakin menjauh dan menjauh dariku.
Yukinoshita menghilang di keramaian. Aku cukup yakin dia tidak jauh dariku, tetapi entah mengapa kita berdua terasa jauh.
Melihat kepergiannya tanpa mengatakan satupun kata-kata, aku duduk di tangga Mall.
Aku menyadari, ada sebuah lagu Natal terdengar di toko terdekat. Di tengah Mall ada Pohon Natal yang dihiasi dekorasi-dekorasi indah.
Ada kotak-kotak hadiah yang tergantung di pohon tersebut, mungkin saja isi kotak tersebut kosong.
Kotak tersebut mirip dengan ruangan klubku. meski begitu, aku masih berusaha untuk meraih kotak kosong itu.
Meski itu bukanlah hal yang benar-benar kuinginkan.
x x x
Aku melamun. Aku tidak memikirkan apapun.
Aku duduk di tangga mall, dan hanya melihat lampu kelap-kelip yang memancar dari Pohon Natal.
Ketika itu, tubuhku terasa kedinginan oleh udara dingin dan akhirnya aku memutuskan untuk berdiri.
Aku melihat arlojiku, Yukinoshita meninggalkanku tidak begitu lama.
Di depan stasiun banyak sekali orang yang sedang melangkah pulang ke rumahnya, dan para siswa yang kembali dari aktivitas klubnya.
Melihat hal tersebut, diriku dipenuhi sebuah kesunyian.
Meski berada di keramaian mall, suara di sekitar dan lagu Natal tidak terdengar di telingaku. Hanyalah suara napasku yang terdengar oleh telingaku.
Aku berjalan di trotoar. Langkahku agak lambat karena sambil menghindari tabrakan dengan orang yang berjalan ke arah sebaliknya.
Ada sebuah mobil tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Mungkin mobil tersebut hendak menjemput seseorang dari stasiun atau hendak pergi ke tempat parkir.
Mobil tersebut menekan klaksonnya. Jangan bermain klakson di tengah kota seperti itu...Aku menatap mobil tersebut dengan tatapan mengganggu. Ada beberapa orang juga selain diriku yang melakukan hal yang sama.
Mobil tersebut adalah mobil sport hitam berbentuk oval yang sangat jarang terlihat di daerah sini. Mobil itu berjalan pelan menuju ke arahku dan jendelanya terbuka secara perlahan-lahan.
"Hikigaya, apa yang kamu lakukan disini?"
Wajah dibalik jendela tersebut adalah Hiratsuka-sensei.
"Haa, well, saya sedang berjalan pulang ke rumah sekarang...Sensei juga, apa yang Sensei lakukan disini?"
Aku bertemu orang yang tidak kuduga di tempat yang tak terduga. Hiratsuka-sensei lalu tersenyum.
"Well, tinggal seminggu lagu sebelum eventnya digelar, bukan? Aku sempat berpikir untuk menemui kalian, namun ketika aku ke klub, kegiatan kalian sudah selesai. Ketika aku hendak pulang, aku tidak sengaja bertemu denganmu."
"Anda punya mata yang bagus ya?"
"Ketika kau seharian disibukkan oleh siswa-siswa yang melakukan konseling, melihat siswa di tengah keramaian ini sangat mudah bagi mataku ini."
Hiratsuka-sensei tersenyum dan melirik ke arah kursi penumpang.
"Kebetulan sekali, aku antar kau pulang."
"Tidak perlu, ini tidak masalah."
"Jangan keras kepala. Cepat naik! Ada mobil di belakangku yang hendak keluar."
Hiratsuka-sensei memaksaku naik. Ketika aku melihat ke belakang, ada sebuah mobil berada di belakangnya. Tidak mungkin aku menolak untuk naik mobilnya.
Akhirnya aku putuskan untuk masuk mobilnya, tetapi hanya terdapat satu pintu di sisi kiri. Ini pasti mobil untuk dua penumpang, huh? Tidak ada pilihan lain lagi, aku berputar ke sisi kanan mobil. Jadi, ini mobil dengan posisi kemudi berada di kiri ya?
Aku masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi. Aku memasang sabuk pengamannya dan ketika aku melihat interior mobilnya, kursi dan dashboard terbuat dari kulit dan meteran di dekat kemudi terbuat dari alumunium dengan besi yang mengkilap. Apa-apaan mobil ini, ini sangat keren sekali.
"Sensei, apa ini mobil punya sensei? Saya rasa yang ini berbeda dengan mobil yang Sensei pakai waktu liburan musim panas..."
Ketika dia mengantarkan kami ke Perkemahan Chiba dulu, dia memakai mobil seperti minivan...
"Aah, kalau yang itu, itu mobil rental. Mobil kesayanganku ya cowok ini."
Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei menepuk kemudinya dengan gembira. Ekspresi senangnya tersebut menggambarkan pria terlalu tampan. Meski begitu, untuk seorang wanita lajang yang memiliki mobil sport dua penumpang...Bagaimana aku bilangnya ya? Baginya yang sudah hobi dengan hal semacam ini membuatku berpikir bahwa ini adalah salah satu alasan mengapa dia tidak menikah sejak dulu.
Mobil tercinta Sensei mulai menyala dengan lembut dan pergi.
Ketika aku hendak memberitahu dimana jalan menuju rumahku, Hiratsuka-sensei mengangguk dan berputar arah. Kalau dari sini, jalan tercepat ya melewati jalan utama.
Ketika aku melihat arah mobil ini, kita ternyata tidak sedang menuju jalan utama.
Aku mengarahkan tatapanku ke pengemudi mobil ini dan Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokoknya sambil terus melihat ke depan.
"Kau tidak keberatan kalau kita berhenti dulu di suatu tempat?"
"Haa."
Sebagai orang yang menumpang, aku tidak punya hak untuk komplain. Aku sebenarnya tidak tahu kemana kita akan pergi, tetapi selama aku akan diantar pulang, aku tidak keberatan.
Aku menyandarkan tubuhku ke kursi dan mengistirahatkan daguku di lenganku sambil melihat ke arah jendela.
Kakiku merasakan udara hangat sedang berhembus. Aku merasa nyaman karena kedinginan sejak tadi dan akhirnya aku menguap beberapa kali.
Hiratsuka-sensei hanya diam membisu dan fokus mengemudi, hanya mengucapkan suara mendengung. Suaranya sangat lembut dan terdengar seperti lagu tidur dan aku secara spontan menutup mataku. Karena mobil ini memiliki kualitas yang cukup bagus, aku tidak merasakan getaran apapun.
Mengemudi di malam hari dan dengan tujuan yang misterius.
Ketika aku hendak tertidur, mobil perlahan-lahan berhenti.
Ketika aku melihat keluar, sekitarku hanyalah jalan raya yang kosong dan dihiasi lampu penerangan jalan. Mobil yang lewat dari kejauhan hanya terlihat seperti sebuah lampu yang berjalan pelan ke arahku.
"Kita sudah sampai."
Hiratsuka-sensi keluar dari mobilnya. Sebenarnya ini dimana...? Sambil memikirkannya, aku juga keluar dari mobilnya.
Tiba-tiba, hidungku mencium bau dari air laut. Dan kemudian, aku melihat kerlap-kerlip lampu kota di depanku, aku nampaknya tahu ini dimana. Lampu kerlap-kerlip itu adalah pelabuhan Tokyo dan kita sedang berada di atas jembatan yang mengarah ke pelabuhan Tokyo. Bagi siswa SMA Sobu, ini adalah tempat checkpoint untuk Marathon Chiba SMA Sobu yang digelar bulan Februari. Di kejauhan, aku bisa melihat beberapa pasangan sedang berpacaran.
Ketika aku berjalan menuju pinggir jembatan, Hiratsuka-sensei melemparkan kepadaku sekaleng kopi. Hampir saja aku menjatuhkannya karena suasana yang gelap. Kaleng kopi tersebut terasa hangat.
Hiratsuka-sensei bersandar ke mobilnya dan menyalakan rokok, dia membuka kaleng kopinya dengan satu tangan. Penampilannya barusan nampaknya cukup keren.
"Sensei terlihat keren."
"Aku memang sengaja agar terlihat keren."
Aku sebenarnya mengatakan itu hanya sekedar menggodanya, namun Hiratsuka-sensei merespon dengan senyum. Tolonglah, kalau kau responnya seperti itu, aku mungkin akan benar-benar berpikir kalau kau itu keren.
Karena kalau melihat Hiratsuka-sensei terus-terusan terasa agak memalukan, maka aku memalingkan mataku ke arah laut.
Warna air laut terlihat hitam. Aku bisa melihat gelombang air yang secara perlahan-lahan naik. Sangat lembut sehingga membuatku berpikir seperti apa jadinya jika airnya tenang nanti.
Ketika aku menatap ke arah permukaan air, Hiratsuka-sensei memanggil namaku.
"Jadi, bagaimana situasinya?"
Ini pertanyaan yang mana? Jika tidak ada subjek yang disebutkan, maka aku artikan ini tentang event Natal nanti.
"Situasinya cukup buruk."
"Seberapa buruk?"
"Saya tidak begitu yakin untuk mengatakannya..."
"Tidak apa-apa, ceritakan saja dari awal."
"Haa, baiklah..."
Aku memikirkan untuk hendak memulai dari mana, lalu aku membuka mulutku.
Pertama-tama, masalah yang perlu dibahas adalah waktu. Waktu yang tersisa hanyalah seminggu dan tidak ada celah untuk membalikkan situasi.
Masalah selanjutnya adalah penyebab hilangnya waktu. Juga menjelaskan mengapa kita bergerak sangat lambat. Di satu pihak, kita punya Tamanawa yang bersikap untuk mendengarkan opini semua orang. Di lain pihak, kita punya Isshiki yang mendukungnya. Karena kedua orang tersebut berada di posisi pimpinan tertinggi, hal ini memakan banyak sekali waktu.
Untuk mempercepat proses, mereka mengundang beberapa orang untuk ikut terlibat dan memimpin rapat, tetapi nampaknya tidak begitu efektif karena tidak ada yang mau.
Bagi para pengurus OSISnya, nampaknya tidak ada yang terbiasa untuk memimpin rapat. Orang-orang yang disini cuma berpura-pura berpikir dan menghindari berurusan dengan Ketua OSIS masing-masing. Bahkan para pengurus OSIS kita yang memiliki beberapa ide berpikir untuk sebaiknya berada di bawah Ketua OSISnya.
Merubah pola pikir dari Isshiki dan Tamanawa, adalah hal yang sangat sulit.
Pengalaman mereka menjadi Ketua OSIS memang kurang karena baru saja dilantik. Jadi alasan kurang pengalaman memang tidak bisa dijadikan patokan. Masalahnya adalah sebagai pemimpin, mereka tidak memiliki visi tersebut. Mereka tidak memiliki visi untuk sukses. Tetapi mereka hanya memiliki visi jika mereka gagal. Ketika menjadi Ketua OSIS dan gagal dengan tugas kegiatan bersama dengan sekolah lain, maka semuanya akan berakhir. Mereka berdua mungkin takut akan hal itu.
Ada saatnya dimana kamu terpeleset ketika berada di panggung besar. Yang mengatakan bahwa kegagalan adalah bagian dari pengalaman adalah orang yang tidak tahu apa-apa, yang terjadi adalah kegagalan menghantui orang itu setiap saat.
Orang-orang yang berada di zona aman akan berteriak hal-hal seperti "Coba lagi lain kali" dan "semua orang pernah gagal". Mereka akan mengatakan hal-hal semacam itu. Ada waktu dimana tidak akan ada lain kali karena kegagalan pertama akan menutup kesempatan kedua. Kata-kata "tidak masalah jika gagal" adalah kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Kegagalan itu akan terus menghantui dan membuat orang tersebut menjadi orang gagal.
Bagi orang yang memiliki pemikiran seperti itu, mereka pasti paham kalau ini adalah saatnya dimana tidak boleh ada kata gagal. Ini seperti Tamanawa dan Isshiki saat ini.
Oleh karena itu mereka meminta pendapat orang lain dan menyatukannya. Mereka melakukannya agar ketika gagal, maka tanggung jawab kegagalan itu akan dibagi ke orang yang memberikan pendapat juga.
Itu membuat orang ragu untuk mengatakan "ini salahmu" ke seseorang. Tetapi mereka akan merasakan kalau itu seharunya juga ditanyakan ke mereka sendiri.
Aksi dari melihat, memberitahu, berdiskusi, menyusun rencana, dan beraksi bersama adalah cara yang dilakukan secara berkelompok, demi membagi tanggung jawab yang dipikul seseorang. Jika mereka bisa membagi sebuah kegagalan menjadi tanggung jawab bersama, mereka bisa mengurangi rasa sakit yang diterima setiap orang.
Mereka tidak mampu untuk menanggung tanggung jawab kegagalan itu sendirian, oleh karena itu mereka berusaha untuk menanyakan pendapat orang lain.
Dan itu adalah alasan utama mengapa event ini berjalan super lambat sekarang. Siapa yang harus bertanggung jawab? Tidak memutuskan hal itu dari awal adalah penyebab semua kesalahan ini.
"Ya, semacam itu Sensei..."
Aku tidak begitu yakin kalau aku akan bisa menjelaskannya dengan baik. Tapi setidaknya aku sudah mengatakan apa yang ada di pikiranku.
Hiratsuka-sensei mendengarkan dari awal sampai akhir dengan diam, ketika aku selesai, dia mengangguk dengan ekspresi yang sangat kompleks.
"...Kau nampaknya bisa melihat itu dengan baik. Kau sangat luar biasa ketika membaca kondisi pikiran seseorang."
Bukannya pujian seperti itu yang kuharapkan. Jika aku berada di posisi mereka, itulah setidaknya yang kupikirkan. Itu hanya sebuah opini yang egois. Ketika aku mencoba mengatakannya, Hiratsuka menutup mulutku dengan menunjuk menggunakan jari telunjuknya dan mengambil alih. Dia lalu melihat ke arah mataku dan menggodaku.
"Namun, kau tidak mengerti perasaan mereka."
Napasku serasa berhenti. Kata-kataku, bahkan sebuah bahasa tubuh tidak bisa kukeluarkan. Aku merasa kalau dia sudah menyentuh akar dari masalahnya. Aku berusaha untuk memahami apa yang terjadi dari sisi itu, namun aku, Hikigaya Hachiman, tidak mampu melakukannya.
Aku teringat seseorang pernah memberitahuku beberapa waktu lalu. "Kamu perlu melihat perasaan orang lain juga. Kenapa kamu yang bisa memahami semuanya, tetapi tidak bisa memahami hal sekecil itu?".
Tidak bisa menjawab kata-katanya, Hiratsuka-sensei lalu melanjutkan kalimatnya sambil meletakkan rokoknya di asbak.
"Pikiran dan perasaan seseorang tidaklah selalu sama. Ada saat dimana kesimpulan yang kau ambil terdengar tidak rasional dan itulah alasannya...Oleh karena itu, Yukinoshita, Yuigahama, dan dirimu juga beberapa kali salah paham."
"...Tidak, keduanya tidak ada hubungannya dengan masalah ini, bukan?"
Aku merasa aneh dengan dua nama yang baru saja dia sebutkan. Saat ini, aku benar-benar tidak ingin membicarakan atau memikirkan sesuatu tentang mereka. Ketika aku mengatakannya, Hiratsuka-sensei menatapku.
"Sejak awal, 'bagaimana situasinya' itu maksudnya ya mereka berdua."
Dia mengatakannya dengan ekspresi kecewa dan menyalakan rokok yang baru. Memang benar, dia tidak mengatakan itu secara spesifik. Akulah yang dari tadi mengoceh tentang Event Natal.
"Tetapi, seperti yang kau tahu, baik pikiran dan perasaan seseorang itu pada dasarnya berasal dari satu hal yang sama. Akar dari segala permasalahan itu adalah satu hal...yaitu hati."
Hiratsuka-sensei menghembuskan asap rokoknya. Asap tersebut membentuk suatu pola lalu hancur tertiup angin.
Hati. Perasaan. Pikiran.
Meski begitu, hal itu cuma retorika belaka. Pada akhirnya, aku tidak bisa melihat hal itu. Meski aku berpikir tentang bagaimana perasaan orang lain, tetapi aku hanya bisa melihat di permukaannya saja. Aku bertindak hanya berdasarkan oleh sebuah kebenaran yang baru saja kudapatkan. Berarti itu tidak ada bedanya dengan sebuah pembenaran akan kepuasan diri sendiri?
Kalau memang begitu kenyataannya, mungkin selamanya aku tidak akan bisa memahaminya.
"Tetapi...Itu bukanlah sesuatu yang bisa kita pahami hanya dengan memikirkan hal itu saja, bukan?"
Kebaikan hati, kebusukan hati, resiko, dan akibat; kalau yang kita bahas adalah hal-hal seperti itu, maka aku bisa memahaminya.
Keinginan dan melindungi diri sendiri, kebencian dari rasa iri. Aku bisa menganalisa secara pikiran dasar tindakan yang berasal dari emosi seperti itu. Itu karena aku punya banyak sekali pikiran-pikiran buruk seperti itu di dalam diriku. Oleh karena itu, aku mudah sekali memikirkannya. Jika mereka adalah hal-hal yang mirip dengan itu, maka ada peluang kalau aku bisa memahaminya. Aku bisa menjelaskannya dengan logika.
Namun apabila bukanlah hal-hal semacam itu, maka akan sulit bagiku untuk menganalisisnya.
Tanpa konsep untung dan rugi, aku sulit untuk membayangkan perasaan orang-orang yang bertindak diluar logika dan teori. Aku hanya punya sedikit hal yang lebih baik dari orang lain, tetapi aku punya terlalu banyak kesalahan yang kulakukan hingga saat ini.
Keinginan untuk berbuat baik, persahabatan, atau bahkan cinta; mereka adalah hal yang selama ini membuatku salah paham. Aku cukup yakin kalau dulu aku sudah salah paham tentang hal-hal tersebut meskipun sekarang aku memikirkannya lagi.
Aku menerima e-mail, lalu tubuh kita tidak sengaja bersentuhan, kita lalu saling tersenyum ketika kedua mata kita bertemu di kelas, rumor seseorang yang menyukaiku sedang ramai, kita saling berbicara banyak meskipun duduk bersebelahan adalah suatu kebetulan, kita selalu pulang ke rumah bersama-sama; ketika itu terjadi, aku selalu salah paham.
Bahkan...Bahkan jika ada kemungkinan kalau yang kuduga itu benar adanya.
Aku tidak punya kepercayaan diri untuk mempercayai hal itu. Aku selalu menolak segala macam opini mendukung yang muncul di kepalaku dan selalu mencari opini yang menolaknya sebagai pembenaran. Meskipun begitu, pikiran-pikiran semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa kusebut hal yang tulus.
Jika itu adalah sesuatu yang akan terus berubah, maka jawabannya tidak akan pernah bisa kutemukan disini.
Hiratsuka-sensei mendengarkan kata-kataku dan tersenyum kecil setelahnya, lalu dia menatapku dengan intens.
"Belum paham ya? Coba pikir lagi. Jika kau hanya bisa berpikir untung ruginya, maka lakukan saja terus sampai kau tidak bisa. Cari semua kemungkinan jawaban yang ada dan hancurkan mereka satu-persatu dengan proses eliminasi. Yang tersisa itulah, jawabanmu."
Pikirannya dipenuhi dengan gairah. Tetapi yang dia katakan tadi adalah hal yang tidak rasional. Tidak, bahkan aku tidak bisa memikirkannya secara logis.
Bagi seseorang yang hanya bisa mengambil kesimpulan berdasarkan alasan dan perhitungan, maka tinggal melakukan itu terus menerus sampai dia tidak bisa melakukannya lagi.
Metode yang kurang efisien dan sia-sia? Lagipula, tidak ada jaminan kalau jawabannya pasti akan kuperoleh. Aku sendiri terkejut sehingga aku tidak bisa mengatakan apapun.
"...Pada akhirnya, ada hal-hal yang tidak bisa kau pahami, bukan? Maka artinya, perhitunganmu itu salah dan perhatianmu teralihkan. Maka solusinya adalah, kau harus merubah caramu memperhitungkan sesuatu."
Hiratsuka-sensei melemparkan candaannya. Aku tertawa kecil mendengarnya.
"Anda sangat absurd..."
"Bodoh. Jika kau bisa memperhitungkan perasaan, kita sudah memasuki jaman full digital pada saat ini...Sisa-sisa jawaban yang tidak bisa kau perhitungkan itulah yang mereka sebut dengan perasaan manusia."
Nadanya memang terkesan kasar, tetapi aku melihat sebuah kebaikan di dalamnya.
Seperti kata Hiratsuka-sensei, kupikir memang ada hal yang tidak bisa kita kalkukasi. Bahkan jika kita berusaha, hal-hal seperti nilai phi ataupun nilai desimal tidak terbatas ternyata eksis.
"Well, aku juga pernah salah perhitungan juga, jadi mungkin karena itulah aku belum menikah, huh...Memikirkannya membuatku teringat kalau ada temanku baru saja menggelar pernikahannya..."
Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei tersenyum kecut. Seperti biasanya, ini adalah momen dimana biasanya aku menggodanya dengan mengatakan sesuatu yang random.
Tetapi aku merasa tidak perlu melakukannya hari ini.
"Saya rasa bukan begitu, hanya saja para pria yang berada di dekat Sensei selama ini tidak memiliki mata yang baik."
"Heh...?A-Apa itu barusan?"
Hiratsuka-sensei terkejut dan dia menggumam sambil malu-malu, dia memalingkan wajahnya.
Tetapi sebenarnya aku tidak ingin menggodanya. Jika aku terlahir sepuluh tahun lebih awal dan bertemu dengannya sepuluh tahun lalu, mungkin aku akan jatuh cinta kepadanya. Meski begitu, memikirkan itu adalah hal yang kurang berguna untuk saat ini.
Aku hanya bisa tersenyum sementara pikiranku semakin menggila. Hiratsuka-sensei tiba-tiba tertawa. Setelah tertawanya selesai, dia pura-pura membersihkan tenggorokannya.
"Ba-Baiklah. Kau bisa katakan ini sebagai rasa terima kasihku, tetapi...Aku akan memberimu sebuah petunjuk spesial."
Setelah mengatakannya, dia memandangiku seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Kau tidak akan pernah salah jika kau memikirkan hal itu."
"Haa..."
Itulah kata-katanya, tetapi aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Hiratsuka-sensei memiringkan kepalanya karena melihat ekspresiku yang tidak mengerti.
"Begitu ya...Misalnya, mari kita coba pikir kembali alasan kenapa kau membantu Isshiki, tidak sebagai anggota Klub Relawan, tetapi sebagai seorang individu. Apakah ini demi Klub Relawan, ataukah demi Yukinoshita?"
Permisalan yang cukup aneh, nama yang baru saja dia sebutkan membuatku terkejut. Spontan saja, aku menatap wajah Hiratsuka-sensei dan dia tersenyum kecil.
"Kau akan paham cuma dengan melihatnya. Setelah masalah kandidat Ketua OSIS Isshiki, Yukinoshita melaporkan kepadaku situasinya...Dia tidak mengatakan apapun tentang dirinya, tetapi kalau melihat kebiasaannya ketika melaporkan kegiatan klub, aku melihat kemungkinan itu. Apakah kamu tidak merasakannya?"
"Aah, tidak, memangnya perasaan semacam apa..."
Aku memikirkan beberapa kata untuk menjawabnya, namun Hiratsuka-sensei tidak mau menunggu dan melanjutkan kata-katanya.
"Kalau kalian berdua memikirkan perasaan yang sama, maka kamu akan tiba di sebuah jawaban yang membuatmu tidak ingin melukai mereka...itu misalnya. Itu misalnya saja, misalnya saja loh."
"...Well, kupikir saya bisa merasakannya. Tapi ini cuma misalnya ya, misalnya."
Ini cuma permisalan. Aku diberitahu begitu, maka aku akan menjawabnya begitu. Ini adalah sebuah contoh kasus dan yang dikatakan Hiratsuka-sensei tidaklah benar karena hanyalah permisalan.
Hiratsuka-sensei lalu mengangguk untuk mengkonfirmasi itu.
"Tetapi kamu jangan berpikir seperti itu. Dalam hal ini, yang harus kau pikirkan adalah alasan kenapa kau tidak ingin menyakiti seseorang. Dan jawabannya akan datang kepadamu.
Ketika dia melihat ke arah mataku, dia menambahkan kata-kata finalnya tadi. Sepertinya dia tidak mau mendengar keberatanku, dan akhirnya aku memalingkan mataku.
Wajah Hiratsuka-sensei menghadap ke arah jalanan yang disinari cahaya orange dari lampu jalan dan lampu kendaraan yang melintas. Lalu, dia berbisik dengan lembut, suara yang hangat.
"Tapi kau harus melihat realitasnya, Hikigaya. Kau tidak bisa melakukan sesuatu dan berharap tidak ada seorangpun yang akan terluka. Manusia adalah makhluk yang selalu melukai sesamanya secara sadar ataupun tidak. Apakah kau hidup atau sedang sekarat, kau pasti akan melukai seseorang. Sekali kamu terlibat, kamu akan melukai seseorang, dan bahkan jika kau tidak terlibat, kau mungkin akan melukai seseorang juga..."
Setelah mengatakannya, Hiratsuka-sensei mengambil rokoknya yang lain. Dia menatap ke arah rokoknya dan melanjutkannya lagi.
"Tetapi, jika orang itu bukanlah orang yang kau pedulikan, maka itu tidak akan menyakitimu. Yang terpenting adalah apa yang kau pedulikan. Karena kau peduli kepadanya maka kau akan merasakan dirimu tersakiti jika melihatnya terluka."
Ketika dia selesai, dia menaruh rokoknya itu di mulutnya. Suara batu korek yang dinyalakan memperlihatkan sisi wajah dari Hiratsuka-sensei. Kedua matanya tertutup seperti sedang tertidur dan ekspresinya sangat lembut. Lalu dia menghembuskan napas panjangnya bersamaan dengan asap rokoknya.
"Jika kau ingin melihatnya bahagia, itu artinya akan ada orang lain yang terluka."
Dia mengatakannya sambil melihat ke arah langit.
Aku melihat ke arah yang sama dengannya, membayangkan apa yang sedang dia pikirkan. Aku melihat sedikit cahaya bulan bersinar dari balik awan.
"Itu adalah petunjuk terjauh yang bisa kukatakan kepadamu."
Setelah mengatakannya, Hiratsuka-sensei bergerak menjauhi mobil tempat dia bersandar dan tersenyum kepadaku. Lalu dia seperti hendak meregangkan tangan dan punggungnya.
"Ini terjadi karena kedua belah pihak sama-sama berpikir bahwa itu sudah diluar garis yang boleh mereka lewati. Meski begitu, kita tidak perlu bersedih melihatnya. Mungkin itu adalah hal yang bisa dibanggakan juga."
Kata-katanya sangat indah. Tetapi itulah faktanya. Memikirkan tentang hal yang tidak bisa kamu dapatkan, hal itu berada di depanmu namun tanganmu tidak bisa menggapainya karena kurang panjang, tentunya akan terasa sakit. Mungkin harusnya kamu menyerah saja dan melihatnya dari kejauhan.
Seperti yang kupikirkan barusan, aku ingin menanyakannya kepadanya.
"...Bukankah itu sesuatu yang sangat berat?"
"Uh huh. Itu benar-benar berat."
Ketika dia mengatakannya, Hiratsuka-sensei berjalan kembali ke mobilnya dan bersandar lagi.
"...Tetapi itu bisa terjadi. Setidaknya itu menurut pengalamanku."
Hiratsuka-sensei mengatakannya dengan mengerang, senyuman terlihat di wajahnya menggambarkan sebuah determinasi. Bukannya dia tidak mau menceritakannya, tapi aku rasa banyak hal terjadi dengannya di masa lalunya. Aku kurang yakin untuk menanyakan ini kepadanya. Apa dia akan menceritakannya suatu hari nanti jika aku sudah cukup dewasa? Melihat pemikiranku semacam itu, aku secara spontan memalingkan pandanganku darinya.
"Tapi agak arogan jika anda berpikir orang lain juga bisa melakukannya hanya karena anda pernah melakukannya."
"...Ah murid yang kurang manis."
Ketika dia mengatakannya, dia menggaruk-garuk rambutku seperti memegang sebuah cakar besi. Aku merasakan rasa sakitnya di tulang kepalaku. Ketika aku mencoba menolaknya, dia tiba-tiba mengendurkan tekanannya. Tetapi, tangannya masih menyentuh rambutku.
"...Baiklah aku akan jujur kepadamu."
Nada suaranya lebih dalam dari biasanya. Karena tangannya memegangi kepalaku, aku tidak bisa menolehkan kepalaku dan hanya bisa menggerakkan mataku dan dia tersenyum dengan sedih.
"Sebenarnya, orang itu tidak harus kamu. Bisa saja di masa depan, Yukinoshita berubah. Suatu hari, seseorang yang bisa memahaminya bisa saja muncul. Mungkin akan ada seseorang yang mau berjalan disampingnya dan menemaninya. Orang itu juga bisa Yuigahama."
Jadi maksud sebenarnya apa? Itu sudah terlalu jauh hingga membahas masa depan, namun aku merasakan ini juga bisa saja terjadi pada saat ini karena aku sendiri merasa seakan-akan tidak berdaya.
"Aku yakin bagi kalian, kau merasa bahwa masa muda adalah segalanya. Tetapi itu bukanlah masalahnya. Tetapi, itu akan menjadi masuk akal nantinya. Persis seperti bagaimana dunia ini dibuat."
Kata-kata yang diucapkannya sangatlah benar. Suatu hari nanti, di suatu tempat, seseorang pasti akan melewati garis milik Yukinoshita. Ketika aku memikirkan tentang kebenaran itu, suatu titik di dalam diriku merasa sangat sakit sekali dan aku menggoyang-goyangkan tubuhku untuk mengusir rasa sakit itu.
Saat ini, tangan yang sebelumnya berada di kepalaku sekarang berpindah ke bahuku. Suara Hiratsuka-sensei terdengar lebih dekat dari biasanya.
"...Hanya saja aku merasa akan luar biasa jika orang itu adalah dirimu. Aku berharap dirimu dan Yuigahama mau melintasi garis milik Yukinoshita."
"...Tidak, meski anda mengatakan hal itu, itu..."
Ketika aku hendak menjawabnya, Hiratsuka-sensei menekan pundakku dengan lembut. Rasa hangat dari jarak yang dekat ini membuatku kehilangan kata-kataku. Seperti terbius, Hiratsuka-sensei menatap wajahku ketika berbicara.
"Waktu bukanlah segalanya...Tetapi ada satu hal yang hanya bisa kau lakukan untuk saat ini, hal yang hanya ada pada saat ini. Inilah saatnya, Hikigaya...sekarang saatnya."
Aku tidak bisa memalingkan pandangannya dari matanya yang berlinang. Sekarang, aku tidak punya jawaban yang bisa kuberikan kecuali ekspresiku yang jujur ini. Oleh karena itu, aku hanya terdiam disini, tidak mampu menjawabnya.
Tangan sensei yang menyentuh pundakku menekan dengan lebih keras.
"Pikirkanlah, berjuanglah, hadapilah, dan merasa khawatirlah.
Ketika mengatakannya, dia melepas tangannya dari bahuku. Lalu dia tersenyum menandakan pelajaran hari ini telah usai. Dengan itu, kekakuan di tubuhku sudah terasa hilang.
Hujan kata menghajarku dari luar dan mulai mengisi dadaku dengan banyak sekali kata-kata. Meski begitu, aku tidak akan mengatakannya balik. Ini mungkin adalah sesuatu yang harus kupikirkan sendiri, kusaring sendiri, lalu kutelan sendiri.
Oleh karena itu aku akan mengatakan hal yang agak berbeda sebagai ucapan terima kasih, kata-kata yang agak menggodanya.
"...Tetapi karena anda menderita karenanya, anda tidak bisa mengatakan itu hal yang tulus."
"Kau memang muridku yang tidak ada manis-manisnya."
Hiratsuka-sensei tertawa dan memukulku dari belakang.
"...Sekarang, ayo pulang. Cepat naik."
Setelah mengatakannya, Hiratsuka-sensei duduk di kursi pengemudi. Aku menjawabnya dengan "roger" dan berputar menuju kursi penumpang.
Ketika melakukannya, aku melihat sebentar ke arah langit.
Bulan yang seharusnya muncul tampak bersembunyi dibalik awan. Air laut tidak memantulkan cahaya bulan dan angin dingin yang menembus pipiku terasa sangat dingin.
Meski begitu, aku terkejut, aku sendiri tidak merasa kedinginan dan merasakan sebuah kehangatan menyelemuti tubuhku.
Tentu saja sikap Kaori yang tidak lagi mau menceritakan kisah Hachiman yang menembaknya semasa SMP membuat Hachiman tertarik. Karena, di vol 8 chapter 3, Kaori dengan mudahnya menceritakan itu ke Haruno. Dalam chapter yang sama, Hachiman dalam monolognya mengatakan kalau kejadian itu benar-benar menimbulkan trauma yang mendalam baginya.
Tentu saja, ini membuat Hachiman tertarik. Apakah mungkin Kaori ini paham apa yang dirasakan oleh Hachiman ketika membahas hal itu di depan orang lain?
...
Kita harus jeli disini. Dijelaskan dalam monolog, bahwa Hachiman masih datang ke Klub terlebih dahulu, lalu ke Community Center, baru setelah itu ke KFC di Marinpia.
Lalu mengapa Yukino memilih untuk membicarakannya di Marinpia? Kenapa tidak membicarakannya di Klub ketika ada Yui disana?
Ini sangat sederhana dan cukup jelas: Karena apa yang Yukino dan Hachiman bahas di Marinpia adalah tentang hubungan mereka berdua, bukan tentang urusan Klub.
Kalau ini memang urusan Hachiman dengan Klub, maka Yukino sudah membahasnya sepulang sekolah ketika ada Yui di ruangan Klub.
...
Tentunya Yukino tahu kalau Hachiman membantu Iroha. Ingat di vol 8 chapter 8, Hachiman sendiri mengatakan peluang untuk membujuk Iroha mau maju menjadi kandidat ketua adalah 50:50. Patut dicurigai kalau Iroha menerima tawaran Hachiman tersebut karena ada deal-deal terselubung. Terutama, Iroha memiliki keuntungan sebuah balas budi di dalam diri Hachiman.
Datangnya Iroha ke Klub Relawan dengan mencari 'Senpai' terlebih dahulu membuktikan kalau Iroha sejak awal memang berniat meminta tolong Hachiman, bukan Klub Relawan.
...
Yukino terlihat emosi karena offiside sampai mengatakan "Isshiki pasti nyaman bekerja denganmu". Jelas Yukino tidak punya dasar kuat menyimpulkan hal yang seperti itu, kecuali Yukino cemburu dengan Iroha.
...
"Kecuali, kau butuh ijinku?"
Pertanyaan Yukino tadi dijawab tidak oleh Hachiman. Sebenarnya, jawabannya adalah "YA! Aku butuh ijinmu". Itu karena di vol 9 chapter 3, Hachiman hendak memastikan kepada Yui apakah Yukino tahu soal dirinya membantu Iroha di event Natal. Padahal, di vol 9 chapter 2, Hiratsuka-sensei selaku pemegang kuasa tertinggi di Klub Relawan sudah mengijinkan Hachiman mengerjakan request tersebut sebagai request pribadi. Dengan kata lain, Hachiman sebenarnya sudah memperoleh ijin tertinggi untuk mengerjakan request Iroha tersebut sebagai request pribadi.
Lalu mengapa butuh ijin Yukino? Pengandaian ini pernah dikatakan Watari dalam afterwords seri [A] tentang cerita di Marinpia ini. Jawaban ini sebenarnya sudah dikatakan Yukino dengan sindiran cemburunya : Isshiki-san pasti nyaman bekerja denganmu. Itu karena Hachiman merasa Yukino bisa salah paham dengan situasi dirinya setiap hari harus menemani Iroha.
Ini diperkuat dengan monolog vol 11 chapter 8. Hachiman masih mempertanyakan lagi apakah menebus hutang kencan Yui tersebut adalah tindakan yang benar? Kita tahu, janji itu sendiri dibuat oleh Hachiman di vol 6 chapter 6, tentu saja itu adalah hal yang benar, menebus hutang janji akan selalu menjadi hal yang benar. Tapi lain ceritanya jika Hachiman sedang punya hubungan dengan gadis lain, tapi Hachiman harus menebus hutang dengan berkencan bersama Yui.
...
Yang dikritik Hachiman tentang Yukino yang sendirian mengerjakan sesuatunya itu adalah sikap Yukino di vol 8 chapter 6, tiba-tiba memutuskan sepihak akan maju menjadi kandidat calon ketua.
Tentu saja Yukino mengatakan waktu itu dia hanya pura-pura sanggup menjadi ketua OSIS, pura-pura tahu semuanya. Karena yang Yukino lakukan waktu itu adalah untuk menyelamatkan Hachiman. Tapi Yukino malu untuk mengakuinya.
Tapi, Yukino mengakui itu di vol 9 chapter 8, setelah turun dari perahu atraksi Spride Mountain. Yukino melakukannya untuk menyelamatkan Hachiman.
...
Hal yang kecil menghantam hubungan mereka dan hancur, berarti hubungan mereka sejak awal memanglah rapuh.
Kata-kata Yukino tersebut sebenarnya diambil dari kata-kata Hachiman sendiri di vol 4 chapter 7 ketika melihat grup Rumi dibully oleh Tobe, Miura, dan Hayama. Ini menjelaskan banyak hal.
Pertama, Yukino mengakui kalau antara Hachiman dengannya, terdapat sebuah hubungan. Lebih detail lagi, sebenarnya permintaan Hachiman untuk menjadi teman Yukino di vol 6 chapter 10, diterima. Tapi, Yukino tidak ingin memiliki teman pria karena itu memberikan trauma yang mendalam. Jadi, Yukino menganggap hubungannya dengan Hachiman seperti sebuah hubungan saling percaya. Ini sendiri dikonfirmasi oleh Hachiman di vol 8 chapter 4 dan vol 8 chapter 5. Hachiman sendiri juga mengkonfirmasi lagi dengan adanya monolog yang flashback ke insiden penembakan Ebina.
Kedua, itu adalah pertamakalinya Yukino dan Hachiman benar-benar berbicara tentang apa yang ada di hati mereka. Tapi, Yukino dan Hachiman masih menyimpan kepingan-kepingan pentingnya, dan tidak mau mengatakannya. Misalnya, Yukino tidak mau mengatakan kalau dia cemburu dengan Iroha, Yukino tidak mau mengatakan kalau dulu dia maju menjadi calon ketua karena hendak menyelamatkan Hachiman, dll. Untuk Hachiman sendiri, misalnya tentang apa yang terjadi di penembakan Ebina, apa yang terjadi ketika membujuk Iroha, dan apa yang sebenarnya terjadi dengan event kolaborasi Natal, dll.
Hal terakhir yang harus mereka lakukan adalah mengatakan dengan jujur apa yang sebenarnya mereka harapkan dari pasangannya, bukan menyimpan dalam hati dan berharap pasangannya bisa membaca itu dengan sendirinya.
Watari juga dalam reviewnya mengatakan kalau hubungan antara Yukino dan Hachiman dalam chapter ini tidak benar-benar habis...
...
Cukup lucu, Hiratsuka-sensei mengatakan Yukino sebagai objek permisalan. Tapi faktanya, dari awal hingga akhir di percakapan mereka, Yukino benar-benar menjadi objek pembicaraan mereka.
...
Demi siapa Hachiman mengerjakan request Isshiki Iroha secara pribadi?
Ini sudah dijawab sendiri oleh Watari di reviewnya dalam afterwords seri [A]. Hachiman melakukannya demi Yukinoshita Yukino.
Ini sama saja menjawab kalau orang yang sangat berarti di hati Hachiman adalah Yukino, jika merunut penjelasan Sensei.
Ini juga menjawab monolog puitis Hachiman di ending vol 7 chapter 8, dimana di akhir monolognya Hachiman mengatakan sang pahlawan (Hachiman) punya seseorang yang berarti di hatinya. Orang yang berarti di hatinya tersebut adalah Yukinoshita Yukino.
...
Sensei benar-benar memberikan pencerahan kepada Hachiman tentang bagaimana berpikir dengan menggunakan perasaan Hachiman.
Dalam hal ini, Hachiman diberitahu tentang bagaimana caramu tahu kalau kau mencintai gadis ini...
Usaha Sensei di chapter ini bisa dikatakan sukses, karena di vol 11 chapter 5, Hachiman mengatakan hatinya sedang gelisah kepada Sensei. Itu benar-benar sebuah kemajuan karena sebelumnya, Haruno bercerita kalau Hayama pernah menerima coklat dari Yukino waktu valentine. Hachiman mulai berpikir menggunakan perasaannya, Hachiman merasakan cemburu.
...
Lucu sekali, hati Hachiman galau ketika dia berpikir kalau orang yang kelak muncul dan berjalan di sisi Yukinoshita tidaklah harus dirinya.
Ini juga memiliki hubungan dengan vol 10 dimana berkali-kali Hachiman gelisah tentang kebenaran hubungan antara Yukino dan Hayama. Di vol 10 chapter 7, Hachiman sendiri mengakui kepada Hayama kalau gosip pacaran Hayama-Yukino mengganggunya.
...
Ini menjawab penjelasan Sensei di vol 2 chapter 5 tentang sebuah rencananya menaruh Hachiman berdua dengan Yukino di Klub Relawan. Sensei ternyata berharap Hachiman akan menjadi orang yang akan berjalan bersama Yukinoshita. Membuka hati Yukinoshita yang tertutup.
Jadi kenapa Sensei berharap orang itu adalah Hachiman? Dijelaskan sendiri oleh Sensei, kalau permasalahan Hachiman saat ini juga pernah dialami oleh Sensei ketika muda dulu. Artinya, Sensei memilih Hachiman kemungkinan besar karena sifat Hachiman saat ini mirip dengannya ketika muda dulu.
Ini menjelaskan mengapa Sensei menjadi single, karena Sensei dulunya salah perhitungan. Kasusnya mirip dengan Hachiman, dan Sensei berharap dengan saran-saran yang barusan dia berikan, Hachiman akan mulai berubah dan tidak berakhir seperti dirinya.
...
Sensei berusaha menekan Hachiman untuk segera melakukan tindakan terhadap hubungannya dengan Yukino, karena momennya dianggap sebagai momen yang tepat.
...
"Pikirkanlah, berjuanglah, hadapilah, dan merasa khawatirlah. Tanpa perasaan itu, maka itu tidaklah tulus."
Kata-kata di atas diulang lagi oleh Hachiman di vol 11 chapter 9 setelah Hachiman menolakkan ajakan Yui untuk mempertaruhkan semua yang Yukino miliki di sayembara Klub.
....
Sensei merasa tidak masalah jika tindakan Hachiman salah, karena mereka masih muda.
Ini lucu karena Hachiman sendiri pernah menulis essay di prolog vol 1 kalau pemuda yang memanfaatkan alasan masa muda untuk melakukan kesalahan harusnya mati saja.
...
Kata-kata Hachiman mengenai dirinya yang sendiri, efektif menangani masalah Iroha sendirian (adegan Marinpia), sebenarnya kata-kata tersebut berasal dari Yukino sendiri di vol 6 chapter 3. Tapi karena permasalahan mereka mengenai Festival Budaya sendiri sudah benar-benar selesai (adegan romantis di vol 6 chapter 8), maka ini mengacu ke masalah yang terjadi setelahnya.
Dalem banget....
BalasHapusBoth of them are...
kind of silly, yet sweet..
.
Afterwords [A] itu di volume mana, ya?
BalasHapusTerima kasih
Volume spin-off, A. Disitu Watari berusaha menjelaskan plot versi anime dengan pendapat dia.
HapusChapter yg paling gua suka di volume ini, benar benar dalem
BalasHapushiratsuka sensei keren euy wkwkwk
BalasHapus