Di sebuah sore pada awal liburan musim panas.
Orang-orang yang naik kereta nampaknya lebih sedikit dari biasanya.
Aku naik kereta melewati beberapa Stasiun dan turun di Stasiun Tsudanuma. Aku melewati tempat pemeriksaan tiket dan belok ke arah kanan. Dari sana, aku mulai membaur dengan keramaian orang dan terus menuju tempat yang kutuju.
Di Bimbingan Belajar Sasaki dari Universitas Tsudanuma, ada bimbingan belajar selama libur musim panas yang ditujukan untuk siswa kelas 2 SMA. Siswa-siswa yang memang ingin mempersiapkan ujian masuk Universitas sejak dini kebanyakan mengambil bimbingan belajar musim panas sebagai salah satu opsi terbaik mereka.
Meski begitu, kita tetaplah siswa kelas 2 SMA. Suasana belajar disini tidak begitu serius, mungkin karena masih memiliki 2 tahun lagi untuk persiapan ujiannya.
Jika kita siswa kelas 3 SMA, maka di ruangan ini seperti dipenuhi arus listrik dan menyengat seluruh siswa disini. Bahkan mungkin kamu akan dipukul guru disini jika tertidur selama proses belajar.
Kelasku ini adalah kelas yang diarahkan untuk mengikuti ujian masuk Universitas Swasta dan kelas ini tergolong sepi.
Bimbingan belajarnya terjadwal 5 hari dalam sepekan. Mata pelajarannya sudah disetting untuk fokus ke Bahasa Inggris, Bahasa Jepang Modern yang wajib ada di 5 hari sepekan itu, dan terakhir pelajaran Ilmu Sosial hanya dijadikan pelajaran optional saja.
Beberapa hari lalu, aku sudah mengambil kelas Ilmu Sosial untuk jatah sepekan, jadi sampai pekan depan jadwalku hanya terisi dengan Bahasa Inggris dan Jepang.
Aku masuk ke ruangan kelas seperti tidak ada yang menyadari kehadiranku, aku duduk di tempat duduk terdekat dengan pintu keluar.
Tempat dudukku ini adalah tempat duduk yang kupikir harusnya menjadi tempat duduk bagi VIP, jadi orang yang duduk disini hanyalah orang-orang yang terpilih. Kalau memang berniat untuk menghadiri kelas ini, memang seharusnya aku duduk di tengah kelas. Tapi tempat duduk bagi seorang penyendiri harusnya di suatu sudut karena penyendiri sudah terlatih untuk melihat sesuatu dari sudut sempit. Memang, aku akan kesulitan untuk melihat papan tulisnya, tetapi aku bisa konsentrasi di ruang kelas dengan mudah; sebenarnya, ini karena di tempat duduk ini tidak akan ada yang mengajakku berbicara sehingga satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan hanyalah konsentrasi. Oleh karena itu, posisi dudukku ini bisa kusebut sebagai nilai plus.
Aku mengambil buku dari tasku. Aku taruh daguku di tanganku dan melamun hingga pelajaran dimulai.
Aku menunggu guru tiba sambil melihat beberapa grup sedang mengobrol di kelas ini.
Musim panas tahun depan, suasana santai seperti ini mungkin akan tidak ada lagi.
Ini tidak jauh berbeda dengan ujian masuk SMA dulu.
Orang yang mendapat rekomendasi diterima langsung seperti sombong bukan main sedangkan yang gagal seperti dikutuk untuk menjadi bayang-bayang seseorang. Hal ini akan terulang ketika kelas 3 SMA. Lalu empat tahun kemudian, ketika sedang berburu lowongan pekerjaan. Kebiasaan dari manusia ini tidak akan berganti meski sudah lewat 3 tahun atau 7 tahun setelahnya.
Tetapi untuk saat ini, aku harusnya tidak melihat ke masa lalu, tetapi ke depan. Jadi, aku harus mempersiapkan ujian masuk Universitas dari sekarang.
Siswa yang sudah mempersiapkan ujian ini sejak awal sudah terlihat serius di musim panas ini. Kegiatan pertama kita adalah menaruh tujuan akhir kita di tengah-tengah pikiran kita. Aku akan lulus dan serius...Aku akan lulus dan serius...Aku akan lulus dan serius...Ketika aku menaruh pikiran itu dengan tatapan serius, seseorang muncul di salah satu sudut penglihatanku.
Rambut biru gelapnya diikat oleh pengikat rambut dan dibiarkan teruntai ke belakang punggungnya. Tubuhnya yang tinggi terlihat bergerak bebas dan menarik perhatian banyak orang. Gadis itu memakai T-Shirt dengan lengan yang menutupi 3/4 tangannya, memakai celana pendek denim, dan legging. Dia terlihat berjalan dengan bebas memakai sandal karetnya.
Ketika gadis itu berjalan di depanku, dia berhenti. Aku sepertinya melihat ada keanehan yang sedang terjadi, aku akhirnya melihat ke arahnya.
"...Jadi kamu mengambil kelas ini juga."
Suara yang terdengar seperti orang yang mengantuk disertai dengan tatapan yang dingin. Di bawah mata yang terlihat marah tersebut terdapat sebuah tahi lalat.
Gadis ini sepertinya sangat familiar bagiku. Kira-kira siapa namanya...?
"Aku lupa untuk mengatakannya dari dulu. Terima kasih ya."
Serius ini, aku tidak tahu mengapa dia berterima kasih kepadaku, mungkin dia salah orang. Ini tidak wajar bagi seorang penyendiri untuk diajak berbicara. Kecuali ini sesuatu yang sangat penting, selain itu harusnya tidak ada yang berbicara ke seorang penyendiri.
"Itu, waktu itu itu kamu memberitahuku soal beasiswa Universitas? Aku sekarang berencana untuk mendapatkannya. Juga hubunganku dengan Taishi membaik setelah itu."
Nama 'Taishi' sepertinya pernah kudengar, tetapi kenapa aku merasa kurang senang mendengar nama itu? Setelah pikiranku masuk ke bagian 'Daftar orang-orang yang tidak akan kumaafkan selamanya', aku menemukan sebuah nama yaitu Kawasaki Taishi. Hoho, apakah ini nama serangga beracun yang berusaha mendekati Komachi?
Jadi, apakah gadis ini kenalannya si serangga beracun itu?
Ketika melihat rambut biru gelapnya, aku menyadari sesuatu.
Kawa...Kawagoe? Kawashima? Kawaragi...? Oke, aku nampaknya bisa mengambil garis besarnya. Dia bernama Kawasesuatu-san!
"Uh, yeah, tidak masalah. Lagipula kan yang membuat beasiswa itu menjadi nyata adalah kerja kerasmu, bukan aku."
Untuk saat ini, aku mencoba menyambung percakapan itu dan namanya muncul di pikiranku. Nama gadis ini adalah Kawasaki Saki.
"Ada benarnya sih, tetapi Taishi terus membicarakanmu...Ah sudahlah. Ngomong-ngomong, terima kasih ya," kata Kawasaki. Dia mengatakannya seolah-olah hanya itu urusannya berbicara denganku dan dia pergi begitu saja.
Memang percakapan yang cukup aneh, tetapi Kawasaki Saki memang gadis yang seperti itu. Dia memilih untuk menjadi penyendiri dan tidak mendekati siapapun sambil menebarkan aura kegelapannya.
Gadis yang seperti itu berbicara kepadaku dengan kemauannya sendiri. Aku merasa sikapnya sudah agak lembut daripada sebelumnya. Hal-hal itu mengusik pikiranku dan membuat mataku secara tidak sadar terus menatapnya dari tadi.
Dia duduk 3 baris di belakangku, mengambil handphonenya dan menggerakkan jemarinya. Kalau melihat sikapnya itu, sepertinya dia sedang menulis sebuah pesan.
Setelah itu, Kawasaki tersenyum.
...Buset, ternyata dia bisa juga tersenyum. Maksudku, biasanya dia terlihat seperti super agresif dan bertangan besi. Meski begitu, ini adalah ekspresi yang tidak akan pernah kamu lihat di sekolah. Satu hal lagi, aku tidak menganggap diriku terus melihatnya di kelas selama ini. Ini adalah peraturan dasar bagi sesama penyendiri untuk tidak ikut campur urusan penyendiri lainnya.
Ketika di kepalaku penuh pikiran tentang pemandangan yang langka ini, kedua pasang mata kami bertemu.
Pipi Kawasaki yang memerah lalu membuat tatapan tajam ke arahku. Ya ampun, ada apa dengan gadis ini? Sangat menakutkan! Aku menggerakkan kepalaku seolah-olah bahuku selama ini membeku. Lalu aku mencoba membuat sebuah gerakan yang terlihat normal untuk memalingkan pandanganku darinya.
Lupakan saja, ternyata dia memang tidak menjadi lebih lembut.
* * *
Aku diserang rasa lelah luar biasa setelah pelajaran selesai, mungkin karena aku telah berkonsentrasi penuh selama 90 menit.
Tidak seperti perasaan puas setelah berolahraga, rasa lelah dari belajar seperti jiwamu berterbangan di dekat kepalamu. Semua Glukosa di kepalaku seperti habis terbakar dan untung saja aku minum MAX COFFEE sebelumnya, jika tidak ...mungkin aku akan berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.
Sekarang pelajaran telah usai, aku memasukkan semua buku dan bersiap pulang ke rumah.
Penyendiri adalah orang yang paling bersemangat ketika waktunya pulang ke rumah.
Untungnya, Tsudanuma adalah sebuah daerah yang terkenal akan hiburannya. Disini banyak sekali toko buku dan tempat-tempat permainan. Daerah yang tidak akan membuat siswa-siswa menjadi cepat bosan.
Ketika aku hendak berdiri untuk pulang, ada yang mengetuk mejaku.
Aku melihat ke arah orang yang mengetuk mejaku dan Kawasaki Saki berdiri dengan ekspresi yang sedikit marah. Apa ini? Kalau kamu butuh sesuatu, katakan saja. Mengetuk-ngetuk mejaku, apa kamu ini burung Woodpecker?
"...Apa kamu butuh sesuatu?"
Karena dia memancarkan aura 'Aku mau ngomong, dengarkan aku, brengsek!', aku spontan saja bertanya apa urusannya.
"Hey, apa kamu ada waktu luang?"
"Uh, sebenarnya aku ada perlu sebentar lagi."
Kebanyakan orang akan mengatakan "Ohhh, benar, uh huh" setelah mendengarkan kata-kataku barusan. Tetapi kalau mereka menyerah begitu saja setelah menanyakan itu berarti undangannya sebenarnya basa-basi saja.
Tetapi Kawasaki sepertinya tidak berniat untuk mengundangku tadi. Aku juga tidak yakin kalau gadis ini sebenarnya mencoba untuk sopan atau semacamnya. Dia biasanya blak-blakan tidak seperti Yukinoshita ataupun Hiratsuka-sensei.
Kawasaki menatapku dengan tajam. "Memangnya ada perlu apa?"
"Uh, well, tahulah...Aku ada kegiatan dengan adikku."
Aku membawa-bawa nama Komachi sebagai jalan terakhir. Kawasaki lalu mengangguk. "Oh begitu. Baguslah. Kalau begitu berarti kamu tidak keberatan pergi bersamaku?"
"Huh?" aku menjawabnya seperti hendak meminta penjelasan lebih lanjut.
Kawasaki sepertinya lelah menjawabku, "Sebenarnya aku tidak ada urusan denganmu, tetapi Taishi katanya ada perlu denganmu. Dia di Tsudanuma sekarang."
Hoh, jadi begitu. Jadi dia tersenyum tadi itu, dia sedang mengirim pesan ke adiknya. Dia sepertinya punya semacam Brother Complex jika dia tersenyum seperti itu ketika mengirim pesan.
"Maaf, tetapi aku tidak ada waktu untuk adik laki-lakimu itu..."
"Adikmu juga sedang bersamanya sekarang."
"Apa!? Oke, kemana kita harus pergi? Apa mereka dekat dari sini? Bisakah kita tiba secepatnya dalam kurang dari lima menit? Apa kita perlu berlari kesana?"
Kau harusnya bilang dari tadi!
"Apa kamu tahu..."
Dia mengatakannya dengan wajah kurang menyenangkan, tetapi aku tidak peduli dan segera berdiri. Aku pergi keluar kelas dengan Kawasaki mengikutiku di belakangku.
"Apa kamu tahu Saizeriya di daerah sini?"
"Jangan meragukanku. Aku tahu setiap detail tentang Saizeriya, terutama yang dekat dengan jalur kereta Sobu."
Malahan, aku tahu dimana lokasi Restoran Saizeriya pertama didirikan. Saizeriya pertama didirikan di Motoyawata. Meskipun sekarang sudah tidak berjualan lagi disana, mereka tetap menaruh tanda di tempat pertama mereka berdiri.
Aku keluar dari gedung bimbingan belajar dan menatap ke arah jalanan.
Jam-jam ini adalah waktu dimana orang pulang dan datang ke Stasiun, dan jumlah keramaian di daerah sekitar sini sangat padat sekali.
Kawasaki dan diriku mengobrol selama di perjalanan sambil menghindari lautan orang yang berjalan berlawanan arah denganku.
Nampaknya, Komachi dan Serangga Beracun itu sedang berduaan di Saizeriya.
Alangkah gembiranya jika di tasku sekarang ada pisau, garpu, dan beberapa senjata mematikan. Bahkan sangat bagus jika aku bisa melempar wajahnya dengan Milano Doria yang sangat panas seperti melemparnya dengan kue pai. Setelah itu, kuhabisi dia dengan menggosokkan saus tart ke luka-lukanya.
Emosiku mencapai puncaknya ketika aku menunggu lampu lalu lintas untuk berwarna hijau dan Kawasaki yang berada di dekatku berkata. "Ngomong-ngomong, Yukinoshita juga mengambil bimbingan belajar selama musim panas ini juga."
"...Ohh, begitu ya."
Mendengar namanya disebut, membuat seluruh gerakanku seperti melambat.
Seperti yang kuduga, Yukinoshita memang terlihat seperti hendak menuju Universitas Negeri. Kawasaki juga hendak mengambil bimbingan serupa juga. Well, di musim liburan ini memang normal jika kita belum memutuskan kemana Universitas yang akan kau tuju. Satu-satunya alasan aku memutuskan ke Universitas Swasta dan memilih Jurusan Liberal Art adalah karena aku sangat buruk di matematika. Ketika selesai nanti, impianku satu-satunya adalah menjadi suami rumahan saja.
"Meski aku tahu hal itu, aku masih merasa sulit untuk mendekatinya."
Kamu yang ngomong sendiri...Apa kamu sadar kalau selama ini kamu memancarkan aura kegelapan yang membuat gadis dan para pria ketakutan?
"Kenapa kamu melihatku terus dari tadi?"
"Eh...tidak ada apa-apa."
Dia mempertajam tatapannya dan menatapku seperti menembus tubuhku. Aku lalu memalingkan mataku. Sangat mudah membayangkan bagaimana Yukinoshita dan Kawasaki akan bersikap jika mereka sekelas. Ketika mereka berdua membuat orang-orang di sekitarnya tertarik, tidak akan ada yang berani untuk mendekati mereka berdua.
Kebiasaan itu memang menggambarkan mereka berdua, tetapi entah kenapa aku merasa kalau sifat asli mereka sebenarnya tidak seperti itu.
Sikap agresif Kawasaki datang dari kemampuan komunikasinya yang lemah, tetapi aku merasa ada sesuatu di balik itu. Kupikir dia hanya seorang pembicara yang buruk. Jika kamu pernah melihat bagaimana dia mencintai adiknya, kamu bisa melihat dia yang sebenarnya.
Di lain pihak, Yukinoshita memang tidak benar-benar ingin menjadi agresif. Dirinya sendiri sudah merupakan bentuk dari agresif itu sendiri. Orang-orang yang super memang mempesona. Mereka menjadi tempat berkumpul dari iri dan ketidaksenangan dari orang-orang sekitarnya. Hal-hal semacam itu yang membuatnya menjauh dari orang-orang sekitarnya. Yukinoshita adalah gadis yang memilih untuk mengatakan langsung ketidakbenaran dan menghancurkannya seketika.
Jika sikap Kawasaki selama ini hanya membentengi dirinya dari intimidasi orang-orang, maka aksi Yukinoshita selalu mengharapkan ganjaran setimpal bagi orang lain.
Lampu lalu lintas berubah menjadi hijau.
Ketika aku berjalan, Kawasaki menaikkan nada suaranya. "...Hey. Bisakah kamu beritahukan ucapan terima kasihku kepadanya? Aku benar-benar tidak bisa menemukan momen yang tepat untuk memberitahunya."
"Kamu sebaiknya memberitahunya langsung."
"Well, sebenarnya aku ingin, tetapi, aku merasa agak aneh."
Aku melihat ini sangat aneh dan suara Kawasaki terkesan ragu-ragu, lalu aku melihat ke arahnya. Dia menurunkan kepalanya dan menatap lantai sambil berjalan. "Akan ada seseorang dimana kamu tidak akan bisa bersama dengan baik meskipun kita tidak memiliki salah apapun..."
"Yeah."
Ya. Itu benar sekali.
Oleh karena itu kompromi terbaik untuk masalah itu adalah tidak berhubungan dengan orang lain. Keputusan untuk tidak berhubungan dengan orang lain juga merupakan bentuk sebuah hubungan.
Menjadi dekat dan berteman, mengobrol dengan senyuman, keluar bersama dan bersenang-senang; itu adalah bentuk hubungan dengan orang lain. Mereka melakukannya untuk tetap menjaga jarak satu sama lain sehingga mereka tidak dibenci, sebuah aksi yang patut mendapatkan sebuah pujian menurutku.
Hal itu mungkin menjelaskan bagaimana Kawasaki melihat Yukinoshita.
Kamu tidak memiliki pilihan lain kecuali menerimanya, tetapi kamu tetap tidak bisa mendekati orang itu. Itu karena kamu paham kalau tidak ada satupun hal bagus yang didapatkan kedua pihak jika kamu mencoba mendekati satu sama lain, dan kamu percaya kalau nantinya mungkin hanya melukai satu sama lain. Oleh karena itu kamu tetap menjaga jarak dengannya. Ini bukanlah lari dan menghindar, tetapi hal yang paling realistis untuk mengatasi situasi; menunjukkan rasa hormat.
"Juga, aku tidak berpikir kalau aku dan dirinya akan bertemu dalam waktu dekat. Jika aku tidak menemuinya di bimbingan belajar, maka aku mungkin akan bertemu dengannya ketika mulai masuk sekolah. Kelas kita mungkin berbeda. Tetapi kamu bisa menemuinya di klub atau tempat lain, benar tidak?"
"Tidak, aku tidak ada rencana untuk menemuinya sebelum masuk sekolah juga."
Setidaknya, kita tidak akan saling bertemu secara sengaja. Ketika aku memikirkannya, hubunganku dengan Yukinoshita memang seperti itu. Kecuali kita memang ada jadwal untuk bertemu, maka kita tidak akan berusaha mendekati satu sama lain. Ini bukannya karena aku tidak tahu nomornya atau semacamnya.
Ketika kita melewati penyeberangan, kita menuruni banyak anak tangga yang mengarah ke sebuah gedung. Suara langkah kaki kita mulai terdengar lemah.
"Bahkan jika kita memang bertemu, aku sebenarnya tidak tahu harus berbicara apa."
"Benar sekali. Kita juga tidak tahu harus membicarakan apa."
"Tepat."
Sebenarnya, jika kamu berbicara kepadaku, aku hanya akan merespon seperlunya, oke? Bahkan, aku juga sadar kalau itu akan terlihat menakutkan. Tetapi jika aku tahu orang yang sedang berbicara kepadaku adalah seorang penyendiri seperti Kawasaki, kita seperti sepasang burung yang dapat berbicara dengan mudah dan aku dengan mudah bersikap seperti biasanya.
Setelah kita menuruni tangga itu, kita sampai di lantai terbawah gedung itu.
Setelah masuk ke restoran dan disambut oleh pintu otomatis, Komachi terlihat sedang duduk di meja dekat bar minuman. Ketika dia melihatku, dia melambaikan tangannya. "Ohh, onii-chan."
"Ohh." Aku meresponnya pendek dan segera duduk di sampingnya. Di depanku sekarang adalah seorang siswa dengan nama mirip Sano Yakuyoke Daishi. Ketika kedua mata kami bertemu, dia menundukkan kepalanya.
"Hey onii-san, maaf mengganggumu."
"Jangan memanggilku onii-san. Kubunuh kau."
"Hey, kamu mau ngajak berantem adikku?"
Kawasaki diam-diam duduk di depanku dan memancarkan aura kemarahan.
Sial, tatapan matanya seperti menusukku! Orang-orang dengan Brother Complex sangat menakutkan. Orang-orang yang mencintai berlebihan saudaranya memang mengerikan. Serius ini, mengerikan.
Ketika Taishi mencoba menenangkan Kawasaki yang sedang mengintimidasiku, aku mendengar suara bel dan membuat pesanan menunya.
Aku memesan minum untuk dua orang. Karena Kawasaki terlihat menakutkanku, maka rencanaku untuk melempari wajah Taishi dengan Milano Doria kuurungkan.
Seperti sebuah pertemuan bisnis, aku mengambil kopiku dan meminum seteguk dahulu sebelum masuk ke urusan bisnisnya.
"Jadi, kamu katanya ada perlu denganku?"
"Ya. Aku ingin bertanya kepadamu tentang SMA Sobu."
"Uh, tanya saja ke kakakmu."
Kawasaki pergi ke sekolah yang sama dan kelas yang sama denganku. Aku harus menyebut itu dulu di pikiranku, kalau tidak, aku mungkin akan benar-benar melupakannya lagi.
"Aku sebenarnya ingin mendengar pendapat siswa pria tentang SMA Sobu!"
Entah mengapa, Taishi seperti mengepalkan tangannya. Kenapa dia sampai segitunya...?
Sebenarnya dia tinggal sebutkan saja pertanyaan mendetail kepadaku, tetapi pastinya jawaban dariku bukanlah jawaban yang bagus.
"Tidak ada yang istimewa tentang sekolah kita. Aku sendiri berpikir kalau itu tidak jauh berbeda dari SMA lainnya. Mungkin event sekolah kita agak berbeda, misalnya Festival Budaya ataupun klub sekolah."
Aku sebenarnya tidak begitu yakin karena aku belum pernah melihat SMA yang lain, tetapi itu hanya sekedar sepengetahuanku saja. Setidaknya, jika kita mencari sekolah dengan standar yang baik, kurikulum penuh, maka kamu akan mendapatkan beragam SMA yang bisa kamu pilih.
Satu-satunya hal yang diluar perhitunganku selama ini adalah bergabung dengan Klub Relawan.
"Mm? Jika nilai standar untuk lulus ujian masuk tiap sekolah berbeda, bukankah suasana di sekolahnya juga berbeda?" Komachi memiringkan kepalanya.
"Well, kupikir memiliki nilai rata-rata kelulusan ujian yang tinggi memang berkemungkinan memiliki siswa nakal yang lebih sedikit. Tetapi tetap saja masih ada siswa yang nakal juga."
Aku memalingkan wajahku ke seberang mejaku. Ketika Kawasaki melihatku, dia kemudian menatapku balik. "Kenapa kamu mengatakan itu sambil melihatku...? Aku tidak seperti itu."
Aku pura-pura batuk dan hendak lari dari tatapan tajam Kawasaki. "Benar, sebenarnya yang berubah hanyalah jumlah teman lamamu yang semasa SMP menjadi lebih sedikit di SMA. Dan juga, orang-orang akan mulai bersikap seperti 'seorang anak SMA' dan sangat mengganggu sekali."
"Oh, bersikap seperti 'seorang anak SMA', ya?" Taishi memiringkan kepalanya seperti kurang paham maksudku.
"Aku tidak tahu apa yang ingin kamu cari, tetapi ketika mereka diterima SMA, mereka bersikap seperti mereka adalah 'anak SMA sejati' dan terlihat seperti hal yang tidak nyata. Ini adalah sebuah kepalsuan yang melekat di diri mereka."
Aku sangat yakin kalau ada sebuah hukum tidak tertulis 'Kamu harus bersikap seperti anak SMA'.
Siswa SMA Sejati.
Satu. Siswa SMA harus punya pacar.
Dua. Siswa SMA harus punya banyak teman yang ramai.
Tiga. Siswa SMA harus seperti 'siswa SMA' di sinetron atau film.
Mereka yang tidak menuruti ketiga aturan di atas harus keluar dari lingkungan kita.
Semacam itulah.
Jika kamu ingin menggabungkan sebuah ideologi dan realitas, maka kamu tidak akan punya tempat disana.
Misalnya, seorang siswa pria berusaha menjadi populer dengan becanda bersama para gadis lewat SMS, memperlakukan mereka dengan baik ketika bertemu, dan terlihat menarik ketika bersama mereka. Kenyataannya, mereka aslinya adalah orang yang ingin lari dari tekanan sosialnya.
Atau bisa juga seorang gadis yang ingin ingin punya banyak teman dengan memakai pakaian terbaru, menghadiri jalan-jalan meski hanya sekedar untuk menggenapi jumlahnya, dan selalu mendengarkan musik J-POP terbaru. Tetapi sebenarnya, mereka punya hobi lain yang pantas mereka lakukan dan yang mereka selama ini lakukan hanyalah sikap orang rendahan.
Meski begitu, mereka tetap dengan tekun melakukannya. Sehingga mereka tidak merasa jauh dari kata 'normal'. Mereka tidak ingin dikeluarkan dari sebuah nilai bernama 'semuanya'.
"Ooph...Kupikir aku baru saja mendengar hal-hal yang tidak seharusnya kudengar..." Ekspresi Taishi tampak suram setelah mendengarkan penjelasanku barusan.
"Well, sebenarnya ini hanyalah sudut pandang dari orang yang diluar komunitas 'anak SMA sejati'. Tetapi jika kamu memang ingin punya teman, maka kamu harus siap-siap untuk mengorbankan sesuatu."
Memang sangat sulit hidup berbeda dengan orang lain, tetapi hidup sama seperti orang lain justru lebih sulit. Hidup yang sulit.
"Oh oops. Sepertinya minuman semua orang hampir habis."
Komachi mengucapkan itu untuk membuat suasananya santai dan mengumpulkan gelas tiap orang. Sepertinya dia hendak memesan minuman lagi. Melihat itu, Kawasaki berdiri juga. "Aku akan menemanimu. Aku pikir kamu tidak akan bisa membawa minumannya kesini sendirian."
Komachi menerima pertolongannya dan mereka berdua berjalan menuju bar minuman.
Aku melihat mereka berdua meninggalkan meja kami.
Setelah itu, Taishi menaikkan wajahnya seperti mengingat sesuatu. Dia lalu menatapku dengan curiga dan mendekati posisiku.
"A-Ahem...Mungkin agak aneh bertanya ini," kata Taishi, dia mencondongkan tubuhnya kepadaku seperti hendak berbisik. "Tetapi bagaimana dengan para gadisnya? Apakah mereka manis? Seperti Yukinoshita-san, dia sangat super cantik bukan?"
Ketika dia bertanya itu, aku berpikir sejenak. Sebenarnya sekolah kita juga tidak didominasi oleh para gadis yang seperti itu...
Sebenarnya, di kehidupan sekolahku, kesan yang kumiliki hanyalah 'Gadis Manis' dan 'Wajah Lucu yang Berkesan'. Oleh karena itu aku tidak ingat banyak mengenai gadis yang normal seperti apa.
"Kamu benar, memang banyak sekali gadis manis di SMA Sobu. Disana juga ada kelas Budaya Internasional yang berisi 90% gadis. Jadi memang disana banyak sekali gadisnya. Oleh karena itu, persentase gadis yang manis juga meningkat tajam."
"Ohh! Itu seperti mimpi saja!"
"Tapi kamu harus ingat, Taishi..." Aku melanjutkan kata-kataku dengan lambat, tetapi masih cukup mudah untuk dipahami. "Kamu tahu apa yang Ibu katakan setiap hari? Kamu mungkin menyukai gadis yang manis, tetapi itu tidak berarti dia akan menyukaimu juga."
"Woah, mataku menjadi lebih terbuka sekarang!"
"Hal yang paling penting adalah tahu kapan harus menyerah. Jika tekananmu tidak membuatmu masuk lebih dalam, maka sebaiknya menyerah saja. Sebuah perjalanan panjang ribuan mil dimulai dari sebuah kata menyerah adalah sebuah mental yang perlu kamu miliki."
Jaman sekarang, aku juga ingin menyarankan 'Kenali musuhmu, kenali dirimu, maka kamu akan menyerah di ratusan pertempuran'.
"Lagipula, apa kamu pikir kalau seseorang sepertimu bisa dekat dengan Yukinoshita?"
"Benar sekali...Setidaknya, aku tidak berpikir kalau aku bisa! Dia sepertinya sangat menakutkan!"
Opini yang sangat jujur sekali. Aku bahkan dengan senang hati memberi hadiah Yukinoshita beberapa kapak daripada beberapa helai bunga, dia seperti bunga yang mekar di Dataran Tinggi Guina.
Untuk orang-orang yang tidak mengenal Yukinoshita Yukino dengan baik, dia mungkin terlihat sangat menakutkan, terlihat seperti superior, dan mungkin terkesan arogan.
Aku dulu melihatnya seperti itu untuk pertama kali...Itu, um, hanya jika kamu bertemu pertama kali dengannya di klub.
"Kuh, SMA Sobu...Sebuah tempat yang agak menakutkan, menurutku..." Taishi sepertinya menyerah dengan beberapa alasan dan berbicara berbeda.
Karena itu agak menggangguku, aku memutuskan untuk memberinya sebuah kalimat final. "Lingkunganmu mungkin berubah, tetapi itu tidak berarti kamu juga harus berubah. Berpikir kalau sesuatunya akan berubah ketika kamu masuk SMA hanyalah sebuah ilusi. Kamu sebaiknya berhenti bermimpi seperti itu dari sekarang."
Pertama, aku akan hancurkan semua mimpi-mimpimu itu. Haha, oke, sebenarnya aku juga punya ekspektasi seperti itu dulunya. Tetapi dunia SMA semacam itu hanyalah sebuah Utopia. Memberitahunya tentang sebuah kenyataan adalah sebuah bentuk kebaikan hati juga.
"Hey, jangan bully dia terus," kata Komachi yang baru saja kembali dari bar minum. Dia menaruh gelas-gelasnya di meja dan memukul kepalaku.
Salaaaah! Aku tidak membullynya. Aku hanya menakutinya, itu saja.
"Kamu tidak perlu mendengarkannya dengan serius, Taishi. Ngomong-ngomong...Cukup fokus untuk lulus ujian masuk SMA Sobu saja." Kawasaki duduk di sebelah Taishi, dan meminum cangkirnya.
Tubuh Taishi bersandar di kursi dan berkata. "Urgh..."
"Apa dia punya masalah?"
"Sejujurnya, nilainya pas-pasan untuk masuk SMA Sobu. Oleh karena itu aku selalu memberitahunya untuk belajar..." Kawasaki menjawab pertanyaanku.
"Uuuugh..."
Untuk membuatnya bersemangat kembali, Komachi menyemangatinya. "Tidak apa-apa Taishi-kun. Bahkan jika kamu masuk SMA Sobu nanti dan berada di sekolah yang berbeda denganku, aku masih mau jadi temanmu! Apapun yang terjadi, kita akan selalu menjadi teman!"
"A-Apapun yang terjadi, kita selalu menjadi teman...T-Tentu saja..."
"Yep, teman selamanya."
Sebenarnya kata-kata tadi seperti menggiringnya ke peti mati...Aku tidak masalah kalau dia hanya sekedar kakak laki-laki dari Komachi. Tetapi sebagai sesama lelaki, aku hanya bisa bersimpati saja. Sangat menyedihkan melihat kata 'teman' menggirinya menuju sudut mati itu.
"Well, kamu tahu, bagaimana kalau sebuah target? Jika kamu ada sesuatu yang membuatmu mau bekerja keras, maka itu bisa membuatmu bekerja lebih keras," kataku.
Taishi mengangkat wajahnya. "Sebuah target?"
"Yeah. Ini bukanlah sesuatu yang bisa membuatmu bersemangat, tetapi di kasusku, aku berusaha sangat keras ketika aku berpikir bagaimana aku akan masuk SMA kelak. Setiap tahunnya, hanya satu orang diterima di SMA Sobu yang berasal dari SMPku."
"Kamu tidak benar-benar bisa menjadikan itu sebuah target..." Kawasaki tersenyum kecil. Senyummu itu karena kamu habis meminum kopi, ya?
"Bagiku, itu karena onii-chan ada di SMA Sobu!"
"Ya, ya, kita tahu, kita semua tahu."
Aku pura-pura tidak peduli tentang alasannya ke Sobu dan Taishi membuat ekspresi yang serius dan menatap Kawasaki. "Nee-chan, apa kamu juga memiliki hal itu dulunya?" dia bertanya.
Dia lalu menaruh cangkirnya. "Aku...lupakan tentang aku, oke?" dia berpikir sejenak lalu memalingkan wajahnya.
Tetapi aku tahu alasannya kenapa. Jika itu berhubungan dengan Taishi, aku yakin itu bisa membantunya untuk memotivasi dirinya...
"...Well, jika kamu memang berniat untuk masuk Universitas Negeri dengan biaya yang murah, SMA kita memiliki akses yang banyak ke hal itu."
"Hey, jangan katakan lebih jauh!" Kawasaki tiba-tiba menatapku. Tetapi wajahnya yang memerah tidak mempengaruhiku. Bodoh. Tatapan mata dari seorang Brocon tidak pantas untuk kukasihani.
Taishi nampaknya paham akan kata-kataku dan mengangguk. "Oh oke..."
Aku yakin kalau akan selalu ada alasan-alasan semacam itu.
Tidak hanya untuk Kawasaki Saki, juga bagi yang lain.
Seperti ada orang yang punya banyak pilihan untuk dipilih, maka akan ada orang yang hanya memiliki satu pilihan.
Tidak semua jawaban terdengar menyegarkan dan positif. Jika seseorang memutuskan sesuatu dengan mempertimbangkan betapa pengecut dan pesimistisnya metode yang dipakai orang itu, menurutku itu tidak masalah.
"Aku sudah memutuskan. Aku akan ke SMA Sobu!" Taishi memberitahu semuanya dengan ekspresi yang meyakinkan.
"Well, kalau begitu beri yang terbaik yang kamu bisa," aku memberitahunya secara jujur...Tetapi setelah berpikir sejenak, Komachi juga hendak menuju SMA Sobu.
"...Jika kamu memang lulus, aku ingin kita berdua punya waktu khusus. Maksudku waktu khusus yang bagus, maksudku sebuah pertandingan Sumo yang bagus."
"Kamu terlihat seperti hendak menghabisiku, loh!?"
Kawasaki menatapku dengan kasar seperti hendak melindungi Taishi. Setelah itu, aku melihat slip tagihannya.
"Jadi, kita semua selesai disini? Ini sudah waktunya kita pulang ke rumah."
Aku melihat ke arah jam dinding dan sudah dekat ke waktu makan malam. Aku mengambil 1,000 Yen dari dompetku dan menaruhnya di meja. Lalu aku berdiri dari kursiku.
Taishi menjawabnya dengan 'ya' dan berdiri sambil menunduk kepadaku.
"Onii-san! Terima kasih banyak."
"Oh, hentikan itu...Karena kamu tidak akan pernah memiliki peluang untuk mengatakan itu lagi dimulai dari sekarang."
"Waaah tega sekali!?"
Melihat percakapan kami dari pinggir, Komachi memegangi dagunya dengan jari telunjuknya dan memiringkan kepalanya.
"Hmm? Tetapi kalau Saki-san menikah dengan onii-chan, bukankah tidak masalah kalau Taishi memanggilmu onii-san, bukan?" Komachi mengatakannya dengan spontan.
Kawasaki berdiri dan bersikap seperti orang gelisah. "A-Apa kamu idiot!? Ada apa dengan adik perempuanmu itu!? I-Itu tidak akan pernah terjadi!"
Aku mendengar suaranya dari belakangku bahkan ketika dia meninggalkan Restoran. Ketika aku cukup yakin dia tidak mendengarku, aku menggumam dengan senyum kecil. "Sial tadi terang-terangan sekali. Aku tidak akan menikahi seseorang kecuali orang itu bersedia merawatku."
"Yak itu lagi! Onii-chan berusaha membela dengan alasan bodohnya lagi!"
"Hey hentikan itu, jangan menyebut itu sebuah pembelaan."
Jika sesuatu tentang itu. "Memiliki seseorang yang merawat dan membesarkanku" disebut sebuah persyaratan mutlak.
Maka itu berlaku juga untuk hari ini.
Semuanya akan terdiam jika mendengar persyaratan mutlakku.
* * *
Ini Kawasaki Taishi! Terima kasih hari ini! Terima kasih, saya sangat bersemangat!
[Hachiman]
Siapa ini?
[Taishi]
Padahal saya sudah menuliskan nama saya lengkap loh? Saya Kawasaki Taishi!
[Hachiman]
Kamu dapat nomorku darimana? Apa maumu? Ini siapa sih?
[Taishi]
Nee-chan mengatakan tidak perlu mengganggumu, tetapi saya ingin mengatakan terima kasih. Sekarang dia lagi mandi, jadi ini kesempatan buatku!
[Hachiman]
Hoh, jadi dia lagi mandi ya.
[Taishi]
Kenapa untuk urusan itu kamu tidak tanya siapa saya lagi? Nee-chan biasanya meninggalkan kamar mandi tanpa memakai baju. Benar-benar menganggu.
[Hachiman]
Tolong beritahu aku apa yang dia pakai? Apa dia tidak memakai baju tetapi masih memakai pakaian dalamnya?
[Taishi]
A
[Hachiman]
A? Apa-apaan itu 'A'? Apa maksudmu 'Ah, pakaian dalamnya'? Aku tidak akan mengerti jika kamu mengejanya seperti itu.
[Taishi]
Itu singkatan dari 'Apa kau mau cari mati?' Lain kali kalau kutahu kamu mengajarinya hal-hal aneh lagi, kau akan mati.
[Hachiman]
Dasar brocon.
Well, chapter ini membuktikan kalau penampilan Saki sendiri di mata Hachiman, memang seorang gadis yang menarik.
...
Hachiman melihat Saki sebagai seorang penyendiri, view yang sama juga diberikan kepada Yukino.
...
Ada hal yang sedikit tricky disini. Saki harusnya sadar kalau Hachiman juga penyendiri seperti dirinya, membahas Yukino dan menitip terimakasih terkesan sedikit janggal. Jika Saki tahu, dia pasti sudah tahu jawaban Hachiman, yaitu 'sampaikan sendiri'.
Lalu kejanggalan lainnya, mengenai fokus terimakasih ke Yukino. Kita tahu dalam vol 2 chapter 4, yang membantu Saki kembali ke jalannya tidak hanya Yukino dan Hachiman, tapi Yui, Totsuka, Komachi, dan Zaimokuza. Lalu mengapa Saki fokus ke Yukino?
Satu hal yang terpikirkan oleh saya, yaitu Saki melihat ada sebuah kedekatan antara Yukino dan Hachiman, dan pertanyaan Saki ini hanya ingin test on the water tentang kedekatan Hachiman dengan Yukino.
Ini dikuatkan lagi oleh anggapan Taishi kalau Hachiman ini dekat dengan Yukino. Yang dibahas mengenai gadis cantik yang dekat dengan Hachiman mengapa Yukino? Kenapa Yui juga tidak dibahas?
...
Sebenarnya, jika membaca volume 2 dan tiba di chapter ini, situasinya sangat mudah untuk dijelaskan. Taishi ini menyukai Komachi. Taishi menganggap Hachiman dekat dengan Yukino, padahal Taishi bisa saja membuat Saki dan Hachiman dekat. Bukankah jika Saki dan Hachiman dekat, Taishi bisa lebih leluasa memanggil Hachiman Onii-san atau Senpai?
Situasi lainnya, Komachi tahu Taishi menyukainya. Komachi hanya menganggap Taishi teman. Tapi Taishi punya komoditas yang bisa membantu Komachi, yaitu Saki. Saki bisa jadi calon potensial bagi Hachiman. Terbukti di akhir chapter dengan usulan Komachi yang mengandaikan Saki menikah dengan Hachiman. Plus, menikahnya Saki dengan Hachiman akan mengakhiri perjuangan Taishi untuk mendekati Komachi.
...
Chapter ini juga menjelaskan mengapa Hachiman memilih SMA Sobu, dimana harus naik bus satu kali, dan naik kereta satu kali untuk ke SMA Sobu. Sedang, SMA Kaihin Sogo, SMA yang bisa dicapai dengan naik bus sekali, tidak dia pilih.
Itu karena Kaori, gadis yang disukai Hachiman sewaktu SMP, dan juga tinggal satu kompleks, berpeluang besar masuk SMA Kaihin. Untuk menghilangkan segala kemungkinan bertemu Kaori, Hachiman memilih SMA dengan sejarah penerimaan siswa dari SMPnya yang paling sedikit, yaitu SMA Sobu. Dalam sejarahnya, SMA Sobu baru menerima 1 alumni SMP Hachiman, itu berarti Hachiman adalah orang kedua.
...
Lha ini komachi langsung blak blakan...🤣🤣🤣
BalasHapusAlumni pertama smp nya haciman itu hiratsuka sensei
BalasHapus