Kamis, 17 Mei 2018

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 3 Chapter 3 : Spring & Asura (9/9)



Aku dan Shioriko pergi ke rumah Tamaoka Satoko pada malam harinya. Dia tampak cemas ketika menyambut kami di rumahnya. Suasana di sekitarnya seperti  hendak mengatakan kalau dia sudah menunggu dengan cemas sejak panggilan telpon dari Shioriko siang tadi.

Kami duduk berseberangan di ruang tamu. Shioriko lalu mengambil buku Spring and Asura yang didapatnya dari Subaru dan menaruhnya di atas meja.

"Aah..." Ekspresi gembira mulai muncul di wajah klien kami.

"Terima kasih...Terima kasih banyak. Kalian tahu, aku sangat senang sekali melihat buku ini sudah kembali." Dia memegangi buku itu dengan tangan yang gemetaran, setelah memeriksa isinya untuk memastikan tidak ada yang rusak, dia lalu memeluk buku tersebut.

Seperti sadar kalau sikapnya barusan itu cukup memalukan, dia lalu menaruh kembali buku tersebut di meja.

"Maafkan aku...Aku terlalu senang sehingga lupa diri...Aku akan menyiapkan pembayarannya sebagai ucapan terima kasih dariku."

"Seperti kesepakatan di telpon tadi, jasa kami tidak dibayar dengan  uang." Shioriko mulai menjelaskan dengan perlahan. Sebetulnya, percakapan telpon mereka tadi terdengar seperti sebuah debat tentang pembayarannya.

"Sebagai gantinya, aku memintamu untuk melupakan apa yang terjadi dengan buku ini, dan ijinkan Subaru untuk membaca buku ini kapanpun dia mau."

"Kurasa aku agak keberatan soal itu." Satoko menggeleng-gelengkan kepalanya. "Yang sudah dia lakukan itu, harusnya dilaporkan ke polisi, meski dia sendiri masih keluargaku. Sulit rasanya bagiku untuk mengijinkannya membaca buku ini kapanpun dia mau."

Shioriko hanya menatapku dengan datar. Kurasa, kita tidak akan bisa menyelesaikan ini dengan damai.

"Aku yakin, melaporkan hal ini ke polisi juga akan memberimu masalah." Nada Shioriko tiba-tiba menjadi tegas.

"Apa maksudmu?" Satoko tampak kebingungan.

"Waktu pertamakali kami kemari dan membicarakan tentang buku ini, aku merasakan sesuatu yang janggal. Kenapa Ayahmu membeli buku Spring and Asura yang lain dan dengan kondisi yang lebih buruk? Dan yang lebih penting lagi, kenapa Ibuku menawarkan sebuah buku ke seseorang yang sudah punya bukunya? Ibuku itu bukan seseorang yang berbisnis dengan cara yang senaif itu."

Satoko masih tampak kebingungan. Dia masih bingung dengan kata-kata Shioriko, tapi itu tidak menghentikan Shioriko untuk melanjutkan kata-katanya.

"Ayahmu memberi hadiah Ibuku sebuah lukisan sebagai ucapan terima kasih karena telah menemukan buku itu untuknya. Wajar kalau menganggap kalau menganggap buku Spring and Asura yang ada di atas meja ini lebih berharga daripada yang sudah dia punya. Setelah mendapatkan info dari sana-sini, aku akhirnya mengerti kebenaran tentang buku ini."

Shioriko memberi kode kepadaku lewat gerakan matanya. Kita sudah merencanakan ini sejak tadi dan barusan itu adalah kodenya.

"Maaf ya."

Kuambil dengan cepat Spring and Asura dari meja tersebut.

"Ah!"

Buku itu sudah kembali ke tangan Shioriko, sedang Satoko tiba-tiba berdiri karena panik. Kemudian, dia duduk kembali ke kursinya seperti menyadari kekalahannya. Kini, dia tampak kurang nyaman, melebihi sikapnya yang cemas tadi.

"Coba lihat punggung buku ini. Apa kau melihat tulisan Koleksi Puisi yang tampak samar-samar ini?"

Kulihat kembali buku yang ada di tangannya. Aku memang agak kesulitan melihat tulisan yang dimaksud. Lagipula, mungkin untuk menyadari itu aku membutuhkan waktu yang lebih lama dari sekedar melihat sebentar.

"Apakah anda ingat, ketika penjualan Spring and Asura pada jaman dulu kurang bagus, Kenji terpaksa membeli sendiri buku-buku yang tersisa dari penerbitnya, dimana buku-buku tersebut pada akhirnya diberikan kepada keluarga dan teman-temannya. Dia merasa kecewa dengan penerbit tersebut yang memberi judul Koleksi Puisi tanpa seijinnya, lalu dia menyamarkan tulisan tersebut dengan serbuk tembaga sebelum memberinya ke orang lain." Shioriko menjelaskannya seperti khusus ditujukan untukku.

"Kalau begitu, ini..."

"Benar, kemungkinan besar buku ini adalah hadiah pemberian Kenji untuk seseorang."

Jadi, noda-noda di punggung buku ternyata bukan noda biasa.

Shioriko lalu melirik ke arah Satoko sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Tapi, sebenarnya ini bukanlah buku biasa."

Dia lalu membuka halaman buku dari Spring and Asura dan menunjukkannya kepadaku.

Sebelumnya, aku hanya melihat dengan sekilas, tapi kali ini ketika kulihat dengan lebih cermat, ada lebih dari sekedar coretan yang mengkoreksi salah cetak dan typo.  Ada garis bawah di tulisan-tulisan yang menggambarkan sebuah karakter, lalu ada garis yang menutupi tulisan dimana itu dimaksudkan untuk dihapus. Malahan, banyak tulisan koreksi yang dihapus. Mungkin, ini lebih tepat disebut buku revisi daripada buku hadiah.

"Tunggu dulu..."

Akupun dengan spontan mengatakannya. Ini seperti mengindikasikan kalau buku ini adalah buku catatan revisi milik Miyazawa Kenji...Mungkinkah   

"Apa tulisan-tulisan koreksi ini adalah tulisan Kenji yang ditulis di buku cetakan pertama penerbit yang tidak laku itu?"

"Benar sekali." Shioriko mengangguk.

"Buku dari Spring and Asura yang dipakai Kenji untuk menyempurnakan karyanya disebut buku revisi. Banyak cetakan terbaru Spring and Asura mengambil sumber dari buku revisi."

Kalau tidak salah, aku masih inget pembicaraan tentang perbedaan mendasar dari Morning of the Last Farewell dan Eine Phansasie im Morgen.

"Banyak sekali buku revisi yang sudah ditemukan. Salah satu yang terkenal adalah milik yayasan Miyazawa, meski banyak juga yang berbeda disana. Diyakini kalau masih ada setidaknya satu buku revisi lagi diluar sana, dan sampai saat ini masih belum ditemukan."

"...Dan buku itu adalah ini?" kulihat dengan seksama buku tersebut. Sebuah buku revisi dari Miyazawa Kenji     Jelas ini mengandung rahasia yang luar biasa. Aku yakin kalau ini adalah jawaban dari tantangan yang diterima Subaru.

"Aku masih butuh waktu lagi untuk mengkonfirmasi itu...Tapi, kemungkinan besar memang begitu."

Shioriko lalu menatap pemilik buku tersebut, tapi Satoko hanya diam mematung di kursinya.

"Kau sengaja menyembunyikan kebenaran ini dari kami, benar tidak? Kau memberitahu kami kalau buku ini berharga karena kenangan orang yang sudah tiada. Kenapa kau melakukannya?"

"Karena...Aku tidak ingin banyak orang tahu soal ini. Kalian berdua bahkan tidak tahu bagaimana ceritanya Ayahku bisa mendapatkan buku ini...Dan...Ini memang benar-benar sangat berharga..."

"Itu saja pengakuanmu?"

Tamaoka Satoko tampak enggan melihat ke arah kami, kemudian dia membuang pandangannya.

"Aku melihat gambar-gambar di ruangan Subaru. Katanya, itu adalah hadiah dari Ayahmu untuk keponakanmu itu, sebuah gambar bunga di kebun, digambar ketika Subaru baru lahir."

"Y-Ya, seperti itulah." Satoko menjawabnya seperti tersedak oleh sesuatu.

"Tapi, aku melihat gambar lukisan yang mirip dengan bunga-bunga tersebut, namun dengan detail dan kualitas yang sangat bagus. Lukisan yang Ibuku terima 30 tahun lalu."

Ya ampun.

Kenapa aku baru sadar? Jelas ada perbedaan mencolok antara lukisan yang dibuat 30 tahun lalu dan yang katanya 15 tahun lalu. Meski, ada juga kemungkinan kalau bunga yang mekar 15 tahun lalu, adalah bunga yang sama persis dan mekarnya 30 tahun lalu.

"Dari situ, info kalau itu dibuat oleh Ayahmu untuk cucunya yang baru lahir adalah sebuah kebohongan, benar tidak? Kau memanfaatkan lukisan kasar yang belum jadi dan sudah tergeletak lama di rumah ini sebagai hadiah yang dijanjikan dan kau berikan itu ke Subaru. Kalau begitu, hadiah yang sebenarnya ditujukan untuk Subaru itu apa?"

Tiba-tiba sebuah kesunyian muncul di ruang tamu ini.

"...Kalau menurutmu?" jawab Satoko.

Ini sudah bisa ditebak.

Seperti kata Sayuri, harta warisan rumah ini sudah dibagi. Yang tersisa cuma bagian kecilnya saja, yaitu tentang kemana buku-buku di perpustakaan ini akan diberi. Yang tahu soal itu, hanyalah orang di depan kami.

Shioriko lalu menunjukkan punggung buku revisi ini ke pemberi request kasus kali ini.

"Bukankah kau sudah menduga kalau hadiah untuk Subaru adalah buku ini? Kau sendiri yang memberitahu kami kalau ayahmu suka mengobrol tentang buku     dan memberi buku ke anak muda. Bukankah sangat masuk akal kalau buku ini sebenarnya diberikan ke Subaru? Sejak awal ini bukanlah milikmu."

Satoko hanya terdiam. Sepertinya dia sudah disuguhi fakta tentang kejahatannya. Aku sendiri kagum dengan penjelasan Shioriko. Kesimpulannya, Subaru sebenarnya tidak mencuri apapun. Malahan, dia sudah mengambil sesuatu yang memang menjadi haknya.

"Aku yakin kalau Ayahmu sudah memberimu instruksi tentang buku ini jika suatu hari dia meninggal. Dia juga pasti sudah memikirkan kemungkinan kalau kau tidak akan menuruti permintaannya."

"Mustahil."

"Tidak, itu tidaklah mustahil. Sebelum Ayahmu meninggal, dia memberitahu Subaru. Hati-hatilah dengan Sersan Thenardier...Apakah anda tahu apa maksudnya?"

Wajah Satoko tampak pucat dan bibirnya mulai bergetar hebat. Sepertinya, keduanya sudah tahu betul situasi yang sebenarnya, sedang aku sendiri disini masih diselimuti kegelapan tentang kata-katanya barusan.

"Umm...Jadi apa maksudnya?" bisikku ke Shioriko.

"Thenardier adalah nama karakter yang muncul di Les Miserables karya Victor Hugo. Karakternya adalah seorang pencuri, memungut barang-barang berharga dari prajurit yang tewas di pertempuran Waterloo."

Dengan kata lain, itu bukanlah petunjuk tantangannya. Itu adalah peringatan untuk waspada akan adanya seorang pencuri di dekatnya     sebenarnya kesimpulan barusan cukup suram.

Satoko lalu menggerutu.

"Apa yang kau rencanakan dengan buku itu? Jangan bilang kalau kau akan memberikannya ke anak itu! Kau bahkan tidak punya bukti kalau dia adalah pewaris buku itu. Yang paling penting, akulah satu-satunya di Keluarga Tamaoka yang tahu tentang nilai sebenarnya buku ini...Buku ini harusnya dipegang oleh orang yang mencintai buku, seperti diriku..."

Shioriko lalu menaruh buku tersebut ke sampulnya dan memberikannya ke Satoko yang tampak ngotot dengan argumennya. Satoko tampak kebingungan, seperti tidak percaya kalau buku itu begitu saja kembali kepadanya. Satoko lalu melihat ke arah belakang dan ke depan, antara Spring and Asura  dan Shioriko, semua terjadi dalam kesunyian.

"Penawaran pertamaku belum berubah. Aku ingin kau menyimpan buku ini, tapi pastikan Subaru bebas membaca kapanpun dia mau...Tidak lupa juga, kalau dia akhirnya mengetahui jawaban tantangan itu, aku ingin kau memberitahukan kebenarannya kepada Subaru, dan meminta maaf kepadanya. Setelah itu, siapa pemilik buku ini akan ditentukan oleh Subaru sendiri."

"Kalau aku menolak?"

"Aku sendiri akan sering kontak dengan Subaru. Kalau aku tahu kau menolaknya, aku akan memberitahukan seluruh kebenarannya ke kakakmu. Entah apa dia akan menuntutmu atau bagaimana, tapi bisa kupastikan kalau kau akan memiliki masalah besar dengan keluargamu."

Satoko hanya terdiam, tapi Shioriko tampak tenang dan melanjutkan kata-katanya.

"Ketika Ayahmu meninggal, baik kau dan Subaru kehilangan seseorang yang bisa kalian ajak bicara tentang buku. Lagipula, buku-buku yang kau miliki ini suatu hari nanti akan diwariskan ke Subaru, benar tidak?"

Benar juga. Satoko tidak punya anak, jadi warisannya akan jatuh ke keponakannya sendiri.

"Aku...Tidak bisa janji."

Satoko kemudian terdiam dan menatap buku itu.

"Tapi akan kucoba untuk membicarakannya dengan Subaru...Bukannya aku tidak suka dia atau bagaimana. Hanya saja, aku suka dengan buku ini."

"Itu saja sudah cukup bagiku. Terima kasih banyak." Shioriko menundukkan kepalanya.

Satoko memandang orang yang baru saja membongkar rahasianya dengan tatapan yang penuh nostalgia.

"Kau orangnya pemaaf, berbeda dengan Chieko. Kupikir dia tidak akan berpikir sejauh itu kalau aku bilang akan memberinya uang tutup mulut yang sangat banyak."

"Sayangnya saya tidak menerima suap...Aku berbeda dari Ibuku." Shioriko menjawabnya dengan cepat.

Aku harus berbeda darinya. Kurasa itulah yang hendak dikatakan hati kecilnya saat ini.

Satoko sendiri hanya memasang senyum kecut di wajahnya.

"Seperti kata Tuan Shinokawa dulu. Ada hal yang kompleks antara dirimu dan Chieko."

"Ayahku pernah mengatakan itu?"

"Ya...Ketika dia datang kesini untuk membeli buku."

Memang, Satoko pernah cerita kalau dia mengobrol banyak dengan Ayah Shioriko ketika hendak membeli buku-buku disini. Kalau tidak salah tidak lama setelah itu, dia meninggal dunia     sekitar dua tahun lalu.

"Dia hanya bisa tertawa kecut ketika dia bercerita kalau kau hendak menjual buku pemberian Chieko tanpa sepengetahuannya..." Satoko mengatakan itu dengan nada nostalgia.

Shioriko hanya bisa mendengarkan cerita tersebut dengan ekspresi terkejut.



x x x



Aku bisa mencium sesuatu yang enak dari dapur. Sebentar lagi adalah momen makan malam di Rumah Shinokawa.

Kutaruh kembali beberapa buku ke raknya, dan menatap Shioriko. Dia masih duduk di lantai dan mencari-cari sesuatu di kardus tempat benda-benda peninggalan Ayahnya.

Kita berada di ruangan kerja pemilik toko sebelumnya. Setelah pulang dari rumah Tamaoka Satoko, kami bergegas pulang secepatnya, dan Shioriko mulai mencari-cari seluruh peninggalan Ayahnya.

Shioriko percaya kalau Ayahnya tahu dia hendak menjual Cra Cra Diary karya Sakaguchi Michiyo, maka Ayahnya akan mencegahnya untuk melakukan itu. Akupun berpikir sama dengannya. Masuk akal kalau sebenarnya Ayahnya sudah mengambil buku itu dan menyimpannya di suatu tempat untuk jaga-jaga.

Tapi, kami sendiri tidak bisa menemukan itu. Lagipula, seluruh tulisan Ayahnya sudah diperiksa dengan teliti. Kalau buku tersebut tidak bisa ditemukan, maka sangat kecil bagi kami bisa menemukannya saat ini.

"Apa sebaiknya dilanjutkan besok saja? Sekarang sudah larut malam...Besok akan kubantu mencarinya." Aku mengatakannya dari belakang.

"...Tapi buku itu sedang berada di rumah ini, di suatu tempat entah dimana." Yang kudengar hanyalah jawaban kosong seperti itu. Sebenarnya dia sudah seperti itu sejak pulang dari rumah Satoko.

"Shioriko, hentikan ini!"

Kukatakan dengan nada yang tegas, tapi tidak ada jawaban darinya. Bukannya aku ingin menyatakan kalau usahanya itu sia-sia, mungkin lebih tepatnya kalau dia tidak mau mengakui kalau buku itu tidak bisa ditemukan.

...Sebenarnya, kenapa kita tidak bisa menemukannya?

Akupun memikirkan itu. Mungkin, pemilik toko sebelumnya tidak berpikir kalau putrinya akan mencari-cari buku yang pernah dibuangnya sendiri.

Tapi, Ayahnya kalau menyimpan buku itu pasti punya pikiran untuk memberikannya kembali. Pasti dia sudah menyiapkan persiapan andai saja dia tidak ada di dunia ini.

Kalau aku jadi Ayahnya, apa yang akan kulakukan   ?

Akupun kembali ke realita saat ini dan menyadari kalau suasana disini sangat sunyi. Tangan Shioriko hanya terdiam dan dia tampak kelelahan.

Akupun mendekatinya, seperti berusaha untuk menenangkannya, dan duduk tepat di belakangnya. Shioriko sendiri tidak membalikkan badannya. Posisiku cukup dekat sehingga aku bisa melihat ujung rambut lehernya yang berada tepat di depanku.

"...Shioriko." kupanggil lagi, tapi dia tidak meresponnya.

Dadaku terasa sesak dan mulai kesulitan bernapas. Secara perlahan, aku menyentuh bahunya. Apa yang harus kukatakan kepadanya?

Tiba-tiba pintu terbuka dan muncul Shinokawa Ayaka, masih memakai seragam yang dibalut celemek.

"Shioriko! Waktunya makan malam! Menu spesial hari ini adalah..."

Tiba-tiba Ayaka terdiam dan kedua matanya terbuka lebar. Kulepaskan tanganku dari bahu Shioriko karena panik.

Kenapa sih dia selalu muncul di momen yang seperti ini? Bukannya aku selalu melakukan hal-hal ini kepada kakaknya.

"Shioriko...Makan malam."

Dia pasti sudah menduga kalau ada yang tidak beres. Seperti memancing reaksi Shioriko, Ayaka melanjutkan.

"Aku membuat Hamburger favoritmu hari ini..."

Shioriko juga tidak merespon kata-kata adiknya. Dia hanya terdiam seperti patung, seperti hanyut dalam pikirannya sendiri. Ayaka lalu melihat kondisi ruangan, dan sadar kalau barang-barang Ayahnya sudah tergeletak berantakan. Tapi   

"Shioriko, waktunya makan." Dia tidak membahas tentang itu, malahan terus mengajak Shioriko makan.

Kesunyian terus berlanjut.

Ayaka lalu masuk ke ruangan dan menendang kardus yang berada di depan Shioriko. Kemudian, Shioriko terkejut dan melihat ke atas, Ayaka kemudian memeluknya.

"Shioriko, ayo makan, OK?"

Untuk sejenak, mereka berdua tidak bergerak sama sekali, tapi setidaknya, Shioriko mengangguk. Ayaka lalu membantunya berdiri, dan membantunya berjalan menuju pintu.

Aku sendiri mengikuti mereka hanya sampai lorong, dan melihat mereka berdua pergi.

"Goura, apa kau mau makan malam bersama kami?"

Ayaka bertanya kepadaku sambil berdiri di depan pintu dapur. Kami saling menatap satu sama lain di lorong yang remang-remang. Mungkin ini momen pertama dimana aku benar-benar melihat wajahnya secara detail. Kedua bola matanya yang tersenyum itu memang memancarkan aura kekanak-kanakan.

"Apa kau tidak mau bertanya kepadaku tentang apa yang baru saja kami lakukan?"

Kutanyakan itu dengan nada suara yang pelan. Mungkin, dia tidak mendengarkanku, atau juga pura-pura tidak mendengarkanku. Ayaka hanya memiringkan kepalanya.

"Huh?"

"Ah sudahlah...Ya sudah, ayo makan bersama. Terima kasih atas tawarannya."

Lagipula, sudah lama aku tidak makan Hamburger.

Sambil tersenyum, akupun berjalan menuju ruang makan.




x Chapter III | END x


1 komentar: