Minggu, 03 Desember 2017

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 3 Chapter 3 : Spring & Asura (7/9)


Rumah Tamaoka Ichirou yang ada di Takano, berlokasi di kompleks perumahan yang terletak di sisi pegunungan.

Sejak puluhan tahun lalu, hanya sedikit jalan saja yang melalui tempat ini, karena itulah kami membutuhkan waktu yang lama untuk menuju kesana dari Stasiun Kita-Kamakura. Ternyata Ichirou memang tidak berlebihan jika dia bilang butuh 10 menit untuk pergi menuju rumah Adiknya.

Kami memarkir mobil kami di depan rumah yang besar dan posisinya cukup tinggi dari tempat di sekitarnya. Jika kau berjalan menuruni jalan disini, maka kau bisa sampai ke SMA-ku dulu, dan sepanjang perjalanan kau bisa menikmati pemandangan Gunung Hakone. Itu adalah pemandangan yang indah.

Papan nama di depan rumah keluarga Tamaoka memiliki tiga nama yang tertulis disana – Ichirou, Sayuri, dan terakhir Subaru. Sepertinya Subaru ini adalah putra mereka.

Kubuka gerbangnya dan menunggu Shioriko datang dengan tongkatnya. Melihat ada sepeda BMX yang ditaruh di pinggir pagar, Subaru mungkin sedang ada di rumah.

Shioriko menekan tombol interkom di depan rumah dan menunggu jawaban dari penghuni rumah. Tapi, pintu tiba-tiba terbuka dan mendahului jawaban interkom.

Seorang anak laki-laki yang chubby berada di balik pintu. Rambutnya bermodel undercut, dimana bagian puncaknya diwarnai warna yang mencolok. Dia menatap kami dari balik kacamatanya dan dengan ekspresi yang kosong.

“U-umm...Kami kenalan dari Pak Tamaoka Satoko dan...”

“Saya sudah dengar dari Ibu.”

Anak itu memotong kata-katanya dan menggunakan telunjuknya untuk menunjuk ke dirinya sendiri.

“Saya Tamaoka Subaru...Silakan masuk.”

Dia lalu membuka pintunya lebar-lebar. Ini bukanlah kesalahan atau bagaimana, tapi entah mengapa aku merasa kalau nama dan kelakuannya terasa kurang pas.

Setelah Subaru mengantar kami ke ruang tamu, dia menyajikan secangkir teh kepada kami. Dia bahkan sudah menyiapkan camilan untuk menemani teh tersebut. Akhirnya, dia duduk di kursi seberang dan memasang wajah kesal sambil menaruh kedua tangannya di kantong bajunya. Aku tidak tahu apakah anak ini berniat menghormati tamunya atau bagaimana.

Subaru sendiri tidak menyajikan makanan dan minuman serupa untuknya, malahan dia hanya menyediakan sebotol Yakult. Mungkin, itu adalah snack sorenya.

“Jadi kalian hendak membicarakan sesuatu denganku tentang kejadian minggu lalu?” dia langsung ke pokok permasalahannya.

Meski posturnya mirip Ayahnya, ternyata kelakuannya mirip Ibunya. Dia cukup tenang untuk ukuran anak SMP.

“Oh...Ya, benar...”

Shioriko tampak kebingungan dalam kata-katanya. Sepertinya dia juga gugup dengan anak SMP.

Akupun pura-pura batuk dan mengambil alih pembicaraan ini untuknya. Lagipula, dia sudah berbicara cukup banyak hari ini.

“Bisakah kau memberitahu kami apa yang terjadi minggu lalu? Di waktu antara jam sarapan dan makan siang.”

“Yang hari Minggu ya...”

Subaru lalu mengangguk pelan.

“Semalam sebelumnya, aku belajar semalaman, karena itulah Ibu membangunkanku untuk sarapan. Kami makan siang disini dan kedua orangtuaku pergi ke rumah Tante.”

“Boleh tahu kapan mereka perginya?”

“Ibu dan Ayahku kalau tidak salah pergi sebelum jam 11...Aku sendiri waktu itu sedang belajar menjawab soal-soal ujian waktu Ibuku menelpon pada jam sekitar 11:20.”

Dia mengarahkan dagunya ke arah salah satu sudut ruangan. Disana ada sebuah telepon dan mesin fax yang bersebelahan dengan jam meja.


“Jadi kau menerima telponnya disana?”

“Yeah, telepon wirelessnya sedang kehabisan baterai sehingga tidak berfungsi, jadi aku turun ke bawah untuk menerima telpon.”

“Apa yang kau bicarakan dengan Ibumu?”

“Hmm...Sebentar.”

Subaru lalu melihat ke arah samping dan mencoba memikirkan sesuatunya.

“Kebanyakan dia hanya menceramahiku. Semacam harus belajar giat, memberitahuku soal Yakult di kulkas, memberitahuku untuk tidak minum Yakult banyak-banyak...Hal-hal yang tidak penting. Mungkin lama panggilannya sekitar 5 menitan.”

Subaru lalu mengembuskan napasnya. Dari info yang dia berikan, sepertinya panggilan telpon tersebut sudah mengganggu kegiatan belajarnya.

“Lalu apa yang terjadi setelah itu?”

“Kubilang dasar nenek berisik dan menutup telponnya. Dia lalu memukul kepalaku setelah pulang dan membuatku harus meminta maaf...”

Sikap Subaru dalam cerita tadi tampak berbeda jauh, tapi setidaknya dia meminta maaf. Tapi yang terpenting, seluruh detail cerita ternyata cocok dengan cerita Ibunya.

“Apa tidak masalah jika aku melihat teleponnya?” Shioriko mengatakan itu dengan ragu-ragu.

Anak tersebut hanya memasang wajah penasaran dan menatap ke arah samping.

“Ya sudah, silakan saja.”

Subaru lalu memajukan kursinya ke arah meja ketika Shioriko berdiri dan hendak berjalan mengitari meja.

“Apa ini cukup untuk dilewati?”

Perutnya tampak sedikit kesakitan ketika menekan tubuhnya ke meja seperti itu. Meski Subaru tidak bisa dikatakan orang yang mudah akrab,  tapi ternyata dia orang yang cukup perhatian.

“Y-ya. Permisi.”

Shioriko berjalan menuju telepon dan mesin fax lalu mulai menekan tombol. Dia mungkin sedang memeriksa riwayat panggilannya. Tidak lama kemudian, dia melihat ke arahku dan mengangguk. Pasti riwayat panggilannya cocok dengan keterangan Subaru dan Ibunya.

Meski begitu, riwayat panggilan tidak memberitahu info seberapa lama panggilan teleponnya, jadi ada kemungkinan Sayuri ini langsung menutup teleponnya dan langsung pergi ke perpustakaan untuk mencuri buku tersebut. Tapi, sulit rasanya membayangkan kalau Subaru ini ikut andil dalam kejahatan yang dilakukan Ibunya.

Meski Shioriko tadi bilang kalau kita akan menemukan bukunya pada hari ini, aku merasa ini masih jauh dari harapan. Jadi, apa langkah selanjutnya?

“Kalian berdua dari Toko Buku Biblia, benar?” Subaru tiba-tiba bertanya.

Shioriko lalu menatapku dengan tiba-tiba.

“Apa kau pernah mampir ke toko kami sebelumnya?” tanyaku.

“Well...Aku memang belum pernah beli disana, tapi aku pernah pergi beberapa kali...Aku ini bukan orang yang membenci buku atau sejenisnya.”

“Kalau begitu, kami dengan senang hati akan menyambutmu jika kau datang lagi.” Shioriko tersenyum lembut sambil kembali ke tempat duduknya.

“...Ya kalau ada waktu.”

Tiba-tiba nada suaranya naik-turun, meski begitu wajah Subaru tampak memerah. Aku rasa aku bisa memakluminya.

“Sebenarnya, Tantemu, Tamaoka Satoko, ada yang mencuri buku miliknya.”

Shioriko lalu melanjutkan pembicaraan.

“Ehh...”

Akupun hampir menyemburkan teh dari mulutku. Sayuri sudah memberitahu kami agar tidak menyebutkan apapun tentang kejadian itu. Apa sih yang dipikirkan oleh Shioriko?

“Huh...Begitu ya...” Subaru meresponnya dengan nada yang kurang tertarik.

“Ya, buku yang sangat langka, cetakan pertama buku karya Miyazawa Kenji. Apa kau tahu buku yang mana?”

“Aku tahu. Spring and Asura, benar kan? Itu buku yang terkenal. Ada juga puisi disana yang judulnya sama dengan namaku.”

“Aku juga memikirkan itu sedari tadi. Memang ada puisi karyanya yang berjudul Subaru. Jadi namamu berasal dari situ?”

“Bukan. Ayahku itu penggemar Tanimura Shinji...Tapi kalau kau tanya itu kepadanya, Kakek Genit itu mungkin akan berbohong dan mengatakan kalau itu dari karya Kenji.”

Anak itu tiba-tiba tersenyum untuk pertamakalinya. Ternyata dia orangnya juga ceria meski sudah menjelekkan Ayah – itu adalah momen dimana aku menyadari sikap Shioriko. Tanpa sadar, aku tidak melihat adanya kegugupan di wajah dan nada suaranya. Ini adalah ekspresi Shioriko ketika misteri hendak terpecahkan.

“Puisi apa di Spring and Asura yang kau sukai? Biar kutebak, Subaru ya?”

“Mm, sebenarnya Eine Phantasie Im Morgen. Kupikir itu keren. Meskipun panjang sih.” Subaru tampak tertarik dan mencondongkan tubuhnya ke arah kami.

Shioriko lalu menepuk kedua tangannya.

“Oh, yang itu memang bagus. Aku juga sering membacanya. Tembaga yang baru ditempa itu belum terlihat kilauannya/ lingkaran cahayanya belum terbakar habis...

Hanya cakrawala yang terlihat semakin terang ataupun gelap/ hampir terurai ataupun bertambah pekat...”

Subaru melanjutkan puisi tersebut tanpa kesulitan sama sekali; dia pasti sudah membacanya berulang kali. Shioriko tersenyum melihatnya. Entah mengapa, aku merasa ketakutan dengan adegan ini.

“Kau benar-benar menyukai edisi pertama Spring and Asura ya?” dia mengatakan itu dengan nada yang antusias.

“Huh? Apa maksudnya itu?”

“Stanza puisi serupa yang dicetak di buku yang belakangan ini beredar adalah: Hanya cakrawala indigo/ yang semakin terang ataupun bertambah gelap/ hampir terurai ataupun bertambah pekat...Jadi bisa kau beritahu aku, dimana kau membaca edisi cetakan pertamanya?”

Senyum di wajah Subaru tiba-tiba menghilang. Akupun terus menatap wajahnya – jangan bilang kalau dia adalah...

“Bukan berarti puisi tersebut hanya dicetak di edisi pertamanya. Kau juga bisa mendapati puisi tersebut di buku Karya Lengkap Miyazawa Kenji terbitan Chikuma Shobo ataupun Chikuma Bunko.”

“Itu memang benar. Tapi apa yang membuatmu berpikir kalau sejak tadi aku sedang membahas buku Spring and Asura?”

“Eh?”

“Yang kukatakan tadi adalah, ada buku karya Miyazawa Kenji yang dicuri. Buku Restoran dengan Banyak Pesanan juga bisa masuk dalam kategori itu. Aku yakin kau tahu itu, dan tentunya, kau sering melihatnya ketika mampir ke rumah kakekmu dulu.”

Tiba-tiba dia menelan ludahnya sendiri. Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang ingat kalau Satoko pernah mengatakan sesuatu tentang itu. Kakaknya memang jarang datang berkunjung, tapi keponakannya kadang datang berkunjung.

“Satu-satunya orang yang tahu tentang rumah itu punya perpustakaan, dan tahu kalau Satoko akan ada di kebunnya sejak pagi, adalah Tamaoka Ichirou, Sayuri – dan kau.”

Shioriko baru saja mengatakan kalau pelakunya bukan orangtuanya, tapi Subaru sendiri dan dia cocok dengan semua petunjuk yang ada. Dia tahu soal cetakan pertama buku karya Kenji dan punya peluang untuk mencurinya.

“Kau pergi meninggalkan rumah dengan sepeda setelah kedua orangtuamu pergi ke rumah Tantemu. Kau menyelinap ke rumahnya sehingga Satoko tidak melihatmu, lalu kau ambil buku itu...Apa hipotesaku salah?”

“...Kedua orangtuaku pergi ke rumahnya dengan mobil.” Subaru lalu menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan mata kami dan berusaha memberikan argumennya. “Mustahil aku bisa tiba lebih cepat dari mereka menggunakan sepeda.”

“Tidak, kau bisa kok. Bahkan aku sendiri tahu bagaimana caranya.”

Akupun mengatakan itu sambil terkejut dengan alasan yang diberikannya. Dia ternyata masih belum mau menyerah.

“Memang, kalau naik mobil butuh sekitar 10 menit untuk ke rumah Tantemu, itu dikarenakan terbatasnya akses jalan menuju kesana dengan mobil. Tapi jika kau berjalan kaki, ada tangga yang menuruni gunung dekat sebuah pemberhentian yang berada di depan rumahmu ini. Aku tahu karena aku dulunya siswa SMA di dekat sini dan sering memakai jalan itu untuk menuju Stasiun Kita-Kamakura.”

Dengan kata lain, penduduk lokal disini pasti tahu soal jalan pintas tersebut. Kalau dia meninggalkan sepedanya di ujung tangga turun dan bergegas menuruninya, maka dia akan sampai ke rumah tersebut kurang dari 5 menit. Dia akan punya banyak sekali waktu untuk ke TKP dan kembali ke rumah untuk menerima panggilan telpon Ibunya.

“Satoko sendiri, mencurigai orangtuamu yang mencurinya.”

“...Benarkah begitu?” Subaru pasti tidak pernah menduga hal tersebut.

Shioriko mengangguk.

“Kalau buku tersebut tidak dikembalikan, maka dia akan terus mencurigai orangtuamu.”

Subaru lalu menggigit bibirnya sendiri. Kedua tangannya yang ada di atas meja mulai mengepal.

“Maafkan aku...Akulah pencuri buku tersebut.” Dia akhirnya mengakui kekalahannya.

“Tapi, aku melakukannya bukan karena berniat untuk mencuri...Aku berniat untuk mengembalikan buku tersebut setelah aku selesai.”






 X Part 7 | END X

6 komentar: