Rumah Tamaoka Ichirou
yang ada di Takano, berlokasi di kompleks perumahan yang terletak di sisi
pegunungan.
Sejak puluhan tahun
lalu, hanya sedikit jalan saja yang melalui tempat ini, karena itulah kami
membutuhkan waktu yang lama untuk menuju kesana dari Stasiun Kita-Kamakura.
Ternyata Ichirou memang tidak berlebihan jika dia bilang butuh 10 menit untuk
pergi menuju rumah Adiknya.
Kami memarkir mobil
kami di depan rumah yang besar dan posisinya cukup tinggi dari tempat di
sekitarnya. Jika kau berjalan menuruni jalan disini, maka kau bisa sampai ke
SMA-ku dulu, dan sepanjang perjalanan kau bisa menikmati pemandangan Gunung
Hakone. Itu adalah pemandangan yang indah.
Papan nama di depan
rumah keluarga Tamaoka memiliki tiga nama yang tertulis disana – Ichirou,
Sayuri, dan terakhir Subaru. Sepertinya Subaru ini adalah putra mereka.
Kubuka gerbangnya dan
menunggu Shioriko datang dengan tongkatnya. Melihat ada sepeda BMX yang ditaruh
di pinggir pagar, Subaru mungkin sedang ada di rumah.
Shioriko menekan tombol
interkom di depan rumah dan menunggu jawaban dari penghuni rumah. Tapi, pintu
tiba-tiba terbuka dan mendahului jawaban interkom.
Seorang anak
laki-laki yang chubby berada di balik
pintu. Rambutnya bermodel undercut,
dimana bagian puncaknya diwarnai warna yang mencolok. Dia menatap kami dari
balik kacamatanya dan dengan ekspresi yang kosong.
“U-umm...Kami kenalan
dari Pak Tamaoka Satoko dan...”
“Saya sudah dengar
dari Ibu.”
Anak itu memotong
kata-katanya dan menggunakan telunjuknya untuk menunjuk ke dirinya sendiri.
“Saya Tamaoka
Subaru...Silakan masuk.”
Dia lalu membuka
pintunya lebar-lebar. Ini bukanlah kesalahan atau bagaimana, tapi entah mengapa
aku merasa kalau nama dan kelakuannya terasa kurang pas.
Setelah Subaru
mengantar kami ke ruang tamu, dia menyajikan secangkir teh kepada kami. Dia
bahkan sudah menyiapkan camilan untuk menemani teh tersebut. Akhirnya, dia
duduk di kursi seberang dan memasang wajah kesal sambil menaruh kedua tangannya
di kantong bajunya. Aku tidak tahu apakah anak ini berniat menghormati tamunya
atau bagaimana.
Subaru sendiri tidak
menyajikan makanan dan minuman serupa untuknya, malahan dia hanya menyediakan
sebotol Yakult. Mungkin, itu adalah snack sorenya.
“Jadi kalian hendak
membicarakan sesuatu denganku tentang kejadian minggu lalu?” dia langsung ke
pokok permasalahannya.
Meski posturnya mirip
Ayahnya, ternyata kelakuannya mirip Ibunya. Dia cukup tenang untuk ukuran anak
SMP.
“Oh...Ya, benar...”
Shioriko tampak
kebingungan dalam kata-katanya. Sepertinya dia juga gugup dengan anak SMP.
Akupun pura-pura
batuk dan mengambil alih pembicaraan ini untuknya. Lagipula, dia sudah
berbicara cukup banyak hari ini.
“Bisakah kau
memberitahu kami apa yang terjadi minggu lalu? Di waktu antara jam sarapan dan
makan siang.”
“Yang hari Minggu
ya...”
Subaru lalu
mengangguk pelan.
“Semalam sebelumnya,
aku belajar semalaman, karena itulah Ibu membangunkanku untuk sarapan. Kami
makan siang disini dan kedua orangtuaku pergi ke rumah Tante.”
“Boleh tahu kapan
mereka perginya?”
“Ibu dan Ayahku kalau
tidak salah pergi sebelum jam 11...Aku sendiri waktu itu sedang belajar
menjawab soal-soal ujian waktu Ibuku menelpon pada jam sekitar 11:20.”
Dia mengarahkan
dagunya ke arah salah satu sudut ruangan. Disana ada sebuah telepon dan mesin
fax yang bersebelahan dengan jam meja.
“Jadi kau menerima telponnya disana?”
“Yeah, telepon
wirelessnya sedang kehabisan baterai sehingga tidak berfungsi, jadi aku turun
ke bawah untuk menerima telpon.”
“Apa yang kau
bicarakan dengan Ibumu?”
“Hmm...Sebentar.”
Subaru lalu melihat
ke arah samping dan mencoba memikirkan sesuatunya.
“Kebanyakan dia hanya
menceramahiku. Semacam harus belajar giat, memberitahuku soal Yakult di kulkas,
memberitahuku untuk tidak minum Yakult banyak-banyak...Hal-hal yang tidak
penting. Mungkin lama panggilannya sekitar 5 menitan.”
Subaru lalu
mengembuskan napasnya. Dari info yang dia berikan, sepertinya panggilan telpon
tersebut sudah mengganggu kegiatan belajarnya.
“Lalu apa yang
terjadi setelah itu?”
“Kubilang dasar nenek berisik dan menutup
telponnya. Dia lalu memukul kepalaku setelah pulang dan membuatku harus meminta
maaf...”
Sikap Subaru dalam
cerita tadi tampak berbeda jauh, tapi setidaknya dia meminta maaf. Tapi yang
terpenting, seluruh detail cerita ternyata cocok dengan cerita Ibunya.
“Apa tidak masalah
jika aku melihat teleponnya?” Shioriko mengatakan itu dengan ragu-ragu.
Anak tersebut hanya
memasang wajah penasaran dan menatap ke arah samping.
“Ya sudah, silakan
saja.”
Subaru lalu memajukan
kursinya ke arah meja ketika Shioriko berdiri dan hendak berjalan mengitari
meja.
“Apa ini cukup untuk
dilewati?”
Perutnya tampak
sedikit kesakitan ketika menekan tubuhnya ke meja seperti itu. Meski Subaru
tidak bisa dikatakan orang yang mudah akrab,
tapi ternyata dia orang yang cukup perhatian.
“Y-ya. Permisi.”
Shioriko berjalan
menuju telepon dan mesin fax lalu mulai menekan tombol. Dia mungkin sedang
memeriksa riwayat panggilannya. Tidak lama kemudian, dia melihat ke arahku dan
mengangguk. Pasti riwayat panggilannya cocok dengan keterangan Subaru dan
Ibunya.
Meski begitu, riwayat
panggilan tidak memberitahu info seberapa lama panggilan teleponnya, jadi ada
kemungkinan Sayuri ini langsung menutup teleponnya dan langsung pergi ke
perpustakaan untuk mencuri buku tersebut. Tapi, sulit rasanya membayangkan
kalau Subaru ini ikut andil dalam kejahatan yang dilakukan Ibunya.
Meski Shioriko tadi
bilang kalau kita akan menemukan bukunya pada hari ini, aku merasa ini masih
jauh dari harapan. Jadi, apa langkah selanjutnya?
“Kalian berdua dari
Toko Buku Biblia, benar?” Subaru tiba-tiba bertanya.
Shioriko lalu
menatapku dengan tiba-tiba.
“Apa kau pernah
mampir ke toko kami sebelumnya?” tanyaku.
“Well...Aku memang
belum pernah beli disana, tapi aku pernah pergi beberapa kali...Aku ini bukan
orang yang membenci buku atau sejenisnya.”
“Kalau begitu, kami
dengan senang hati akan menyambutmu jika kau datang lagi.” Shioriko tersenyum
lembut sambil kembali ke tempat duduknya.
“...Ya kalau ada
waktu.”
Tiba-tiba nada suaranya
naik-turun, meski begitu wajah Subaru tampak memerah. Aku rasa aku bisa
memakluminya.
“Sebenarnya, Tantemu,
Tamaoka Satoko, ada yang mencuri buku miliknya.”
Shioriko lalu
melanjutkan pembicaraan.
“Ehh...”
Akupun hampir
menyemburkan teh dari mulutku. Sayuri sudah memberitahu kami agar tidak
menyebutkan apapun tentang kejadian itu. Apa
sih yang dipikirkan oleh Shioriko?
“Huh...Begitu ya...”
Subaru meresponnya dengan nada yang kurang tertarik.
“Ya, buku yang sangat
langka, cetakan pertama buku karya Miyazawa Kenji. Apa kau tahu buku yang
mana?”
“Aku tahu. Spring and
Asura, benar kan? Itu buku yang
terkenal. Ada juga puisi disana yang judulnya sama dengan namaku.”
“Aku juga memikirkan
itu sedari tadi. Memang ada puisi karyanya yang berjudul Subaru. Jadi namamu
berasal dari situ?”
“Bukan. Ayahku itu
penggemar Tanimura Shinji...Tapi kalau kau tanya itu kepadanya, Kakek Genit itu mungkin akan berbohong
dan mengatakan kalau itu dari karya Kenji.”
Anak itu tiba-tiba
tersenyum untuk pertamakalinya. Ternyata dia orangnya juga ceria meski sudah
menjelekkan Ayah – itu adalah momen dimana aku menyadari sikap Shioriko. Tanpa
sadar, aku tidak melihat adanya kegugupan di wajah dan nada suaranya. Ini
adalah ekspresi Shioriko ketika misteri hendak terpecahkan.
“Puisi apa di Spring
and Asura yang kau sukai? Biar kutebak, Subaru ya?”
“Mm, sebenarnya Eine
Phantasie Im Morgen. Kupikir itu keren. Meskipun panjang sih.” Subaru tampak tertarik dan mencondongkan tubuhnya ke arah kami.
Shioriko lalu menepuk
kedua tangannya.
“Oh, yang itu memang
bagus. Aku juga sering membacanya. Tembaga
yang baru ditempa itu belum terlihat kilauannya/ lingkaran cahayanya belum
terbakar habis...”
“Hanya cakrawala yang terlihat semakin terang ataupun gelap/ hampir
terurai ataupun bertambah pekat...”
Subaru melanjutkan
puisi tersebut tanpa kesulitan sama sekali; dia pasti sudah membacanya berulang
kali. Shioriko tersenyum melihatnya. Entah mengapa, aku merasa ketakutan dengan
adegan ini.
“Kau benar-benar
menyukai edisi pertama Spring and Asura ya?” dia mengatakan itu dengan nada
yang antusias.
“Huh? Apa maksudnya
itu?”
“Stanza puisi serupa
yang dicetak di buku yang belakangan ini beredar adalah: Hanya cakrawala indigo/ yang semakin terang ataupun bertambah gelap/ hampir
terurai ataupun bertambah pekat...Jadi bisa kau beritahu aku, dimana kau
membaca edisi cetakan pertamanya?”
Senyum di wajah
Subaru tiba-tiba menghilang. Akupun terus menatap wajahnya – jangan bilang
kalau dia adalah...
“Bukan berarti puisi
tersebut hanya dicetak di edisi pertamanya. Kau juga bisa mendapati puisi
tersebut di buku Karya Lengkap Miyazawa
Kenji terbitan Chikuma Shobo ataupun Chikuma Bunko.”
“Itu memang benar.
Tapi apa yang membuatmu berpikir kalau sejak tadi aku sedang membahas buku
Spring and Asura?”
“Eh?”
“Yang kukatakan tadi
adalah, ada buku karya Miyazawa Kenji yang dicuri. Buku Restoran dengan Banyak Pesanan juga bisa masuk dalam kategori itu.
Aku yakin kau tahu itu, dan tentunya, kau sering melihatnya ketika mampir ke
rumah kakekmu dulu.”
Tiba-tiba dia menelan
ludahnya sendiri. Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang ingat kalau Satoko
pernah mengatakan sesuatu tentang itu. Kakaknya memang jarang datang
berkunjung, tapi keponakannya kadang datang berkunjung.
“Satu-satunya orang
yang tahu tentang rumah itu punya perpustakaan, dan tahu kalau Satoko akan ada
di kebunnya sejak pagi, adalah Tamaoka Ichirou, Sayuri – dan kau.”
Shioriko baru saja
mengatakan kalau pelakunya bukan orangtuanya, tapi Subaru sendiri dan dia cocok
dengan semua petunjuk yang ada. Dia tahu soal cetakan pertama buku karya Kenji
dan punya peluang untuk mencurinya.
“Kau pergi
meninggalkan rumah dengan sepeda setelah kedua orangtuamu pergi ke rumah
Tantemu. Kau menyelinap ke rumahnya sehingga Satoko tidak melihatmu, lalu kau
ambil buku itu...Apa hipotesaku salah?”
“...Kedua orangtuaku
pergi ke rumahnya dengan mobil.” Subaru lalu menundukkan kepalanya untuk
menghindari tatapan mata kami dan berusaha memberikan argumennya. “Mustahil aku
bisa tiba lebih cepat dari mereka menggunakan sepeda.”
“Tidak, kau bisa kok. Bahkan aku sendiri tahu bagaimana
caranya.”
Akupun mengatakan itu
sambil terkejut dengan alasan yang diberikannya. Dia ternyata masih belum mau
menyerah.
“Memang, kalau naik
mobil butuh sekitar 10 menit untuk ke rumah Tantemu, itu dikarenakan
terbatasnya akses jalan menuju kesana dengan mobil. Tapi jika kau berjalan
kaki, ada tangga yang menuruni gunung dekat sebuah pemberhentian yang berada di
depan rumahmu ini. Aku tahu karena aku dulunya siswa SMA di dekat sini dan
sering memakai jalan itu untuk menuju Stasiun Kita-Kamakura.”
Dengan kata lain,
penduduk lokal disini pasti tahu soal jalan pintas tersebut. Kalau dia
meninggalkan sepedanya di ujung tangga turun dan bergegas menuruninya, maka dia
akan sampai ke rumah tersebut kurang dari 5 menit. Dia akan punya banyak sekali
waktu untuk ke TKP dan kembali ke rumah untuk menerima panggilan telpon Ibunya.
“Satoko sendiri,
mencurigai orangtuamu yang mencurinya.”
“...Benarkah begitu?”
Subaru pasti tidak pernah menduga hal tersebut.
Shioriko mengangguk.
“Kalau buku tersebut
tidak dikembalikan, maka dia akan terus mencurigai orangtuamu.”
Subaru lalu menggigit
bibirnya sendiri. Kedua tangannya yang ada di atas meja mulai mengepal.
“Maafkan aku...Akulah
pencuri buku tersebut.” Dia akhirnya mengakui kekalahannya.
“Tapi, aku
melakukannya bukan karena berniat untuk mencuri...Aku berniat untuk
mengembalikan buku tersebut setelah aku selesai.”
X Part 7 | END X
Semangat terus min ! Nggak sabar nunggu kelanjutannya
BalasHapusMin , oregairu vol 12 ch 2 kapan dilanjutin?
BalasHapusMin, kok gk pernah update ya???
BalasHapusHiatus kah ?
BalasHapusHahahaha
HapusMind update donkk
BalasHapus