Jumat, 10 November 2017

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 3 Chapter 3 : Spring & Asura (6/9)




Tempat pertemuan yang sudah disepakati oleh Tamaoka Sayuri adalah sebuah Cafe-Resto yang lokasinya dekat dengan Hayama Marina. Karena datang lebih awal dari waktu pertemuan, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu disana sambil menunggu kedatangannya.

Karena sekarang masih tengah pekan, belum lagi ini awal Bulan Maret, kami bisa mendapatkan meja yang memiliki pemandangan ke arah lautan luas. Entah mengapa, suasana semacam ini bisa juga ditafsirkan seperti suasana pasangan yang sedang berkencan. Meski aku penasaran tentang apa yang ada di pikiran Shioriko saat ini, tampaknya dia tidak menunjukkan tanda-tanda sedang memikirkan sesuatu tentang lokasi ini.

"Karena kebetulan kita punya waktu sebelum kedatangannya, ayo kita bahas tentang Karya Miyazawa Kenji." dia lalu mulai berbicara tentang buku-buku lama.

Ada bagian lain dari diriku yang ingin membicarakan tentang hal lain, tapi meski begitu, topik tersebut juga kuakui memang menarik. Setelah selesai makan siang, dia menjelaskan panjang lebar bagaimana karya-karya awal Kenji erat sekali kaitannya dengan Toko Buku Bekas, dan kemungkinan karya Kenji tidak akan terbit lagi jika tidak didukung toko-toko tersebut. Sambil mendengarkannya berbicara, aku baru sadar kalau ada seorang wanita paruh baya yang sedang memakai mantel ungu berdiri di sebelah meja kami.

Dia bertubuh kurus, tapi dia bertubuh tinggi dengan tampilan yang menarik, rambut pendeknya mengesankan kalau tampilan wajahnya sangat estetika untuk dilihat.  Meski begitu, itu tidak bisa serta merta menyembunyikan rasa lelah yang ditunjukkan oleh ekspresi wajahnya.

"Tamaoka Sayuri."

Dia memperkenalkan dirinya dengan suara yang datar , dia lalu duduk dan langsung memesan cappuccino tanpa menunggu kami memperkenalkan diri.

"Aku biasanya mampir dan istirahat disini ketika harus bolak-balik ke toko yang di kota ini dan di Zushi."

Kutebak, kalau jam sekarang adalah satu-satunya momen dimana dia punya waktu luang. Setelah itu, Shioriko memperkenalkan dirinya dan diriku.

"Kalau tidak salah, ini soal buku Satoko yang hilang ya? Aku sendiri tidak tahu buku apa yang dimaksud."

"Ah, benar...Itu adalah buku pertama karya Miyazawa Kenji yang berjudul Spring and Asura." suara Shioriko tampak terbata-bata.

Seperti biasanya, dia selalu kesulitan untuk berbicara dengan orang yang suka blak-blakan. Tapi aku yakin ini akan segera hilang jika kita terus berbicara tentang buku.

Sayuri sendiri juga tampak bingung dan gugup. Sepertinya ini memang pertamakalinya dia mendengar sesuatu tentang buku.

"Kata Bu Satoko, pada hari terjadinya kejadian tersebut, anda dan dia sedang membicarakan sesuatu."

"Sebut saja begitu."

Suaranya barusan tampak bercampur dengan sarkasme. Sepertinya, dia tidak berniat untuk bersikap baik terhadap kami.

"Menurut info, anda waktu itu menelpon seseorang...Boleh tahu siapa?"

"Orang rumah." dia menjawabnya dengan cepat.

"Waktu itu, ujian penerimaan siswa yang akan diikuti oleh putraku sudah dekat. Dia biasanya suka bersantai-santai kalau aku tidak mengawasinya, jadi aku menelpon untuk memastikannya kalau dia sedang belajar. Anakku juga bisa mengkonfirmasi kalau aku sering melakukan itu."

Apa-apaan barusan? Aku paham pendidikan itu penting, tapi kalau putranya itu sudah duduk di bangku SMP dan selebihnya, aku yakin putranya tidak akan suka diperlakukan seperti itu.

"Apa putra anda...Waktu anda telpon sedang ada di rumah?"

"Dia ada di rumah, dan aku berbicara dengannya sekitar 5 menit. Aku minum teh dari minuman botolan setelah menutup telponku, lalu aku berjalan kembali ke ruang pertemuan. Waktu itu aku juga merasa agak kedinginan."

Jadi itulah alasan dia meninggalkan ruangan sambil membawa tasnya. Jumlah waktunya memang cocok dengan info dari Satoko. Pasti sulit untuk menutup pembicaraan telpon dan menyelinap masuk ke perpustakaan yang berada di ujung lorong dan mencurinya dalam waktu singkat.

Tentunya, kami tidak tahu apakah penjelasannya itu benar atau bohong. Putranya adalah satu-satunya orang yang bisa mengkonfirmasi apakah panggilan telepon itu benar adanya atau tidak, tapi aku ragu apa dia akan memberikan kami ijin untuk menemui anaknya.

"Kalau kalian mau, aku bisa menelpon rumah dan biarkan anakku sendiri yang mengkonfirmasinya. Ini sudah jam pulang sekolahnya dan dia mungkin sekarang sedang bermalas-malasan."

"Eh...Benarkah tidak apa-apa?" kukatakan secara spontan saja.

Dia tampaknya  sangat kooperatif dan berkebalikan dengan sikapnya barusan.

"Kalau tidak kulakukan, kalian akan terus mencurigaiku, benar tidak?"

Setelah itu, cappuccino pesanannya datang. Dia kembali melanjutkan kata-katanya setelah pelayan kafe pergi meninggalkan meja kami.

"Aku pergi keluar ruangan selama beberapa menit dan membawa tas tangan yang bisa digunakan untuk menyembunyikan buku. Kalau aku hanya diam saja, kalian akan terus mencurigaiku, dan aku tidak suka kalau terus diperlakukan seperti seorang pencuri."

Wajah tak berdosa Tamaoka Ichirou tiba-tiba muncul di pikiranku. Sulit rasanya membayangkan kalau mereka berdua ternyata tidak bersalah.

"Apa tidak masalah kalau kami berkunjung ke rumah anda dan berbicara langsung dengan putra anda?" Shioriko tiba-tiba menanyakan itu.

"Eh?" Sayuri tampak terkejut. "Apa memang perlu seperti itu?"

"...Ya."

Shioriko menjawabnya setelah diam sejenak. Aku sendiri tidak paham mengapa harus sampai mengunjungi anaknya, tapi pastinya dia memiliki maksud tertentu.

"Ya sudah, kurasa ga masalah. Tapi pastikan kalau kalian tidak menyebut buku yang dicuri atau semacamnya. Tolong jangan tanya apapun yang tidak ada hubungannya dengan panggilan telpon tersebut."

"Terima kasih banyak." Shioriko menundukkan kepalanya merespon kata-kata Sayuri.

Tamaoka Sayuri langsung menghabiskan cappuccinonya dalam sekali teguk. Sepertinya dia tidak berniat untuk duduk berlama-lama disini.

"Nyonya, saya dengar kalau anda tidak begitu suka membaca buku." Shioriko melanjutkan pembicaraan tersebut.

"Betul sekali; atau lebih tepatnya, aku tidak suka membaca. Aku mengatakan itu ke Mertuaku pada pertemuan pertama kami, lalu kami jarang berbicara setelah itu. Beliau tipe orang yang tidak akrab dengan orang yang tidak menyukai buku."

Tamaoka Sayuri memasang senyum yang kecut ketika dia mengingat tentang mertuanya.

"Pernahkah anda pergi ke perpustakaan rumah tersebut?"

"Tidak pernah." dia menjawabnya dengan cepat. "Sejauh mata memandang hanya bisa melihat barisan buku. Pemandangan semacam itu membuatku ketakutan. Aku tidak pernah suka berada di Toko Buku atau perpustakaan."

"Begitu ya..."

Shioriko tampak tertegun oleh pernyataannya. Dia mungkin memikirkan kalau orang yang tidak suka buku merupakan sesuatu yang tidak bisa terbayangkan oleh imajinasi.

"Ngomong-ngomong, benarkah itu mahal? Itu, buku Spring and Asura."

"...Tergantung kondisinya, bisa saja seharga satu juta Yen."

"Serius? Sebanyak itu? Sulit dipercaya." Kedua bola mata Sayuri tampak berkaca-kaca dan dia menaruh cangkirnya dengan terburu-buru. "Aku tahu kalau buku-buku disana memang berharga mahal. Akan lebih baik jika menjualnya daripada disumbangkan. Dia tidak perlu keras kepala seperti itu."

Dia memang tidak tertarik dengan buku, tapi pastinya dia tertarik dengan uang.

"Kata Ibu Satoko, dia tidak tertarik dengan uang   buku itu lebih penting baginya. Kalau bukunya bisa kembali, katanya dia tidak keberatan untuk meminjami kalian uang."

Tiba-tiba Sayuri menegakkan posisi duduknya, ekspresinya tampak kaku. Setelah diam untuk beberapa saat, dia lalu mengembuskan napasnya dan bersandar ke punggung kursi.

"Apa dia benar-benar mengatakannya?"

"...Ya."

"Jadi dia ternyata memang kaya." Embusan napas yang jauh lebih panjang muncul dari bibirnya yang berwarna pucat. "Begitu mudahnya bilang begitu, begitulah kalau keturunan orang kaya. Suamiku juga begitu...Terkesan kekanak-kanakan ya."

Dia lalu menatap kami berdua yang hanya bisa memasang ekspresi bingung.

"Keluarga mereka tidak mengatur warisannya dengan benar. Suamiku cuma dapat tokonya, sedang Satoko dapat rumahnya di Kamakura. Tapi, tokonya sendiri waktu itu sudah terlilit hutang yang banyak, dan sepertinya tidak akan bisa terlunasi dalam waktu dekat, ini bukanlah sesuatu yang mudah. Sementara diriku hanya bisa menggerutu soal itu, aku dengar kalau buku-buku yang berharga mahal itu mau disumbangkan. Kupikir, kenapa tidak jual saja dan bagi rata? Bukankah itu adil?"

Jadi begitukah Situasinya. Sepertinya dia punya masalah yang harus  dihadapi. Aku paham mengapa dia sangat bersikeras untuk menjual buku-buku tersebut.

"Meski begitu, seperti kataku sebelumnya, aku tidak mencuri buku itu. Aku sendiri akan mengembalikan bukunya jika benar aku pelakunya...Bisa menerima tambahan uang sudah lebih dari cukup untuk membuatku senang."

Sayuri lalu menatap ke arah arlojinya dan berdiri untuk memakai kembali mantelnya. Sepertinya, waktu istirahatnya sudah habis.

"Saatnya bagiku untuk pergi. Apa kalian tahu rumahku dimana?"

"Ah, benar...Saya dapat lokasinya dari Ibu Satoko...Umm, bolah saya tanya satu pertanyaan terakhir?" Shioriko menaikkan jarinya. "Kapan anda membuat keputusan untuk mengunjungi rumah Ibu Satoko minggu lalu?"

Sayuri yang hendak pergi tampak berhenti dan menaruh kedua tangannya di dalam kantong mantel. Dia lalu menajamkan pandangannya dan menatap ke arah jendela, seperti sedang mengingat sesuatu. Dari jendela, tampak sebuah perahu sedang mengarungi ombak dari lautan lepas.

"Kalau tidak salah pagi harinya, waktu sarapan. Kami ingin berbicara dengan Satoko soal menjual buku-buku tersebut, tapi aku sendiri tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya...Lalu suamiku bilang kalau dia mungkin sedang membersihkan rumahnya saat ini. Jadi, kami putuskan untuk pergi setelahnya...Apa ada pertanyaan lagi?"

"Tidak, itu saja. Terima kasih banyak." dengan sopan Shioriko berterimakasih kepada Sayuri.

.....

"Daisuke, apa pendapatmu tentang cerita Sayuri?" tanya Shioriko setelah berada di mobil van, pulang dari kafe.

Setelah melewati jembatan yang berada di muara sungai, kuarahkan mobil untuk melewati jalan raya yang berada di bibir pantai. Terdengar jelas suara angin dari lautan lepas ini.

"Bagaimana ya...Aku merasa kalau dia tidak berbohong."

Tapi fakta kalau dia sedang punya masalah keuangan, dia memiliki karakter untuk meminta uang secara langsung. Mencuri buku seperti kasus ini tampak bukan karakternya.

"Kalau pendapatmu?"

"Hmm, setidaknya, kupikir untuk bagian dia tidak pernah ke perpustakaan memang benar."

"Mengapa begitu?"

"Perpustakaan di rumah itu tidak diatur untuk pengunjung bisa melihat barisan buku begitu saja ketika masuk kesana."

"Ah..."

Mungkin itu diatur seperti itu agar buku tidak berdebu dan menguning. Seluruh buku di perpustakaan itu berada di balik pintu kaca, sedang buku tersebut tidak bisa terlihat dengan jelas jika dilihat dari luar. Yang dia katakan tadi memang kata-kata orang yang belum pernah masuk ke ruangan tersebut. Tapi itu tidak menutup kemungkinan kalau pernyataan semacam itu sudah dia persiapkan jauh hari.

"Ngomong-ngomong, kenapa kita harus menemui putranya?" tanyaku.

Kalau kita tadi memintanya untuk menelpon putranya, maka kita tidak perlu mendatanginya langsung.

"Aku ingin berbicara banyak dengannya tanpa terlihat oleh kedua mata Ibunya...Juga, aku ingin dia menunjukkan kepadaku telpon yang dia gunakan."

"Telponnya?"

"Kecuali telponnya sangat tua, harusnya ada fitur history panggilan. Kalau fitur itu bisa digunakan, maka kita harusnya bisa mendapatkan dari nomor mana telpon itu berasal.

"Ah, begitu ya."

Itu membuktikan kalau Sayuri benar-benar menelpon rumahnya dari rumah adik iparnya.

"Tapi aku sendiri memiliki dugaan kalau dia benar-benar melakukan panggilan tersebut." Shioriko menggumamkan itu dengan pelan sambil menatap ke arah pantai wisata.

Kususun kembali kronologinya di kepalaku. Menganggap apa yang Sayuri katakan itu benar, dan telponnya sendiri memakan waktu 5 menit, maka dia tidak punya peluang untuk mencuri Spring and Asura.

Tapi ini aneh...

Jika baik dia dan suaminya tidak bisa mencuri buku itu, maka pencurinya tidak ada.

"Shioriko, yang mana menurutmu pelaku pencuriannya dari mereka berdua?"

Dia sedari tadi menghindar untuk memberikan pernyataan soal itu. Aku sendiri tidak merasa kalau dia masih memikirkan semua info yang dia dapat sampai saat ini. Mungkin lebih tepatnya, dia sepertinya punya sebuah gambaran tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Saat ini, aku tidak punya sebuah kesimpulan yang pasti tentang kasus ini..."

Setelah diam sejenak, Shioriko melanjutkan kata-katanya.

"...Tapi aku merasa kalau kita akan menemukan buku tersebut hari ini."



x Part 6 | END x

1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus