Setelah berbelok di perempatan depan Tsurugaoka Hachimangu dan menuju jalan propinsi yang menanjak, van mulai melambat karena berat dari tumpukan buku yang ada di belakang.
Kami sudah menyelesaikan pekerjaan kami dan sekarang sedang menuju Toko Biblia. Terlihat pucuk pohon Gingko Biloba yang mulai bersinar karena disinari cahaya matahari musim gugur.
"Kurasa kita bisa sudahi kegiatan kita hari ini setelah sampai di Toko...Kita bisa menyusun buku-buku ini besok saja."
Shinokawa mengatakan itu dengan pelan sehingga aku hampir saja tidak bisa mendengarnya. Ini adalah satu-satunya hal yang dia katakan setelah kita pamit pulang ke Toko. Aku sendiri masih dalam proses menenagkan diri, tapi tampaknya dia sendiri tidak dalam proses yang sama denganku. Seperti biasanya, wajahnya tampak memerah meski tidak berbicara banyak.
"Daisuke...Pastikan kau istirahat yang cukup setelah kita kembali besok kita pasti akan sibuk sekali."
"Ya, pastilah...Huh?"
Akupun menoleh ke arahnya setelah menjawab itu.
Daisuke?
Kulihat ke arah kursi penumpang dan dia sedang menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Ma-Maaf. Kousaka-san selalu memanggilmu dengan nama itu, jadi secara spontan aku...Seperti secara spontan begitu saja mengatakannya."
"Aku tidak keberatan jika kau memanggilku Daisuke."
Dipanggil dengan nama itu saja sudah membuatku bahagia. Aku merasa kalau kita sudah semakin dekat.
"Baiklah kalau begitu, aku akan melakukannya." dia langsung setuju begitu saja.
"Daisuke...Daisuke..."
Dia mengulang-ulang kata-kata itu seperti berusaha mengingatnya dengan baik dalam pikirannya.
Kalau dipikir lagi, apakah ini yang dia maksud kalau dirinya ingin memanggil seorang pria dengan nama depannya?
"Kalau begitu, bolehkah kau kupanggil dengan nama Shioriko?"
Aku sebenarnya ingin mengatakannya dengan nada yang lebih santai, tapi ternyata tidak seperti yang kuharapkan. Pada akhirnya, tidak ada jawaban yang kudengar. Yang menjadi masalah dalam situasi ini adalah dia tidak mengatakan apapun bahkan menolak-pun tidak.
Van kini berjalan di bawah tebing yang dibeton untuk menghindari longsor, lalu kita berjalan menuruni turunan bukit. Diriku yang sedari tadi penasaran, mencoba melihat ke arahnya. Kedua alisnya tampak hendak menyatu dan kedua matanya tampak tertutup. Daripada disebut sedang marah, sepertinya dia sedang kesakitan. Terlebih lagi, tarikan napasnya tampak tersengal-sengal.
"Shioriko?"
Kami berhenti di perempatan jalan yang berada di depan Kuil Tenchou.
"...Ya."
Dia lalu sedikit membuka matanya yang berada di belakang lensa kacamata dan meresponnya dengan suara yang lemah.
Sikapnya yang seperti itu, membuatku memahami sesuatu. Akupun menaruh tanganku di keningnya. Kini aku sangat yakin, dia sedang demam.
"Tanganmu yang dingin itu...Terasa nyaman..."
Dia kemudian menunjukkan senyumnya yang lemah itu di wajahnya.
Aku sudah menduga kalau ada sesuatu yang aneh dengan Shioriko. Warna kulitnya terasa agak aneh dan dia tidak melepas mantelnya sama sekali, bahkan ketika kita sedang berada di dalam ruangan. Dia juga membutuhkan waktu yang lebih lama dari biasanya ketika memecahkan misteri tentang buku. Dimana, misteri itu ternyata tidak begitu rumit. Ini pasti karena dia memaksakan dirinya meski dia sendiri tidak dalam kondisi yang baik.
"...Aduh sial."
Aku harusnya menyadari ini lebih cepat.
Ketika lampunya berubah menjadi hijau, aku langsung menekan pedal gasnya.
(Entah kenapa aku tiba-tiba menyebut nama depan Shinokawa dalam situasi yang membingungkan ini, jadi untuk ke depannya aku akan memanggilnya Shioriko.)
Pintu masuk utama ke rumahnya berada di sisi yang berkebalikan dari pintu masuk toko.
Kuparkir mobilnya di tempat parkir dan akupun berjalan memutar menuju kursi penumpang. Shioriko melepas sabuk pengamannya dengan jari-jarinya yang tampak bergetar dan berusaha memakai tongkatnya untuk keluar dari mobil. Aku sendiri melihat adegan itu dengan bermandikan keringat, terlebih lagi ketika ujung tongkatnya mulai menyentuh lantai dan dia mulai goyah.
"Ah."
Aku secara spontan menangkapnya sebelum dia jatuh menghantam lantai. Aroma tubuhnya yang lemah itu membuatku sedikit pangling.
"Ti-Tidak apa-apa...Aku bisa berdiri sendiri..."
Aku mendengar suaranya yang lemah. Meski begitu, tidak peduli seberapa lama aku menunggu, Shioriko tidak bisa berdiri. Dia benar-benar kehabisan tenaga.
Sepertinya hanya ada satu hal yang bisa kulakukan saat ini.
"Tolong bertahan sebentar."
Kutaruh lenganku di lutut dan punggungnya, lalu kuangkat dirinya. Akupun berlari dengan cepat sambil memegangnya seperti itu.
"Apa...Terasa berat..."
Dia menggunakan lengannya sendiri untuk menyelimuti tubuhnya.
"Tidak sama sekali...Tidak apa-apa."
Jujur saja, aku tidak tahu apakah dia berat atau ringan karena situasi panik ini. Kubuka pintu rumahnya dengan kunci yang kuambil dari mantelnya dan yang kulihat hanyalah rumah yang sunyi. Sepertinya, adik dari Shioriko yang tinggal bersama dengannya, belum pulang dari sekolah.
Shioriko lalu berusaha menggerakkan kakinya untuk menjatuhkan sepatunya. Akupun membuang sepatuku juga dengan menggunakan kibasan kakiku. Kamarnya berada di lantai dua. Aku lalu melewati lorong yang berderit itu dan melihat pijakan tangganya dengan hati-hati. Akan sangat buruk sekali jika aku terpeleset dan kami berdua jatuh dari tangga.
"Kalau boleh, bisakah kau memegangiku dengan erat?"
Suaraku keluar dengan nada yang sangat panik.
Aku berpikir apakah menunggunya dahulu atau tidak, tapi dia langsung menurut dan melingkarkan lengannya di punggungku. Dadanya seperti menekanku dengan tekanan yang diluar dugaanku, meski begitu aku tetap fokus untuk menaiki tangga ke lantai dua. Aku masih bisa merasakan panas di tubuhnya dan desahan napasnya. Kuputuskan untuk mengerahkan segenap konsentrasiku untuk menaiki tangga ini.
Kubawa Shioriko ke kamarnya di lantai dua dengan hati-hati agar tidak menabrak tumpukan buku disana. Kubaringkan dia di kasur yang berada di dekat jendela dan akupun mendengar desahan napasnya yang bernada lega.
Mantel Shioriko yang terbuat dari bulu itu memiliki kancing yang terpasang hingga atas. Akan lebih baik jika dia melepas mantel itu. Dengan sedikit ragu, akupun membuka kancing-kancing mantel itu. Meski aku tahu kalau ini adalah situasi darurat, jujur saja aku tidak ingin seorangpun tiba-tiba muncul di ruangan ini dan melihatku melakukan ini
"Apa yang kau lakukan?"
Aku mendengar suara yang berasal dari belakangku. Dengan perlahan, aku menoleh ke arah tersebut dan mendapati seorang gadis dengan rambut ponitail dan memakai blazer berwarna biru gelap sedang menyilangkan lengannya di lorong. Dia adalah adik Shioriko, Shinokawa Ayaka.
"Ah, begini...Kami baru pulang dari kunjungan ke rumah pelanggan, tapi dia sepertinya sedang demam."
Sebelum aku menyelesaikan penjelasanku, Ayaka langsung bergegas ke kasur, dia dengan lincahnya menghindari tumpukan buku yang berada di ruangan ini.
"Ah Sudah kuduga! Tunggu sebentar, aku akan segera kembali!"
Entah mengapa, aku selamat dari situasi salah paham. Ayaka lalu berlari keluar dari ruangan dan kembali dari lantai satu dengan membawa bantal es, handuk, dan baskom air. Setelah itu, dia mengambil piyama dan pakaian dalam dari lemari dan melemparnya ke arah kasur satu persatu. Untuk berjaga-jaga, aku sengaja untuk tidak melihat ke arah pakaian dalam itu.
"Kan sudah kubilang kalau kegiatanmu untuk membeli buku di rumah pelanggan itu agak...Ini, buka mulutmu, Shioriko."
Ayaka lalu menaruh termometer di mulut kakaknya sambil memasang ekspresi kesal. Aku baru saja menyadari, sepertinya adiknya ini adalah orang yang bertanggungjawab terhadap rumah dan penghuninya. Dia ternyata sangat terlatih dalam hal ini.
"Apa kondisinya sangat buruk?"
"Mm, sebenarnya ini hanya demam biasa, tapi menjadi seburuk ini karena dia harus mengajarimu melakukan pekerjaan dan menyiapkan berbagai hal. Tadi malam dia terbangun hanya untuk menulis berbagai catatan persiapan. Seperti bagaimana menyapa pelanggan dan bagaimana menyiapkan daftar pembeliannya, ya semacam itulah."
"Eh..."
Dengan kata lain, dia memaksakan dirinya demi diriku. Satu-satunya alasan mengapa dia tampak bisa berkomunikasi bersama pelanggan dengan baik adalah agar aku bisa belajar darinya.
Jadi semua ini untuk itu, huh.
Akupun merasa malu pada diriku sendiri.
Aku tidak menyadari apapun hari ini. Satupun hal tentang Shioriko dan juga Akiho.
"Well, setidaknya dia terlihat seperti sedang menjalani hari yang menyenangkan hari ini. Ya begitulah Shioriko."
Ayaka mengatakan itu sambil melepas mantel Shioriko dari lengannya.
"Menyenangkan?"
"Yeah. Segala persiapan yang dia lakukan itu mirip sewaktu dirinya masih SD dan hendak mengikuti darmawisata."
Karena Shioriko hendak mengganti pakaiannya ke piyama, jadi kuputuskan untuk meninggalkan ruangan itu. Buku-buku yang bertumpuk di lorong tampak disinari oleh seberkas cahaya yang muncul dari celah-celah atap. Banyak sekali buku-buku yang berbeda ketika aku pertamakali ada di ruangan ini. Mungkin lebih tepatnya, jumlah buku-bukunya tampak lebih banyak dari sebelumnya. Jika terus seperti ini, buku-buku ini pada akhirnya akan bertumpuk di tangga karena kehabisan ruang.
Kulihat dari jendela yang berada di samping, hari mulai beranjak gelap. Ini benar-benar sebuah hari yang panjang. Untungnya, demam dari Shioriko tidaklah benar-benar serius. Aku sendiri masih merasa khawatir dengannya, meski aku sebenarnya sudah diminta oleh Shioriko untuk pulang dan istirahat sebelumnya.
Kedua mataku akhirnya tertuju ke tumpukan buku-buku yang berada di dekat dinding. Ada sebuah buku yang punggung bukunya menghadap ke arahku dan aku ingat kalau aku pernah melihat itu sebelumnya Cra Cra Diary karya Sakaguchi Michiyo.
"Ini apa sih?"
Aku pernah melihat buku ini ditaruh di trolly diskonan. Sebenarnya, ini adalah salah satu buku koleksi Shioriko, tapi koleksi buku ini akhirnya diputuskan untuk dijual saja karena Shioriko sendiri merasa tidak bisa menyukai buku ini.
Akupun mengambil buku itu secara spontan dan berusaha memastikannya. Ini benar-benar buku yang kumaksud tadi. Artinya, dia masih memiliki buku ini meski dia sendiri tidak menyukainya.
Akupun memiringkan kepalaku dan menaruh kembali buku tersebut. Kebetulan, aku melihat bagian dari lukisan yang berada di belakang tumpukan buku-buku itu. Itu adalah seekor burung yang berwarna putih dan berdiri di atas tumpukan buku-buku. Aku juga ingat kalau dulu pernah melihat lukisan ini.
Aku ingat kalau dulu aku pernah diberitahu kalau Cra Cra artinya adalah merpati. Aku tidak sadar kalau burung yang ada di lukisan ini adalah burung yang sama, entah mengapa aku selalu penasaran dengan lukisan ini sejak pertamakali melihatnya. Memangnya, bagian bawah lukisan ini seperti apa sih?
Kujulurkan tanganku dan meraih ujung kanvas lukisan itu. Yang sedang berkeliaran di kepalaku saat ini, adalah tulisan dari Shiba Ryoutarou yang kubaca hari ini.
...Jujur saja, aku tidak suka dengan detektif yang muncul di novel misteri. Kenapa mereka sampai repot-repot sejauh itu untuk membongkar rahasia orang lain? Aku tidak paham apa yang membuat mereka betah dengan aktivitas yang semacam itu.
Keraguanku itu hanya bertahan untuk sebentar saja. Aku benar-benar bukanlah seorang detektif dan aku tidak tahu apakah lukisan ini adalah rahasia dari seseorang atau tidak. Yang kutahu, benda ini ditaruh disini pasti tanpa alasan tertentu; melihatnya sejenak pasti bukanlah sebuah masalah. Kuambil lukisan itu keluar dari tumpukan buku-buku yang ada di dekat dinding. Dilukis di sebuah kanvas, disana ada seorang wanita muda sedang duduk di kursi. Ada tumpukan buku-buku yang menghiasi latar belakang wanita itu, sementara burung putih tersebut sedang bertengger di atas kursi.
Wanita muda itu memiliki rambut hitam panjang dan memakai blus putih dengan kombinasi rok panjang. Dia sedang melihat ke arah buku yang berada di depannya dan disana ada sebuah kacamata yang berada di pangkuannya.
"Apa ini Shioriko?"
Wanita yang ada di lukisan ini mirip dengannya.
Aku tidak tahu siapa yang melukis ini, tapi siapapun orangnya, pastilah sangat ah
Tunggu dulu.
Ada keanehan disini. Warna lukisan ini tampak sedikit memudar dan kanvasnya sendiri terlihat sangat berdebu.
Dengan kata lain, ini bukanlah hasil lukisan yang dilukis beberapa tahun belakangan.
Kulihat secara seksama di salah satu sudut lukisan itu, tapi aku tidak bisa menemukan judul ataupun nama pelukisnya. Kubalik lukisan itu untuk melihat apa yang ada di balik lukisan tersebut. Ada beberapa angka yang tertulis dengan pensil disana.
1980.6.24
"Eh...?"
Aku kehilangan kata-kata. Ini hampir 30 tahun lalu...Mustahil sekali. Kulihat dengan cermat wanita yang ada di lukisan tersebut. Dilihat berkali-kalipun, wanita di lukisan ini pasti Shioriko, bukan wanita yang lain. Tapi, Shioriko sendiri mustahil dilahirkan 30 tahun lalu.
Akupun masih berdiri dengan dipenuhi rasa keterkejutanku sambil menaruh tanganku di kanvas lukisan.
Suara-suara ciutan burung-burung yang biasa kudengar di sore hari mulai tidak terdengar dari kejauhan.
x Chapter II | END x
*) Bukan maksud saya untuk menghapus komentar anda. Sudah saya tekankan berkali-kali untuk meminta ijin dan memperoleh ijin tersebut, sebelum posting komentar yang menjurus ke link lain. Ini bukan tempat yang anda bisa seenaknya promosikan 'jualan' anda atau apapun itu.
*) Terima kasih banyak kepada Kiminovel, Baka-Tsuki, dan banyak sekali web atau blog (yang tidak cukup jika saya ucapkan satu-persatu) yang sudah menaruh link blog saya di halaman mereka. I love you you guys!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar