Shinokawa duduk di kursi belakang penumpang van. Dia duduk seakan-akan berusaha untuk tidak melihat dan mendengarkan percakapan kami, mungkin dia merasa tidak enak untuk mendengar percakapan kami.
"Ternyata selain manis, dia gadis yang baik ya," kata Akiho.
Hanya Akiho dan diriku yang sekarang berada di lapangan parkir ini. Akiho tadi meminta ijin untuk bicara empat mata denganku, jadi Shinokawa kembali ke mobil van sendirian dan menunggu diriku disana.
"Meski dia sendiri sudah memperoleh ijin untuk datang ke rumah dan membeli buku-buku di perpustakaan, dia tidak pernah meminta kepadaku untuk menjual buku ini kepadanya, meskipun dia tahu kalau ini adalah buku langka."
Akiho mengatakan itu sambil memegang buku Kumpulan Kalimat-Kalimat Bijaksana yang dipercayakan oleh ayahnya. Akupun hanya bisa menggaruk-garuk kepalaku.
"Dia pasti punya alasan tertentu untuk melakukannya, mengesampingkan apa yang sudah dilakukannya."
"Kau memang menyukai gadis-gadis yang seperti itu."
"Apa maksudmu?"
Aku merasa kalau yang baru saja Akiho bicarakan adalah dirinya.
"Apa kau ingat sewaktu kita berdua baru saja menjadi dekat? Waktu musim panas kelas 2 SMA?"
"Eh? Yeah."
Secara perlahan, meski kebingungan, akupun mengangguk. Kira-kira kenapa dia membicarakan hal itu secara tiba-tiba?
"Kita sepakat untuk mengerjakan PR liburan musim panas kita bersama-sama, dan kita selalu bertemu di perpustakaan. Sawamoto sendiri sibuk dengan kegiatan Klubnya dan berkencan dengan pacarnya, jadi dia tidak bisa datang dan bergabung. Akhirnya, yang ada disana hanya kita berdua..."
Akiho lalu melanjutkan.
"Sebenarnya, ini sesuatu yang tidak kau ketahui. Pertemuan-pertemuan itu memang sengaja didesain seperti itu."
"Huh?"
"Aku memang merencanakan jadwal pertemuan kita di hari dimana Sawamoto tidak bisa datang. Jadi, kita berdua yang menghabiskan waktu bersama-sama sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan. Kupikir, Sawamoto sendiri pasti sedikit banyak sudah menduga hal itu."
Akiho terus melanjutkan kata-katanya, sedang air matanya mulai mengering di wajahnya.
"Aku menyukaimu semenjak kelas 1 SMA. Jantungku berdetak kencang hanya karena bahu kita saling bersentuhan ketika kau melewatiku ataupun duduk di dekatmu ketika pergantian posisi kursi di kelas. Kuharap kau menyadari perasaanku itu suatu hari nanti...Meski kau akhirnya tidak pernah menyadarinya."
"Be-Begitu ya..." akupun hanya bisa terbata-bata ketika mengatakannya.
Aku jelas-jelas tidak menyadari itu. Haruskah aku berterimakasih kepadanya karena sudah memikirkanku sebegitu jauhnya? Ataukah aku harus meminta maaf karena tidak menyadari perasaannya? Jadi, aku harus bagaimana?
"Tapi setelah kejadian itu, aku berhenti untuk bersikap pasif. Jika aku tidak menjadi aktif, maka aku tidak akan pernah memiliki peluang itu. Kau pasti akan menjadi pacar dari gadis lain."
"Kejadian? Yang mana?"
Seperti para remaja laki-laki di SMA pada umumnya, aku tidak punya banyak kisah romantis yang bisa kuceritakan. Kupikir, aku tidak dekat dengan gadis lain selain Akiho.
"Daisuke, apa kau ingat ketika bukumu ketinggalan di sekolah dan kau akhirnya harus kembali ke sekolah pada hari Minggu untuk mengambilnya kembali? Itu sebelum musim panas kita di kelas 2 SMA. Apa kau ingat apa yang terjadi ketika kau pulang sehabis mengambil buku itu?"
"...Ah."
Aku akhirnya paham apa yang dia bicarakan. Itu adalah momen dimana aku melihat Shinokawa di depan Toko Buku Biblia. Aku yakin waktu itu aku hanya bertemu dengannya tapi tidak mengobrol dengan dirinya. Kalau tidak salah, aku pernah memberitahu Sawamoto dan yang lainnya tentang itu di sekolah pada esok harinya. Yang Akiho bicarakan mungkin adalah kejadian itu.
"Sawamoto dan yang lainnya malah memaksamu untuk mengajak gadis yang kau temui itu untuk mengobrol. Kau waktu itu memang seperti tidak berani untuk melakukannya, tapi diriku serasa ingin pingsan dibuatnya...Itu seperti semacam pertanda buruk. Seperti, aku pasti akan kehilanganmu jika akhirnya kau benar-benar akrab dengan gadis itu. Akhirnya, aku bisa menjadi temanmu dan berhasil menutup jarak diantara kita sehingga muncul gosip-gosip tersebut...Semuanya itu sudah aku rencanakan."
"Uhh..."
Aku sendiri merasa terkejut, tapi di saat yang bersamaan, semua yang dia katakan benar-benar terhubung dan masuk akal. Jadi itulah alasannya mengapa Akiho terlihat sangat tenang meski gosip-gosip itu sudah beredar kemana-mana.
"Yang kuharapkan menjadi kenyataan dan kita berdua mulai berpacaran, tapi aku akhirnya menyadari sesuatu. Aku tidak bisa menceritakan tentang situasi diriku kepadamu, tentang kedua orangtuaku, tentang hubunganku yang tidak akrab dengan orangtuaku. Aku tidak bisa menceritakan masalah-masalahku ke orang lain...Persis seperti masalah ayahku."
Akiho tampak tertawa kecil untuk menghilangkan kesan depresinya. Cara tertawanya memang mirip ayahnya, tepatnya ketika almarhumah tertawa kepadaku di telepon pada bulan lalu.
"Pada akhirnya, itu juga menyeretmu ke dalamnya, dan akhirnya kita berpisah...Kupikir kita tidak akan pernah melihat lagi satu sama lain. Itu saja sudah membuatku ingin menjauh saja darimu. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Karena itulah, ketika aku mendengar dari Sawamoto kalau kau mendekati Shinokawa, aku merasa lega. Aku merasa waktu berhenti begitu saja dan egoku mulai tumbuh lagi."
Di saat yang bersamaan, kedua mataku bertemu dengan tatapan Shinokawa, yang ternyata dia sedang melihatku dari jauh. Mungkin, dia khawatir dengan waktunya. Memang, beberapa buku masih tertinggal di Rumah Keluarga Kousaka, dan kita tidak bisa meninggalkan itu terlalu lama disana.
"Yang ingin kukatakan, yaitu kuharap kau bisa menemukan kebahagiaanmu. Akan bagus sekali jika kau bisa menjadikan hubungan kita yang pernah terjadi di masa lalu sebagai salah satu batu pijakan dalam perjalanan hidupmu...Karena aku benar-benar berharap kau bisa membina hubungan yang lebih baik dengan wanita yang kau cintai. Itu saja yang ingin kukatakan, kalau begitu aku pergi dulu ya!"
Setelah mengatakan semuanya, Akiho lalu berjalan menuju mobilnya.
Punggungnya seperti hendak mengatakan kalau dia akan menolak segala hal yang kukatakan kepadanya. Karena tidak ada satupun yang bisa kulakukan, akupun kembali ke van.
Ada sesuatu yang cukup menggangu di dadaku. Akupun tidak tahu harus mengatakan apa, tapi aku merasa kalau aku sudah punya kata-kata yang tepat untuk mengatakannya.
"Akiho!"
Akiho, yang hendak masuk ke mobilnya, menoleh ke arahku.
"Waktu itu, aku tidak paham apa yang sedang kau pikirkan...Tapi meski aku tidak memahaminya, aku masih bersedia untuk bersamamu."
Kunaikkan nada suaraku untuk mengucapkan kata-kata terakhirku.
"Tapi waktu itu, aku benar-benar masih menyukaimu."
Akiho hanya berdiri seperti orang bodoh. Tentu saja, aku sendiri tidak paham apa yang baru saja kukatakan itu. Akhirnya, dia tersenyum.
"Sampai jumpa, Daisuke." dia membalasku dengan penuh semangat.
"Ah, sampai jumpa."
Setelah berpamitan, kami kembali ke mobil kami masing-masing. Meski begitu, dia mengatakan 'sampai jumpa', aku merasa kalau ini bukanlah pertemuan terakhir kami.
Setelah melihat Akiho pergi meninggalkan tempat parkir, akupun kembali ke diriku yang biasanya. Shinokawa sendiri, hanya diam sambil membuka mulutnya. Wajahnya tampak memerah, dan sepertinya akan mendidih dalam waktu dekat. Kalau kupikir lagi, ternyata aku mengatakan 'menyukaimu' setelah membuka pintu mobil.
"Maaf ya...Aku tidak sengaja mendengarnya."
"Ah, tidak apa-apa. Aku baru saja mengatakan hal-hal yang aneh ke Akiho meski kita sudah tidak lagi bersama..."
Sepertinya, jika aku berusaha menjelaskan lebih jauh, maka aku akan menggali kuburku sendiri. Kami akhirnya kembali ke Rumah Keluarga Kousaka dengan suasana mobil yang suram.
Setelah itu, kami hanya berbicara jika ada sesuatu yang benar-benar penting. Memindahkan buku-buku itu ke van tanpa mengatakan apapun. Satu-satunya momen dimana aku berhenti bekerja adalah ketika kakak Akiho memanggilku ke lorong.
"Aku tidak tahu kemana saja dirimu tadi, tapi tolong cepat bawa semuanya keluar."
"Maaf yang tadi."
Kurendahkan kepalaku sambil membawa tiga tumpukan buku. Setelah itu, aku melihat dirinya sedang memegang amplop uang di tangannya. Di salah satu sudut amplop itu, aku melihat nama Kousaka Akiho tertulis disana.
"Aku harus mengirimkan ini ke Kantor Post hari ini. Jadi tolong bereskan dengan cepat."
"Ah, baiklah."
Kira-kira kenapa ya dia mengirimkan uang ke Akiho? Terlebih lagi, kenapa harus hari ini? Aku sebenarnya tidak boleh menanyakan itu karena aku sendiri adalah orang luar, tapi aku masih penasaran dibuatnya.
"Apa kau penasaran tentang ini?"
Mungkin, tatapanku itu memberikan tanda yang sangat jelas kepadanya tentang apa yang ada di pikiranku. Dia lalu menunjukkan amplop itu kepadaku.
"Ini adalah uang dari buku-buku yang terjual hari ini. Aku akan mengirimkannya ke Akiho. Aku berusaha memberikannya kepadanya waktu dia masih disini, tapi dia sangat keras kepala dan menolaknya. Benar-benar deh, dia itu selalu memberiku masalah."
Dia lalu memasang ekspresi kesal. Ini adalah pertamakalinya bagiku melihat orang yang kesal tapi masih terlihat elegan.
"Jadi kau hendak memberinya uang penjualan buku-buku?"
"Aku sebenarnya malas untuk mengurusi uang yang jumlahnya kecil seperti ini...Meski begitu, ada saja kerabat kami yang menganggap uang ini terlalu banyak untuk diberikan ke Akiho.'
Aku langsung mengubah pendapatku tentang kakak Akiho, Mitsuyo. Awalnya, kupikir dia dan Akiho tidak akrab. Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Seperti sifat ayahnya, dia mungkin tidak mengungkapkan perasaannya dengan baik ke saudarinya karena memang sifat bawaannya begitu.
"Goura Daisuke, tolong yakinkan Akiho ya, sehingga dia tidak menolak uang ini. Mencoba mengiriminya lagi akan menjadi masalah yang merepotkan untukku."
Aku langsung memiringkan kepalaku. Kata-kata Mitsuyo seperti orang yang menganggap kalau Akiho dan diriku punya hubungan yang dekat. Memangnya Akiho pernah memberitahu kakaknya tentang kami berdua?
"Apa kau dulunya pernah kenal aku?"
"Huh? Tentu sajalah."
Dia lalu mengernyitkan dahinya seperti keheranan dengan sikapku.
"Bukannya kau dulu menemani Akiho pulang ke rumah dan dengan keras memperkenalkan dirimu dengan mengatakan 'Nama Saya Goura Daisuke'."
Lalu, dia menambahkan satu hal lagi.
"Dan juga, aku punya pendengaran yang baik."
Kupikir, suaraku tidak akan mencapai penghuni di dalam rumah, dan itu artinya posisi Mitsuyo waktu itu mungkin berada di sekitar beranda yang menghadap ke kebun. Apakah dia khawatir dengan ayahnya yang berdiri lama di jalan setapak yang terbuat dari batu? Ataukah dia sedang menunggu adik tirinya yang mungkin terlihat seperti putrinya yang masih muda?
Pastinya, hanya Mitsuyo yang tahu kebenarannya.
x Chapter II Part 7 | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar