x x x
Shinokawa dan diriku melewati sebuah SD di Onarimachi. Gerbang SD itu sangat megah, seakan-akan merasa sedang menonton sinetron tentang jaman dulu dimana Jepang masih berupa kerajaan. Menurut warga setempat, dulu disini ada kompleks villa yang sering dikunjungi oleh keluarga kerajaan.
Rumah Akiho sendiri berada di dekat SD ini. Sebuah rumah bergaya Jepang yang mencolok, dengan atap berwarna abu-abu. Tidak ada yang berubah sejak terakhir kalinya diriku kesini. Kuparkir mobilku di salah satu sudut di dekat pintu masuk gerbang utama. Shinokawa sendiri berjalan menggunakan tongkat sebagai alat bantunya, dan derap langkahnya terlihat tidak stabil ketika keluar dari mobil. Sepertinya, berjalan di jalan setapak yang terbuat dari batu akan memberinya masalah yang serius.
"Apa kau tidak apa-apa?"
"A-Aku tidak apa-apa."
Secara perlahan, aku berjalan di samping Shinokawa. Rencananya, aku akan jaga-jaga di dekatnya seandainya saja dia jatuh.
Sudah lama sekali sejak terakhir kalinya aku melihat kebun dengan rusa-rusa yang berlarian dan dihiasi lampion batu ini. Seperti kesan pertamaku ketika datang kesini, siapapun yang tinggal disini pasti keluarga yang sangat kaya. Kalau kau cermati danau yang ada disini, maka kau akan bisa melihat kumpulan ikan mas yang berenang di air.
"Kira-kira, mengapa ya pemiliknya memilih untuk menjual ke toko kita?"
Shinokawa menggumamkan itu sambil melihat ke arah kedua kakinya.
"Apa maksudmu?"
"Banyak sekali Toko Buku Bekas di sekitar sini. Kenapa dia memilih toko kita?"
"Katanya, itu wasiat dari almarhumah pemilik buku itu sebelumnya. Apa dulunya si pemilik sebelumnya pernah menjual buku-buku ke kita?"
Ayah Akiho ini pemilik sebuah franchise restoran di propinsi ini, tapi dia jatuh sakit dan hanya berada di rumahnya dalam beberapa tahun belakangan. Menurut gosipnya, dia adalah orang yang cerewet dan suka memberikan instruksi detail tentang menangani perpustakaan pribadinya.
Proses penanganan warisan dan aset pasti akan diurus dengan cepat setelah proses pemakaman selesai dan kini semuanya sudah selesai. Properti-properti ayahnya pasti akan dibuatkan daftar berikut harga-harganya. Barang-barang yang tidak memiliki nilai yang jelas akan dikesampingkan dulu untuk sementara. Dugaanku, mereka merasa kalau mengurusi properti yang berada di perpustakaan adalah sebuah masalah yang kompleks.
Aku tidak mendapatkan info-info detail tentang judul koleksi buku apa yang hendak dia jual. Akiho hanya menyebutkan kalau ada beberapa novel sejarah, dan selain itu dia tidak tahu jenis-jenis buku yang lainnya. Dia juga bilang kalau dia tidak punya kerabat yang tahu banyak tentang buku.
"Aku sendiri tidak yakin kalau aku pernah bertemu dengan almarhumah, tapi ada kemungkinan kalau beliau itu adalah pelanggan toko ketika Ayahku masih mengurusi toko."
Kami berdua berhenti di depan pintu masuk.
Tidak ada tanda-tanda adanya penghuni di dalam gedung
Apa Akiho yang memainkannya?
Aku tidak pernah dengar kalau dia mengambil les piano, tapi itu tidak mengejutkanku kalau dia punya sisi lain yang tidak kuketahui setelah lama tidak bertemu. Ini adalah alunan lagu yang indah dengan tempo yang lambat.
Shinokawa yang berdiri di depan pintu geser, menekan tombol bel rumah. Musik dari piano tiba-tiba berhenti dan mulai terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah pintu.
Sesosok orang mulai terlihat dari balik kaca pintu. Pintu geser terbuka dan orang yang berdiri disana adalah...
...Bukanlah Akiho.
"Buset?!"
Seorang wanita berusia 40-an dengan rambut yang sedikit beruban, memakai kimono datar berwarna coklat dengan ikat pinggang berwarna abu-abu, berdiri disana dan menatap ke arah kami. Ekspresi wajahnya sangat tajam dan tatapannya benar-benar tegas.
"Boleh tahu ada keperluan apa?"
Dia menanyakan itu dengan tegas. Sulit rasanya membayangkan kalau wanita ini adalah orang yang baru saja memainkan musik yang indah barusan. Kau bahkan tidak bisa menduganya hanya dari melihat tampilannya saja.
Shinokawa mengambil satu langkah ke depan dan menundukkan kepalanya. Setelah itu, dia mengatakan sesuatu dengan wajah yang memerah.
"Terima kasih sudah menyambut kami dengan ramah. Kami berdua berasal dari Toko Buku Antik Biblia, kami datang kesini untuk membeli buku-buku si pemilik rumah."
Aku sendiri ragu menyebut sikap wanita ini sebagai sikap yang ramah, tapi kurasa tidak masalah kalau hanya sekedar basa-basi.
"Ah, jadi kalian ya orang yang diminta Akiho untuk datang."
Meski sekilas, aku melihat sebuah perasaan tidak nyaman ketika wanita ini menyebut nama Akiho. Aku tidak tahu mereka berdua punya hubungan yang semacam apa, tapi sepertinya mereka berdua tidak memiliki hubungan yang akrab.
"Silakan masuk, lewat sini."
Dia mempersilakan kami untuk masuk ke dalam rumah. Dengan dibantu tongkat, Shinokawa secara perlahan melepas sepatunya dan menaruhnya di dekat pintu.
"Pasti susah ya kalau punya kaki yang bermasalah."
Dia mengatakan itu dengan santainya seperti sedang meminta Shinokawa untuk cepat-cepat.
Shinokawa dan diriku sekarang berada di dalam rumah dan wanita berkimono ini mulai memandu kami di lorong.
"Buku-buku tersebut ada di perpustakaan yang ada di depan." Dia mengatakan itu tanpa menoleh ke arah kami berdua.
"Uh...Umm jika diperbolehkan, kami ingin menyalakan dupa untuk mendoakan almarhumah...Apa tidak apa-apa?"
Wanita yang memakai kimono ini tiba-tiba menoleh ke arah kami dan menatap kami dari balik bahunya. Ekspresinya benar-benar tidak bisa dibaca, sangat sulit menerka apa yang sedang dipikirkannya.
"Terima kasih atas kebaikan dan simpati anda. Saya akan menunjukkan tempatnya."
Dia kemudian membuka pintu geser yang berada di sampingnya dan masuk ke dalamnya. Ruangan ini bergaya Jepang. Ada sebuah jendela besar mengarah ke kebun. Kami bisa melihat kolam ikan dan batu-batu hias dari tempat kami berdiri.
Ruangan tokonoma ini memiliki sebuah altar besar. Ada sebuah tempat berdoa yang memiliki abu dari almarhumah, biasanya ditaruh disana selama periode tujuh minggu sejak meninggalnya beliau.
[note: tokonoma adalah ruangan utama dalam rumah tradisional Jepang, biasanya dipakai untuk ruang tamu. Anda bisa mengenalinya dengan mudah, biasanya ada ruangan kecil untuk menaruh guci, hiasan bunga buatan tangan, benda-benda pusaka, ataupun altar untuk berdoa.]
Karena banyaknya bunga-bunga yang berada di altar, foto dan tempat abu almarhumah sangat sulit untuk dilihat. Dulu, setelah nenekku meninggal, altar yang serupa juga dibuat di rumahku, jadi aku tidak begitu terkejut dengan pemandangan ini. Hanya saja, tampilan altar untuk orang kaya dan orang seadanya seperti keluarga kami memang terlihat jelas.
Kami berdua duduk di depan altar untuk membakar dupa. Karena Shinokawa statusnya adalah pemilik toko, maka Shinokawa mendapat giliran pertama. Ketika tiba giliranku, kurendahkan kepalaku di depan altar dan melihat ke arah foto almarhumah. Ini mungkin pertamakalinya aku berani melihat langsung wajah ayah Akiho.
"Buset?!"
Secara spontan, aku mengatakan itu. Orang yang ada di foto adalah seorang pria beruban yang memakai baju tradisional Jepang. Tulang pipinya memang agak mirip dengan wanita yang berkimono tadi, tapi bentuk matanya yang sipit itu memang mirip Akiho. Ekspresi wajahnya jauh terlihat ramah daripada terakhir kali aku melihatnya. Ini adalah orang yang berdiri di halaman rumah ketika aku menemani Akiho pulang malam itu.
"Goura-san."
Shinokawa memanggilku dengan lemah. Kesadaranku-pun kembali. Kuselesaikan proses mendoakan ini, berdiri, dan meninggalkan area altar. Jadi pria tua yang kutemui tempo hari itu benar-benar ayah Akiho. Dia mungkin berusia 60, tidak, mungkin 70 tahun ketika aku pertamakali bertemu dengannya.
"Apa ada sesuatu dengan ayahku...?"
Suara dari wanita berkimono yang sedang berdiri di sampingku terdengar olehku. Akupun mengatakan sesuatu.
"Ah, tidak ada apa-apa. Maaf."
Kami kemudian meninggalkan ruangan bergaya Jepang itu dan berjalan menuju perpustakaan. Suara hentakan tongkat dari Shinokawa menggema di lorong. Aku sendiri yang berjalan di belakang kedua wanita di depanku, mulai memikirkan situasi dari keluarga Akiho.
Wanita yang memakai kimono ini baru saja memanggil almarhumah dengan sebutan ayah. Dia tidak cukup tua untuk bisa disebut Ibu dari Akiho, dan itu menyisakan satu kemungkinan, yaitu dia ini mungkin adalah kakaknya. Tentunya, mereka punya Ibu yang berbeda, dan itu membuat status mereka seperti setengah saudara.
Aku kini mengerti mengapa Akiho tidak begitu akrab dengan kerabatnya, dan mengapa dia pergi begitu saja pada acara makan malam setelah pemakaman. Dia pernah bilang kalau orangtuanya sudah tidak lagi bersama, tapi dia tidak pernah bilang apakah mereka bercerai atau bagaimana. Bagaimana jika...
"Untung saja saya ingat, ada sesuatu yang saya ingin kalian waspadai."
Wanita yang berkimono itu berhenti tepat di depan sebuah pintu yang berada di ujung lorong dan membalikkan tubuhnya. Sepertinya, perpustakaan berada di balik pintu tersebut.
"Saya dulu pernah mendengar ayah berbicara kepada kenalannya di telepon. Sepertinya ada sebuah buku yang berharga ratusan ribu Yen diantara koleksi yang berada di perpustakaan. Kami sendiri tidak tahu buku yang mana, tapi kalau kalian menemukan bukunya, tolong berikan penilaian kalian tentang buku itu."
Dia mengatakan itu sambil menatap tajam ke arah kami berdua. Sangat jelas kalau dia hendak mengatakan kepada kami kalau dia tidak akan memaafkan kami jika kami menyebut harga buku itu kurang dari harga pasarannya.
Caranya mengatakan itu benar-benar terasa tidak menyenangkan. Terutama bagi seseorang yang mengetahui informasi itu dari menguping secara diam-diam percakapan telepon ayahnya.
"Tentu saja, kami akan berhati-hati untuk masalah itu."
Shinokawa mengatakan itu dengan suara yang jauh lebih lembut dari biasanya. Seperti biasanya, dia mengatakan itu dengan perlahan, tapi entah mengapa dia tampak sangat antusias hari ini.
"Oh, aku sangat menghargai itu."
Merasa puas akan jawabannya, kakak Akiho membukakan pintunya. Ruangan ini sangat luas dan bergaya barat, dengan lantai yang terbuat dari kayu. Suasana ruangannya terasa remang-remang, dengan pencahayaan dari matahari yang sangat minim. Untuk melindungi koleksi buku mereka agar tidak rusak oleh cahaya matahari, banyak orang yang membuat posisi perpustakaan mereka menghadap ke arah utara.
Tiga sisi dinding ruangan ini memiliki rak-rak buku. Juga ada beberapa kardus yang ditumpuk di atas lantai. Akiho sendiri sedang ada di ruangan ini, mengambil beberapa buku dari kardus tersebut ketika kami berjalan masuk ke ruangan. Rambutnya diikat agar memudahkannya beraktivitas dan dia memakai sweater bergaris dikombinasikan dengan jeans. Ini jauh lebih cocok dengan dirinya daripada dress yang dia pakai tempo hari.
"Ah, Daisuke, kau sudah datang ya."
Dia lalu berdiri dan menatap ke arah Shinokawa.
Entah mengapa, aku merasa kalau aku harusnya segera kabur dan meninggalkan tempat ini.
"Terima kasih telah memanggil kami. Nama saya
"Shinokawa Shioriko, benar tidak?" kata Akiho, seperti hendak mengkonfirmasi.
"Be-Benar."
"Aku Kousaka Akiho. Dulunya, aku teman sekelas dari Daisuke." Akiho mengatakannya sambil menatap ke arahnya.
Shinokawa hanya terdiam, hanya menatap ke arah lantai ruangan ini. Dia tampak mulai kurang nyaman dengan situasi ini. Sedang Akiho sendiri hanya tersenyum.
"Ternyata dia manis juga. Cocok denganmu, Daisuke."
Kenapa dia membuatku berada dalam posisi ini? Aku harus bereaksi seperti apa?
"Ruangan ini sangat berdebu. Akiho, setidaknya buka jendelanya."
Wanita yang memakai kimono itu tampak kurang senang dan berbicara.
Di ruangan ini ada beberapa tumpukan besar dari kardus-kardus yang ditumpuk begitu saja di lantai. Debu-debu itu pasti berasal dari kardus-kardus ini.
"Ini kan cuma masalah jendela saja, kenapa tidak kau buka saja sendiri?"
Akiho tersenyum dan merespon kakaknya tanpa sedikitpun menoleh ke arahnya.
"Kau ini selalu komplain tapi tidak pernah melakukan sesuatunya." tambah Akiho.
Aku merasa kalau suhu dalam ruangan ini tiba-tiba berubah menjadi dingin. Ini membuaku memikirkan permainan pianonya barusan. Kakaknya sedang menikmati permainan pianonya, sedang Akiho sendiri disini bergumul dengan debu.
"Sungguh absurd. Kaulah yang disuruh ayah untuk menangani koleksi buku-bukunya. Kau juga yang memberitahu ayah soal Toko Buku itu, apa kau lupa?" wanita yang berpakaian kimono itu tampak tidak terpancing emosinya dan menjawabnya dengan santai.
"Kau ini benar-benar suka menguping pembicaraan orang. Kebiasaan yang buruk sekali." Senyum Akiho tiba-tiba menghilang. Dia tidak mau kalah ke kakaknya dalam hal ini.
"Aku hanya kebetulan saja punya pendengaran yang bagus. Kau dan ayah selalu berbicara dengan keras dan berakhir dengan perdebatan setiap kali bertemu."
Tiba-tiba, kakaknya menyadari kalau ada orang luar yang berada di ruangan ini. Dia lalu menatap ke arah kami dan memasang ekspresi meminta maaf.
"Maaf karena kami sudah menunjukkan sesuatu yang tidak pantas kepada kalian, kuharap kejadian tadi tidak membuat kalian merasa kurang nyaman."
Mustahil lah!
"Ngomong-ngomong, kuserahkan ini kepadamu. Tolong beritahu aku harga buku yang itu setelah mereka menemukan dan menilainya. Jangan lupa, jangan sampai salah harga."
"Aku tahu itu, Mitsuyo."
Kakak dari Akiho, Mitsuyo, tersenyum sinis sambil berjalan meninggalkan ruangan ini. Akiho sendiri, meresponnya dengan sinis. Ekspresi keduanya memang mirip satu sama lain.
Sambutan luar biasa dari tuan rumah sudah berakhir, dan kami bertiga ditinggalkan begitu saja di ruangan ini. Akiho lalu menatap kami berdua dan menundukkan kepalanya.
"Kalian harusnya tidak perlu disuguhi adegan tadi. Maaf ya."
"Tidak, tidak, tidak apa-apa."
Meski mengatakan itu, Shinokawa masih belum bisa menyembunyikan keterkejutannya. Kami ini datang kesini hanya berniat untuk membeli buku. Jadi dia tidak menduga kalau akan disuguhi argumen panas antara anggota keluarga.
"Apa setiap harinya seperti itu jika bersama kakakmu?"
"Sudah sedari dulu selalu seperti ini. Eh, tahu tidak, aku ini sebenarnya anak diluar nikah dari ayahku."
Kamipun terdiam. Terdengarlah suara alunan piano, berasal dari rumah ini yang berada entah dimana. Mitsuyo kini melanjutkan konsernya dengan lagu yang berbeda.
"Ini pertamakalinya aku tahu soal ini."
"Huh? Benarkah?"
Cara dia mengatakannya tadi benar-benar sesuatu yang baru bagiku. Akiho yang kukenal di masa lalu, tidak akan mau menceritakan itu dengan santainya. Dia tidak akan memberitahuku soal ini bahkan ketika kami sedang berpacaran dulu.
"Meski begitu, tapi dia itu mendingan jika dibandingkan anggota keluarga yang lain. Dia itu tidak menggosipkan orang, dan selalu mengatakan blak-blakan di depan orangnya langsung. Misalnya, membicarakan masalah uang."
Ada sesuatu yang terpikirkan olehku. Karena ayah Akiho meninggal, pasti akan ada masalah dengan warisannya. Kalau dia tidak akrab dengan kerabatnya, mustahil masalah warisan ini akan berakhir dengan damai. Kakak Akiho pasti akan meminta semuanya untuk dinilai dengan teliti karena perpustakaan termasuk bagian dari hal yang akan diwariskan.
"Karena itulah, bisakah aku meminta kalian untuk menilai buku-buku ini?" Akiho menanyakan itu ke Shinokawa.
"Te-Tentu saja."
"Sebelum itu, apa kalian butuh-butuh sesuatu untuk memperlancar pekerjaan kalian disini?"
"Ti-Tidak, sebenarnya tidak ada."
Shinokawa, yang sedari tadi mencari-cari sesuatu dalam tasnya, tiba-tiba terdiam. Sepertinya dia kesulitan untuk menemukan sesuatu. Setelah mencari-cari di tasnya, dia mengatakan sesuatu dengan nada yang kecewa.
"Maafkan aku...Umm...Kalau tidak keberatan, aku umm...Lupa untuk membawa buku untuk mencatat."
Apa lupa buku catatan semacam itu bisa membuatnya terlihat sesedih itu?
Akiho lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Oke. Aku akan cari dulu ya."
Dia lalu berjalan pergi menuju lorong. Setelah sampai di pintu keluar, Akiho menatapku sejenak.
"Selamat bekerja ya, Daisuke-kun."
Setelah itu, Akiho menutup pintunya. Suaranya, yang baru saja memanggilku, masih menggema di ruangan ini.
"Daisuke-kun."
"Eh? Ada apa?"
"...Itu kan cara dia memanggilmu, benar tidak? Goura-san." Shinokawa langsung mengatakannya.
Sejenak, kupikir tadi Shinokawa sedang memanggil nama depanku.
"Ah, dia itu..."
Akiho memang satu-satunya orang yang terbiasa memanggilku dengan nama itu ketika kami masih di bangku sekolah. Lebih tepatnya, dia mulai memanggilku dengan nama itu setelah kami resmi berpacaran.
"Oh, begitu ya. Apa itu hanya karena kau pernah sekelas dengannya di SMA?" tanya Shinokawa, terus memintaku untuk memberinya informasi.
Dia menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dari balik lensa kacamatanya.
Kuputuskan untuk memberitahunya saja. Siapapun pasti tahu ada apa diantara kami berdua jika mengamati dengan seksama. Aku bukannya tidak mau membicarakan itu, tapi ini juga bukanlah sebuah rahasia yang harus ditutup-tutupi.
"Sebenarnya, aku pernah berpacaran dengannya. Kami berpacaran hingga tahun pertama kuliah."
Setelah mengatakannya, kedua matanya terbuka lebar. Wajahnya lalu tampak memerah.
"Ehh? Jadi begitu ya?"
Suaranya tampak terputus-putus. Mau dilihat dari manapun, dia jelas-jelas terkejut. Dia ternyata tidak sadar dengan hubungan kami selama ini. Ketika dia membahas tentang buku, dia tidak akan mencermati semua detail kecilnya.
"Ma-Maaf ya...Aku bukannya ingin tahu atau semacamnya..."
"Tidak apa-apa, aku memang memutuskan untuk memberitahumu."
Aku merasa tidak enak mengatakan ini dengan jujur, tapi ada sesuatu yang terasa aneh
"Memangnya, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?"
"Bukan begitu, hanya saja aku selalu masuk ke sekolah dimana semua siswanya adalah para gadis...Dan aku selalu membayangkan apakah orang-orang yang masuk sekolah multi-gender selalu memanggil sesamanya yang berlawanan gender dengan nama depannya. Tapi kurasa itu tidaklah wajar."
Shinokawa menundukkan wajahnya untuk menutupi rasa malunya.
"Bisa memanggil nama depan dari seorang pria terdengar hal yang menyenangkan. Tapi aku sendiri tidak pernah punya kesempatan untuk melakukannya..."
Apa yang dia maksud dengan tidak punya kesempatan? Apakah ini artinya dia tidak pernah sekalipun memanggil nama depan dari seorang pria?
"Shinokawa-san, apa kau pernah berpacaran?"
Entah mengapa, aku merasa kalau ini momen yang tepat untuk menanyakan itu. Jika bisa, aku ingin menanyakannya dengan kata-kata yang lebih halus lagi.
"Maksudmu...aku?" Shinokawa menunjuk ke dirinya sendiri dengan jari telunjuknya.
Itu adalah bahasa tubuh yang menandakan kalau dia tidak begitu mengerti akan pertanyaan dariku. Akupun mengangguk, dan rambutnye bergoyang seperti putaran angin ketika dia menggelangkan kepalanya.
"Mustahil itu!...Aku!?...Itu sangat absurd..."
Dia sebenarnya tidak perlu menjawabnya sejauh itu sampai mengatakan absurd, tapi ini meyakinkanku kalau dia belum pernah berpacaran dengan siapapun. Akupun merasa lega. Memangnya, dia suka pria yang seperti apa? Apa saat ini dia punya orang yang dia sukai? Aku ingin untuk menanyakan itu kepadanya, tapi...
"Achoo!"
Suara bersin dari Shinokawa terdengar, membuatku kehilangan momen itu. Kalau dipikir-pikir, Akiho tidak membuka jendelanya sama sekali. Aku bahkan bisa melihat debu-debu yang beterbangan di ruangan ini.
"Bagaimana kalau kubuka jendela ruangan ini?"
"Ah, tidak usah, tidak apa-apa." dia mengibas-ngibaskan tangannya.
"Ya sudah, bagaimana kalau kita mulai saja pekerjaan kita?"
x Chapter II Part 3 | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar