x x x
Di akhir pekan, kami menutup toko tersebut,
dan dua hari telah terlewati.
Esok paginya, kami buka kembali, dan kami
disibukkan oleh rutinitas kami. Mengesampingkan fakta kalau ini masih awal
pekan, terjadi tiga pembelian besar-besaran yang dilakukan oleh para pelanggan,
mereka pulang dengan membawa buku-buku yang memenuhi ruang di mobil mereka.
Banyaknya pelanggan membuat kami sibuk sepanjang hari. Setelah kesibukan itu
mulai mereda, tanpa sadar ternyata matahari sudah mulai tenggelam.
Kosuga
harusnya akan datang sebentar lagi.
Aku memikirkan itu sambil menaruh buku-buku di rak
buku yang sedang kosong.
Aku sudah memberitahu Kosuga tentang
permintaan Shinokawa melalui percakapan telepon kemarin. Dia juga menanyaiku banyak sekali pertanyaan
soal itu, tapi karena aku sendiri juga tidak paham tentang apa yang dia maksud,
aku hanya menjawab “tidak tahu”. Setelah
menggerutu dan komplain panjang lebar, dia akhirnya setuju untuk membawa itu ke toko.
Seperti biasanya, Shinokawa hari ini sedang
“bersembunyi” di balik tumpukan buku. Mungkin hanya sekedar imajinasiku saja,
tapi tumpukan buku-buku yang berada di dekat meja kasir tampaknya terasa lebih
tinggi dari biasanya. Setelah makan siang, Shinokawa yang kembali dari rumah
terus melakukan kegiatan penilaian dan melayani pemesanan lewat internet.
Sebuah siulan yang cukup aneh tiba-tiba
terdengar di toko yang sunyi ini. Sepertinya, itu berasal dari Shinokawa.
Dia mungkin sedang mengerjakan sesuatu yang
menyenangkan dan tanpa sadar mulai bersiul. Kutaruh buku terakhir ini di rak
buku dan kembali ke arah kasir. Aku sudah punya dugaan tentang apa yang dia
kerjakan, tapi aku masih ingin memastikan itu dengan kedua mataku.
Secara perlahan, aku mengintip dari balik
tumpukan buku-buku itu dan melihatnya sedang duduk di depan komputer sambil
membaca buku. Dia seperti sedang menghayati buku tersebut sehingga tidak
menyadari kalau aku sedari tadi sedang melihat ke arahnya. Karena mengharap
dirinya untuk sadar kalau aku kehabisan
pekerjaan ternyata tidak efektif, aku mulai mengatakan sesuatu.
“Umm...”
“HAH!?”
Dia melompat dan memalingkan tubuhnya, dengan
ekspresi yang terkejut. Bibirnya yang setengah terbuka tampak mulai mengkerut
dan dia tiba-tiba secara terburu-buru menutup bukunya. Dengan cepat, dia
kembali duduk di kursinya. Buku yang sedang dia baca adalah karya dari ursula
K. Le Guin, dengan judul “Sangat jauh
dari siapapun” yang diterbitkan oleh Shueisha.
“A-Aku sedang bekerja...”
Dia mengatakan itu dengan nada yang tidak meyakinkan
sama sekali.
Dia harusnya tidak punya alasan untuk
mencari-cari alasan yang hendak dia katakan ke pekerja paruh waktu sepertiku.
Malahan, itu membuatku merasa bersalah.
“Maaf, aku baru saja selesai menaruh kembali
buku-buku yang di rak.”
“Ah,
baiklah. Kalau begitu, selanjutnya kau ambil buku-buku yang disana dan...”
Tepat ketika Shinokawa memegangi kruk
alumuniumnya untuk berdiri –
“Aku kembali!”
Seorang gadis SMA yang berisik tiba-tiba
membuka pintu kaca dan masuk ke dalam toko. Dia memakai seragam yang sama
dengan Kosuga Nao dan kulitnya agak sedikit gelap meskipun ini sudah masuk
musim gugur. Rambutnya diikat dengan model ponytail.
Dia mungkin terlihat seperti gadis dari
negara beriklim tropis, tapi dia sebenarnya adalah adik si pemilik toko,
Shinokawa Ayaka.
Sangat langka melihatnya muncul di toko
setelah jam pulang sekolah. Biasanya, dia langsung ke rumah lewat pintu
belakang.
“Aya, selamat datang.”
Shinokawa tersenyum ke arah adiknya dan
membuka tangannya yang tidak memegang kruk lebar-lebar. Kumiringkan kepalaku
untuk membayangkan apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba Shinokawa
Ayaka berlari ke arahnya dan memeluk
kakaknya.
Dia sedikit lebih tinggi dari kakaknya.
“Uwaah Onee-san!”
Ayaka mengatakan itu sambil merengek-rengek
dan menggosokkan pipinya di leher Shinokawa. Mereka berdua tampak tersenyum.
Aku yang sedari tadi menontonnya, mulai merasa malu dengan pemandangan itu. Apa sih yang barusan itu?
“Oke, saatnya untuk membuat makan malam.”
Lima
detik kemudian, Ayaka melepaskan pelukan ke kakaknya itu seperti tidak terjadi
apapun.
“Sampai jumpa ya, Goura.”
Dia menyapaku sebentar sebelum pergi ke
rumah.
“Apa...Apa yang barusan itu?”
Aku menanyakan itu ke Shinokawa ketika hanya
ada kami berdua di toko. Kalau dipikir-pikir, aku memang jarang melihat
Shinokawa bersaudara yang sedang bersama-sama. Apakah ini sesuatu yang selalu
mereka lakukan?
“Apa itu semacam sapaan...?”
Shinokawa mengedipkan-ngedipkan matanya
karena kebingungan.
“Apa kalian saling menyapa seperti itu setiap
harinya?”
“Eh? Memangnya kau tidak melakukan hal yang
serupa ketika di rumah?”
Dia mengatakan itu seolah-olah itu adalah hal
yang paling wajar di dunia ini. Apakah berpelukan ini sudah menjadi semacam
budaya bagi masyarakat Jepang tanpa aku sadari?
“Tidak, kami tidak melakukan itu di rumah.”
Rumah keluarga Goura hanya berisikan aku dan
ibuku. Kami berdua memiliki semacam hubungan yang tidak normal. Kalau kami
berpelukan ketika aku masih muda, mungkin terasa masuk akal. Tapi, kalau kita
melakukannya saat ini, mungkin akan terlihat seperti semacam pertandingan sumo
bagi orang luar.
“Begitu ya...”
Suaranya terdengar melemah.
“Adikku dan diriku sudah melakukan itu sejak
lama...Karena orangtua kami sudah tidak ada lagi.”
“Eh?”
Pemilik toko yang sebelumnya, ayah dari
Shinokawa bersaudara, meninggal tahun lalu. Dia pasti menyadari ekspresi
wajahku yang mulai hendak meminta maaf karena dia tiba-tiba tersenyum dan
mengklarifikasinya.
“Ah, tentunya, dia memang sudah tidak ada
disini lagi, tapi dia bukanlah tipe orang yang akrab dengan putri-putrinya.”
Aku mulai merasa kurang nyaman. Mungkin
seperti itu dengan ayahnya, tapi –
“Bagaimana dengan ibumu?”
Kalau dipikir-pikir, aku belum pernah
mendengar cerita tentang ibu dari Shinokawa. Aku merasa kalau dia belum pernah
menceritakan apapun tentang ibunya.
“Sepuluh tahun lalu...”
Dia tidak melanjutkan penjelasannya sehingga
aku tidak tahu ada apa dengan ibunya. Mungkin dia tidak mau membahasnya. Kalau
begitu, itu artinya ibunya sudah tidak ada lagi di dunia ini.
“Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membuatmu
teringat akan hal itu.”
Akupun mulai menutup topiknya.
“Tidak apa-apa...”
Aku kehilangan peluang untuk melanjutkan obrolannya
dan kesunyian yang tidak wajar mulai terjadi.
Di momen itu, kami mendengar suara yang
berisik, suara langkah kaki yang gaduh terdengar mendekat. Pintu yang menuju rumah terbuka, dan
Shinokawa Ayaka muncul kembali. Sepertinya, dia sedang ditengah-tengah
kegiatannya untuk berganti pakaian, karena kakinya hanya memakai sebelah kaos
kaki.
“Hampir lupa. Tolong terima ini. Ini dari
Kosuga.”
Dia mengatakan itu, sambil menyerahkan tas
karton ke tanganku. Tasnya tidak disegel, tapi aku sendiri tidak akan heran
jika di dalam tas ini ada semacam hadiah.
Kumiringkan kepalaku.
“Dari Kosuga?”
“Kau kan
kenal dia, itu tuh si Kosuga Nao,
benar tidak? Dia ada keperluan mendadak hari ini sehingga memintaku untuk
memberikan ini kepadamu.”
“Bukan itu maksudku. Apa kau ini kenalannya
Kosuga?”
Aku pernah dengar dari Kosuga kalau dia tidak
pernah berbicara dengan adik Shinokawa. Mereka seangkatan, tapi di kelas yang
berbeda.
“Aku kenal dia beberapa tahun lalu. Dia cukup
keren, makanya dia menjadi gadis populer. Aku kenal dia waktu kita sama-sama di
Kepanitiaan Festival Budaya. Ternyata kita berdua berasal dari SD yang sama,
tapi berbeda ketika SMP.”
“Oh, jadi begitu.”
“Ah, begitu ya.”
Itu artinya, mereka berdua dulunya tinggal di
pemukiman yang berdekatan, sehingga tidak aneh kalau mereka sekolah di tempat
yang sama. Meskipun kau jarang berbicara dengan orang itu, kau mungkin akan
merasa kalau sering melihat orang itu, entah dimana.
“Waktu kelas 1 SMA dulu, kita sekelas loh, keren kan!?”
“Tidak, kalian berdua harusnya menyadari itu
lebih cepat.”
“Ngomong-ngomong, dia berpesan kalau kau harus
memperlakukan ini dengan serius, atau dia akan menghajarmu hingga babak belur.
Well, kurang lebih seperti itu.”
Sambil tersenyum, setelah dia mengatakan
pesan yang menjengkelkan itu, dia kembali lagi ke rumah. Harusnya, dia tidak
perlu melakukan sesuatunya sambil berlarian seperti itu.
“Boleh aku melihatnya?” tanya Shinokawa.
Untunglah, akhirnya suasananya kembali
normal. Aku berikan tas itu kepadanya dan dia mengambil isinya. Sebuah buku
karya Anthony Burgess, A Clockwork Orange,
terbitan Hayakawa Publishing.
Jadi inilah edisi A Clockwork Orange yang diminta oleh Kosuga Yui kepada kakaknya.
Ini adalah buku baru, dimana aku bisa mencium aroma kertas cetakan yang masih
baru, dan ada tulisan [Edisi Lengkap] tertulis di sampulnya.
“Seperti dugaanku, ada chapter terakhir di
edisi buku yang ini,” kataku.
Shinokawa lalu membuka halaman demi halaman
tanpa mengatakan apapun. Kami bisa mengkonfirmasi edisi buku mana yang dimiliki
oleh Kosuga Yui, tapi misterinya masih belum terpecahkan: Kenapa dia tidak menuliskan satu hal-pun tentang chapter terakhir buku
ini di laporannya?
“Sudah kuduga.”
Aku mendengarkan kata-katanya yang pelan.
Sambil membiarkan buku itu tetap terbuka, Shinokawa lalu berhenti membalik
halaman tersebut.
“Aku tampaknya punya dugaan tentang apa yang
sedang terjadi.”
“Eh?”
Akupun meresponnya.
“Apa kau tahu sesuatu?”
Dia menunjuk ke sebuah kertas yang terlipat,
berada diantara halaman buku itu dan terlihat seperti sebuah penanda buku.
Di kertas tersebut ada text yang bertuliskan “Kartu
Request Buku-Buku Hayakawa”, lalu disitu ada nama distributor dan toko yang
menjualnya. Juga, judul buku tersebut tercetak di samping barcode. Dia memegang
ujung kertas itu dan menunjukkannya kepadaku.
“Kau tahu apa ini?”
“Err...Sepertinya aku pernah melihatnya,
tapi...”
Yang aku tidak paham, mengapa dia menanyakan
itu.
“Slip kertas ini, adalah hal yang sangat
penting dalam pencatatan stok buku.”
Akupun mengangguk. Masalahnya, aku tidak
paham apa hubungan ini dengan buku laporannya.
“Bahkan bagi Toko Buku Bekas, slip ini pasti
akan diperiksa secara detail. Kalau kau mendapatkan buku dengan penampilan yang
masih baru dan ternyata masih ada slip seperti ini di dalamnya, kau harusnya
mulai curiga. Biasanya, Toko Buku akan mengambil slip ini, jadi jika kau masih
melihat slip ini di buku yang dimiliki oleh pelanggan, maka ada kemungkinan
kalau buku tersebut adalah buku curian.”
Akupun terkejut.
“Ini artinya...Buku ini...”
Tidak, aku yakin kalau Nao mengatakan
kepadaku bahwa buku ini dibeli olehnya lewat Toko Buku Online. Tidak masuk akal
rasanya kalau sebuah buku yang dipesan secara online adalah hasil tindakan
kriminal.
Ataukah, ada sebuah cerita lain tentang buku
ini.
“Umm. Sebenarnya tidak harus begitu. Tidak
juga serta-merta kita anggap kalau ini adalah buku curian.”
Imajinasi liarku tiba-tiba hilang entah
kemana.
“Belakangan ini, mulai banyak Toko Buku yang
tidak menggunakan sistem slip semacam ini. Mereka memperoleh data-data yang
mereka butuhkan hanya dengan scan
barcodenya saja. Setidaknya, begitulah cara kerja Toko Buku Online yang
terkenal di internet. Kalau seandainya kejadiannya memang begitu, maka wajar
saja kalau buku yang dibelinya masih memiliki slip ini.”
“Begitu ya.”
Kalau memang begitu, maka normal rasanya jika
mendapati slip tersebut ada di buku. Terlebih lagi, cerita itu diyakinkan oleh
cerita Nao yang mengatakan kalau buku itu stoknya kosong di Toko Buku terdekat,
jadi dia terpaksa membelinya secara online.
Tapi, Shinokawa tampak masih memiliki sedikit
keraguan di wajahnya.
“Sebenarnya, ada satu hal lagi yang aku
temukan...Sesuatu yang ingin kupastikan dengan meminjam buku ini...”
Dia menyentuh slip itu dengan jari-jarinya
yang pucat. Dia tampak kurang senang dengan kesimpulan yang dia miliki saat
ini.
“Bisakah kau meminta adik Nao untuk datang
sendiri kesini? Jika bisa, aku ingin berbicara dengannya. Secara empat mata.”
x Chapter I Part 4 | END x
Tidak ada komentar:
Posting Komentar