Diselimuti kegelapan malam, aku duduk di tangga, tanpa
mempedulikan cuaca yang dingin ini. Beberapa mobil sudah lalu lalang di
depanku, tapi selain mobil-mobil tadi, tidak ada satupun lagi yang bergerak disini.
Jam pulang sekolah sudah lama sekali berlalu, jadi tidak akan kutemukan satupun
siswa disini.
Kuputuskan untuk terus duduk disini, seperti sudah
kehabiskan energi untuk berdiri. Namun, pintu kaca di belakangku ini mulai
terbuka. Aku bisa mendengar suara hentakan langkah, dan aku menolehkan
kepalaku.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang memukul kepalaku.
Tiba-tiba, ada sesuatu yang memukul kepalaku.
“Hei, jangan pakai sandal di area luar.”
Kulihat, Hiratsuka-sensei baru saja memberikan sebuah
tebasan jurus karate ke kapalaku. Akupun mulai menggaruk-garuk kepalaku, namun
dia malah menambahkan serangan tebasannya itu.
“Aku mau mengunci tempat ini. Jadi segera ambil
sepatumu.”
Memang, saat ini malam sudah cukup larut, dan aku harusnya
tidak berkeliaran di tempat ini. Aku lupa melihat waktunya, tapi aku yakin
kalau cukup lama waktu sudah berlalu sejak aku terbaring di tangga. Karena
diminta segera, aku akhirnya berdiri dan membersihkan pasir di sandalku.
Aku mulai menaiki anak tangga, dan Hiratsuka-sensei hanya
melihatku sambil menyilangkan lengannya, memastikanku kalau aku mengikuti
anjurannya itu. Setelah berjalan menaiki beberapa anak tangga, aku menoleh ke
arahnya dan mengangguk.
Lampu ruang guru sepertinya masih menyala, meski tidak
ada pengaruhnya terhadap pencahayaan area lorong sekolah. Tidak ada kesulitan
berarti dalam perjalananku karena pantulan cahaya dari luar gedung dan tanda
“exit” di pintu darurat, kesulitanku hanyalah langkah yang berat ini. Dengan
semakin larutnya malam, udara disini semakin dingin, dan aku sendiri mulai
memeluk lenganku untuk mendapatkan sedikit kehangatan.
“Hikigaya.”
Aku dipanggil dari belakang, dan kulihat Hiratsuka-sensei
mengikutiku dari belakang. Setelah kulihat lagi, dia ternyata hanya memakai
kaus kaki di kakinya, tanpa adanya sandal atau sepatu indoor. Ternyata, dia
sedang memegang sepatu outdoornya. Dia kemudian menemaniku berjalan, memakai
mantel, tanpa jas panjang putih yang sering dipakainya. Kemudian, dia menepuk
bahuku sambil tersenyum.
“Ini sudah larut malam, aku akan antar kau pulang.”
“Oh, tidak usah Sensei. Saya sudah bawa sepeda.”
“Begini, tidak usah sok sopan. Tinggalkan saja sepedamu
di sekolah.”
Ada apa sih dengan dia? Apa dia semacam Hantu Sekolah
yang mencari tumbal sepeda?
Sensei lalu mendorongku tanpa mempedulikan protesku.
Akhirnya, kami tiba di gerbang sekolah, dan menyeretku ke tempat parkir mobil.
Tempat parkir mobil hanya terdapat dua atau tiga mobil
saja disini. Salah satunya adalah mobil merk luar negeri yang terlihat mahal,
dan tidak seharusnya ada di tempat yang bernama sekolah. Sensei menekan tombol
smart-key, dan seketika lampu mobil tersebut menyala. Dia lalu berjalan menuju
mobil favoritnya itu, dan menatapku dengan serius.
“Masuk ke dalam. Halo, ini perintah!”
“Oke...”
Aku duduk di kursi penumpang dan memasang sabuk pengaman.
Kemudian Sensei duduk di kursi pengemudi, mengalakan mesinnya, dimana itu
membuat suara-suara aneh di perutku terdengar. Setelah pedal gas ditekan, mobil
mulai melaju. Akupun bersandar ke sandaran leher kursi.
Sudah lama sejak terakhir kalinya aku duduk disini, tapi
aku merasa jok kulit kursi ini terawat dengan baik dan terasa sangat nyaman.
Lapisan aluminum dari persneling tampak mengkilap, Sensei benar-benar merawat
mobilnya dengan baik.
Ini membuatku berpikir tentang mejanya yang berantakan di
ruang guru. Ketika aku hendak tertawa, aku mulai ingat kalau tumpukan dokumen
itu, sosok itu, dan bekas ramen instan tidak akan ada lagi disana, membuatku
merasa kosong dan hanya bisa diam melihat ke arah jendela.
Dalam perjalanan menuju rumahku, warna orange dari
kilatan cahaya jalanan muncul dan pergi. Hiratsuka-sensei yang sedari tadi hanya
menyetir sambil menggumamkan nada-nada lagu, tiba-tiba diam.
“Pertama-tama, kuucapkan kerja bagus di acara Malam Perpisahan.”
“Terimakasih. Tapi saya tidak begitu banyak membantu
disana.”
“Itu tidak benar. Kau sudah melakukan pekerjaanmu dengan
baik. Sebenarnya aku ingin minum-minum denganmu untuk merayakannya, sayangnya
aku menyetir hari ini.”
“Meski begitu, saya masih belum cukup umur untuk
minum-minum...”
Sensei tersenyum mendengarkan penjelasanku.
“Alasan yang bagus. Akan kutunggu realisasinya tiga tahun
lagi.”
Akupun terdiam. Aku harusnya bisa membalasnya dengan
beberapa kata, namun mulutku hanya terbuka tanpa mengatakan apapun. Sedang
musik dari sound sistem mobil ini sedari tadi memutar lagu yang mellow.
“Ada apa? Diam begitu saja malah membuatku tersinggung.”
Kata-kata tersinggungnya membuatku kembali ke realita.
“Oh, maaf. Saya kesulitan untuk membayangkan itu.”
Dia memiringkan kepalanya sambil melirik ke arahku.
“Membayangkan yang mana? Tiga tahun lagi kau akan jadi
pria dewasa? Atau tiga tahun kemudian kita masih berkomunikasi?”
Sebenarnya, ada acara minum-minum atau tidak, aku tetap
akan menjadi orang dewasa. Tapi, image kalau kau akan menjadi dewasa adalah
sebuah realita yang sulit untuk kutelan.
Bekerja dan berkeluarga, menafkahi keluarga dimana itu
bisa didapatkan selama kau bekerja keras dan punya sedikit keberuntungan. Jujur
saja, kalau yang seperti itu, aku dengan mudah bisa membayangkannya. Tapi,
apakah benar hanya itu saja yang terjadi ketika kau dewasa? Aku sendiri tidak
yakin.
Kalau orang-orang yang hanya bangga menunjukkan usia
mereka untuk membully anak kecil, maka usia dan status sosial bukanlah syarat
mutlak untuk menjadi dewasa.
Tapi, kau bisa menjalani hidup tanpa melanggar hukum atau
menyakiti orang lain. Katakanlah 10 atau 20 tahun kemudian, pasti akan ada
masanya kau menyadari jalan yang bagaimana yang seharusnya kau ambil. Tapi
kalau hidupmu sudah ditentukan kalau dalam 3 tahun kau akan jadi dewasa,
angka-angka yang semacam ini terdengar tidak realistis bagiku.
“Ya, sebenarnya keduanya sih...Tapi kalau disuruh
memilih satu, saya pikir yang terakhir tadi.”
Sulit rasanya tetap berkomunikasi dengan seseorang kalau
melihat karakter diriku. Akupun hanya bisa mengembuskan napas panjangku.
Sensei lalu menghentikan laju mobilnya karena lampu
merah. Ketika berhenti, dia membuka sedikit jendelanya, dan menyalakan rokok. Api
yang menyalakan rokok itu memberi pencahayaan terhadap postur tubuhnya di mobil
ini.
Setelah lampu berubah hijau, asap keluar dari jendela
tersebut, dan udara dingin mulai masuk bersamaan dengan pedal gas yang
diinjaknya. Setelah itu, muncul kata-kata hangat darinya.
“Kau tidak paham ya? Orang tidak bisa begitu mudahnya
melupakan sebuah hubungan. Meski kau tidak melihat satu sama lain setiap
harinya, kau akan melihatnya setidaknya sekali dalam 6 bulan, seperti
menghadiri ultah orang lain, atau minum-minum di luar.”
“Begitukah?”
Terus menatap ke depan, Sensei-pun mengangguk.
“Malahan, setelah 6 bulan sekali akan menjadi 1 tahun
sekali. Kau akan semakin jarang bertemu, sampai pada level bertemu karena
kebetulan ada acara keluarga ataupun ada reuni sekolah. Dan akhirnya, kau akan
berhenti mengingatnya lagi.”
“Begitu ya...Hmm? Tunggu dulu. Sesuatunya akan berakhir
dengan mudah, benar tidak?”
Nada bicaranya memang sangat meyakinkan, tapi kalau
dicermati lagi, ternyata mengakhiri suatu hubungan jelas lebih mudah dari yang
kubayangkan. Berdasarkan kata-katanya, hubungan antar manusia sangat mudah
berakhir.
“Itu terjadi hanya jika kau sudah berhenti.” Dia lalu
menaruh rokoknya di asbak dan tertawa. “Keberatan kalau kita sedikit
jalan-jalan?”
“Terserah Sensei saja.”
Aku tidak berhak untuk komplain karena sudah diberi
tumpangan gratis. Dia menerima gestur persetujuanku dan memutar arah mobilnya.
Kulihat dari jendela kira-kira kemana dia akan membawaku kali ini, sepertinya
berlawanan arah dari rumahku.
Hiratsuka-sensei menggumamkan sebuah lagu disertai suara
stereo mobil yang cukup kencang. Sensei lalu menginjak pedal gasnya lebih keras
lagi. Mesin mobil terdengar meraung-raung, dan lampu-lampu jalanan, lampu
penerangan mobil, dan lampu belakang mobil yang ada di kejauhan mulai disalip
dan semakin jauh tertinggal.
Di jalan ini, aku mulai lebih sering melihat truk dan
tronton di jalanan, dan kompleks industri mulai terlihat dari kejauhan.
Kemudian, Sensei memperlambat laju kendaraan dan belok kiri. Kami kemudian memasuki
sebuah area parkir yang luas, dan berhenti di dekat semacam pintu masuk.
Setelah memarkir mobilnya, dia menaikkan rem tangan, dan mematikan mesin.
Akhirnya kami tiba di tujuan kami.
“Kita sudah sampai.” katanya, sambil keluar dari mobil.
Kulihat gedungnya, sepertinya sebuah game center yang
besar. Terlihat sebuah area dikelilingi jaring berwarna hijau dan terdengar
suara-suara yang bisa kau dengar di game center. Ada area permainan
ketangkasan, darts, ping pong, lemparan bebas, simulasi golf, dan game sejenis;
Banyak hal yang bisa kau lakukan disini.
Tapi, Hiratsuka-sensei tidak mempedulikan fasilitas itu
semua dan terus berjalan ke arah tangga tengah, menuju sebuah are permainan
pemukul baseball.
“Oh, akhirnya kita bisa datang tepat waktu untuk menyewa
pemukul dari besi.”
Kulihat sebuah pamflet informasi kalau pemukul besi
digunakan di malam hari untuk mengurangi suara yang bising dari pemukul biasa.
Hiratsuka-sensei kemudian membeli koin game center,
melepas mantelnya, dan melemparkannya kepadaku.
“Pegangkan ini dulu,” katanya, sambil melipat lengan
kemejanya. Dia kemudian masuk ke area yang berjaring dan menuju batting box.
Setelah memasukkan koin, dia berdiri di sebelah kanan
kotak batter, sambil memegangi pemukulnya, dia sesekali mencoba mengayunkan
pemukulnya. Sensei sepertinya punya ayunan yang bagus. Kemudian dia menunjuk ke
depan menggunakan ujung pemukulnya, menaikkan lengan bajunya, dan memasang
posisi siap. Ohh, dia benar-benar mengingatkanku akan sebuah adegan...
Di layar monitor muncul tulisan untuk bersiap-siap...
Inilah bola pertama!
“Hatsushiba!” Hiratsuka-sensei menerikkan itu ketika
mengayun, dan terdengar suara pemukul yang berhasil mengenai bola.
Bolanya sendiri menghantam dinding belakang mesin
pelempar, dan akupun bertepuk tangan untuk menyemangatinya. Dia tersenyum
menyeringai dan memasang pose untuk bersiap-siap dengan lemparan selanjutnya.
“Hori! Saburo! Satosaki! Fukuura!”
Bolanya muncul satu persatu, setiapkali dia berhasil
memukul bola, dia memanggil nama mantan pemain Chiba Marines. Malahan, dia
meneriakkan Ootsuka, Kuroki, dan Julio Franco ketika tidak ada bola. Tidak ada
yang spesial dalam pengurutan nama pemain itu, tapi nama-nama yang dia sebutkan
itu adalah para pemain terbaik klub pada jamannya.
Dia meneriakkan nama-nama itu, tapi kekuatan ayunannya
kurang lebih sama untuk tiap nama, jadi sulit rasanya untuk menganggap ada
maksud terselubung dibalik penyebutan itu. Tapi yang kutahu, Fukuura itu batter
kidal, dan Kuroki itu seorang pitcher...Yang terpenting lagi, semua orang yang
dia sebutkan tadi sudah pensiun semua, jadi menerka usia Hiratsuka-sensei hanya
bisa membuatku garuk-garuk kepala!
Melihat bagaimana dia dengan mudahnya memukul bola,
mungkin lebih tepatnya sangat mudah
memukul bola, kontras jika melihat keterangan yang tertera di layar kalau
bolanya dilempar dengan kecepatan 130km/jam.
Orang ini gila, harusnya dia menjadi pemain profesional
saja. Kalau tidak salah, Klub Lotte Marine membuka lowongan untuk siapa saja
bisa menjadi pemain mereka?
Setelah berkeringat karena memukul 20 bola, dia akhirnya
berjalan melewati net sambil melambai-lambaikan dasar kemejanya untuk
menghilangkan keringat.
Akan bagus sekali apabila dia berhenti melakukannya,
karena ini membuatku sangat sulit untuk melihatnya...
“Hikigaya, mau coba?”
“Tidak...”
Kucoba menolak, tapi tidak bisa karena dia terlanjur
melemparkan sebuah koin kepadaku. Ini artinya aku harus segera melakukannya...
Aku tidak pernah ke tempat batting, jadi tidak perlu
bertanya lagi bagaimana pengalamanku mencoba memukul bola dengan kecepatan
130km/jam. Daripada masuk ke area dengan kecepatan seperti itu, aku malahan
masuk ke area dengan
kecepatan 100km/jam. Ketika aku mulai pemanasan untuk
mengayunkan pemukul seperti yang dilakukan Hiratsuka-sensei, aku melihat dia
sedang melipat lengannya sambil menggerutu. Dia bukannya membuatku tambah
tenang, malah membuatku tambah gugup...
Aku berdiri di area batter, dan bola pertama dilempar;
ternyata lebih cepat dari dugaanku. Kuayunkan sekuat tenaga dan tidak kena.
Bola gagal dipukul...Apa yang harus kulakukan?
Begitulah pikirku, tapi ada yang menyemangatiku dari
belakang.
“Fokuskan pandangan ke bola. Ayunkan dengan benar
pemukulnya. Posisi lenganmu terlalu keluar. Jangan berpikir kalau ujung pemukul
yang luas areanya lebih besar memberi peluang lebih baik. Lakukan pelan-pelan
sehingga kamu dapat feelingnya.”
Banyak sekali aturannya...
Kupukulkan ujung pemukulku ke tanah dan memperbaiki
posisi berdiriku. Kuikuti saran Sensei dan melakukan sebuah ayunan yang sederhana.
Kali ini, aku mendengar suara pemukul yang menghantam bola dan bola tersebut
mengarah ke sebuah pagar besi. Aku mulai merasakan bagaimana rasanya berhasil
memukul bola, kulihat Sensei mengacungkan jempolnya ke arahku sambil mengedipkan
sebelah amanya. Akupun tersenyum membalas gesturnya itu.
Baiklah, sepertinya aku mulai terbiasa...
Kusiapkan diriku untuk bola ketiga.
Setelah seluruh bola dilempar, hasilnya ada beberapa yang
tidak kena, beberapa yang hanya memantul pelan, dan beberapa kali terdengar
bunyi pemukul yang memukul bola dengan sempurna.
Setelah itu, aku, menarik napas dalam-dalam dan
melepaskannya. Ketika meninggalkan area batter, aku melihat Hiratsuka-sensei
sedang duduk di area merokok. Tangannya memegang minuman dan gorengan, sepertinya
dia membelinya di dekat sini.
“Ini.”
“Oh, terimakasih.” Kuterima Max Coffee dan duduk di
sampingnya.
“Bagaimana, sudah merasa enak sekarang?”
“Kalau menggerakkan tubuh saja sudah cukup untuk
merasakan enak, maka tidak akan ada atlet yang pakai narkoba.”
Tatapan hangatnya itu, membuatku diriku serasa malu-malu.
Dia lalu mengatakan sesuatu dengan senyum kecutnya itu.
“Kau ini tidak ada manis-manisnya, tahu tidak?”
“Ya...Tapi terimakasih Sensei sudah mengkhawatirkan saya.
Maaf kalau sudah merepotkan Sensei.” kataku.
Dia hanya menatapku dan mengembuskan napasnya. Lalu, dia
mengibaskan rambutnya dan menaruh tangannya di kepalaku.
“Masalahnya adalah, kau ini kadang-kadang bisa terlihat
manis.” katanya, dan menggaruk-garuk kepalaku.
Ini situasi yang awkward dan juga memalukan, tapi kurasa
lebih tepat bila kubilang aku tidak tahan dengan situasi yang seperti ini.
Akupun mulai berusaha kabur dari tangannya, dan dia juga mulai melepaskan
tangannya dari kepalaku.
Sensei lalu mulai mengeluarkan rokok, mengeluarkan korek
dari sakunya, menghisapnya dalam-dalam, dan mengembuskannya.
“Jadi, apa yang kau lakukan tadi disana?”
“Ah...tidak ada sesuatu.”
Akupun memaksa untuk menjawab itu, tapi dia malah
tersenyum.
“Apa Haruno mengatakan sesuatu kepadamu?”
“Tidak banyak.” kataku, namun dia terus menatapku, dan
berharap aku melanjutkan kata-kataku tadi. Tapi aku tahu kalau tidak ada
gunanya menghindari ini terus, jadi kukatakan saja kepadanya. “Dia bilang kalau
aku tidak bisa mabuk, persis seperti dirinya.”
“Ya, ada benarnya kalau Haruno...Meski, itu bukan gayamu
untuk membahas topik tentang alkohol dengannya.”
Mendengar jawaban itu darinya, akupun mengangguk.
“Ya begitulah...Dia membicarakan sesuatu seperti
batas-batas sebuah hubungan. Menurutnya, hubungan kami ini hanyalah sebuah
hubungan ketergantungan. Aku tidak mau mengakui itu, jadi aku berusaha
menyangkalnya, tapi...Itu sangat sulit.”
Kalau saat ini aku tidak bersama dengan Sensei, aku
mungkin tidak akan pernah bercerita soal ini. Malahan, tidak akan bisa.
Kelemahan-kelemahan diriku yang diketahui oleh orang lain adalah sesuatu yang
diriku sendiri tidak kehendaki, bukannya aku takut, tapi karena arogansi diriku
yang menguasai rasa maluku ini. Karena itulah, tidak peduli segigih apa orang
berusaha mengorek sesuatu dariku, aku akan menemukan cara untuk membuatnya
tidak serius, mengesampingkan masalahnya, lalu melemparkan granat asap untuk
kabur.
Tapi Hiratsuka-sensei adalah orang yang tidak perlu aku
takuti, orang yang tidak perlu aku putari dahulu sebelum berkomunikasi. Dia
jauh lebih dewasa dariku, dan dia selalu mau maju di depanku dan membuatku
merasa aman.
Dia lalu melajutkan kegiatan merokoknya. Hanya merokok
saja tanpa mengatakan apapun. Lalu, tidak lama kemudian dia mengemukakan
pendapatnya.
“Ketergantungan, ya? Memang, itulah gaya Haruno dalam
mengatakan sesuatu, tapi itu gaya ketika dia sedang berbicara formal. Dia tahu
maksudnya apa, tapi dia memilih untuk mencari kata yang mudah
kaupahami...Sepertinya dia cukup perhatian denganmu.”
“Haha...Itu malah tidak membuatku senang...”
“Kurang lebih, itu sama seperti kau menilai Haruno dari
sudut pandang yang berbeda...Oh iya, kalian berdua memang paling pintar kalau
melihat orang dari sudut pandang yang berbeda.”
Dia mengatakan itu dengan nada becanda. Dia tersenyum,
menaruh rokoknya di asbak, dan menatapku.
“Tapi, berbeda dari apa yang kulihat. Yukinoshita,
Yuigahama, dan kau tidak punya hubungan yang seperti itu.”
Asap pekat rokok kini sudah menghilang, dan menyisakan
bau nikotin yang kuat, dan aku sudah terbiasa dengan itu. Ini juga, suatu hari
nanti, akan menjadi sesuatu yang nostalgia, karena tidak ada satupun orang yang
kukenal itu perokok.
“Jangan terjebak dengan sebuah kata sederhana seperti
ketergantungan.”
Sensei lalu memegang bahuku.
“Mungkin, kau sudah meyakini kalau inilah yang seharusnya
terjadi, tapi jangan sampai kata-kata itu membuat bimbang perasaan
seseorang...Jangan biarkan perasaan itu diwakili dengan kata yang sederhana.”
dia menatap kedua mataku dan bertanya...
“Apakah kau merasa kalau satu kata cukup untuk menggambarkan perasaanmu itu?”
“Apakah kau merasa kalau satu kata cukup untuk menggambarkan perasaanmu itu?”
“Mustahil...Kalau memang satu kata bisa, maka aku tidak
akan mau mempercayai itu. Kupikir tidak ada satupun kata yang bisa mengungkapkan
dengan benar apa yang kurasakan itu.”
Sampai saat ini, tidak ada satupun yang bisa
mengungkapkan ide-ideku, ideologiku, dan perasaanku. Kalau kata-kata itu tidak
mewakili sesuatu, maka itu tidak ada bedanya seperti sebuah auman hewan buas
saja. Mirip seperti mengibaskan ekor diartikan sedang baik-baik saja, bahkan
seperti mengartikan kalau auman hewan itu memiliki satu makna saja.
Aku meneguk kopiku setelah memikirkan itu. Tapi,
Hiratsuka-sensei malah mengangguk dan melepaskan tangannya dari bahuku.
“Kau sudah punya jawabannya, tapi kau tidak tahu cara mengungkapkannya,
itu saja masalahnya. Itulah alasan mengapa kau selama ini selalu berusaha
melogikakan perasaanmu itu, agar terasa masuk akal bagimu. Meyakinkan dirimu
kalau satu kata itu mewakili semua yang kau rasakan, dan membiarkannya begitu.”
Memang itu ada benarnya. Aku terpaku dengan kata
ketergantungan yang kupaksakan untuk memiliki apa yang baik, buruk, kusuka, dan
kubenci karena aku merasa kalau aku butuh sesuatu untuk mengungkapkan
perasaanku ini secara langsung. Aku tidak perlu memikirkan kata-kata lainnya,
cukup ucapkan itu. Ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari berhenti berjalan dan
lari dari kenyataan.
“Tapi kau harus tahu, banyak kata lain yang bisa
menggambarkan apa yang kau rasakan itu, tidak hanya satu kata tersebut.
Dia mengeluarkan bolpoint dari sakunya dan menulis di
kertas tisu makan.
“Misalnya, banyak hal yang bisa kukatakan tentangmu,
misalnya kau ini menyusahkan, pengecut, terlalu kompleks, atau masa depan
mengkhawatirkan...”
Dia menuliskan itu satu persatu di tissue makan tersebut.
“Ohh, daftarnya kenapa isinya hal-hal yang negatif
semua...”
“Ini belum semuanya. Aku masih banyak lagi, namun tidak
akan cukup bila kusebutkan semua satu persatu.”
Dia kemudian berhenti menulis, dan mulai menggarisbawahi
kata-kata itu. Semua kata-kata itu mengelilingi area tissue dan hanya
menyisakan bagian tengahnya saja yang bersih. Tidak lama kemudian, dia menulis
sesuatu di tengah bagian itu.
“Tapi kalau ini semua digabungkan...” sebelum aku membaca
apa tulisannya, Hiratsuka-sensei menunjukkan tissue tersebut tepat di depan
wajahku.
“Bisa juga dikatakan kalau aku menyukaimu.”
“Huh? Ah, ba-baiklah...?”
Tertulis sebuah kata “menyukai” disana. Semua perasaanku
bercampur aduk, antara terkejut, gembira, malu, dan banyak lagi yang lainnya.
Meski begitu, aku masih belum tahu harus menjawabnya dengan apa.
“Tidak usah malu-malu begitu. Kau itu murid terbaikku.
Wajar kalau aku cukup menyukaimu.”
Dia tersenyum seperti anak nakal yang sukses melakukan
prank, dan kembali menggaruk-garuk kepalaku. Ya ampun, tadi nyaris sekali. Jadi
itu maksud Sensei? Seperti, nyaris sekali tadi. Kupikir tadi dia serius, dan
aku nyaris mengatakan kalau aku menyukainya juga. Kepalaku mulai basah oleh
keringat.
Kusandarkan tubuhku di kursi untuk melepaskan
keteganganku. Dia hanya menatapku dengan santai dan menyalakan rokok yang lain.
“Kalau kau merasa belum puas dengan satu kata yang kau
dapatkan, maka kau harus meneruskan pencarianmu. Kalau kau merasa itu sudah
tidak bisa diwakilkan dengan kata-kata, maka kau harus mengungkapkannya dengan tindakan.”
Dia mengembuskan asap rokoknya.
“Tidak masalah kata-kata seperti apa yang muncul dalam
pencarianmu, atau tindakan-tindakan yang sudah kaulakukan sampai saat ini.
Terus lanjutkan pencarianmu, seperti menghubungkan semua tulisan perasaan-perasaan
yang ada di kertas tissue ini hingga menemukan yang kau anggap cocok untuk
mewakili itu semua. Mungkin, tulisan di tengah ini yang bisa mewakili apa yang
sedang kau cari itu.”
Setelah kepulan asap rokok itu menghilang, Sensei menatapku.
“Karena itulah, aku ingin kau tunjukkan kepadaku. Selagi
aku masih menjadi gurumu, lalui dan rasakan semua yang ada di perasaanmu itu
dan tunjukkan kepadaku apa jawabanmu itu. Buat diriku tidak bisa berbicara lagi
dengan jawabanmu itu.”
“Jadi Sensei menginginkan saya untuk all-out, huh?”
tanyaku.
“Benar. Tunjukkan kepadaku semua extra topping yang kau
punya.”
“Memangnya ini ramen?” tanyaku sambil mengembuskan napas,
dan Senseipun tersenyum.
Akupun tersenyum setelah itu.
“Ya sudah, saya akan melakukannya. Tapi saya tidak yakin
kalau kali ini akan lebih mudah dari biasanya.”
“Kalau ini sesederhana itu, maka kau tidak akan susah
payah seperti ini. Tapi aku yakin kau akan baik-baik saja.”
Mengakhiri pembicaraan ini, dia menepuk bahuku.
“Ngomong-ngomong, sebelum pulang, ayo kita makan ramen
dahulu. Bagaimana kalau ke Naritake?”
“Oh, itu ide yang bagus sekali.”
“Pasti dong.”
Dia hanya tersenyum datar, mematikan rokoknya di asbak,
dan berdiri. Akupun berdiri dari kursiku setelah itu. Sambil berjalan ke arah
parkiran, kami mengobrol, dan langkahnya selalu berada di depanku. Melihat
sosoknya itu, membuatku berhenti sejenak.
Mustahil rasanya aku bisa dewasa dan seperti dirinya
kelak. Tapi sebagai seseorang yang kuhormati dan kuanggap sebagai guru
sejatiku, aku ingin dirinya melihat diriku secara langsung, menunjukkan
kepadanya apa jawabanku.
Tidak peduli jawaban itu ternyata jelek, menjijikkan, dan
rusak, tidak peduli seberapa menyedihkan itu, Hikigaya Hachiman akan
menunjukkan jawabannya.
Memang, tidak ada yang salah dengan ending cerita semacam
itu. Tapi, yang salah adalah bagaimana itu berakhir.
Hubungan kami diwakili oleh sebuah kata yang diberikan
oleh orang lain, dan itupun dihasilkan dari sesuatu yang hadir untuk menutupi
sesuatu yang lain.
Akhirnya, itu mewakili sesuatu yang tidak kami inginkan,
sebuah kepalsuan.
Karena itu, setidaknya yang bisa kulakukan adalah
menghancurkan kepalsuan ini, sehingga bisa membuatku berubah menjadi sesuatu
yang benar-benar diriku.
Aku akan mengakhiri masa mudaku yang seperti ini, masa
muda yang berubah menjadi sebuah kesalahan karena ulahku sendiri.
x Chapter 5 | END x
Sensei mengatakan kalau Hachiman murid terbaiknya sebenarnya bohong. Karena di vol 9 chapter 5, Sensei dengan jelas mengatakan kalau apa yang dialami Hachiman dan Yukino ini mirip dengan apa yang pernah dialami olehnya dulu. Sensei tahu darimana?
Dari essay yang berjudul "kehidupan SMA", prolog volume 1, ditulis oleh Hikigaya Hachiman. Jawaban essay tersebut mengingatkan Hiratsuka-sensei dengan seseorang di masa lalu.
Mungkin, ini bisa jadi materi cerita jika Watari hendak menulis spin-off?
...
Jadi, perdebatan kalau hubungan Hachiman dan Yukino ini semacam ketergantungan, dianggap selesai.
Itu hanyalah definisi dari Haruno, dan pencarian akan kata yang tepat akan terus berlanjut.
...
Sebenarnya, berapa sih umur Sensei?
...
Selain jago baseball, Sensei ini ban hitam karate, juga bisa bermain Bass.
Sebenarnya, siapa sih Sensei ini?
...
Disini sudah konfirm, kalau candaan Hachiman soal kalau tidak ada yang menikahi Sensei, bisa-bisa dia yang akan menikahinya...MUNGKIN SAJA TERJADI!
Tapi, sebatas suka saja sepertinya tidak cukup untuk lanjut ke jenjang pernikahan.
...
Jika Hachiman all-out begini, saya hanya concern dengan perasaa Yui nanti. Tapi, bisa saja Yui memang sejak awal sudah siap dengan ini.
...
Dua karakter support kita di LN ini sudah melakukan gerakan "ultimate"-nya, baik Haruno dan Hiratsuka-sensei.
Kini, kita menunggu interaksi ketiga karakter utama kita ini.
Dan apa jawaban akhir dari Hikigaya Hachiman...
Berapa chapter lagi min??
BalasHapus5 wkwkwkw
HapusMin apakah seri oregairu anthology akan di translate juga? Saya baca spoilernya cukup menarik juga, terutama yg dari sudut pandang yukino.
BalasHapusAkan ditranslate.
HapusSemangat min
HapusY
BalasHapusOrang yg nggak saling suka aja bisa sampe pelaminan wkwkwk
BalasHapusBaru kali ini gagal paham sama analisis lu yg dibagian pertama min. Apa hub 8man murid terbaik sensei itu bohong dengan 8man-yukino mirip dengan sensei? Kaya ga relate
BalasHapus