Kalau sesuatunya selalu seperti ini, aku yakin nantinya
aku akan punya ide yang diluar dugaan dan terjebak di tempat yang tidak
seharusnya. Namun, itu tidak lagi diperlukan. Lebih tepatnya, aku paham kalau
aku tidak boleh melakukannya lagi.
Hal yang bisa kulakukan
hal yang boleh kulakukan
sangat terbatas. Kalau kita membahas tentang yang terjadi saat ini, maka hanya
ada satu hal bekerja.
Kulepaskan
napas beratku ini dan berjalan menuju ruang kontrol. Menaiki tangga yang
berisik ini dan akhirnya membuka pintunya.
“Terimakasih
atas kerja kerasnya.”
Isshiki
sedang bersandar di kursinya dan sesekali memutar kursinya. Akupun duduk di
sampingnya dan memberikan headset untuknya.
“Yeah.
Ini headsetmu.”
“Oke,
terimakasih.”
Isshiki
memutar kursinya dan menerima headsetnya. Kemudian, dia mencondongkan tubuhnya
lebih dekat kepadaku dan berbisik.
“Apa
semuanya baik-baik saja? Apa Nenek Tua itu mengatakan sesuatu?”
“HaJadi
begini, Nona...”
Sebenarnya
dia terlihat awet muda kalau kau mengesampingkan usianya, tahu tidak? Bukannya
aku sudah tahu umurnya berapa atau sejenisnya. Beliau adalah Ibu dari dua orang
putri, jadi wajar saja kalau dia secantik itu. Tentunya, dia juga menakutkan,
tapi juga punya sisi yang mengagumkan, tahu tidak?
Meski
yang terakhir tadi malah membuatnya tambah menakutkan.
Aku
sebenarnya hanya memberinya sebuah retorika, tapi aku merasa itu sudah tidak
masalah lagi. Isshiki sepertinya punya kesan yang berbeda dengan dirinya
setelah pertemuan terakhir mereka. Kebetulan sekali! Aku juga begitu!
Jadi,
daripada aku membela Beliau, lebih baik aku menjawab pertanyaannya tadi.
“Yukinoshita
sedang mengurus itu, jadi kita aman untuk sementara.”
“Ohh,”
kata Isshiki.
Dia
lalu menopang pipinya dengan tangan, dan melanjutnya keluh kesalnya lagi.
“Itu
artinya kalian berdua sudah tidak butuh pendamping lagi.”
“Huh?”
“Kau
berbicara dengan Yukino-senpai seperti biasanya, benar tidak? Misalnya, waktu
rapat tadi.” dia lalu mengarahkan dagunya ke arah jendela kecil itu, sepertinya
dia melihat interaksi kami di samping panggung tadi.
“Oh...Itu.
Begini, kita tidak butuh yang semacam itu kalau membahas soal pekerjaan. Aku
sebenarnya sangat payah kalau soal mengobrol dan mengisi pembicaraan. Tapi,
kalau soal membahas pekerjaan, aku tidak ada masalah sama sekali.”
“Uh,
aku tidak yakin kenapa kau malah terlihat bangga soal itu...” Isshiki
mengibaskan tangannya untuk mengatakan ketidaksetujuannya. Kemudian, dia menaruh
tangannya di dagunya.
“Well,
ternyata ada orang yang berpikir kalau pembicaraan mereka selama ini terjadi
hanya karena pekerjaan saja.”
“Hei,
hentikan itu. Pasti ada pria yang butuh alasan agar bisa berbicara dengan
seorang gadis. Tolong bersimpatilah kepada mereka.” aku mengatakannya agar dia
tidak meneruskan topiknya itu.
“Mereka
itu biasanya orang yang mulai memanggilmu dengan nama pertamamu setelah
berbicara denganmu sekitar tiga kali saja. Kemudian, di momen yang kelima,
mereka akan mengajakmu pergi jalan. Tapi setelah dia menembak, dia tidak mau
lagi berbicara denganmu lagi.”
“Tunggu,
stop, stop, stop. Serius ini, stop. Kenapa kau membahas soal masa SMP-ku?”
“Bukan...Tapi
itulah yang kau lakukan, Senpai. Kau melakukan hal yang sama dan menggunakannya
sebagai alasan...”
Isshiki
melihatku dengan tatapan menyedihkan, tapi seperti menyadari sesuatu, tiba-tiba
dia berdiri.
“Oh!
Jangan bilang kalau kau sengaja menggunakan alasan pekerjaan agar bisa dekat
denganku, dan akhirnya menembakku? Aku sebenarnya tidak masalah pergi keluar
denganmu, tapi tolong tunggu setelah event ini selesai dulu, maafkan aku.”
Kemudian,
dia membungkuk.
“Ya ya
ya ...Setelah ini selesai. Sekarang, tolong jalankan pekerjaanmu. Kalau tidak,
ini tidak akan pernah ada akhirnya.”
“Tuh kan...Apa
kau ini pernah dengar kata-kataku...”
Kau
malah bisa gila kalau kau coba dengar kata-katamu sendiri tadi...
“Aku
bukannya tidak suka dengan pekerjaan yang semacam ini sih.”
Isshiki
memakai headsetnya sambil menggerutu dan membuka susunan acara eventnya.
Kemudian, dia mengambil laptop di dekatnya dan mulai mengetik ini dan itu.
Akupun mulai menatap ke arah sound mixer sambil meliriknya dari kejauhan.
Tiba-tiba,
dia tertawa kecil.
“Sebenarnya,
aku cukup suka menghabiskan waktu luangku seperti ini...”
“Ya
begitulah, bekerja di belakang layar sebuah event memang memiliki kesenangan
tersendiri.”
Malahan,
mengoperasikan mixer dan memakai headset membuatku merasa seperti seorang
asisten sutradara, ini ternyata menjadi sesuatu bagiku. Aku menaruh
earphone di telingaku untuk memeriksanya, dan Isshiki memutar kursinya ke
arahku.
“Apa
kau mau melakukannya lagi di tahun berikutnya?”
“Entah
kau tahu atau tidak, aku akan lulus tahun depan.”
Sebenarnya,
pekerjaan semacam ini tidak membuatku merasa terganggu, tapi melakukannya
hingga kelulusan bukanlah sebuah definisi dari menyenangkan...Akupun
hanya tersenyum kecut, tapi Isshiki tidak.
“Maksudku
bukan begitu. Yang kumaksud itu Klub Relawan.”
Isshiki
tampak emosional, dan menatapku serius. Pertanyaannya tadi memang membutuhkan
jawaban yang bisa berimplikasi serius, tapi jawabanku tidak berubah.
“Kau
tanya ke Ketua Klubnya saja kalau soal itu. Aku tidak berwenang dengan rencana
aktivitas di Klub,” kataku.
Tapi
tatapannya tidak ingin momen ini selesai dengan jawaban yang ambigu. Akupun
coba kabur dari tekanan ini dan menjawabnya.
“Lagipula,
Klub akan bubar.”
Mungkin,
ini pertamakalinya aku mengucapkan itu. Yukinoshita, Yuigahama, dan bahkan
Hiratsuka-sensei sudah tahu soal ini, namun mereka tidak pernah membahas itu
sampai sekarang. Ada momen dimana kami secara tidak sengaja membahas itu, namun
tidak ada resolusi untuk topik bahasan itu. Karena itulah, yang bisa kita
lakukan hanyalah memalingkan pandangan mata kami semua. Tapi, aku akhirnya bisa
mengucapkan itu, dan itu adalah sebuah kebenaran yang tidak terhindarkan.
“Aku
sendiri sudah tidak punya alasan lagi untuk bekerja,” kataku, dan akupun
menatap kembali kedua mata Isshiki. Ekspresinya tampak bersimpati dengan
kata-kataku, tapi entah mengapa dia mulai tersenyum.
“Aku
tahu kau akan mengatakan itu, tapi itu bukan masalah, bukan?”
“Apa...Kenapa
itu menjadi bukan masalah...?”
“Maksudmu,
kau sendiri tidak butuh Klub. Itu bukanlah masalahnya. Kau masih bisa bekerja
sebagai bagian dari Pengurus OSIS.” katanya, sambil tersenyum.
Kemudian,
dia menambahkan.
“Kuberitahu
ya, sekarang ini ada satu lowongan terbuka di kepengurusanku.”
Akupun
tersenyum.
“Coba
kau tawarkan ke Yukinoshita. Sepertinya yang semacam itu cocok untuknya.”
“Akan
kulakukan. Juga, aku akan mengundang Yui-senpai. Aku tidak masalah kalau
semuanya ikut bergabung.”
“Kau
sudah gila ya. Katanya hanya ada satu posisi yang lowong?”
Isshiki
mengembungkan pipinya dan tertawa licik.
“Yaaa nanti
tinggal kupecat saja si Wakil Ketua.”
“Itu
kejam sekali...”
Dia
sebenarnya juga sudah bekerja keras...Aku hendak menagis saja karena kasihan
dengan orang itu. Tidak, tunggu, bukankah dia belakangan ini sedang PDKT dengan
si Sekretaris? Lupakan rasa kasihanku tadi.
Brengsek
kau, kerja yang benar!
Aku
tahu kalau kata-katanya tadi hanya becanda saja, dan aku tahu itu tidak mungkin
terjadi. Karena itulah, aku tidak mengatakan apapun untuk meresponnya, karena
ini bisa menjadi bahan becandaan di lain waktu. Malah kalau tidak begitu, aku
akan mulai berpikir kalau “Ini adalah ide yang bagus”. Aku memikirkan itu
sambil tersenyum, seperti kataku, ini adalah salah satu hal dimana aku sendiri
kurang yakin akan kemampuanku.
Dia
tersenyum dan menatapku hangat. Ekspresinya, rambutnya, dan tangannya yang memegangi
headset itu memang terlihat seperti seorang wanita dewasa. Tidak, dia bukan
“terlihat seperti”, dia memang lebih dewasa dari sebelumnya.
“Jujur
saja, mengajakmu bergabung adalah pilihan yang paling logis. Maksudku, kau bisa
menjaga hubungan dan bisa menghabiskan waktu yang menyenangkan dengan juniormu
yang manis terdengar tidak buruk-buruk amat, benar tidak?”
Itu
memang penawaran yang menarik. Mungkin, ini penawaran yang paling menarik yang
pernah ditawarkan kepadaku. Hatiku sempat goyah. Seperti bisa membaca
pikiranku, dia tersenyum dan berdiri dari kursinya.
Rambutnya
menyentuh pipiku, dan aku bisa mencium bau shampoo beserta parfum yang menusuk
indra penciumanku. Dia menaruh satu tangannya di sandaran tangan kursiku dan
satu tangan lainnya untuk berbisik ke telingaku.
“Kalau
kau butuh alasan, aku akan memberikannya kepadamu...”
Tiba-tiba
aku menggerakkan kursiku menjauh darinya, Isshiki sendiri mulai kembali ke
kursinya.
Jantungku
berdetak kencang, keringat mulai membanjiri wajahku, dan wajahku tampak
memerah. Sebaliknya, dia tampak tenang, seperti tidak pernah terjadi sesuatu.
Kalau
dia meminta bantuanku, aku pastinya akan membantunya, entah apakah sebagai
Wakil Ketua, atau Pembantu Umum di OSIS. Tapi ini bukan masalah posisi,
sebenarnya karena aku memang bersedia untuk membantunya. Kita ini sedang
membicarakan Isshiki, seseorang yang kuperlakukan mirip dengan Komachi.
Setidaknya begitu. Aku ini lemah kalau soal adikku dan dirinya. Jika dia minta
tolong, aku akan membantunya tidak peduli seperti apa. Begitulah selama ini,
dan dia harusnya sudah tahu soal ini. Tapi sikapnya barusan yang seperti itu
juga bisa kupahami.
“Kau
ini benar-benar orang yang baik...” akupun tersenyum sambil mengembuskan napas
legaku.
Isshiki
kemudian membuat tanda “peace” dan mengedipkan matanya.
“Benar,
kan? Entah kau sadar atau tidak, selalu menyenangkan untuk bisa berhubungan
denganku.”
Ekspresinya
memang manis, licik, dan tersampaikan dengan sempurna. Sikapnya memang sesuai
ekspektasi seorang juniorku, seorang Isshiki Iroha. Kalau soal menyenangkan
yang dia klaim itu, aku tidak yakin, tapi setidaknya, dia orang baik. Aku hanya
punya satu jawaban untuk ini.
“Akan
pertimbangkan dahulu penawaranmu yang barusan.”
“Itu
adalah jawaban yang kauucapkan ketika kau tidak akan melakukannya...Kau memang
seperti ini.” Isshiki tampak kecewa, namun tiba-tiba dia tersenyum.
“Tapi
entah kau tahu atau tidak, aku ini tipe wanita yang tidak mengenal kata
menyerah.”
“Yeah,
aku bisa melihatnya...”
Kami
hanya bisa menatap satu sama lain sambil tersenyum. Kemudian, dia melihat ke
arah jam di dinding.
“Sepertinya,
sebentar lagi mulai...”
Sebuah
bunyi statis terdengar di headset kami, dan terdengar suara setelahnya.
“Disini
Yukinoshita. Kami akan melakukannya sesuai jadwal, dan ruangan akan dibuka
untuk undangan.”
“Isshiki
disini, siap. Memainkan background musik dari event.”
Dia
menatapku, dan akupun mengangguk. Akupun menekan tombol untuk memutar lagu,
dari volume kecil hingga membesar. Tidak ada masalah. Pekerjaanku hanyalah
memutar terus lagu itu untuk membuat suasana antusias di panggung.
Dengan
adanya undangan yang mulai masuk, interior tampak mulai ramai. Jika kita punya
kamera pengawas, kita bisa melihat situasinya disana, sayangnya kita tidak
punya hal itu. Kulihat dari jendela kecil itu. Yang kulihat adalah pemandangan
yang luar biasa. Para Undangan yang memakai kostum ini tampak seperti bunga
sakura yang hendak mekar saja.
Bunga
yang mekar sempurna sangat indah karena setelah itu mereka akan berpisah.
Mungkin, karena itulah pemandangan ini terlihat luar biasa bagiku.
Dan
event terakhir kami ini, akan segera dimulai.
x x x
Banyak
hal dan masalah yang muncul hingga saat ini, tapi ketika acaranya dimulai, kami
mengerjakan satu-persatu susunan acara dengan baik. Pembukaannya berjalan
lancar. Bagian slideshow yang kukhawatirkan telah berakhir dengan tanpa adanya
masalah. Setelah ini, adalah acara dansa.
Isshiki
mulai memanaskan acara sebagai MC, dan akupun memainkan musik sesuai kode dari
Yukinoshita. Musiknya sudah disetting untuk saling menyambung selama acara
dansa, jadi aku tidak perlu mengoperasikan sesuatunya selama acara dansa.
Akupun
bersandar di kursi. Dari tadi aku ada di ruangan ini saja, jadi aku berpikir
untuk mulai meregangkan punggungku. Bunyi “crack” dari punggungku disertai
bunyi derit kursi yang kududuki ini.
“Terima
kasih atas kerja kerasnya.”
Kulihat
asal suaranya, ternyata Isshiki yang baru saja kembali dari panggung.
“Hmm,
kau juga.” kataku, sambil memujinya.
Isshiki
memasang ekspresi “Orang ini seperti tidak berguna saja” dan duduk di
sebelahku.
“Kenapa
kau tidak istirahat dulu? Aku akan menangani ruang kontrol ini.”
Mungkinkah
dia mengatakan itu karena mendengar suara tulang-tulangku tadi? Sebenarnya, aku
tidak begitu lelah, tapi aku memang ingin mengambil beberapa bunga yang ada di
event ini. Jadi, kuterima tawarannya itu.
“Mm, ya
sudah, aku akan segera kembali.”
“Oke.”
Setelah
tanggapannya itu, aku meninggalkan ruangan. Kugerakkan lenganku yang setengah
kaku itu, sambil melepas earphone dari telingaku, akupun menuruni anak tangga ini.
Suara alunan musik yang lembut, hentakan nada yang diiringi bass sukses
mengocok ruang kosong di perutku ini. Sampai di area gymnasium, terisi oleh
keramaian undangan acara ini. Sebagai orang yang baru melihat suasana seperti
ini, mungkin bisa kukatakan kalau event ini luar biasa sukses.
Memakai
seragam sekolah diantara para undangan yang memakai kostum, jelas terlihat
mencolok. Aku melihat Yuigahama yang duduk di ujung meja panjang prasmanan. Dia
menyadari kehadiranku dan akupun mengangguk sambil berjalan ke arahnya.
“Hai
Hikki.” Yuigahama berdiri tepat di sampingku untuk memastikan suaranya tidak
tenggelam oleh speaker.
“Yeah,
bagaimana dengan bagian resepsionisnya?”
“Berjalan
dengan baik, dan ini sudah cukup larut, jadi aku pikir tidak akan ada lagi yang
datang kesini. Jadi, kuputuskan untuk istirahat sebentar.”
“Masuk
akal, acara Malam Perpisahannya memang mendekati akhir.”
“Hei,
aku mulai lapar. Kau juga?” katanya sambil mengambil beberapa makanan di atas
meja. “Kau kesini karena mau makan juga, kan?”
Aku
hendak memberitahunya kalau aku tidak lapar, tapi dia tidak menungguku, dan
tidak lama kemudian di depanku tersaji banyak sekali makanan manis. Di
tengah-tengah makanan itu, ada roti panggang madu. Begitu ya, memang ini
pilihan yang lezat...Tidak seperti waktu Festival Budaya lalu, roti kali ini
punya topping buah dan cream sehingga terlihat enak dilihat. Tapi, ini roti ya?
Yeah, sepertinya roti. Entah seperti apa toppingnya, roti tetaplah roti.
Pastinya kalau pihak katering mau, mereka bisa saja menyembunyikan tanda-tanda
roti di makanan ini. Tapi, kali ini dominan roti.
“Ini!”
Yuigahama
membagi roti tersebut seperti berada di sebuah kontes memasak, dan memberiku
satu potong roti tersebut dengan piring kertas.
Kau
menaruh rotinya ke piring kertasku dengan tangan...? Bukannya aku mau mempermasalahkan
itu. Ketika aku terdiam saja, Yuigahama mulai memakan rotinya.
“Enak
sekali! Fresh Creamnya enak!”
Seperti
biasa, dia selalu menikmati makanannya dengan cara yang luar biasa...Melihat
pemandangan itu malah membuat roti panggang madu ini terlihat lebih enak. Yang
terakhir kali kucicipi adalah buatan seorang amatir, tapi kali ini, kalau tidak
salah ini diorder dari restoran dengan jasa UBEReats, jadi ini terjamin buatan
seorang profesional. Jelas terjamin enaknya...
[note:
Layanan pembelian dan pengantaran makanan di aplikasi Uber, adalah UberEats.
Menariknya, aplikasi ini bekerjasama dengan aplikasi kuliner Zomato. Jadi, anda
bisa memesan langsung di Zomato jika
tertarik.]
Dengan
keyakinan itu, akupun mencicipi roti tersebut. Om, nom, nom. Hmm...Memang
terasa sekali rotinya...
Tekstur
yang kurang solid terasa di mulutku. Sepertinya ini sudah terlalu lama sejak
roti ini dibuat...Mungkin lebih enak jika mencicipinya lebih awal. Meski
begitu, krim dan madunya memang enak, jadi kurasa ini baik-baik saja...Ketika
aku memikirkan itu, Yuigahama tersenyum.
“Ekspresimu
sama persis dengan waktu itu.”
Memangnya
harus bagaimana lagi? Ini kan hanyalah roti...
Ekspresi
tatapanku mengatakan itu, sedang mulutku dipenuhi oleh rasa manis dari roti
tersebut. Setelah berhasil kutelan, aku akhirnya bisa bernapas lega. Akupun
mulai mengambil kopi yang ada di meja, tapi, tiba-tiba musiknya berubah
disertai oleh pencahayaan panggung.
Warna
merah dan hijau bermunculan karena efek dari bola disko yang diiringi oleh
house music, setelah itu muncul hujan cahaya dari langit-langit menuju lantai.
Kemudian, Yuigahama tersenyum.
“Apa kau
sudah punya keinginan untuk dipenuhi...?”
Kugerakkan
kepalaku untuk menjawabnya.
“Tidak...Aku
belum memikirkan itu. Bagaimana denganmu?”
“Umm...Kau
sudah melakukan mayoritas permintaanku, seperti membantu acara Malam
Perpisahan, pergi ke pesta, dan merayakan ulangtahun Komachi-chan...Oh, aku
lupa kalau kita harus pergi jalan-jalan juga.”
Yuigahama
mengatakan itu sambil melipat jari-jemarinya satu-persatu, tapi membatalkan
lipatan terakhirnya karena teringat sesuatu.
“Apa
kau ingin pergi jalan-jalan setelah ujian nanti?”
“Ujian
ya, huh...? Oh, itu malah memotivasiku!”
Bahunya
tampak menurun ketika mendengar kata ujian, tapi rencana jalan-jalan itu
setidaknya membuatnya tersenyum. Karena sudah jujur, kurasa ada baiknya kalau
aku menawarkan ekstra service kepadanya.
“Kalau
kau punya permintaan lainnya, silakan beritahu.”
“Benarkah?
Mungkin aku ingin meminta satu hal lagi.”
Dia
kemudian mengambil satu langkah menjauh dariku. Kemudian, dia memegang lipatan
ujung roknya, menaruh kaki kanannya di belakang, dan agak membungkuk.
“Bolehkah
saya mengajak anda berdansa?”
Dia
membungkuk.
Untuk
beberapa detik, aku terbawa oleh pemandangan ini. Tidak, mungkin terpesona
lebih tepat.
Setelah
itu, Yuigahama menaikkan kepalanya. Dari yang seharusnya bersikap tenang, malah
terlihat malu-malu.
“A-Atau
yang sejenis itu, ahaha...” dia mengatakannya sambil menyembunyikan rasa
malunya.
Itu
membuatku sedikit lega, dan juga membuatku tersenyum kecut.
“Ini
bukanlah tempat untuk dansa yang sejenis itu...”
“A-Aku
tahu, benarkah? Ya ampun, cukup memalukan...”
Yuigahama
lalu menutup wajahnya dengan tangan , lalu menatap ke arah langit-langit,
bahkan tangannya tampak mengepal dengan keras.
Untunglah,
suasana ini bisa menyadarkannya. Mengapa kau perlu mengajak orang berdansa
sedangkan situasinya memang cocok untuk berdansa sendiri? Akupun mengembuskan napas
panjangku dan memasang wajah keheranan. Aku benar-benar heran...Heran dengan
yang akan kulakukan sebentar lagi.
Kutarik
napasku sekali lagi, bukan untuk melegakanku dari keheranan ini, tapi untuk
menguatkanku. Akupun mundur selangkah dan agak memiringkan tubuhku. Yuigahama
hanya menatapku dengan keheranan.
“Bolehkan
saya mengajak anda...?” tanyaku. Kutaruh tangan kiriku di dada, mencondongkan
tubuhku ke depan, dan menjulurkan tangan kananku.
Dia
hanya membatu, dan tiba-tiba tertawa. Dia berusaha menahan tawanya.
“Bukannya
ini bukan tempat untuk dansa yang semacam itu?”
“Bukannya
kamu yang memulainya...”
Aku
sebenarnya hanya meniru sikapnya tadi. Tapi ini memang sangat memalukan. Harusnya
tidak kulakukan...Ketika penyesalan mulai menyelimuti tubuhku, tanganku mulai
merendah. Tapi sebelum itu, Yuigahama memegang tanganku.
“Ayo!”
Dia
menarik tangaku menuju tengah arena, sambil menghindari beberapa kerumunan
undangan. Cahaya bola disko hilir-mudik di ruangan ini, dan orang-orang yang
ada disini tampak terbawa oleh suasana tersebut.
Lagu
yang diputar memakai tempa yang cepat dan tinggi. Entah apa nama lagunya karena
sesi ini memang sengaja mencampurkan berbagai genre, tapi kurasa lagu-lagu
semacam ini bisa kausebut musik disko. Setidaknya, aku seyakin-yakinnya dan
sangat yakin kalau ini bukanlah musik untuk dansa dimana pria dan wanitanya
berpasangan.
Tanganku
yang tadi dipegang olehnya, bergoyang kemana-mana, dan tubuhku mulai
berputar-putar, kakiku sejenak ada disini, tidak lama kemudian ada disana.
Dikelilingi oleh musik, semangat, dan cahaya seperti ini, aku mulai bergerak
tanpa arah, mempraktekkan sejenis dansa yang kacau, jauh dari yang kausebut
dengan freestyle dance.
Tapi
tidak masalah kalau dansanya seburuk apa. Semua orang yang ada disini sedang
menikmati waktu yang paling berharga dalam hidupnya. Entah aku berdansa seperti
Vega, tidak ada yang peduli. Tidak ada yang melihatku. Hanya ada satu orang
yang melihatku, dan itu Yuigahama.
Cahaya lampu
tampak bergerak kesana-kemari seperti mengikuti alunan musik, membuat kami kesulitan
melihat ekspresi masing-masing. Tapi senyum, dan tangan kami ini adalah hal
yang terlihat jelas.
Di tengah
kerumunan orang-orang yang berkostum, mereka yang memakai seragam sekolah jelas
terlihat abnormal, tapi tidak ada yang peduli. Mereka sibuk menikmati momennya,
dan ini membuat kami bisa membaur diantara mereka. Lantai dansa ini dipenuhi
orang-orang, dan kamipun berdansa, kadang kami memperagakan gerakan berputar dengan
poros ujung tanganku, kadang mengikuti gerakan dansa keramaian, dan kadang juga
tidak mengikuti gerakan mereka.
Bermandikan
suara musik yang keras, lutut kami mengikuti alunan musik tersebut dan bahu
kami bergerak mengikuti ritmenya, dan kami tidak ragu untuk melakukan toss.
Tidak
peduli seberapa buruk dansaku, ada sebuah perbedaan besar antara menonton dan
melakukan. Ini adalah latihan dansa yang sangat berat. Akupun mulai merasa
lelah, dan Yuigahama melihat ekspresiku itu. Tiba-tiba, dia tertawa.
“Kau
pasti sangat membenci yang sedang kita lakukan ya.”
“Ini
adalah request yang benar-benar menyiksaku...”
“Maaf,
maaf! Ini kujamin request dansa yang terakhir!” Suaranya bercampur dengan musik
dan menghilang. Lalu dia berbisik. “Request selanjutnya, adalah request
terakhir dariku.”
Dia
mengatakan itu tepat di sampingku, dan keningnya menyentuh bahuku. Kupikir aku
hendak menjawabnya, tapi suaraku tenggelam oleh alunan musik.
Tiba-tiba,
musik mulai mereda dan berganti musik. Musik yang berputar kali ini temponya
lambat, seperti memberitahu kalau waktu dansa sudah berakhir. Kalau melihat
susunan lagunya, lagu setelah ini adalah lagu dengan tensi tinggi yang
mengiringi cara terakhir. Dengan kata lain, lagu yang sekarang ini adalah lagu
jeda, dan penanda kalau aku harus kembali ke ruanganku.
“Aku
harus kembali.”
“Oke,
aku akan kembali juga.”
Kita
melepaskan pegangan tangan, entah siapa yang melepaskan itu terlebih dahulu,
kami berdua langsung balik arah begitu saja. Tidak lama kemudian, suara penanda
sesi dansa telah usai, berbunyi.
x x x
Suara
langkah kaki yang pelan, mengiringi langkahku menuju ruang kontrol. Langkahku
ini tidak memakai sepatu kaca ataupun kaki tanpa alas, tapi memakai sepatu indoorku
yang kotor. Momen magis sudah berakhir dan akupun kembali ke ruangan berdebu itu.
Yang
sudah menunggu Cinderella setelah magisnya hilang adalah Ibu dan Saudara
Tirinya yang jahat, tapi apa yang menungguku kali ini? Kubuka pintu itu dengan
pertanyaan di kepalaku.
“Selamat
datang! Kau terlambat! Apakah kau ingin kerja? Atau kerja? Ataukah...Kerja?”
Yang menungguku
adalah juniorku yang berakting seperti istri yang sedih, padahal sebenarnya
adalah iblis betina yang menyamar menjadi rubah bersinar yang manis. Dia
memainkan peran sebagai seorang istri dengan baik, meski begitu, ketiga pilihan
yan dia beri barusan jelas tidak ada hubungannya dengan situasi rumah.
“Oke,
maafkan aku. Aku akan kembali bekerja...”
“Tahu
tidak, aku daritadi memanggilmu lewat headset loh? Ya sudah, setidaknya
kau kembali tepat waktu, jadi tidak apa-apa.” dia mengatakan kekesalannya dan
berdiri.
“Ngomong-ngomong,
aku harus bersiap-siap untuk pidato penutupanku, jadi tolong tangani sisanya ya.”
“Beres.
Semoga sukses ya.”
“Pasti.”
Setelah
melihatnya keluar ruangan, aku kembali sendiri disini ditemani oleh bass
speaker.
Kugunakan
waktu ini untuk melihat kembali jadwal acara. Meski ada masalah disini dan
disana, akhirnya kita menuju ending event. Setelah Isshiki selesai dengan
pidatonya, akan masuk ke acara terakhir. Akupun memakai kembali headset yang
kutaruh tadi. Sebuah suara statis terdengar, dan suara yang jelas mengikuti
setelahnya.
“Isshiki-san,
apa kau sudah standby?”
Yukinoshita,
koordinator event, meminta status. Beberapa detik kemudian, sebuah respon
datang.
“Isshiki
disini, aku sudah di kiri panggung. Aku sudah siap. Sekarang melepas headset.”
“Oke.
Standby untuk kode petunjuk dari backstage.”
“Oke.”
Kemudian,
komunikasi di headset kembali sunyi.
Aku
bersandar ke kursi dan tanganku menjadi sandaran kepalaku, sambil melihat ke
arah langit-langit. Kemudian, musik transisi menuju tahap selanjutnya.
Sepertinya ini iringan lagu yang cukup populer karena suara riuh dari lantai
bawah mulai ramai. Akhirnya, lagu yang terakhir diputar.
Kuambil
mic yang menempel di dadaku ini dan menekan tombolnya, sesuatu yang sangat
familiar untukku. Kutunggu beberapa detik untuk memastikan suaraku akan
terdengar jelas.
“Ini
dari sound control, sekarang ini adalah lagu yang terakhir.”
“Diterima.
Aku akan memberitahukan kode akhirannya di sebelah kanan panggung. Jangan
sampai terlewat.”
Setelah
mendengar instruksinya, akupun mengintip dari jendela kecil. Yukinoshita sedang
berdiri di belakang gorden sebelah kanan panggung. Kutaruh tanganku di dagu
sambil mengamatinya, dan dia menatapku. Kemudian, secara perlahan dia
memindahkan mic di kerahnya ke mulutnya.
“Bisakah
kau melihatku?”
“Yeah,
aku bisa melihatmu.”
“Oke.
Jadi, kau dimana sekarang? Ada bersama penonton?”
Yukinoshita
melihat ke arah penonton dan mencari sesuatu.
“Aku
di atas ini. Lihatlah ke atas. Tunggu, bukannya kau tadi sudah melihatku, benar
tidak?”
Akupun
menjawab balik dengan nada suara tidak percaya. Kemudian, dia mundur sejenak,
dan bisa kulihat dari bahunya tampak bergetar. Suaranya tidak terdengar di mic,
karena tidak menekan tombolnya, tapi aku bisa melihatnya tertawa. Setelah itu,
dia melihat ke arah ruang ini, dan tetap tersenyum.
“Aku
tidak terbiasa melihatmu dari bawah, jadi bagaimana lagi.”
“Berarti
kau terbiasa melihat aku yang di bawahmu? Tapi tidak masalah sih, aku
sudah biasa disepelekan orang.”
“Sikapmu
yang meremehkan diri sendiri itulah yang harusnya diperhatikan. Lagipula, kalau
terus melihat ke atas, leher dan bahuku bisa sakit lama-lama.”
Tapi
punyamu kurang besar untuk bisa membuatku terus melihat ke arah bawah...Tapi
tidak akan kujelaskan apa yang tidak cukup besar dari dirimu!
Kemudian,
dia menatapku dengan serius dan memegang mic di kerahnya.
“Apa
kau barusan mengatakan sesuatu? Aku tadi tidak mendengarnya. Bisakah kau ulang
lagi?”
“Aku
tidak mengatakan apapun...”
Secara
spontan, aku mengatakan itu dalam hati, memastikan kalau micnya tidak aktif.
Akupun mulai tersenyum kalau mengingat kejadian serupa dengan headset ini.
Meski waktu itu, ada orang yang mendengarkan kami, jadi itu adalah kejadian
yang memalukan.
Tapi
kali ini, hanya ada kita berdua. Dengan dipisahkan oleh jarak, peralatan, dan
topik basa-basi, kami bisa berkomunikasi seperti ini. Hal ini bisa kita lakukan
terus menerus. Tapi, waktu yang akhirnya memutuskan kalau ini harus berakhir.
Angka detik di meja menunjukkan beberapa detik lagi lagu akan selesai.
Akupun
kembali menatap ke arah jendela. Yukinoshita melihat ke arahku, dan memberi
gestur apakah ada masalah atau tidak. Dia pasti khawatir karena aku tiba-tiba
pergi dari jendela ini.
Akupun berbisik
“Tidak ada apa-apa” , tanpa mengakan apapun di mic, bahkan bibirku tidak
terbuka sama sekali, jadi mustahil dia bisa mendengarku.
Masih
penasaran, Yukinoshita memiringkan kepalanya. Akupun menggelengkan kepalaku untuk
meresponnya, dan dia mengangukkan kapalanya.
Kegelapan
menyelimuti area sisi panggung, tapi area tersebut kadang-kadang disinari
cahaya oleh bola disko, dengan mudah aku bisa menemukannya karena ciri-ciri
fisiknya yang berbeda, gestur tubuhnya yang polos, dan senyumnya yang indah.
Tapi ruang kontrol yang gelap ini, membuatnya sulit melihat ekspresiku saat
ini. Tapi, aku berterimakasih akan hal itu. Mustahil aku bisa menunjukkan wajah
idiot ini; aku sedang tersenyum dari hal-hal konyol yang sedang dipikirkan oleh kepalaku.
Aku
yakin, hal-hal tidak jelas yang ada di pikiranku ini muncul karena posisi kita
saat ini, dua posisi yang membuat satu pihak melihat ke atas, dan pihak lainnya
melihat ke bawah.
Tinggi
dari jendela balkon dan jendela ruang kontrol sangat berbeda, bahkan gender
kita juga berbeda. Bisikan-bisikan yang muncul dari kita sangat jauh untuk
dikatakan saling berhubungan dekat, dan bagaimana kita membicarakan pekerjaan
juga berbeda. Karena itulah, ending yang menunggu kita pastinya tidak akan
pernah sama.
Pikiran-pikiran
semacam itu membuatku tersenyum. Meski, aku tahu yang menunggu kami bukanlah
happy ending, tapi kami akan selalu menunggu ending itu tiba.
Setelah
mengkalkulasi sisa durasi lagu, akupun memegang mic.
“Sebentar
lagi lagunya akan berakhir.”
Aku
tidak bisa menunggu suara bising mic untuk hilang dahulu. Yukinoshita lalu
tampak menekan earphone yang dipakainya.
“Baik,
diterima.”
Selanjutnya,
yang kudengar hanyalah suara statis, artinya dia sedang menekan tombol mic
aktif. Dua detik terlewati. Kemudian, tiga. Dia tampak meremas kerahnya dan
berbisik pelan.
“Hey,
Hikigaya-kun...”
Aku menunggu
suara statisnya hilang untuk menjawab, tapi suara statis tersebut terus ada dan
aku mulai mendengar tarikan napasnya yang berat.
“Pastikan
kau mengabulkan request dia, oke...?”
Kemudian,
suara statisnya hilang. Aku sendiri tidak bisa melihat ekspresinya saat ini.
Hanya
ada sedikit perbedaan waktu dan lokasi antara kita berdua, dan suara statis di
mic ini hanyalah sebuah jalan satu arah untuk kurir suara kita. Bertemu saat
rapat, saling melempar candaan, tapi belum satupun menyentuh hal ini. Aku
yakin, ini pastilah jarak yang benar diantara kita. Karena itu, aku sudah
menyiapkan jawabanku.
“Aku
tahu.”
Beberapa
saat kemudian, lagunya berakhir. Setelah itu, musik outro hingga suasana menjadi
sunyi. Cahaya menjadi remang-remang kembali, dan para undangan menganggap kalau
sesi dansa sudah berakhir, dan bersiap-siap untuk menuju akhir dari acara ini.
Tepuk tangan, siulan, dan riuh mengisi event ini.
“Terima
kasih. Mari kita akhiri ini.”
Setelah
suara tepuk tangan mereda, dia menaikkan tangannya untuk memberi aba-aba.
“Oke.”
Akupun
menjawab itu sendiri, tanpa menggunakan
headset.
Setelah
lagunya kuputar, riuh dari para undangan menghilang. Setelah itu, kunaikkan
fadernya, sehingga menimbulkan kesan emosional.
Setelah
menekan tombol di headset, aku menunggu suara statisnya menghilang dahulu.
“Musik
sedang diputar.”
“Diterima.
Setelah suara narasi dari backstage selesai, rendahkan fadernya ketika Isshiki
sudah tiba di posisinya. Aku akan mengatur timingnya.”
Ketika
lagunya sudah mencapai satu putaran, para undangan dengan sabar menunggu
endingnya. Kemudian, Yukinoshita memulai narasinya.
“Para
wisudawan semua, terima kasih sudah menghadiri Malam Perpisahan SMA Sobu. Kami ingin
mengucapkan selamat atas kelulusannya. Selanjutnya, Ibu Ketua OSIS akan memimpin
penutupan acara.”
Bersamaan
dengan tepuk tangan yang membahana, Isshiki berjalan ke atas panggung disinari
lampu sorot yang terfokus kepadanya.
Yukinoshita
melihat ke arahku. Dalam area yang minim pencahayaan itu, dia secara perlahan menaikkan tangannya.
Lengannya yang kurus itu, tampak tidak yakin apakah harus menaikkan lebih
tinggi atau lebih rendah lagi.
Dengan
senyumnya yang sedih itu, dia memberikan tanda untuk ending.
Kemudian,
diam-diam dia melambaikan tangannya.
Melihat
itu, akupun mulai merendahkan fadernya, seperti hendak menurunkan tirai-tirai
pertunjukan ini.
x Chapter 4 | END x
Ada yang meragukan kalau Hachiman sedang "diincar" oleh Iroha? Momen Isshiki di part ini benar-benar berani...
...
Momen Yui x Hachiman di lantai dansa benar-benar lucu, romantis, dan aneh? Hahaha.
...
Sangat sedih melihat interaksi Yukino dan Hachiman di part ini.
...
Saya merasa Hachiman sekarang mulai mirip dengan gambaran Hachiman tentang Hayama di volume 1.
Sekarang, Hachiman adalah siswa populer. Fvckboy SMA Sobu...Yang naksir tidak tanggung-tanggung, Ketua OSIS/ Yui/ Yukino/ Dst.
First
BalasHapusTapi punyamu kurang besar untuk bisa membuatku terus melihat ke arah bawah...Tapi tidak akan kujelaskan apa yang tidak cukup besar dari dirimu!
BalasHapusApakah Sebenarnya yukinon punya indra ke 6.sampai tahu isi batin nya hachiman haha
Sebenarnya si 8man.
BalasHapusSeorang yg teliti dalam pekerjaannya.
Bahkan dia memuji dirinya sendiri. Soal pekerjaanya..
Mantap min! Terimakasih!
BalasHapusIya, Min, setuju. Interaksi Hachiman dan Tukino, terasa benar-benar memilukan.
BalasHapusBtw, terimakasih. Semoga selalu sehat ya, Admin!
Hahahaha njir tukino.. Suku jawa dia yah..
HapusTukino dan tukimin
HapusY
BalasHapusG
BalasHapusTuh Hachiman pujaan kalian sebenarnya cuma pakboi
BalasHapus