Malam perpisahan berjalan sesuai rencana. Setelah kami
selesai membereskan gymnasium, ternyata malam sudah cukup larut. Kamipun
meninggalkan gymnasium dan menuju ruang konferensi di Gedung Utama. Semua orang
yang terlibat dalam pengadaan event berkumpul disana.
Sebenarnya, yang berkumpul disini tidak bisa kukatakan
banyak. Yang berada disini yaitu : Panitia Utama yang terdiri dari Pengurus
OSIS dan Yukinoshita, para sukarelawan pembantu yang dikirim oleh berbagai
klub, Yuigahama, Hiratsuka-sensei, perwakilan dari perhimpunan orangtua siswa,
dan diriku.
Sebagai penghormatan atas kerja keras selama ini, para
pengisi acara, staff, dan yang lainnya tampak memberikan selamat satu sama
lain.
Semua orang tampak berkumpul di sebuah meja panjang yang
terdapat makanan dan minuman. Isshiki berdiri di depan meja dan menatap ke
seluruh penjuru ruangan, seperti memastikan kalau semuanya sudah memegang gelas
kertas masing-masing. Lalu, dia menyenggol Yukinoshita dengan sikunya.
“Yukino-senpai, bisakah Senpai memimpin toast-nya?”
“A-Aku?” Yukinoshita mengatakan itu dengan rasa terkejut.
Isshiki mengangguk seperti memberikan ijin secara tidak
langsung untuk memimpin toast. Selama beberapa saat, keduanya hanya diam
menatap satu sama lain, tapi tidak lama setelahnya, Yukinoshita mengembuskan
napasnya.
“Ya sudah...”
“AKU INGIN MENGATAKAN BEBERAPA HAL...”
Kedua alisnya tampak mengerucut, dan bibirnya seperti
hendak mengatakan sesuatu. Seperti mendapatkan momen, dia maju selangkah sambil
memegang gelasnya. Kemudian, dengan tersenyum dia menatap ke arah orang-orang
di ruangan ini.
“KESUKSESAN PERGELARAN MALAM PERPISAHAN INI KARENA
DUKUNGAN KALIAN SEMUA DISINI. UNTUK PARA PENGISI ACARA, KUUCAPKAN BANYAK
TERIMAKASIH ATAS KERJASAMANYA. JUGA, TERIMAKASIH YANG SEDALAM-DALAMNYA KEPADA
PARA PANITIA DAN SUKARELAWAN. SELANJUTNYA, MALAM PERPISAHAN INI AKAN MENJADI
SEBUAH TRADISI TAHUNAN DARI SMA SOBU, DAN AKU BERHARAP, TAHUN DEPAN DATANG
SEBAGAI UNDANGAN DAN DISAMBUT KEMERIAHAN MALAM PERPISAHAN YANG SEPERTI INI
LAGI...MARI BERSULANG!”
Kata-kata toastnya yang panjang itu mengindikasikan kalau
dirinya sedang bersemangat, mungkin juga ditunjang dengan kelegaan karena acara
ini sudah selesai. Setelahnya, orang-orang menyambut toastnya. Aku sendiri
mengangkat gelasku lumayan tinggi, dan Yuigahama yang ada di sebelahku juga
mengangkat gelasnya.
“Terimakasih atas kerja kerasnya hari ini!”
“Yeah, kau juga,” kataku, dan kami melakukan toast.
Setelah itu, pembicaraan tidak brelanjut lagi...
Merasa malu karena dansa liar yang kami lakukan
tadi, membuatku tidak mampu untuk menatap matanya. Akupun mulai melirik apakah
dia juga merasakan hal yang sama, tapi ternyata dia hanya meneguk minumannya
sambil bermain HP. Seperti menyadari sesuatu, dia lalu menepuk bahuku.
“Oh, ngomong-ngomong, Orimoto-san mengirimiku pesan lewat
LINE. Dia ingin tahu apa rencanamu.”
“Huh...? Oh.”
Awalnya aku tidak paham apa yang ditanyakan olehnya, tapi
tidak lama kemudian, aku ingat sesuatu. Aku juga menyeret SMA Kaihin dalam
rencana palsuku, agar terkesan realistis. Aku pernah bertemu dengan mereka
untuk membicarakan rencanaku dan begitu juga keuntungan apa yang bisa mereka
dapatkan, tapi pada akhirnya aku tunda karena kesibukan acara ini.
Kampret, aku lupa soal mereka...
karena Malam Perpisahan sudah terealisasi tanpa adanya
masalah, jadi yang kuperlukan sekarang adalah membereskan rencana palsuku.
Ngomong-ngomong, sebagai perencana proyek, aku harus meminta maaf sambil
bersujud kepada mereka, entah apakah itu cukup, atau harus sambil mencium kaki
mereka.
“Aku akan menghubunginya. Bisakah kau berikan emailnya,
nomor HP, atau entah apa itu yang bisa menghubungkanku dengannya?”
“Mm, siap!” katanya, dan langsung menghubungi Orimoto.
Sebuah melody terdengar pertanda pesan diterima.
“Oke, kukirim kepadamu.”
“Terimakasih...”
Kuperiksa HP-ku dan melihat mail dari Yuigahama. Akupun
mulai membayangkan bagaimana aku harus meminta maaf, tanpa menyadari kalau
pembicaraanku dengan Yuigahama sudah terhenti. Fakta kalau kita berdua sedang
fokus dengan HP masing-masing adalah sebuah miniatur mini bagaimana kehidupan
orang modern di Jepang. Tapi, kesunyian yang terjadi memang mulai menggangguku.
Sedang diriku sendiri tidak bisa menemukan topik yang bisa dibicarakan.
Kemudian akupun mulai menggerutu.
Isshiki tiba-tiba berjalan menuju ke tengah dan meminta
perhatian orang-orang di sekitarnya.
“Semuanya, kita ada beberapa snack yang sengaja
dipersiapkan untuk kalian, meskipun mohon maaf, kalau snack tersebut hanya sisa-sisa
katering malam ini. Kita harus membuang makanan ini kalau ada yang tersisa.
Jadi, silakan ambil tanpa ragu!”
Dia mengumumkannya dengan gaya yang penuh percaya diri,
sedang orang-orang yang mendengarkannya mulai kehilangan selera makan.
“Tidak ada yang merasa lapar kalau pengumumannya seperti
itu...”
“Ahaha...Kupikir aku akan mengambil sesuatu disana.”
Yuigahama tersenyum kecut dan berjalan menuju meja
panjang. Kusandarkan tubuhku ke tembok sambil melihatnya pergi.
Kurasa begini, ketika pembicaraan sudah buntu, makanan
dan teh akan membantu untuk mengisi mulut yang sedang kesepian. Karena itulah,
kau bisa punya alasan, seperti “Mulutku sedang penuh sekarang! Maaf belum bisa
bicara!”.
Rokok juga punya efek yang serupa, karena ada data yang
menyebutkan kalau 80% perokok akan merokok kalau berada dalam situasi yang
sunyi, atau juga ketika tidak punya satupun hal untuk dibicarakan (data berasal
dari penelitianku sendiri).
Ini juga alasan mengapa aku mulai mencium bau nikotin
yang mulai mendekatiku.
“Kerja bagus hari ini. Menontonmu hari ini ternyata cukup
menghiburku.”
Hiratsuka-sensei berjalan ke arahku dan sepertinya dia
baru saja merokok entah dimana.
“Sensei menonton saja? Harusnya Sensei ikut bergabung
juga. Sangat disayangkan kalau melewatkan Malam Perpisahan begitu saja.”
Acara ini memang ditujukan untuk mereka yang meninggalkan
sekolah ini. Aku merasa kalau Sensei, dan juga para siswa disini, berhak untuk
berpartisipasi.
Dia menaikkan bahunya.
“Panggungku itu di Upacara Perpisahan. Aku akan jadi
bintang utamanya.”
Ketika dia mengatakan itu sambil berpose, membuatku
sedikit tersenyum.
Upacara Perpisahannya sendiri dijadwalkan digelar awal
April dan memang benar kalau sekolah akan membuatkan panggung dan diisi oleh
para wali kelas. Karena itu termasuk event tahunan sekolah, kita tidak bisa
melakukan hal yang informal seperti saat ini. Sekarang, kami masih sebagai
seorang siswa dan wali kelas, dan sebentar lagi kami akan berpisah. Bukannya
aku mau bilang kalau cuma tidak menjadi anak didiknya saja tidak akan membuatku
merasa kesepian, tapi kurasa tidak ada gunanya membahas itu. Akupun hanya
tersenyum kecut dibuatnya.
“Aku ragu kalau Sensei bisa berdansa di event itu.”
“Memang benar, dan itu sangat disayangkan. Akan sangat
menyenangkan bila bisa berdansa denganmu juga.” Katanya sambil tersenyum.
Entah kenapa ada yang janggal dengan kata-katanya tadi.
...berdansa denganmu juga.
Setelah aku paham kata-kata itu, tanganku yang sedang
memegang gelas ini terasa bergetar hebat.
“Sensei melihat kami...?”
Akupun mencoba menahan rasa kecewaku dan terus menatapnya
serius. Dia malah membalasku dengan sebuah senyuman, dan itu sekaligus
menyadarkanku tentang maksud menyenangkan tadi, yaitu dia sedang
menikmati pemandangan itu. Ya ampun, serasa ingin mati saja.
Sambil berusaha menahan malu, aku juga mulai mendengar
suara-suara di sekitar kami. Kulihat Yukinoshita dan Yuigahama sedang berjalan
ke arah kami. Sedang Isshiki tampak mengikuti mereka berdua dari belakang.
“Kerja bagus hari ini,” kata Yukinoshita, sambil sedikit
mengangkat gelasnya.
Akupun mengangguk, dan mengangkat gelasku.
“Yeah...Syukurlah semuanya berjalan dengan baik.”
“Terima kasih...”
Kami sebenarnya hanya berbasa-basi saja, dan tanpa
menyentuhkan gelas kami masing-masing. Permukaan minumanku di gelas tampaknya
masih datar-datar saja karena tidak terjadi toast. Sebuah situasi yang damai
terus berlanjut ketika Isshiki dan Yuigahama mengucapkan rasa syukurnya sambil
tersenyum.
Karena seluruh panitia acara berkumpul di ruangan ini,
wajar bila ada orang yang sengaja menyapa para panitia pada akhirnya akan
bertemu dengan kami. Dan salah satunya, tentunya, Nyonya Yukinoshita.
“Event tadi sungguh luar biasa.”
Ketika beliau datang dengan Haruno-san, Yukinoshita
menaruh gelasnya di meja, berdiri tegak, dan menundukkan kepalanya.
“Terimakasih atas kerjasama Anda. Karena arahan dan bimbingannya,
akhirnya kami semua bisa mengadakan event ini tanpa adanya masalah berarti.”
“Tidak masalah. Saya juga berterimakasih karena sudah mau
mendengarkan permintaan saya yang mendadak.” Ibunya membalasnya dengan sapaan
formal, dan juga menundukkan kepalanya.
Setelah menaikkan kepalanya kembali, mereka saling
menatap satu sama lain dengan tersenyum.
“Kau berhasil mengatur seluruh eventnya berjalan dengan
baik. Aku cukup terkesan.”
Nyonya Yukinoshita menaruh kipas di depan mulutnya sambil
tersenyum. Pujiannya itu membuat wajah Yukinoshita sedikit memerah, tapi
setelah menyadari itu, dia pura-pura batuk.
Memang cukup memalukan mengobrol dengan Ibumu dan
ditonton orang banyak...
Ketika semua orang tersenyum dan menonton interaksi
antara Ibu dan Putrinya itu, ada sebuah suara tawa terdengar.
“Aku juga merasa kalau menonton event ini sangat
menyenangkan. Yep, ini event yang bagus.”
Semuanya hanyalah pujian.
Masalahnya, ini berasal dari Yukinoshita Haruno, dan
tidak bisa dianggap sebagai nilai plus. Kuamati dirinya dengan perasaan
waspada, aku sendiri merasa kurang nyaman dengan gesturnya itu, dia sedang
tertawa menikmati momen ini. Dia bergabung dengan keluarganya dengan sikap yang
mirip dengan Kucing Cashire.
“Memang, yang seperti ini adalah minat dari Yukino-chan.
Bukankah cita-citamu juga ingin seperti ini, benar tidak?”
“Hal-hal seperti ini adalah minatnya...?” Nyonya
Yukinoshita memiringkan kepalanya dan menatap ke arah Haruno-san.
Dia hanya tersenyum, lalu menatap ke arah lain. Tidak
lama kemudian, dia berkata.
“Coba Ibu tanya saja ke dia.”
Tatapan Nyonya Yukinoshita berpindah ke arah adiknya.
Jari-jari Yukinoshita tampak bergetar, sepertinya dia mulai gugup.
“Soal itu...Aku tertarik dengan apa yang dikerjakan Ayah,
dan aku berkeinginan untuk bisa terlibat dengan itu di masa depan.”
Nyonya Yukinoshita menaruh tangannya di mulut, dan
mendengarkan penjelasannya, terkesan seperti sedang berusaha menelan kata-kata
putrinya itu. Seperti kesulitan karena tatapan Ibunya, Yukinoshita hanya bisa melihat
ke arah lantai.
“Aku sadar kalau yang kulakukan hari ini tidak akan
berpengaruh apa-apa terhadap masa depanku, dan aku juga tidak mendapatkan
apapun. Aku tidak ingin membicarakan detailnya saat ini, tapi di lain waktu...”
katanya, lalu mengambil tarikan napas yang kecil.
“Tapi untuk saat ini, aku ingin Ibu tahu apa yang sedang
kurasakan saat ini.”
Secara perlahan, dia menaikkan kepalanya dan menatap
Ibunya. Setelah mendengar semuanya, Nyonya Yukinoshita melipat kipasnya dan
menatapnya dengan tajam.
“Itukah keinginanmu...?”
Nadanya sangat dingin, sesuatu yang bisa kurasakan hanya
dengan melihatnya saja. Tatapan hangatnya yang tadi langsung menghilang begitu
saja, seperti menyadari kalau ada musuh yang mendekat. Semua orang yang ada
disini tampak menahan napasnya karena tekanan situasi ini. Aku bisa merasakan
kebekuan ini. Ini membuatku memalingkan pandanganku, dan melihat Haruno-san
sedang menggosok-gosok kukunya karena kebosanan.
Yukinoshita awalnya berusaha kabur dari tatapan tajam
Ibunya, namun akhirnya dia memberanikan diri dan mengangguk. Melihat putrinya
yang tampak serius, membuatnya tiba-tiba tersenyum.
“Begitu ya...Aku paham. Kalau memang itu keinginanmu, aku
akan mendukungnya. Tapi mari kita jangan terburu-buru dahulu, karena waktunya masih
lama.”
Yukinoshita mengangguk dan tersenyum. Kemudian, Ibunya
tampak membetulkan posisi berdirinya.
“Sepertinya sudah larut malam, aku pamit pulang dahulu.”
beliau lalu menatap Haruno-san, dimana dia membalas balik dengan gestur “baik”.
“Selamat malam semuanya.”
Nyonya Yukinoshita menundukkan kepalanya, dan
Hiratsuka-sensei tampak berada di sampingnya.
“Saya akan mengantar anda keluar.”
“Oh tidak usah, disini saja cukup.”
“Tolong, ini memang keinginan saya sendiri. Saya ingin
mengantar anda hingga ke gerbang sekolah.”
“Oh tidak usah, saya sangat berterimakasih atas kebaikan
anda, tapi para siswa disini lebih membutuhkan kehadiran anda.”
“Terimakasih atas perhatian Nyonya. Setidaknya,
perkenankan saya untuk mengantar anda menuju pintu keluar.”
“Oh, maaf, terimakasih banyak. Sekali lagi, terimakasih
karena sudah menjaga putri saya hari ini.”
Hiratsuka-sensei sedang berperang basa-basi dengan Nyonya
Yukinoshita, sambil berjalan bersama menuju pintu.
“Kita seharusnya juga menyelesaikan kegiatan kita disini.
Umm, perhatian kepada seluruh Pengurus OSIS, mari kita selesaikan kegiatan kita
dan pastikan semua pintu sudah terkunci.” Isshiki menepuk tangannya, dan para
Pengurus OSIS mulai bubar sambil mengucapkan terimakasih kepada semua orang
atas kerjasamanya.
Sedangkan bagi kami bertiga, kekhawatiran masih
menyelimuti kami.
“Barusan sepertinya agak menakutkan...”
“Serius ini...Nyonya Yukinon memang menakutkan...”
kataku.
“Apa yang kau maksud dengan Nyonya Yukinon...?” diapun
tertawa. Hal ini membuat suasana tegangnya mereda, dan dia tersenyum kepada
Yukinoshita yang ada di sampingnya.
“Ngomong-ngomong, akhirnya semua berjalan dengan baik.
Benar tidak, Yukinon?”
“Y-Ya, kau benar...Terimakasih.”
Senyum yang tegang masih terlihat dari Yukinoshita
setelah konfrontasi menakutkan dengan Ibunya tadi. Tapi, semakin lama, dia
tampak semakin tenang.
“Terimakasih juga kepada Nee-san...” kata Yukinoshita.
Haruno-san tampak keheranan dan memiringkan kepalanya.
“Untuk?”
“Untuk banyak hal, seperti membuka kata-kata untukku.”
Yukinoshita tampak malu-malu ketika mengatakannya. Sikapnya yang seperti itulah
yang membuat Yuigahama tersenyum.
Aku ingat kalau dulu Haruno-san pernah mengatakan kalau
dia akan membantu adiknya untuk mengatakannya ke Ibunya. Memang mengejutkan,
kadang dia bersikap seperti layaknya seorang kakak.
Meski begitu, dia hanya terdiam ketika ada yang
berterimakasih kepadanya. Dia tampak kurang berkenan dengan itu.
“Oh, itu? Aku sebenarnya tidak serius ketika mengatakan akan
membantu mengatakannya dulu.”
Kata-katanya terasa dingin, seakan-akan lupa kalau pernah
berjanji. Sikapnya memang berubah drastis. Dia tidak mempedulikan reaksi kami
yang terkejut, dia lalu menatap ke samping dan menaruh jari telunjuknya di
dagu.
“Hmm, kurasa Ibu sudah cukup yakin? Tapi entah ya kalau
pendapat yang lainnya. Benar tidak?”
Kata-katanya memang berlawanan dengan senyumnya yang
manis, hanya satu hal yang terbayang dari gestur ini, yaitu jahat.
“Kenapa kau malah tanya kepada kami...?" Yuigahama menatapnya
dengan keheranan, dan Yukinoshita tampak secara reflek meremas tangan
Yuigahama. Merespon situasi yang memanas ini, akupun juga mulai terpancing.
Tapi, Yukinoshita Haruno tidak terpancing suasananya dan
terus memasang senyum yang ceria.
“Setidaknya, aku sendiri tidak yakin.”
“Apa...?”
Itu terucap begitu saja dari mulutku. Aku yakin ekspresi
bodohku saat ini sedang terlihat jelas di wajahku. Sedang Haruno-san mulai
tertawa.
“Aku tidak bisa menerima itu begitu saja.”
Kata-kata itu berasal dari seseorang, Yukinoshita Haruno.
Meski begitu, ada satu orang lagi yang sedang terpukul oleh kata-kata itu.
Keraguan yang sudah lama terpendam di dadaku ini, adalah sesuatu yang sengaja
kuseret ke pinggir, kusembunyikan, dan kubiarkan membusuk. Dan kini, aku merasa
kalau hal itu malah diungkapkan dengan kata-kata. Keraguan itu seakan-akan
mencuri semua energiku untuk mengatakan sebuah penolakan.
Aku yang terdiam ini sudah mengatakan sesuatunya, dan
Haruno-san menganggap itu sebagai momen lanjutannya.
“Maksudku, jangan salah paham dulu. Jujur saja, aku tidak
peduli dengan apa yang akan terjadi dengan keluargaku. Bukannya aku ingin
menguasai seluruh bisnis keluarga.”
“Kalau begitu...”
Respon Yukinoshita cukup pendek, dan itu terlihat dari
tatapan Haruno-san yang diiringi senyum sinis. Sambil tersenyum, Haruno-san
melanjutkan.
“Tapi apa kau tahu? Selama ini aku selalu diperlakukan
agar sesuai dengan ekspektasi, jadi kau tidak bisa berharap kalau aku akan baik-baik saja dengan
itu. Tidak ada yang bisa kulakukan dan aku menyerah pada realita itu, sehingga
aku harus berkompromi. Lalu ini terjadi...? Apakah aku akan langsung yakin
hanya dengan begini saja?”
Yukinoshita hanya terdiam, ekspresinya seperti sedang
dihinggapi awan hitam. Dia hanya bisa membalasnya dengan nada yang pelan.
“Kenapa kau baru mengatakan itu sekarang...?”
“Akulah yang harusnya mengatakan itu...Kenapa kau baru
mengatakan keinginanmu saat ini, setelah apa yang terjadi selama ini?”
Kata-katanya yang mengejutkan itu, dikatakan dengan nada
yang lembut, namun penuh dengan emosi. Ekspresi dari Yukinoshita Haruno, baru
kali ini terlihat seutuhnya. Melihat ekspresi itu, Yukinoshita hanya terdiam.
Haruno-san lalu menatapnya dengan tajam untuk menunjukkan
ketidaksenangannya.
“Kau pikir aku bisa menerima keputusanmu yang bisa
menghapus semua yang sudah kujalani ini selama 20 tahun? Kau harus bisa
menunjukkan kalau kau lebih layak dariku jika kau ingin diriku menyerahkan
semuanya kepadamu.”
Kata-katanya memang terucap dengan tanpa masalah, tapi
ada sedikit emosi di kata-kata itu. Kontras dengan bibirnya, kedua matanya
terbuka lebar, seakan merampas peluang kami untuk menyela. Dia lalu tersenyum
dan menambahkan.
“Ngomong-ngomong...Aku akan menyapa Shizuka-chan dahulu
sebelum pulang. Sampai jumpa semuanya.” katanya, dan melangkah keluar.
Sebelum menutup pintu, dia melambaikan tangannya ke
arahku dan pergi.
Sebelum suara langkahnya benar-benar tidak terdengar
lagi, kami semua terdiam, bahkan kami sendiri merasa kesulitan hanya untuk
sekedar melihat wajah masing-masing. Sedangkan aku sendiri hanya terpaku
menatap ke arah lantai. Dengan hanya ada kami bertiga disini, ruangan ini
terasa lebih besar dan lebih dingin dari sebelumnya.
Suasana yang kurang nyaman mulai tercipta, dan
Yukinoshita berbicara.
“Um, maafkan aku...Atas hal-hal aneh yang dikatakan
kakakku.”
“Aku sudah terbiasa mendengar itu darinya. Kurasa tidak ada
yang baru.”
“Oh, benar juga.” Yuigahama tersenyum, dan memicu
Yukinoshita untuk tersenyum.
“Begitu ya. Syukurlah kalau begitu.”
Suasana ini tampaknya mulai mencair, meski aku masih bisa
melihat awan hitam di atas kepala Yukinoshita.
“Kupikir dia agak serius hari ini. Maksudku, seperti
mengatakan dia telah menjalani 20 tahun yang sangat berat dalam hidupnya.”
tambah Yukinoshita.
Kurasa itu hanyalah sesuatu yang bisa diucapkan oleh
orang yang pernah tinggal dengan Haruno-san. Tapi bagi orang luar sepertiku, sulit
rasanya membayangkan ataupun bersimpati dengan penjelasan yang seperti itu.
Ini adalah momen dimana candaan basa-basi bukanlah hal
yang tepat untuk dilakukan. Aku yakin sekali. Yang bisa kulakukan hanyalah
mengangguk saja. Tapi, Yuigahama memilih jalan yang berbeda.
Dia malah berusaha menutup jarak antara dirinya dan
Yukinoshita, selangkah demi selangkah, dan memeluknya dari samping.
“Yukinon, setahun yang sudah kau lalui ini...Kamipun bisa
merasakan perjuanganmu itu. Kupikir ini bukan masalah berapa lama prosesnya.”
Yukinoshita menaikkan pandangannya karena mendengar
suaranya yang lembut itu, dan akupun melihat ekspresi Yuigahama yang hangat
itu. Kemudian, Yuigahama menarik napas, membusungkan dadanya, dan mengepalkan
kedua tangannya.
“Satu tahun ini memang benar-benar aneh!”
“Apa maksudmu dengan aneh...?”
Aku bisa merasakan kalau bahuku mulai lemas, dan aku
sendiri sudah mulai kehilangan kekuatan suaraku. Yukinoshita hanya bisa
terdiam, lalu mulai tersenyum.
“Memang, memang agak aneh. Klub Relawan memang semacam
sesuatu yang gila sejak awal.”
Yukinoshita kemudian menatapku. “Kebanyakan itu karenamu.”
“Yep, yep. Karena itulah, terasa menyenangkan...Kau terus
melakukan kebiasaan anehmu itu, dan terjadilah hal-hal yang menyedihkan,
hal-hal buruk, dan juga hal-hal yang menyakitkan.”
Yuigahama mulai merendahkan tatapan matanya, dan
Yukinoshita mengikutinya. Yang kami lihat saat ini bukanlah kaki masing-masing,
tapi sebuah perjalanan panjang yang mengantarkan kami hingga ke tempat ini.
Semua kenangan dan nostalgia memenuhi jejak-jejak tersebut.
Suatu hari nanti, kita akan bernostalgia tentang hal-hal
yang pernah kita lakukan bersama-sama, hal-hal yang pernah kita lalui setahun
ini. Kita akan tertawa bersama-sama tanpa menyentuh hal yang paling penting
dari itu, malahan hanya berusaha mencari hal-hal di masa lalu agar bisa bernostalgia.
Kami mengingat momen-momen itu, hal-hal yang menyakitkan, dan yang membuat
perasaan semua orang terlibat di dalamnya. Karena itulah, suara tawa ini terus
keluar dari mulut kami bertiga.
Yuigahama lalu menegakkan pandangannya dan menatap hangat
ke arah kami semua.
“Tapi yang paling utama, itu adalah satu tahun yang
sangat menyenangkan, membahagiakan, dan tidak terlupakan.”
“Kau benar...Aku memang merasakan itu juga.”
“Yep.”
Aku hanya bisa menggumamkan itu. Malahan, sebenarnya aku
tidak perlu mengatakannya. Bagiku, ini adalah satu tahun terpanjang yang pernah
kujalani. Tidak lama lagi, ini akan berakhir.
Yukinoshita secara perlahan melihat ke seluruh penjuru
ruangan.
“Kupikir kita sudah melakukan pekerjaan terakhir kita
dengan baik.”
Tatapannya sepertinya tidak diarahkan kepada kami, tapi
kepada banyak hal; meja panjang, gelas kertas, jendela ruang kontrol, halaman
belakang yang dihiasi lampu remang-remang, Gedung Khusus yang gelap, dan jam
dinding ruangan ini yang berdetik tanpa henti. Setelah itu, dia menatap kami
kembali.
“Kupikir ini adalah momen yang tepat untuk mengakhiri ini,
bukan karena apa yang dikatakan Nee-san,
tapi karena aku merasa kalau ini adalah momen yang tepat.”
“Kupikir tidak masalah jika kita bisa terus seperti ini
lebih lama lagi, tapi kalau memang itu yang kau inginkan, Yukinon, aku tidak
keberatan.”
Kedua pasang mata tersebut kini menatap ke arahku.
Seperti hendak menunggu jawabanku. Tapi tidak ada gunanya menanyakan itu
kepadaku, karena aku memang bukan orang yang mengatakan itu sejak pertama.
Aku hanya mengatakan kalau aku disuruh oleh
Hiratsuka-sensei, yang akan meninggalkan sekolah di akhir tahun ajaran, kalau
kompetisi yang dulu pernah kita ikuti di Klub Relawan berakhir dengan
kekalahanku.
Karena itulah, aku sendiri tidak akan mengatakan
keberatan.
“Aku...”
Ini baik-baik saja. Ini sudah benar. Tidak ada yang salah
dengan akhir yang seperti ini. Aku sangat yakin. Seperti kata mereka berdua,
ini adalah hal yang kita inginkan, ini adalah cara yang benar untuk
melakukannya, dan ini adalah kesimpulannya.
Karena itulah, aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku.
Tenggorokanku seperti merasa kesakitan. Kutelan semua
udara di tenggorokanku agar kata-kataku bisa keluar. Kupaksa keluar dari
leherku, tapi yang hanya terdengar adalah suara embusan napasku.
Mereka berdua menunggu jawabanku. Di sebuah ruangan
dimana embusan napas yang berat ini bisa terdengar, aku hanya bisa menyeringai
saja.
Tiba-tiba, ada suara terdengar dari arah pintu, dan kami
semua menoleh ke asal suara tersebut.
“Hallo, semuanya...Err, apa ada sesuatu?”
Isshiki kembali bersama beberapa Pengurus OSIS dan
menatap kami semua, mungkin merasakan suasana yang abnormal di ruangan ini.
Akupun menggelengkan kepalaku.
“Tidak ada. Apa kalian sudah selesai?”
“Sudah. Hanya ruangan ini saja yang belum terkunci. Ngomong-ngomong,
terima kasih atas kerja kerasnya hari ini.”
“Baiklah...Kalau begitu aku pamit pulang.”
“Huh? Pulang? Kita harus bersih-bersih tempat ini dulu...”
Dengan tergesa-gesa aku meninggalkan ruang konferensi,
tanpa mempedulikan jawaban Isshiki.
Tapi setelah memasuki area lorong gedung, langkahku mulai
melambat.
Diluar sudah gelap sekali, dan lorong ini hanya disinari
cahaya remang-remang dari pantulan lampu. Dengan dipandu cahaya remang tersebut,
akupun mulai berjalan.
Tiba-tiba, ada suara langkah kaki mendekat.
“Hikigaya-kun, tunggu.”
Suara panggilan itu menghentikan langkahku dan membuatku
merasakan sensasi aneh di dadaku. Aku merasa kalau aku harusnya tidak
membalikkan tubuhku ke arahnya, tapi aku tidak bisa tidak mempedulikan suara
itu. Jari-jariku yang meremas ujung blazerku, seperti berusaha menahanku.
Akupun berdiri, dan kehilangin suaraku karena tarikan napas beratku ini. Yang
kulakukan hanyalah menatap ke arah langit-langit saja. Setelah dadaku terasa
agak lega, aku mencoba menenangkan diriku kembali, dan membalikkan separuh
badanku.
Yukinoshita berdiri di belakangku. Rambutnya terlihat
lebih gelap dari kegelapan malam. Dia lalu mengibaskan rambutnya itu, dan
mencoba menormalkan tarikan napasnya. Sepertinya, dia mengejarku dengan tergesa-gesa.
Jari-jarinya tampak meremas ujung roknya dan mencoba mengatakan sesuatu.
“Umm...Aku ingin memastikan diriku kalau aku sudah
mengatakannya.”
Kedua matanya tidak menatapku langsung, dia hanya menatap
ke arah sebuah jendela di lorong. Karena aku juga tidak melihat langsung ke
arah tubuhnya ayng kurus itu, akupun juga melihat ke arah jendela tersebut.
Cahaya remang di lorong berasal dari pantulan cahaya di kaca jendela tersebut,
dan kini menyinari kita berdua. Akupun hanya bisa menatap pantulan sosoknya di
kaca jendela yang remang ini.
“Terimakasih karena sudah membantuku hari ini...Tapi
maksudku tidak hanya hari ini, tapi semuanya hingga saat ini. Maaf sudah
membuatmu melalui hal-hal yang sulit.”
“Kau tidak perlu meminta maaf. Malahan, akulah yang membuatmu
melalui hal-hal yang sulit selama ini. Begini saja, anggap saja impas,
bagaimana?”
Akupun tersenyum sambil menatap kaca jendela tersebut. Ketika
kedua pandangan kami bertemu di pantulan kaca tersebut, dia mulai tersenyum.
“Kau benar, kau memang sangat membantu. Ya sudah, anggap
saja impas.” dia mengatakan itu dengan nada yang santai. Tapi ekspresinya
tampak sudah tidak lagi tersenyum, mungkin karena refleksi cahaya yang kurang
sempurna.
“Terimakasih atas bantuannya selama ini. Tapi...Aku akan
baik-baik saja. Mulai saat ini, aku akan melakukan sesuatunya sendiri dengan
lebih baik.”
Dia kemudian meremas erat lengan blazerku, dan itu
membuat diriku menoleh ke arahya. Cahaya lampu dari mobil yang melewati jalan
raya seketika menyinari lorong ini. Kucoba melihat ekspresi wajahnya, dan yang
kulihat adalah ekspresinya yang mulai dipenuhi air mata.
“Karena itulah...”
Suara mesin mobil dan cahaya lampunya mulai menghilang
bersama suaranya. Karena itulah, aku tidak bisa mendengar kata-kata yang diucapkannya
setelah itu. Tapi, kurasa aku kurang lebih paham apa maksudnya.
Itu adalah kata-kata yang sama, selalu berulang-ulang di
dadaku, setelah aku menutup pintu ruang klub dan melepaskan jari-jariku dari
gagang pintu itu.
Tidak apa-apa.
Mari kita akhiri ini.
“Ya, aku mengerti. Kau jangan khawatir.”
Sebenarnya, aku tidak mengerti apapun, dan akupun
mengatakan kata-kata yang bisa kuucapkan untuk mengakhiri percakapan.
“Sampai jumpa lagi.”
Meski aku mengatakan itu, jari-jarinya tetap meremas
lenganku. Sebenarnya, dia tidak meremas erat lengan blazerku. Kalau sengaja
kugoyang-goyang, maka akan terlepas dengan mudah. Tapi, jari jemarinya yang
lembut itu, membuatku tidak memiliki kekuatan untuk melakukan hal yang kasar
kepadanya.
Karena itulah, aku menggunakan jari-jariku yang kasar
ini, memegang jari-jarinya dengan lembut dan perlahan, agar tidak meremas
lenganku lagi. Tapi fakta kalau aku sedang membuat kontak fisik dengannya,
membuat jari-jariku bergetar hebat. Atau mungkin, jari-jarinyalah yang sedang
bergetar karena kontak tersebut. Sebelum kupastikan, jari-jari kami sudah
terpisah.
“Selamat tinggal...”
Akupun menaruh jari-jariku di kantong, merasakan suhu
dingin ini mulai menusuk ujung jariku, dan membalikkan badanku kembali.
Kutinggalkan tempat itu tanpa menoleh balik.
Tidak peduli berapa lama aku berjalan, yang kudengar
hanyalah suara langkahku sendiri yang menggema di lorong.
...
Langkah-langkah ke belakang diibaratkan sebuah memori dan perjalanan masa lalu. Artinya analisis tentang perumpamaan yang diucapkan Hiratsuka-sensei di event memasak coklat vol.11 Chapter 5 adalah benar.
...
Sudah jelas motif Haruno.
Analisis tentang bagaimana Haruno harus merelakan masa mudanya menuruti keinginan Ibunya di blog ini, artinya benar.
Kecuali, Haruno berbohong agar Yukino bisa lebih meyakinkan lagi.
...
Sebenarnya, adegan Yukino dan Hachiman di lorong benar-benar memiliki nilai drama dan puitis yang cukup tinggi. Namun, melihat Yukino yang masih diam berdiri melihat Hachiman pergi, menunjukkan kalau Yukino sendiri, masih belum 100% yakin akan keputusannya, dan bersedia mendengar lebih jauh kalau Hachiman bisa meyakinkannya.
Tapi, apakah Hachiman sendiri yakin?
Maksud saya, ini yang dia cari selama ini, selama 17 tahun hidupnya...
...
Buat yang belum tahu, Ayah Yukino ini adalah pengusaha pemilik banyak perusahaan di Chiba, termasuk properti. Dan beliau juga menjabat sebagai anggota DPRD. Ini ada di volume 2.
Karena kesibukannya sebagai anggota DPRD, Nyonya Yukinoshita membantu mengurus perusahaan-perusahaan tersebut, termasuk menyiapkan Haruno untuk menggantikannya. Ini ada di volume 5.
Karena itu, Nyonya Yukinoshita mengatur tempat kuliah dan jurusan Haruno setelah lulus SMA agar menunjang pekerjaannya sebagai pemimpin perusahaan. Bahkan, Haruno mengakui kalau dia harus merelakan keinginannya untuk kuliah di jurusan yang diinginkan. Ini ada di volume 8.
Kehidupan yang penuh tekanan itu juga, yang menjadikannya sebagai anak nakal di SMA Sobu. Ada di volume 5.
Tapi, apakah sesederhana itu?
Kunci cerita ini menurut saya ada di interaksi Hachiman dan Haruno, dan mereka harus melakukannya empat mata.
Sesi pertanyaan lagi om, dikatakan bahwa yukino itu kadang terlalu bergantung pada orang lain. Apakah itu cuma ke hachiman doang atau sudah bawaannya begitu? Saya kira istilah co-dependency itu jadi vokal point disini karena sering diucapin sama kak haruno. Memangnya co-dependency itu buruk? Jujur saya jg kurang paham sih sama definisi co-dependency ini. Sekali lagi mohon bantuannya.
BalasHapusSebenarnya, Yukino tidak bergantung pada orang lain. Namun, masalah/ event/ request yang masuk ketika hendak di titik penyelesaian masalahnya, tidak bisa selesai dengan cara yang wajar. Disinilah Hachiman menyelesaikannya dengan cara yang tidak wajar pula, dan tentunya sering mengorbankan dirinya. Problem selanjutnya, Hachiman memang melakukan itu untuk Yukino, dengan mencari alasan apapun sebagai cara dia terlibat.
HapusJadi sebenarnya Yukino tidak berniat bergantung ke Hachiman, tapi dari sudut pandang orang luar seperti Haruno, sepertinya begitu. Malah bisa dianggap memanfaatkan.
co-dependency sudah diartikan dengan baik di google. Jadi saya tidak perlu menambahkan.
Buruk atau tidak? Tergantung kemana kamu melangkah.
Kalau kamu ingin memimpin banyak perusahaan tapi kamu sendiri tidak bisa diandalkan, selama ini hasil kerjamu sebenarnya mayoritas dikerjakan orang lain...Menurutmu buruk tidak?
Saya kira kamu sudah punya jawabannya. Tentunya, itu dari kacamata Haruno.
Butuh lebih dari sekedar pembuktian untuk membalikkan penilaian itu.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussebenarnya yg terjadi di volume 13 apa sih min>,,,saya jdi penasaran,,
BalasHapusSaya juga penasaran, ditunggu aja nanti translate vol.13
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAdmin Saya aneh , Pas baca Oregairu Yukino side yang chapter ditulis Watari , Ibu Yukinoshita nanya gini ke Yukino , " Kenapa kamu gak seal the deal Hachiman" Sambil Menekankan Hachiman bisa saja direbut gadis lain, Kalau lihat dari sana berarti status Yukino Ama Hachiman masih belum pacaran ya ?
BalasHapusSetahu saya, mereka berdua resmi berpacaran (ada ucapan saling mencintai baik dari Hachiman dan Yukino). Seal the deal mungkin ditunangkan atau dijadikan calon mantu.
HapusYa namanya juga pacaran, selama janur kuning belum melengkung, apapun bisa terjadi. Namun bagi kisah romansa novel ataupun manga, biasanya berakhir setelah MC dan heroine sudah terikat hubungan, baik yang sederhana semacam pacaran, ataupun legal semacam pernikahan.
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
BalasHapusdapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q
Aku malah liatnya hubungan 8man dan Gahama-chan yang codepenency. 8man nggak pernah nolak Yui. Yui selalu nolong 8man. 8man selalu mikirin dampak kalau dia dan Yui hubungannya memburuk. 8man merasa (kadang) harus nyembunyiin perasaannya ke Yukinoshita supaya Yui nggak tahu (misalnya pas gak sengaja ngomongin moment antara dia dan Yukinoshita doang). Yui berusaha selalu terlihat dalam semua urusan 8man. Nggak sampai toxic relationship sih, cuma ya, agak nggak normal aja hubungan mereka ber2.
BalasHapus