“...Ya
begitulah ceritanya.”
Pada
pagi yang sunyi ini di Toko Biblia, aku baru saja menjelaskan apa yang terjadi
kemarin kepada Shioriko dan kini aku sedang menunggu responnya.
Dia
sejak tadi hanya memiringkan kepalanya saja, dan belum bergerak sedikitpun,
persis orang yang posisi lehernya memang didesain untuk menopang kepala yang
miring. Dia tampaknya tidak menyadari kalau rambut hitam panjangnya itu
menutupi lensa kacamatanya.
“Kira-kira
kau tahu apa buku yang dia maksud?”
Dia
tidak meresponku. Shioriko masih berpikir keras. Sekitar 10 detik kemudian, dia
menarik napas yang panjang seperti seorang penyelam yang hendak memasuki
perairan.
“Maaf...Aku
masih kesulitan untuk menjawabnya.”
Suaranya
yang kecil memberikan kesan kalau dia ingin meminta maaf karena
ketidaktahuannya.
Kurasa
dia tidak perlu meminta maaf seperti itu. Malahan, aku akan terkejut jika dia
bisa menjawabnya dengan petunjuk yang sedikit tersebut.
“Tapi
sepertinya dulu aku pernah tahu cerita yang semacam itu.”
“Eh?
Serius?”
“Ya,
tapi...Ini memang agak aneh. Aku jarang sekali lupa judul buku dan penulisnya
yang sudah aku baca.”
“Bukankah
itu wajar? Tidak ingat setiap buku yang pernah kau baca semasa kecil dulu.”
“Eh,
memangnya begitu ya?” dia menjawabnya dengan nada keheranan.
Sepertinya
“kewajaran” tidak bisa disematkan begitu saja kepada Shioriko jika membahas
tentang buku.
“Kira-kira
gambaranmu tentang buku itu bagaimana?”
“Tidak
ada yang penting, tapi jika cerita Shinobu bisa sedikit detail, mungkin kita
bisa mempersempit kemungkinan judul buku yang dimaksud.”
“Apa
maksudmu?”
“Pertama,
buku itu baru dijual di toko buku pada pertengahan 1970.”
Shioriko
menaikkan jari telunjuknya.
“Cukup
masuk akal jika Shinobu bilang dia membacanya sewaktu SD, jadi buku itu pasti
ditulis dan diterbitkan sebelum itu. Lalu yang kedua...”
Shioriko
menaikkan jari tengahnya.
“Ceritanya
kemungkinan besar bersetting abad 20, dan lokasi ceritanya sekitar kota Eropa
atau Amerika.”
“Darimana
kau tahu soal itu?”
Shinobu
saja bilang kalau dia tidak tahu ceritanya di jaman apa, dan dia juga tidak
memberitahu setting ceritanya ada di mana.
“Katamu,
dia bercerita kalau ada adegan dimana batu bata untuk membangun rumah dibawa
dengan truk, benar tidak? Truk sendiri mulai diproduksi pada akhir abad 19,
namun baru dijual luas pada awal abad 20. Malah dia berpikir kalau settingnya
seperti sebuah kebun binatang, artinya ada kemungkinan kalau setting ceritanya
berada di sebuah kota.”
Akupun
mengangguk; masuk akal. Tapi jarak tahun antara awal 1900 hingga 1970 masih
terlalu jauh. Ini hanya sedikit mempersempit saja tentang dugaan bukunya.
“Yang
tidak kumengerti, bagaimana si protagonis cerita adalah seekor musang.”
Shioriko
lalu menurunkan jari-jarinya.
“Musang
sudah muncul dalam banyak cerita Jepang sejak jaman dulu, karena memang habitat
musang ada di Asia Timur, tapi musang sendiri tidaklah begitu dikenal di dunia
barat. Mungkin, yang dimaksud olehnya adalah jenis hewan yang berbeda...”
“Tapi
gambar yang dia buat bukankah ciri-cirinya benar-benar seekor musang, benar
tidak?”
Kulihat
lagi secarik kertas yang diberikan Shinobu kemarin, bergambar karakter
protagonis cerita itu.
“Jujur
saja, gambarnya memang sangat mirip musang...”
Kami
berdua hanya bisa terdiam. Petunjuknya terlalu sedikit, dan kami merasa sudah
tidak ada lagi yang bisa didapatkan dari info yang segelintir tersebut.
“Apa
kau mau pergi ke rumah Shinobu?”
Shinobu
memang mengatakan kalau pergi ditemani orang yang tahu tentang buku akan lebih
baik, tapi kurasa dia hanya ingin ditemani saja dan tidak mau pulang ke rumah
sendirian.
“Aku
ada keinginan untuk kesana.” Lalu dia langsung menambahkan. “Juga, aku ingin
tahu tentang buku yang sedang dicarinya.”
Akupun
merasakan hal yang sama. Tapi pulang ke kampung halaman dengan membawa pegawai
Toko Buku jelas merupakan sesuatu yang janggal.
“Ngomong-ngomong,
apa dia sudah mengkonsultasikan soal buku ini ke suaminya?”
“Huh?”
“Shinobu
tidak mengatakan apapun tentang suaminya ketika membahas buku ini, jadi aku
juga agak penasaran...”
Benar
juga, aku baru sadar. Masashi adalah tipe orang yang akan memaksa ikut untuk
pergi ke kampung halaman Shinobu meski bersama-sama kami. Mungkin ada sesuatu
sehingga dia tidak bisa ikut. Shinobu dulu pernah cerita kalau orangtuanya
sangat “ketat”, jadi aku tidak tahu apakah orangtuanya merestui dirinya
menikahi seorang pria tua.
“Tapi
buat apa untuk tidak memberitahunya? Bagaimana jika Masashi juga tidak tahu
buku apa yang dimaksud, sehingga Shinobu merasa tidak penting untuk membahas
suaminya tahu atau tidak di percakapan kemarin?”
Shinobu
pernah cerita kalau dia tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari suaminya.
Shioriko
sendiri tersenyum dan mengangguk.
“Begitu
ya...Mungkin aku terlalu berpikir berlebihan. Ngomong-ngomong, ayo kita fokus
ke pekerjaan dulu; kemarin ada banyak pesanan online yang masuk...”
“Shioriko.”
Suara
panggilanku barusan membuat perjalanannya ke tumpukan buku-buku tersebut
terhenti. Ada satu hal lagi yang ingin kubahas dengannya.
“Sejujurnya,
tempo hari aku mampir ke Toko Hitori.”
Kuberitahu
semua yang terjadi disana – Dari kartu ucapan Natal yang diterima pemilik toko,
Inoue, yang dikirim oleh Shinokawa Chieko, hingga kecurigaan Inoue yang pernah diceritakan
kepadaku.
Shioriko
mendengarkan ceritaku dengan diam. Di akhir cerita, aku meminta maaf karena
sudah merahasiakan ini cukup lama darinya, namun Shioriko hanya bisa
memalingkan wajahnya.
“Kupastikan
kalau aku tidak pernah berkomunikasi dengan ibuku, dan aku tidak pernah
menceritakan tentangmu ke siapapun. Tidak ada gunanya aku membohongimu. Kau
harusnya memberitahuku lebih cepat soal itu.”
“Begitu
ya...Maafkan aku.”
“Aku
mengkhawatirkanmu sejak awal tahun ini.”
Shioriko
mengatakannya masih dengan posisinya yang memalingkan wajahnya dariku.
“Aku
khawatir kalau telah terjadi sesuatu denganmu...Apa kau ingat waktu kita
minum-minum tempo hari? Itu adalah hari sebelum kita mendapatkan kembali Gadis
Dandelion-nya.”
“Eh?
Yeah, aku ingat.”
Akupun
menjawab pertanyannya dengan kebingungan. Apa maksudnya membahas tentang hal
itu? Entah mengapa, wajah Shioriko tiba-tiba memerah.
“Hari
itu terasa sangat menyenangkan bagiku...Dan aku minum lebih banyak dari
biasanya, jadi aku tidak begitu ingat apa yang sudah kukatakan waktu itu. Aku
sempat berpikir apakah mungkin waktu itu, aku melakukan sesuatu yang aneh...”
“Aneh
yang bagaimana?” kukatakan saja secara spontan.
Aku
tidak tahu apa maksudnya, tapi wajahnya malah semakin memerah.
“Maksudku,
umm...Seperti tertawa terus-terusan...Atau mengomel tidak karuan...Ataupun
tidur begitu saja...”
Suaranya
bertambah kecil dan kecil. Ini lucu sekali, ternyata dia berpikiran seperti itu
selama ini. Ini membuatku berusaha untuk menahan tawa sedari tadi.
“Semua
hal tersebut tidak terjadi.”
“Benarkah?
Atau kau hanya pura-pura tidak terjadi?”
Dia
menatapku dari ujung mataku hingga seluruh ekspresi wajahku. Jujur saja, aku
mengatakan apa adanya tadi, kemampuannya untuk minum tidaklah buruk. Malahan,
kebalikan dari itu.
“Serius
ini, benar tidak terjadi hal-hal tersebut.”
Setelah
mengatakan itu, tiba-tiba aku memperoleh ide yang aneh.
“Bagaimana
kalau kita minum lagi di lain kesempatan? Tentunya kalau kau tidak keberatan.”
“Akan
kupikirkan dahulu.”
Aku
lega sekali karena kupikir dia akan menolaknya langsung, tapi aku melihat kalau
ekspresi wajah Shioriko tampak suram dari biasanya.
“Bagaimana
jika, seandainya yang Inoue katakan itu benar, bukankah artinya ada orang di luar
sana yang memberikan informasi ke ibuku...”
“Benar
juga...”
Jika
Shioriko tidak berkomunikasi dengan ibunya, maka pasti ada orang lain yang
menghubungi ibunya.
Orang yang berada di dekat kita,
yang sedang mengumpulkan informasi secara rahasia tentang kita, dan
memberitahukannya ke Shinokawa Chieko.
Aku
cukup yakin kalau orang ini pasti juga punya informasi tentang dirinya.
Tapi siapa orang itu?
Perasaan
dimana aku mulai tidak bisa mempercayai orang-orang di sekitarku malah membuat
perasaanku menjadi tidak tenang.
“Ya
sudah, ayo kita kerja dahulu?” kata Shioriko.
Tepat
ketika aku mengangguk setuju, pintu kaca terbuka dengan suara yang cukup keras.
Ketika kubalikkan badanku, kulihat seorang pria tua yang memakai kacamata
sedang berdiri di pintu masuk. Dia memakai mantel abu-abu dan syal rajut
berwarna merah di sekitar lehernya.
“Selamat
tahun baru semuanya.”
Sakaguchi
Masashi merendahkan kepalanya dan memberi salam.
“Aku
kesini ingin membicarakan tentang istriku. Apa kalian ada waktu?”
Masashi
langsung to the point sambil melepas
syalnya.
Beberapa
bagian syalnya tampak tidak rapi dan beberapa bagian tebalnya tidak rata; jelas
sekali kalau syalnya itu buatan tangan.
“Tentu
saja...Apa yang bisa kami bantu?”
“Kudengar
Shinobu meminta bantuan kalian tentang buku yang pernah dia baca semasa kecil
dulu. Bisakah kalian memberitahuku secara detail tentang hal itu?”
Seperti
biasanya, caranya meminta informasi sangat blak-blakan dan tidak ada
basa-basinya.
Shioriko
dan diriku hanya bisa menatap satu sama lain.
“Itu
adalah sebuah permintaan kepada kami untuk menemukan sebuah buku, dia tidak
tahu judul dan penulisnya. Shinobu bilang dia ingin pergi ke rumahnya di
kampung halamannya untuk menanyakan itu ke orangtuanya, sekaligus meminta kami
apakah kami bisa menemaninya pergi kesana...”
Kujawab
pertanyaannya karena akulah yang berbicara dengan Shinobu kemarin. Ketika aku
mengatakan Shinobu ingin ke rumahnya di kampung halaman, ekspresi wajah Masashi
menjadi suram.
“Begitu
ya.” dia menggumamkan itu.
“Apa
ada sesuatu?”
Aku
mulai merasa tidak nyaman dengan ini. Pasti ada sebuah alasan mengapa Shinobu
tidak mau memberitahu cerita yang utuh soal ini ke suaminya? Setelah beberapa
saat hanya terdiam, Masashi lalu berkata.
“Kupikir
tujuan utamanya bukan untuk menemukan buku yang pernah dia baca semasa kecil
dulu. Tapi untuk berbicara dengan kedua orangtuanya.”
“Eh?”
“Apa
kalian tahu kalau Shinobu tidak memiliki hubungan yang cukup baik dengan
orangtuanya?”
“Yeah.”
akupun mengangguk.
“Kedua
orangtuanya adalah tipe orang terdidik. Mereka sudah pensiun, ayahnya dulu
adalah PNS di Kanagawa, dan ibunya adalah guru les. Setahuku dia punya saudara,
tapi aku tidak pernah bertemu dengan saudaranya.”
Aku
ingat dulu Shinobu pernah memberitahuku kalau kedua orangtuanya adalah orang
pintar dan mengutamakan pendidikan di atas segalanya. Melihat apa pekerjaan
orangtuanya, kurasa itu benar adanya.
“Ibunya
sangat ketat kepadanya, dan sering berujung cekcok diantara mereka. Hubungan
Shinobu dengan orangtuanya yang panas sepertinya sudah mereda setelah dia lulus
SMA...Tapi kembali panas setelah mereka mempermasalahkan pernikahan kami.
Karena ibunya jelas tidak merestui, Shinobu meninggalkan keluarganya dan
mengganti namanya mengikuti nama keluargaku. Sudah hampir 20 tahun dia tidak
kembali ke rumah orangtuanya.”
“Apa
dia masih bertemu dengan ayah atau saudaranya?”
“Sesekali
dia berbicara dengan mereka lewat telepon, tapi setahuku dia belum bertemu
mereka lagi. Dia bahkan menjadikan hubungan keluarganya yang mudah putus itu
sebagai bahan candaan denganku.”
Masashi,
ketika menjelaskan hal itu, mulai tampak bergetar hebat. Mengesampingkan apa
kata Shinobu, dia pasti merasa kalau dirinya menjadi biang kerok hancurnya hubungan keluarga Shinobu.
“Mungkin,
beberapa tahun belakangan ini sudah merubah pikirannya. Shinobu memang tidak
mengatakannya secara langsung kepadaku, tapi kupikir dia selama ini mencari
momen dimana dia bisa berbaikan kembali dengan orangtuanya. Manusia akan
memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai perasaan orangtuanya ketika mereka
semakin tua. November lalu, Shinobu dan diriku mendapatkan pesan dari kedua
orangtuanya kalau mereka ingin kita berempat makan bersama. Sepertinya, mereka
juga menunggu waktu yang tepat selama ini untuk memperbaiki hubungan mereka.”
“Apa
kau pergi memenuhi undangan mereka?”
Masashi
hanya mengangguk secara perlahan mendengar pertanyaanku.
“Mereka
bahkan sudah pesan tempat di sebuah restoran terkenal di Pecinan. Itu adalah
reuni pertama mereka setelah bertahun-tahun lamanya, dan akhirnya kita bisa
makan dengan tenang. Shinobu dan kedua orangtuanya menikmati pembicaraan mereka
tentang nostalgia masa lalu. Aku tidak ingin merusak suasana itu, jadi aku
tidak ikut pembicaraan mereka dan hanya makan dengan diam.”
Aku
bisa membayangkan Masashi hanya duduk diam di restoran dan memakan sajian
restoran tersebut. Kurasa itu jauh lebih logis daripada bergabung dengan
pembicaraan mereka.
“Itu
bertahan hingga topiknya beralih ke kesehatan mataku. Mereka tampaknya
mempermasalahkan itu sehingga membuat kami merasa tidak nyaman. Masalah mulai
membesar ketika mereka mulai mempertanyakan tentang bagaimana mulanya kesehatan
mataku ini tiba-tiba menurun.”
Akupun
menelan ludahku. Beberapa puluh tahun lalu, Masashi mencoba untuk merampok bank
dan dia mendapatkan luka yang serius di matanya ketika berusaha kabur dari
kejaran polisi. Kesehatan matanya saat ini ada hubungannya dengan insiden itu –
tentunya, itu bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mudah.
Baru
beberapa bulan lalu, Masashi bisa berterus terang kepada istrinya, Shinobu.
“Sejak
awal aku berniat memberitahu mereka semuanya, tapi Shinobu memaksa kalau aku
tidak boleh menceritakan kasus kriminalku itu. Aku sudah menjalani hukumanku
dan bertobat...Jadi membicarakan hal itu dirasa tidaklah perlu. Aku setuju saja
dengan itu dan akhirnya makan malam dengan mereka tanpa berencana memberitahu
hal itu, tapi...”
...Tiba-tiba
Masashi terdiam. Kini, keringat mulai mengucur dari keningnya.
“Apa
mereka...Tahu soal itu?” suaraku tiba-tiba merendah.
Masashi
lalu menggaruk-garuk keningnya.
“Benar.”
“Bagaimana
mungkin – “
“
– Aku yang memberitahunya.”
Aku
tidak percaya dengan barusan yang kudengar. Apa dia mengatakan itu dengan
maksud tertentu?
“Aku
tidak tahan melihat diriku berusaha menyembunyikan sesuatu dari orang yang
tepat berada di depanku. Begitu saja, aku ceritakan seluruh masa laluku.
Ayahnya masih mendengarkan ceritaku, tapi ibunya...Mungkin sebaiknya aku tidak
menceritakan adegan setelah itu.”
Melihat
penjelasan Masashi yang mulai tidak jelas, pasti terjadi sesuatu yang buruk
waktu itu. Aku bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya, tapi aku masih ingin
mendengarkan itu langsung darinya.
“Lalu
apa yang terjadi setelahnya?”
“Shinobu
cekcok dengan ibunya dan hampir berkelahi. Makan malam kami berakhir
disitu...Semua gara-gara aku.”
Masashi
lalu menarik napas yang panjang.
Aku
bukannya tidak mengerti mengapa dia tidak ingin menyembunyikan sesuatu karena
dia berkomitmen untuk bertobat, karena sudah bertahun-tahun dia hidup menderita
dengan menyimpan masa lalunya, andai saja dia tidak melakukannya...
“Aku
memang seharusnya lebih sadar diri akan suasana dan tempat kita waktu itu...”
Masashi
mengatakan itu seperti baru saja membaca pikiranku. Sepertinya, pria ini juga
sudah mengerti situasinya.
“Umm...Jadi
apa yang hendak kau bicarakan dengan kami...Yang katamu tadi tentang istrimu?”
Mendengarkan
pertanyaan Shioriko, Masashi lalu menganggukkan kepalanya dan berkata.
“Shinobu
menjadi emosi karena membelaku, tapi aku masih merasa kalau dia ada keinginan
untuk akur kembali dengan orangtuanya. Dia seperti sering melamun belakangan
ini. Ketika kutanya ada apa, dia hanya bilang kalau dia memikirkan buku yang
pernah dia baca dulu, tapi aku merasa kalau itu tidak sepenuhnya benar. Aku
yakin dia sedang mengkhawatirkan hubungannya dengan orangtuanya dan mencari
alasan yang tepat untuk menemui mereka.”
Serius?
Aku
sendiri agak ragu. Ketika aku berbicara dengan Shinobu, aku merasa kalau dia
tidak ingin bertemu orangtuanya dan hanya ingin menemukan bukunya lagi.
“Mungkin
orangtuanya – lebih tepatnya ibunya – memiliki pemikiran yang sama. Tapi, jika
mereka bertemu lagi, mungkin akan terjadi pertengkaran lagi. Aku mengatakan ini
bukannya ingin menjadi mediator antara putri dan ibunya...Tapi bisakah kalian
membantuku untuk memastikan kalau pertengkaran mereka nanti tidak akan
bertambah panas?”
Sebelum
Shioriko meresponnya, Masashi menambahkan.
“Sebenarnya
yang tepat untuk mendamaikan mereka itu adalah diriku...Tapi aku dilarang
mengunjungi rumah mereka. Mereka bahkan tidak mau menanggapi kata-kataku jika
aku berusaha menelpon mereka...Ini harusnya permasalah yang harus kupikul
sendirian dan tidak seharusnya kalian juga terlibat di dalamnya, tapi aku
mohon, aku butuh bantuan kalian.”
Masashi
mengatakan itu sambil membungkukkan kepalanya.
x Chapter II part 3 | END x
Lanjut dong..😁
BalasHapus