Kokoro karya Natsume Souseki
Oleh Hikigaya Hachiman, Kelas 2-3
Karya Natsume Souseki yang berjudul Kokoro ini, jelas sebuah novel tentang seorang penyendiri.
Inti ceritanya, pastilah bukan tentang cinta segitiga. Yang pertama dan terpenting, ini adalah cerita tentang rasa saling tidak percaya antara manusia, sebuah cerita tentang bagaimana seorang individu mengisolasi dirinya dari dunia, dan memiliki kebenaran cerita kalau ini sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Melakukan trigger kepada flag cerita, tidak selalu membuatnya memiliki akhir yang bahagia. Mungkin ada seseorang yang memahamimu, tapi kau tidak bisa mendapatkan perasaan intim yang sebenarnya dengan orang tersebut. Cinta dan persahabatan tidak bisa meringankan beban dari jiwa manusia yang sedang kesepian.
Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempengaruhi sebuah keinginan untuk mengasingkan diri dari dunia. Souseki menyebutnya sebagai sabishisa (kesendirian hati), tapi era modern saat ini sudah terbiasa dengan sabishisa tersebut. Kita menerima hal itu sebagai sebuah fakta kehidupan. Atau mungkin orang-orang menyebutnya dengan tembok yang memisahkan jiwa mereka dengan orang tersebut.
Dari cerita ini, Souseki menunjukkan kalau sebenarnya manusia dari lubuk hatinya yang terdalam, adalah makhluk yang kesepian, dan menjalani kehidupan mereka dengan menerima penolakan dari komunitas sosial, mereka tidak akan pernah mengerti tentang hal itu. Misalnya. "Aku", "Sensei", "K" dan "Istri Sensei". Setiap individu tersebut adalah seorang penyendiri. Mereka lalu trigger flag-flag yang ada di cerita dan mereka mendapatkan cintanya, meski begitu itu tidak serta merta menghilangkan dahaga mereka akan kesendirian itu sendiri. Meski mereka berada di momen dan tempat yang sama, mereka tidak bisa berbagi hati dan pikiran mereka.
Seratus tahun telah berlalu sejak Jaman Meiji. Meski jaman tersebut sudah lama berlalu, fakta kalau cerita novel ini masih saja dibaca merupakan bukti tentang hakekat dasar manusia itu sendiri.
Sebagai penutup, aku ingin mengutip kata-kata dari karakter Sensei.
Tidak ada hal semacam stereotip manusia jahat di dunia ini. Dalam kondisi normal, semua orang pada dasarnya baik, atau, setidaknya bersikap wajar. Tapi ketika mereka menghadapi cobaan, dan mereka tiba-tiba berubah. Itulah yang menakutkan dari manusia. Kau harus terus waspada.
Jangan pernah percaya dengan siapapun. Sumber: Natsume Souseki.
x Resensi Buku | END x
Oke, ini mungkin bagian yang paling anda tunggu, karena sebenarnya terjemahannya sudah rilis beberapa tahun lalu di web lain. Jika anda mendapati diri anda membaca ini, artinya anda menunggu bagian komentar saya...
Ini adalah novel karya Souseki, rilis tahun 1914. Meski judulnya kokoro, anda juga bisa mengartikannya sebagai perasaan.
Jadi pertanyaannya, dari sekian banyak novel yang bisa dijadikan resensi oleh Watari dalam artikel ini, mengapa memilih Kokoro? Jelas karena ada hubungannya dengan Oregairu. Jadi Kokoro ini bercerita tentang apa?
Novel ini bercerita dari sudut pandang orang pertama, sebut saja Narator. Si Narator ini seorang mahasiswa, kuliah di Tokyo. Karena sering ke pantai, Narator melihat ada orang yang lebih tua darinya sering berada disana, dan akhirnya mereka berkenalan. Si Narator memanggil orang tua itu sebagai Sensei.
Suatu hari, Narator ini melihat Sensei pergi ke suatu tempat, lalu Narator membuntutinya. Ternyata Sensei pergi mengunjungi sebuah makam. Ketika Narator bertanya ke Sensei tentang makam tersebut, Sensei tidak mau menjelaskan lebih jauh dan hanya mengatakan kalau itu makam seorang teman. Yang membuat Narator heran, ternyata Sensei ini sering mengunjungi makam tersebut.
Karena tertarik dengan kisah Sensei, akhirnya Narator sering bertamu ke rumah Sensei. Disana, Narator mendapati kalau hubungan Sensei dengan istrinya sangat kaku. Sensei sendiri, tidak mau bercerita banyak tentang masa lalunya kepada Narator.
Setelah wisuda, Narator menerima surat dari orangtuanya kalau ayahnya sakit keras. Narator lalu pulang ke kampung halamannya. Ayahnya masih terbaring sakit, namun dalam kondisi lemah. Setelah kematian Kaisar Meiji dan Jendral Nogi, tangan kanannya yang setia dan sengaja bunuh diri untuk menunjukkan kesetiannya kepada Kaisar, ayah Narator meninggal dunia, sekaligus Narator menerima sepucuk surat dari Sensei.
Dalam suratnya tersebut, Sensei mengatakan kalau dia mungkin sudah meninggal ketika Narator membaca surat tersebut. Sensei lalu menceritakan pengalamannya semasa muda, sesuatu yang Narator sendiri cari tahu sejak lama.
Ketika berumur 19 tahun, ayah dari Sensei meninggal karena sakit. Lalu, Sensei dititipkan ke pamannya dan tinggal bersama mereka. Semuanya berjalan lancar sampai pamannya meminta Sensei untuk menikahi putrinya, lalu Sensei menolaknya. Hubungan mereka bertambah parah setelah Sensei tahu kalau warisan dari ayahnya sudah digunakan tanpa seijinnya oleh pamannya sendiri.
Sensei lalu tinggal di sebuah kamar sewaan, satu rumah dengan seorang janda, putrinya, dan pembantunya. Hubungan Sensei dengan sang janda sangat baik, namun disini masalahnya, karena pengalaman sebelumnya dari pamannya, Sensei takut sang janda hanya hendak mempengaruhinya untuk menikahi putrinya, tentunya ini juga masalah uang warisan yang dimiliki Sensei. Akhirnya, Sensei memutuskan untuk menjaga jarak dengan mereka.
Lalu, Sensei mengajak teman sepermainannya dulu, K, yang juga mahasiswa di Tokyo, untuk tinggal bersamanya di kamar sewaan tersebut. Ternyata, K lambat laun akrab dengan putri si janda, bahkan Sensei pernah melihat mereka berdua sedang berkencan. Akhirnya, Sensei konfrontasi dengan K, mempermasalahkan janji pertemanan mereka, idealisme K, dll. Lalu, Sensei langsung mengatakan kepada janda tersebut kalau dia mau melamar putrinya, dan si janda tersebut menyetujuinya.
Ketika Sensei bingung apakah dia hendak memberitahu K tentang lamaran tersebut atau tidak, si janda mengatakan dia sendiri sudah memberitahu K soal itu. Tidak lama kemudian, Sensei mendapati K tewas bunuh diri.
Sensei merasa sangat bersalah dengan kematian K. Jika sebelumnya Sensei tidak bisa mempercayai orang lain dengan mudah karena kasus pamannya, kini Sensei mulai mempertanyakan idealisme dirinya sendiri, yang telah membuat temannya sendiri bunuh diri. Sensei mempercayai kalau tidak memiliki keturunan hingga saat ini juga adalah bentuk hukuman atas kematian K. Sensei tampak berusaha menahan diri untuk tidak bunuh diri, karena melihat bagaimana ibu dari istrinya yang seorang janda.
Namun, kematian Kaisar Meiji, dan Jendral Nogi yang memutuskan untuk bunuh diri sebagai bentuk kesetiannya, mulai membayangi pikiran Sensei. Akhirnya, Sensei memilih untuk bunuh diri untuk membayar perasaan bersalahnya terhadap K.
Woah, sepertinya panjang sekali saudara-saudara...
Jadi apa kaitannya dengan Hikigaya Hachiman?
Pertama, kita lihat situasi dimana Hachiman menulis resensi ini. Yaitu kelas 2 SMP, ketika musim panas, sekitar Juli-Agustus. Jelas, Hachiman dalam resensinya menunjukkan rasa sinisnya akan manusia. Tapi, Hachiman tidak benar-benar anti-sosial hingga tragedi Kaori di kelas 3 SMP. Jadi, ada suatu kejadian yang menjadi trigger Hachiman menulis ini. Hachiman kesal akan sesuatu, membuatnya tidak mempercayai orang-orang lagi (meski sifatnya temporer).
Well, mudah saja menebak ini, volume 1 chapter 3. Disana, diceritakan pada awal semester ketika dia kelas 2 SMP, Hachiman terpilih sebagai perwakilan kelas, mungkin istilah kerennya ketua kelas. Perwakilan kelas disana, ada dua, satu dari anak laki-laki, dan satu lagi dari anak perempuan. Yeah, karena sering bersama dan akrab, akhirnya si gadis memberitahukan inisial pria yang disukainya ke Hachiman, yaitu "H". Hachiman merasa kalau itu dirinya, namun si gadis membantah itu. Esoknya, seluruh kelas tahu dan dia dipermalukan.
Jika kita bisa menebak, maka kejadian Hachiman dipermalukan ini terjadi sebelum liburan musim panas, mungkin Juni.
Tapi, sikap tidak percaya ini adalah pengalaman Sensei dengan pamannya sendiri. Sensei atau Hachiman kini berubah menjadi orang yang tidak mudah percaya dengan orang. Lalu bagaimana dengan bagian kisah janda dan putrinya?
Sensei, K, dan putri si janda adalah cinta segitiga. Merasa familiar? Yeah, ini tentang Hachiman, Yukino, dan Yui.
Bedanya, Sensei konfrontasi langsung dengan K tentang perasaannya dengan si putri janda, sedang Hachiman memilih menggantung perasaan Yui, agar pertemanan Yui dan Yukino tidak retak.
Untungnya Yui tidak akan bunuh diri seperti K, setidaknya di vol 11 chapter 9.
Yang perlu diralat oleh Hachiman, kalau cinta dan persahabatan sebenarnya bisa mengisi jiwa yang sendiri. Masalahnya, cinta itu memanfaatkan persahabatan palsu, disitu masalahnya timbul.
Ini juga berlaku ke kasus Tobe yang hendak menembak Ebina, cintanya memang tulus ke Ebina, tapi sahabatnya semuanya palsu. Sama dengan Hayama-Miura di vol 10, Miura memang menyukai Hayama, tapi Hayama sendiri membuat hubungan palsu dengan Miura.
Quote dari Hachiman itu ada di bagian pertama novel, juga ada quote lain yang cukup menarik di bagian yang sama:
"Kesendirian adalah harga yang harus kita bayar karena terlahir di jaman yang modern ini, jaman yang penuh kemerdekaan, bebas, dan memenuhi segala ego kita." - Sensei.
Lalu komentar Hachiman : Meski mereka berada di momen dan tempat yang sama, mereka tidak bisa berbagi hati dan pikiran mereka. Yeah, anda benar, Hachiman dan Yui.
Dalam amat
BalasHapusLight novel tapi nggak light
Jjk
BalasHapus