Dua puluh menit telah berlalu setelah menerima perintah tirani tadi, aku yang saat ini sedang berada di tempat parkir sepeda, seperti kebingungan dengan apa yang terjadi.
Seperti kata Yukinoshita, memotivasi Yuigahama untuk kembali ke Klub Relawan adalah prioritas utama kita. Bukannya aku mau menolak atau bagaimana jika Yuigahama kembali. Karena kita sudah menekan tombol reset, harusnya ada jarak yang jelas diantara kita. Harusnya tidak ada masalah jika aku bisa menjaga jarak itu tetap seperti ini.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana cara membujuk Yuigahama untuk kembali?
Ini tidak semudah melempar tali lasso ke lehernya dan menyeretnya kembali. Memintanya untuk kembali secara langsung hanya akan membuat suasananya bertambah tidak nyaman, dimana aku sendiri tidak begitu menyukai ide tersebut.
Jadi apa yang harus kulakukan?
Kupikir dulu sejenak permasalahan ini. Tapi...Tidak ada solusi yang muncul.
Haruskah aku meminta maaf? Nah, aku kan tidak melakukan sesuatu yang salah...
Perselisihanku dengan Komachi selalu berakhir dengan cara yang tidak jelas. Entah mengapa, aku berpikir mungkin situasi ini akan secara perlahan berubah menjadi lebih baik secara otomatis...
Ketika aku menggaruk-garuk kepalaku dengan ekspresi bingung, aku mendengar seseorang memanggil namaku.
"Hachiman? Oh, ternyata benar kau, Hachiman."
Ketika kubalikkan badanku, Totsuka tampak malu-malu, sambil disinari oleh cahaya senja yang berada di belakangnya. Debu-debu di udara berubah menjadi partikel cahaya hanya dengan keberadaannya disini
Aku seperti tersihir, namun kuputuskan kalau aku akan bersikap tentang sebisaku.
"Yo."
"Yo untukmu juga."
Totsuka menaikkan tangannya seperti hendak meniru gesturku. Gestru bro semacam ini pasti membuatnya malu, karena dia tampak tertawa kecil dan memasang senyum di wajahnya.
Ya Tuhan, dia terlalu manis.
"Apa kau hendak pulang ke rumah, Hachiman?"
"Yeah. Jadi latihan Klub Tenis sudah selesai untuk hari ini?"
Totsuka, yang memakai seragam olahraga, membetulkan posisi raket yang berada di punggungnya dan seperti memikirkan sesuatu sebelum menggelengkan kepalanya.
"Belum sih, tapi aku ada latihan privat di malam hari...Jadi aku pamit untuk pulang lebih awal."
"Latihan privat?"
Apa itu ya? Apa karena Totsuka ini terlihat manis sehingga dia harus menghadiri latihan privat di Sekolah Aktor Okinawa agar bisa menjadi idol? Benar juga, aku akan membeli 100 CD-nya! Maksudku, aku akan membeli sebanyak yang diperlukan sehingga aku bisa memperoleh tiket untuk event hand-shake.
"Mm, itu semacam Sekolah Pelatihan Tenis. Kegiatan Klub disini hanya fokus ke skill-skill dasar saja."
"Ohh...Kau ternyata tampak profesional sekali."
"Se-Sebenarnya tidak ada yang pelu dibanggakan, benar itu...Tapi...Itu hanya hal-hal yang kusukai."
"Huh? Maaf, bisakah kau mengatakannya lagi?"
"Umm...Tidak ada yang perlu dibanggakan?"
"Bukan, yang setelahnya itu."
"...A-Apa yang kusukai."
"Oke, kudapatkan kali ini."
Diriku seperti menekan tombol "Save" dan mengukir kata-kata tersebut di dalam pikiranku.
Sambil mengembuskan napasku, aku melihat Totsuka tampak kebingungan dengan sikapku. Ngomong-ngomong, aku sudah memperoleh apa yang kuinginkan. Misi sudah selesai.
"Oh, maaf soal itu. Jadi kau akan memperoleh latihan privat ya, Totsuka? Ya sudah, sampai jumpa ya."
Setelah melambaikan tanganku, aku bersiap diri untuk mengayuh sepedaku. Tapi, aku merasa ada yang menarik kemejaku. Ketika kulihat, Totsuka sedang memegangi kemejaku.
"Umm, begini...Latihan privatnya itu nanti malam. Jadi aku ada sedikit waktu senggang sebelum itu tiba...Lokasi privatnya juga dekat Stasiun, jadi...Aku bisa tinggal jalan sebentar ke sana...Maksudku, apa kau tidak mau jalan-jalan sebentar?"
"Apa..."
"Ya kalau kau senggang sih..."
Aku ragu apakah ada orang di dunia ini yang mau menolak ajakan seperti itu. Jika seandainya aku harus bekerja paruh waktu setelah ini, aku rela cuti hari ini. Aku mungkin sudah muak untuk bekerja lagi dan memutuskan berhenti hari ini juga karena ini.
Jika ini dalam situasi seorang gadis yang mengajakku jalan, aku akan memeriksa sekitar gadis itu terlebih dulu untuk memeriksa apakah ada teman-temannya yang memaksanya untuk melakukan itu karena mendapatkan hukuman dalam suatu permainan, biasanya juga aku menolak ajakan itu untuk menjaga gengsi, tapi...
Totsuka adalah seorang laki-laki.
...Laki-laki, kampreeeet.
Meski begitu. Aku seperti harus ekstra waspada karena Totsuka adalah laki-laki.
Begini, dia bisa tampak akrab denganku tanpa membuatku merasa salah paham. Jika aku mengutarakan perasaanku kepadanya dengan segenap apa yang kupunya lalu aku ditolak, aku merasa tidak terlalu tersakiti. Tapi, menembak seorang laki-laki akan memberiku siksaan tanpa henti secara sosial.
Meski begitu, aku sendiri tidak punya alasan untuk menolak ajakannya.
"Ya sudah, aku juga tidak punya kegiatan yang lebih baik lagi selain membaca buku di rumah."
Kurasa ini tidak mengejutkan. Membaca buku, manga, menonton rekaman anime, bermain game, belajar ketika bosan
"Begitu ya, untunglah...Ja-Jadi kita berangkat ke Stasiun?"
"Apa kau akan membonceng di belakangku?" tanyaku, sambil menepuk-nepuk tempat duduk belakang.
Tidaklah aneh melihat dua orang laki-laki berboncengan. Tepatnya, itu adalah pemandangan yang biasa. Jadi aku tidak berpikir kalau Totsuka duduk di kursi penumpang sepedaku adalah hal yang aneh, melingkarkan lengannya di tubuhku dan berkata, "Hachiman...Punggungmu lebar sekali."
Tapi Totsuka menggelengkan kepalanya.
"Ti-Tidak apa-apa. Aku ini berat loh..."
Mau dilihat dari sudut manapun, dia tampak lebih ringan dari gadis manapun...Aku sebenarnya ingin mengatakan itu, tapi aku menahan diriku dan hanya menjawab "begitu ya". Totsuka tidak suka jika diperlakukan seperti seorang gadis.
"Jalan ke Stasiun agak menanjak, ayo kita jalan kesana." Dengan senyumnya, Totsuka mulai berjalan.
Akupun mengikutinya dari belakang, sambil menuntun sepedaku.
Sepanjang perjalanan, dia sering melihat ke arahku, seperti sedang berusaha membaca ekspresiku. Lima langkah kemudian dia melirik ke arahku, lalu delapan langkah kemudian dia melirik lagi. Umm, dia tidak perlu khawatir seperti itu tentang apakah aku ini mengikutinya atau tidak.
Tanpa mengatakan apapun, kami berbelok di taman dekat Saize dan mengikuti trotoar setelah jembatan. Seperti pasangan siswa SMP yang sedang berkencan, momen yang tepat untuk membuka pembicaraan terlewati begitu saja, meski kita selama perjalanan sering menatap satu sama lain.
Ini semacam siksaan yang nikmat. Hatiku serasa ditusuk dan akupun rasanya ingin mati saja.
Jembatan yang melintasi jalan raya ini punya dua lapis struktur; jalur untuk mobil ada di atas dan jalur untuk pejalan kaki ada di bawah. Ketika angin berembus lewat celah-celah jembatan, sebuah sensasi dingin terasa menerpa kami.
"Embusan anginnya enak sekali, Hachiman." Seperti mendapatkan momen, Totsuka menoleh ke arahku setelah lima langkah.
Aku ingin sekali mengambil foto senyumnya itu dan menyimpannya dalam format JPEG
"Mm, yeah," kataku. "Ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk tidur siang."
"Hachiman, kau kan sering tidur dalam jam istirahat dan kau sekarang masih ingin tidur lagi?"
Totsuka mengatakan itu sambil tertawa kecil
"Tahu tidak, Spanyol punya tradisi yang disebut siesta, dan tergantung dari caramu melakukan itu, rasa kantuk dan malasmu akan pergi di pagi hari dan itu bisa meningkatkan efisiensi kerjamu. Kudengar, itu sudah menjadi hal umum disana."
"Wow...Kau ternyata terlalu memikirkan dalam-dalam tentang kebiasaan tidur, Hachiman."
"Er, begitulah."
Tentunya, aku sebenarnya tidak benar-benar serius ketika mengatakannya dan itu hanyalah omong kosong yang dibuat-buat, tapi dia menerima itu begitu saja. Aku sendiri kadang bingung, seberapa besar Totsuka percaya kepadaku, melihat begitu mudahnya dia menerima kata-kataku. Dia bisa saja dimanfaatkan oleh orang jahat suatu hari nanti, dimana itu sangat mengkhawatirkanku. Aku akan melindunginya!
x x x
Setelah menyeberang jembatan pedestrian, tidak lama lagi kita akan sampai di Stasiun. Kami berdua akhirnya berjalan lurus mengikuti ujung trotoar ini. Ketika Stasiun sudah terlihat, kecepatan langkah Totsuka tampak melambat. Dia tampaknya masih bingung tentang lokasi tujuan kita.
"Memangnya kau ingin pergi kemana?" tanyaku.
"Um...Tempat yang bagus untuk bersantai dalam waktu yang singkat."
"...Jadi kau hendak membuang stress disana?"
Kenapa malah aku merasakan sebuah perasaan bersalah? Oh iya, ini mengingatkanku dulu, kucing kami sering bermain denganku dan aku sendiri sering mengisenginya sehingga bulu-bulunya banyak yang rontok...Karena itulah, kucing kami sampai sekarang tidak mau dipegang olehku. Ketika kau terlalu iseng dengan kucing peliharaanmu, mereka akan menumpuk stressnya. Lebih baik jika aku menangani ini dengan hati-hati jika berurusan dengan Totsuka.
"Er, uh, sebenarnya yang hendak membuang stressnya bukan diriku..."
"Aku tidak paham maksudmu, tapi kau bisa pergi ke karaoke atau arcade untuk membuang stress."
"Apa saja boleh deh." Totsuka mengembalikan itu kembali ke diriku.
Ini membuatku berpikir untuk sejenak.
Karaoke memang ada untuk bersantai. Aku merasa santai ketika datang sendirian, memilih lagu, dan bernyanyi sekuat tenaga. Hanya saja, tenggorokan dan semangatmu sudah rontok ketika masuk lagu kelima, dan ketika pegawai karaoke datang membawakan minum lalu melihatmu yang seperti itu, kata-kata sudah tidak bisa menggambarkan apa yang kurasakan waktu itu. Dan aku merasa seperti "Apa yang sudah kulakukan dalam hidupku ini...?". Setelah itu, yang kau rasakan hanyalah perasaan yang menyedihkan.
Tempat arcade juga untuk bersantai. Game pertarungan dimonopoli para gamer veteran, dan calon-calon korban yang bermain disana akan dikalahkan dengan mudah. Kau bisa bersenang-senang dengan permainan kuis. Karena versi internetnya sedang populer saat ini, diciptakanlah level nasional, tantangan, dan turnamen. Memang akan menimbulkan perasaan yang menyenangkan kita menggumamkan "Heh, dasar goblok" sambil melihat mereka bersujud di lantai kepadamu. Dalam tiga jam akan membuatmu merasa kalau kau ingin mengincar sesuatu yang mirip-mirip dengan menaklukkan Shanghai atau Tembok Besar China, sehingga itu jelas-jelas membuang waktu. Perasaan "Apa sih yang gue lakukan dalam hidup gue...?" juga sangat kuat paska melakukan adegan tersebut.
Fakta kalau melakukan keduanya akan memberiku ending untuk memikirkan tentang apa yang sudah kulakukan dengan hidupku, memang merepotkanku.
Karaoke atau arcade
"Well, kalau kita pergi ke Big Mu, disana punya dua tempat tersebut."
Big Mu ini adalah semacam taman hiburan untuk segala level, jadi memiliki semacam karaoke bar, tempat arcade, bowling, billiard, dan lain-lain. Well, area khusus game biasanya berisi orang yang itu-itu, jadi jika memang kita akan kesana, aku ingin kalau aku sudah punya alibi yang jelas.
"Begitu ya...Kalau begitu ayo kita pergi ke Big Mu."
Mendengarkan persetujuan Totsuka, kutuntun sepedaku melewati lampu lalu lintas dan menaruhnya di tempat parkir Big Mu.
Setelah kita sampai di lantai teratas, kami berjalan menuju tempat arcade, untuk melihat-lihat terlebih dahulu. Ketika kakiku menginjak aula ruangan itu, aku seperti tersedot oleh lautan suara dari berbagai dunia yang berbeda; dekorasi dengan lampu yang berkedip-kedip, asap rokok dimana-mana, suara tangisan dan teriakan dari para gamer cupu.
Tepat di depanku, ada sebuah mesin crane.
Disana, aku melihat sepasang kekasih bermain mesin itu, membuat suara-suara berisik disertai tawa mereka.
Kampret, gue pengen pulang aja dah.
Sial, wahai para penegak hukum, kenapa kalian lama sekali? Tolong tangkap makhluk-makhluk ini, dan sekalian, tidak lupa untuk hajar mereka...
Si prianya tampak kesulitan dengan mesin crane-nya, karena itulah dia meminta tolong kepada karyawan tempat arcade ini untuk mengambilkan boneka yang ada disana untuk mereka. Sepertinya, membantu mengambilkan mainan bagi pelanggan sudah menjadi bagian dari pelayanan karyawan disini. Ini hanya membuat orang-orang ini bertambah malas saja...
Setelah melewati sepasang kekasih tersebut, Totsuka dan diriku mendatangi bagian video game.
"Whoa, ini keren sekali..." Totsuka mengatakan itu.
Ini sebenarnya pemandangan yang biasa bagiku, tapi tampaknya menjadi hal baru bagi Totsuka.
Di depanku ini, adalah game pertarungan, dan di tengah-tengah tempat arcade ini, ada meja-meja untuk permainan semacam puzzle, mahjong, dan di sela-sela meja tersebut ada permainan menembak. Arah kananku sendiri, adalah meja untuk permainan kartu. Sepertinya, permainan kartu sangat populer di tempat arcade ini. Game pertarungan dan mahjong juga sangat populer, hanya beberapa orang saja yang berada di game kuis. Kadang, kau akan melihat orang-orang yang mirip zombie dimana mereka tidak punya kehidupan lain di dunia nyata dan mereka memiliki skor-skor yang tidak masuk diakal dalam permainan disini, dan kadang kau hanya mengelilingi mereka dan melihat mereka bermain.
"Hachiman, kau biasanya main apa?"
"Uh...Biasanya sih game kuis dan Shanghai."
Aku sudah menduga ini, jadi aku tidak akan mengatakan Mahjong Telanjang.
Tapi, jika hanya ada kita berdua yang bermain, game kuis adalah pilihan yang aman. Kuis Akademi Sihir yang biasa kumainkan ada di dekat game pertarungan.
"Totsuka, disini," kataku, sambil melambaikan tanganku.
Totsuka menganggung, dan dia memegangi ujung kemejaku. Well, uh...Kurasa ini karena pertamakalinya Totsuka datang kesini, jadi dia harus melakukan ini agar tidak tersesat. Yep, tidak ada yang aneh disini. Malahan ini adalah level tertinggi dari wajar. Ini adalah hal yang super wajar.
Kemudian, ketika kita melewati area game pertarungan, aku melihat sesosok orang yang memakai mantel. Lengannya dilipat dan dia memakai sarung tangan, dan setiap kali dia tertawa, ikat rambutnya yang berada di belakang tampak bergetar.
Dia berdiri di depan kumpulan orang-orang yang berkumpul untuk menonton pemain game pertarungan, dan dia tampak sedang berbisik-bisik ke orang lain seperti sedang berbicara dengan temannya.
"Um, Hachiman...Bukankah itu Zaimo
"Bukan, itu pasti orang lain." kupotong kata-katanya.
Ooh tentu, mungkin dia terlihat mirip. Tapi, kami tidak kenal satu sama lain.
Orang yang bisa berbicara dengan santainya ke orang lain, bukanlah kenalanku. Lagipula, dia itu tipe-tipe orang yang tidak punya teman.
"Oh, begitu ya...Kupikir itu Zaimokuza-kun..."
"Kampreeet, Totsuka, tolong jangan sebut namanya."
"Hmm? Sepertinya ada yang menyebut namaku...Oh ya ampun! Apakah ini Hachiman!?"
...Jadi dia melihat kedatangan kita, huh.
x Chapter II Part 1 | END x
Hachiman bohong dalam monolognya kalau hubungannya dengan Yui sudah direset kembali. Jika sudah direset, maka Hachiman harusnya tidak punya prasangka lain ke Yui. Namun, Hachiman tetap merasa Yui menyukainya dan memilih untuk menggagalkan momen-momen terakhir sebelum perpisahan mereka di Festival Kembang Api.
............
Totsuka tahu kalau Hachiman tampak stress paska konfrontasi dengan Yui di vol 2 chapter 5. Tapi, Totsuka tidak tahu tentang insiden nice girl tersebut.
Awalnya, saya sempat berpikir apakah insiden nice girl itu menimbulkan perasaan bersalah ke Hachiman? Jawabannya tidak. Ada dalam monolog chapter ini kalau Hachiman merasa tidak salah apapun dan dia meyakini yang dia lakukan ini adalah benar.
Lalu mengapa tampak stress? Jika dugaan saya benar, ini tentang fakta kalau Yui berbohong kepada Yukino tentang absennya dia di kegiatan Klub. Sedang Hachiman melihat sendiri dengan mata kepalanya kalau Yui pergi hang out bersama Hayama Cs. Artinya, hubungan Yui dengan Klub ataupun Yukino, dipengaruhi situasi hubungan Yui dengan Hachiman.
Konfirmasi yang lebih jelas ada di vol 3 chapter 3 setelah Yukino menceritakan hubungan pribadinya saat ini dengan Yui.
............
Hachiman ternyata sering pergi ke tempat arcade dan karaoke.
............
Lucunya, Hachiman dan Yukino akan menjadi sepasang kekasih di mesin crane pada kencan Lalaport. Mungkin, ilmu meminta tolong karyawan arcade untuk mengambil boneka mesin crane berawal dari adegan ini.
Hachiman standar ganda!
Kalau itu sepasang kekasih lain, dia akan komplain dan tidak suka. Tapi kalau dirinya sendiri dan Yukino, mohon dimaklumi.
Masih lama kah jadiannya?
BalasHapus