x Chapter VII x
Aku menutup bukuku dan berbaring di sofa.
Derit pegas dari sofa memecah kesunyian ruang keluarga. Kamakura yang tertidur disamping kotatsu terbangun karenanya.
Komachi sudah pergi untuk belajar di kamarnya sedangkan orangtuaku baru akan pulang larut malam nanti. Di ruang keluarga ini, hanya diriku dan kucing tercinta kami, Kamakura yang mengisi ruangan ini.
Ketika tiduran di sofa, aku menatap ke arah jendela karena cahaya lampu di atasku terasa terlalu terang. Di luar sudah gelap dan jendela terasa menahan dinginnya angin yang beku di musim dingin.
Beberapa hari telah berlalu semenjak seminar akademik dan karir, tetapi aku sudah tidak ada petunjuk lagi mengenai pilihan jurusan Hayama. Aku sudah bertanya beberapa kali, namun hanya jawaban kosong yang kudapat.
Waktu berlalu dan aku baru sadar kalau marathon akan berlangsung esok hari. Sehari sesudah marathon adalah deadline terakhir kuisioner jurusan harus dikirim. Akhir bulan ini adalah deadlinenya.
Sekuat tenaga kubangunkan tubuhku dari sofa dan merangkak perlahan ke kotatsu. Kuisioner jurusan milikku yang sudah terisi berada di atas meja.
Pilihan jurusanku sudah kuputuskan sejak lama.
Aku memilih jurusan sosial tanpa ragu diantara sosial dan sains. Jurusanku ketika kuliah nanti adalah Liberal Art di sekolah swasta, jadi aku juga menulis jurusan kuliahku beserta universitas yang memungkinkan untukku sesuai nilai akademikku.
Apa sih pertimbanganku dalam memilih jurusan? Sebenarnya sederhana. Aku memilih kelas sosial karena aku memang bagus di mata pelajarannya. Aku kurang paham dengan mata pelajaran sains dan bisa kukatakan sejak awal SMA aku sudah tidak mempedulikan pelajaran tersebut.
Sayangnya untukku, meskipun aku juga tidak yakin, keahlianku tercermin di nilai-nilai sekolahku, jadi aku memilih jurusanku kelak tanpa ragu.
Meski begitu, aku memang tidak punya banyak pilihan. Oleh karena itu aku mampu mengeliminasi pilihan sejak awal.
Kebalikan dari itu. Bagaimana orang yang punya banyak pilihan lalu memilih jurusannya?
Misalnya, Yukinoshita Yukino.
Sebenarnya dia nanti memilih jurusan apa di kuliah?
Jika memungkinkan, aku seharusnya bertanya kepadanya ketika ada kesempatan. Jika kita mempertimbangkan semua faktor, orang yang terdekat dengan Hayama Hayato adalah Yukinoshita.
Dari itu, aku berpikir bahwa pilihan jurusan kuliah Yukinoshita mungkin bisa dijadikan referensi melacak jurusan Hayama. Tentu saja, ide tersebut terasa sia-sia. Aku berpikir jika aku melakukannya, aku malah menambah masalah-masalah yang lebih sulit ke depannya.
Untuk sekarang, aku harus berpikir tentang pilihan Hayama antara kelas sosial dan sains.
Bagaimana Hayama Hayato memilih jurusannya? Jika berpikir tentang potensi jurusan kuliahnya kelak, pilihan yang muncul terlalu banyak. Dia tidak memiliki hal untuk dieliminasi dan begitu juga dia tidak punya kekurangan untuk mengeleminasi pilihan jurusan sepertiku.
Semakin banyak cerita yang kudengar tentangnya, semakin sulit bagiku untuk mengambil kesimpulan.
Tidak hanya dia sangat baik di mata pelajaran sosial dan sains, dia juga sepertinya mampu mendapatkan rekomendasi kuliah jurusan olahraga. Memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa seperti itu artinya ujian masuk secara langsung dan rekomendasi dari sekolah juga faktor yang harus kuperhatikan.
Jika dia sama seperti Totsuka yang memilih jurusan karena hobinya, aku tinggal melacak balik jurusannya. Meski begitu, aku tidak punya momen dan kemampuan untuk bertanya hal itu ke Hayama. Mungkin beda ceritanya jika Zaimokuza, dia agak kikuk dengan orang asing, tetapi Hayama kebalikannya.
Kalau memikirkan Hayama dari sisi nilai akademik dan jurusannya kelak nampaknya sudah mustahil.
Dalam kasus ini, aku harus melakukan sebuah pendekatan yang berbeda.
Misalnya, permasalahan keluarga yang Kawasaki hadapi. Dia mengambil universitas negeri karena situasi keluarganya. Sebaliknya, Hayama memiliki banyak pilihan karena masalah keluarga nampaknya bukanlah penghalang baginya.
Aku tidak bisa melihat hal-hal yang membuat diri Hayama khawatir. Ini sesuatu yang aku dan Tobe setujui. Jika aku meminjam kata-kata Ebina-san, Hayama adalah orang yang tidak menunjukkan kelemahannya, tidak mau melukai siapapun, dan menjawab ekspektasi semua orang.
Siapapun yang kutanya tentangnya, mereka selalu mengatakan banyak kemungkinan tentang Hayama.
'Dia yang bisa melakukan segalanya' adalah Hayama Hayato.
Seorang manusia super yang keren, baik, tersenyum lembut, dan memiliki pengetahuan akan wawasan dan bela diri.
Semua orang memandang dirinya seperti itu. Semua orang mengira Hayama Hayato adalah pria yang baik.
Semua orang?
Sekarang, apa itu benar?
Ada satu orang. Ada satu orang yang tidak berpikir demikian.
Dan ada satu orang yang mengatakan kepadaku dengan jelas.
Aku tidaklah sebaik yang kau kira.
Jika kata-kata itu bisa dipercaya, maka orang tersebut selama ini merasa orang lain salah menilainya. Satu-satunya orang yang tidak merasa Hayama Hayato adalah pria yang baik adalah dirinya sendiri.
Pujian dari orang-orang akan membuatnya terasa gila. Bahkan terasa menjijikkan ketika orang lain juga ikut-ikutan memujinya. Meski tahu kalau itu hanya basa-basi, dan untuk kepuasan diri sendiri, dia tetap mau memenuhi ekspektasi orang-orang. Itu sangat menjijikkan menurutku.
Seseorang pernah berkata kepadaku: 'Berhentilah untuk selalu menjadikanmu korban'. Jangan bodoh. Melakukan sesuatu demi ekspektasi orang-orang dan tidak ingin seorangpun terluka adalah kata lain dari mengorbankan diri sendiri.
'Begitulah yang terjadi semenjak dulu,' kata gadis itu. 'Tidak ada yang berubah dan semua orang masih tetap sama', kata gadis itu.
Ada orang-orang yang jalan hidupnya tidak pernah melawan keinginan orang lain termasuk orang tuanya dan melakukannya dengan sempurna. Jadi sebenarnya orang ini memilih apa di hidupnya? Selalu dihantui ekspektasi, terikat dengan itu, dan terus menjawab ekspektasi itu, sebenarnya orang-orang seperti itu bercita-cita ingin menjadi apa?
Yeah, sungguh sulit kupercaya.
Kalau itu aku, aku tidak akan tahan. Aku akan melempar semua omong kosong yang menggangguku, menghancurkannya, dan menganggapnya tidak berguna. Aku bahkan merasa ekspektasi orang-orang yang tidak kukenal adalah hal menganggu. Aku tidak akan peduli terhadap orang-orang yang tidak kukenal. Ekspektasi ataupun pujian, aku akan menolaknya.
Meski begitu, Hayama Hayato tidak akan melakukan hal seperti itu. Dia akan menjadi Hayama Hayato sampai mati, demi menjawab ekspektasi semua orang dan agar tidak ada seorangpun yang terluka.
Banyak orang memaksakan seperti apa Hayama terlihat seharusnya, kebaikannya, dan membuatnya terlihat seperti Hayama Hayato yang asli, daripada seharusnya menjadi korban ekspektasi. Kebanggan dan kebaikan hatinya ada karena ekspektasi orang-orang. Sayangnya, Hayama Hayato memiliki kemampuan untuk menjawab itu.
Namun, ada satu hal dimana Hayama tidak mau menjawabnya.
Yaitu memberitahu pilihannya antara kelas sosial dan sains.
Dimana dia seharusnya menjawab ekspektasi orang-orang dalam hal itu.
Lalu mengapa dia tidak mau memberitahukannya?
Ketika berbaring, aku melihat ke arah jendela yang samar-samar memantulkan cahaya dari ruangan ini. Meski terlihat transparan, aku masih bisa melihatnya dengan jelas, menatap bayanganku disana.
Ketika aku melakukannya, aku teringat sesuatu yang terjadi di masa lalu. "Jika kamu mendapat request untuk melakukan hal yang kontradiksi, apa yang kamu lakukan?" tanya Hayama. "Bisakah kamu berhenti menggangguku?" katanya.
Pada akhirnya, baik aku dan Hayama menjawab situasi itu. Di satu pihak menahan diri untuk bertanya lebih lanjut, dan di lain pihak hanya tersenyum saja.
Meski begitu, itu terlihat sama saja. Meski berbeda sikap, keputusan yang terjadi di hari itu tetap sama.
Dalam kasus tadi, Hayama sudah menjawabnya dengan bulat.
Aku mengambil handphoneku di yang berada di atas kotatsu.
Aku sudah menemukan orang yang kucari di daftar kontakku dan menekan tombol panggil sambil mengangkat kakiku ke atas kotatsu.
Suara bel panggilan terus terjadi.
Ketika menunggu teleponnya diangkat, aku sangat khawatir apakah aku memang boleh melakukan panggilan ini atau harusnya kututup saja. Aku belum yakin apakah aku bisa memintanya melakukannya. Aku bisa saja dibenci. Aku bisa saja tidak disukai orang-orang karena ini.
Meski begitu, aku tidak punya jawaban lain dan hanya inilah opsi yang tersisa untukku.
Tidak lama kemudian, aku bisa mendengar suara telepon diangkat.
[...Hello?]
"Halo, ini aku. Maaf sudah memanggilmu selarut ini" kataku.
Orang yang menerimanya, Totsuka Saika, membalasnya dengan suaranya yang manis.
[Oh tidak, jangan khawatir soal itu. Sangat jarang menerima panggilan darimu Hachiman, karena itulah tadi aku agak terkejut.]
Kupikir, dia tidak mempermasalahkannya. Ini mungkin pertama kalinya aku menelponnya. Tapi mungkin dia akan lebih terkejut lagi apabila mendengar apa yang kukatakan setelah ini.
Aku menghembuskan napas panjangku dengan pelan sehingga Totsuka tidak mendengarnya dan menundukkan kepalaku meskipun dia tidak bisa melihat apa yang kulakukan.
"...Aku butuh bantuanmu."
* * *
Keesokan harinya setelah kukatakan permintaanku ke Totsuka, tidak banyak angin berhembus di hari ini.
Taman yang akan menjadi start marathon sudah dipenuhi oleh siswa-siswi kelas satu dan dua. Rute marathon kali ini melewati pinggir pantai dan kembali ke sini lagi melalui jalan di bawah jembatan Mihama.
Jarak tempuhnya tergolong panjang, sangat panjang. Jika aku harus menghitung angka lebih dari tiga maka itu membutuhkan usaha yang ekstra keras bagi Hachiman-kun yang tidak fasih di matematika!
Meski begitu, berapa kilometer jarak marathon ini tidak akan berpengaruh banyak terhadap rencanaku hari ini.
Ketika kita mendapat instruksi untuk berbaris, kita memulai berbaris di belakang garis putih yang menjadi posisi start kali ini.
Aku berjuang untuk maju ke depan agar berada di posisi grup awal dengan bergerak seperti belut. Tidak kuduga mereka memberi jalan untukku. Kenapa ya? Apakah karena aku kurus atau semacamnya?
Ini hanya semacam marathon sekolah pada umumnya. Bukanlah even penting dan tidak pula mempengaruhi nilai kami. Dipaksa lari di cuaca sedingin ini membuat orang-orang terlihat tidak termotivasi.
Kecuali untuk satu orang.
Dengan ekspektasi untuk menjuarai lomba tahun ini, Hayama tidak mau ini berakhir tanpa menjuarainya. Dia tidak diperbolehkan untuk menggampangkan lomba ini di mata publik.
Dia berada di barisan terdepan, sedangkan aku tepat berada di belakangnya.
Ketika dia merenggangkan tubuhnya untuk pemanasan, para gadis yang melihatnya berteriak histeris.
Tiga puluh menit setelah marathon pria diberangkatkan, marathon untuk para gadis akan dimulai. Sampai saat itu tiba, sepertinya para gadis akan berteriak memberi semangat dan melihat start marathon pria.
Hayama melambaikan tangannya untuk membalas teriakan tersebut. Dia melihat ke arah para gadis dan berhenti di suatu sudut kerumunan para gadis, agak terpisah dari para gadis terdapat Miura disana.
Gugup berada di sekeliling para gadis, Miura hanya menatap dan mengangguk ke arahnya. Disamping Miura ada Yuigahama dan Ebina-san. Dan agak jauh di belakang mereka ada Yukinoshita.
Lalu Isshiki tiba-tiba mendekati mereka.
Setelah melihat Miura, Isshiki menundukkan kepalanya. Miura mengangguk. Isshiki melihat ke arah Miura lalu ke arah Hayama dengan ekspresi wajah menyeringai.
Lalu, dia menaruh kedua tangannya di mulutnya dan berteriak lantang, "Hayama-senpai, beri yang terbaik...! Ah, sekalian juga, senpai, beri yang terbaik!"
Setelah mengatakannya, dia melambaikan tangannya dengan tersenyum, Tobe yang berada di sampingku membalasnya dengan "Yeaaaah".
"Bukan, bukan, aku tidak mengatakannya kepadamu, Tobe-senpai," kata Isshiki sambil melambaikan tangannya dengan tanda "tidak!"
Miura melihatnya secara diam-diam, tetapi setelah mengambil napas yang panjang dan penuh determinasi, dia berteriak. "Ha-Hayato...Berusahalah beri yang terbaik!"
Suaranya memang tidak begitu keras sehingga nampak agak tenggelam dibandingkan teriakan histeris para gadis di dekat garis start. Tetapi Hayama melambaikan tangan kepadanya dengan senyuman yang lembut.
Miura melihatnya dan mengangguk kecil.
Isshiki melihatnya dengan tersenyum puas dan berteriak lagi. "...Senpai, lakukan yang terbaik, okeeeeeeeeee!"
Kali ini aku merasa dia memang melihatku dan mengatakannya kepadaku.
Yeah...Kenapa sih dia keras kepala tidak pernah menyebut namaku...? Apa dia memang tidak ingat... Ketika aku sedang memikirkannya, Yuigahama yang melihat Isshiki melakukannya, melangkahkan kaki ke depan.
Lalu, Yuigahama melambaikan tangannya. "La-Lakukan yang terbaik!"
Suaranya terdengar lebih lembut dari Isshiki jika dibandingkan suara-suara sekitarnya, tapi masih terdengar jelas di telingaku. Untunglah dia tidak menyebut namaku. Aku berterima kasih kalau dia paham situasinya.
Aku melambaikan tangan untuk mengapresiasinya dan Yuigahama menunjukkan kepalan tangannya untuk memberi simbol semangat. Lalu, di sebelahnya, pandangan mata Yukinoshita bertemu denganku.
Dia seperti mengangguk kecil. Aku merasa bibirnya sedikit bergerak seperti mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak dapat kudengar dengan jelas.
Aku tidak yakin apa yang dia katakan begitu juga ke siapa dia mengatakannya.
Meski begitu, aku merasa sangat termotivasi.
Baiklah, ayo kita selesaikan tugasku...
Aku menyelip maju ke barisan terdepan dan berada di samping Hayama. Mata Hayama menatap lurus ke depan, tidak melihat ke arahku.
Aku membolak-balikkan punggungku, meregangkan lututku, lalu mengambil satu langkah ke depan.
Setelah selesai melakukan persiapan, ada yang menepuk pundakku.
Aku membalikkan badanku dan Totsuka dengan pakaian olahraganya sudah berada disana. Kakinya yang kecil dibalut celana ketat, terlihat agak bergetar karena cuaca dingin. Tetapi dia tetap tersenyum kepadaku. "Hachiman, ayo kita lakukan yang terbaik hari ini."
"Yeah...Tolong kerjasamanya, Totsuka."
Banyak sekali suara orang berteriak di garis start saat aku merendahkan kepalaku. Meski begitu, aku terus menundukkan kepalaku. Kemarin, aku meminta tolong kepada Totsuka dimana permintaannya agak kurang bagus. Aku merasa malu ketika meminta tolong kepadanya lewat telepon.
Tetapi Totsuka menggerakkan kepalan tangannya di dadanya dan mengangguk dengan penuh semangat.
"Yeah, serahkan padaku!" kata Totsuka. "Meski aku tidak cukup yakin bisa sukses melakukannya jika melihat kerumunan sebanyak ini..."
Totsuka sepertinya kurang yakin ketika melihat kerumunan peserta ini. Aku melihat barisan di belakangnya. Mereka semua terdiri dari anggota klub tenis.
"Kamu tidak perlu memaksakan sejauh itu. Cukup pastikan saja para pelarinya berada di kelompokmu. Tidak perlu mengejar target seperti itu," kataku sambil menepuk pundak Totsuka. Namun aku buru-buru menarik tanganku dan sekarang malah khawatir apakah harus menghapus keringat yang menetes di kepalaku ini atau tidak. Ini kurang baik, kurang baik. Semakin aku memikirkannya, aku akan semakin berkeringat...
Aku hampir saja mengingat kejadian sewaktu SD dimana guru menyuruhku untuk berpegangan tangan dengan gadis di kelasku dan dia membenciku karena tanganku berkeringat, sejak saat itu mereka menjulukiku Froggygaya...Tunggu dulu, kenapa aku malah mengingatnya dengan jelas.
Dengan cuaca dingin seperti ini, aku seharusnya tidak berkeringat banyak. Tiupan angin laut bahkan seperti menusuk pipiku.
Tiba-tiba, angin berhenti bertiup.
"Oh, Hachiman. Ternyata kamu disini ya...Funuu, Tuan Totsuka juga berada disini?"
"Ah, Zaimokuza-kun."
Zaimokuza muncul secara tiba-tiba setelah mendorong dan memaksa maju dari kerumunan. Nampaknya dia menggunakan tubuhnya yang lebar dan menghalangi angin bertiup ke arahku.
"Hachiman, ayo kita lari bersama-sama."
"Tidak...Ah, sebenarnya, aku ingin kau melakukan sesuatu."
"Homuu?" Zaimokuza merespon dengan memiringkan kepalanya.
Karena ini bukan hal yang bisa didengar oleh orang lain, aku mendekati Zaimokuza...Entah kenapa, aku merasa hangat di dekatnya, sungguh menjijikkan.
Aku berbisik di telinganya dan Zaimokuza mengambil napas panjang dan berkata "fushurururu".
"Hmph...Aku nampaknya tahu tujuanmu. Kuharap apa yang kulakukan nanti tidak membuat yang lain curiga atau kelelahan."
"...Ya, kurasa begitu."
Permintaanku ke Zaimokuza sebenarnya sesuatu yang merugikannya. Melihat bagaimana kemampuan Zaimokuza di atletik dan bermental lemah, dia mungkin tidak akan menerima requestku dengan mudah. Bahkan, aku sendiri biasanya menolak semua permintaannya kepadaku.
Aku bertanya ulang ke Zaimokuza karena aku tidak masalah kalau dia merasa aku curang, karena Zaimokuza juga manusia.
Dia menaikkan bahunya setelah aku mengatakannya, menyilangkan tangannya, dan mengatakannya dengan agak arogan. "...Aku tidak keberatan melakukannya jika kau mentraktirku super gita ramen dari Naritake."
"Kamu yakin?" kataku.
Zaimokuza memberi tanda setuju, dan ekspresi menyebalkan. "Untung saja ada aku, apa yang akan terjadi kalau tidak? Seperti kata orang, kamu tidak bisa melihat kebenarannya apabila berada di belakang matamu."
Sungguh pernyataan yang menyebalkan... Aku yang meminta dan aku pula yang merasa terganggu. Aku melihatnya dengan tatapan menyedihkan.
Tidak peduli terhadap orang di sekitarnya, Zaimokuza berkata, "Tetapi, aku tidak akan melakukan lebih dari ini! Aku tidak mau orang membicarakanku di belakang ataupun menjadi flaming di internet! Jika aku kena, aku akan menyebut namamu juga demi keselamatanku, mengerti!" Zaimokuza menunjuk ke arahku.
Ketika aku melihatnya, aku tersenyum kecut. Yeah, inilah Zaimokuza-san! Dia seperti sampah! Sampah yang keren!
"Yeah, tidak masalah. Kamu begitu saja sudah sangat membantu. Aku bahkan berniat untuk menambahkan topping yang lebih banyak untuk ramenmu."
"Hmph, kupikir itu sudah cukup untuk menutupi kaloriku yang hilang hari ini."
Uh aku tidak tahu kamu menghitung kalori dengan apa, tetapi marathon ini sendiri tidak cukup untuk membakar kalori dari Naritake...
Aku berterima kasih sekali lagi ke Zaimokuza dan Totsuka dan melihat ke arah Hayama yang berdiri tepat di belakang garis putih.
Nampaknya dia sedang mengobrol dengan Tobe tentang sesuatu. Ketika dia menyadariku, dia tersenyum kepadaku dan berpikir apa aku ada perlu dengannya.
Aku mengarahkan kepalaku ke depan dan bersiap.
Sebentar lagi, marathon akan dimulai. Aku bisa tahu tanpa melihat ke jam yang ada di taman.
Suara berisik di belakangku mengecil secara drastis. Teriakan dari para gadis juga bertambah kecil.
Ketika semuanya terdiam, seperti menunggu momen ini, seseorang berjalan melewati garis putih.
"Sekarang, apa kalian siap?"
Orang yang barusan mengatakannya dan mengarahkan pistol ke langit adalah Hiratsuka-sensei.
Kenapa Hiratsuka-sensei...? Bukannya biasanya guru olahraga yang melakukannya. Ya ampun, orang ini memang selalu ingin melakukan apa saja di luar kewenangannya. Atau dia hanya ingin menembakkan pistolnya saja?
Hiratsuka-sensei mengarahkan pistolnya ke atas dan menggunakan tangan lainnya untuk menutupi telinganya. Ketika dia menaruh jarinya di pelatuk, para siswa menatap ke depan dan para gadis menahan napas melihatnya.
Beberapa saat kemudian Hiratsuka-sensei membuka mulutnya perlahan. "Ambil posisi...Siap."
Seketika, pelatuk ditarik diikuti suara tembakan.
Lalu, kita mulai berlari.
Pertama-tama, aku memanasi kakiku dengan berlari pelan. Tujuan utamaku hanya mengejar Hayama.
Tetapi beberapa orang di sebelahku langsung tancap gas seperti melihat garis finish di depannya.
Alasan mereka melakukannya karena ada kamera di posisi start. Aku kurang yakin apa itu untuk buku tahunan siswa atau apa, tetapi untuk alasan tertentu, mereka memasang kamera di marathon ini.
Para idiot ini lari dengan sekuat tenaga untuk beberapa meter hanya untuk meninggalkan kesan kalau mereka berlari dengan serius. Pada akhirnya, mereka cuma ingin mengatakan, "Awalnya aku di posisi pertama sampai pertengahan marathon!" ya begitulah orang-orang bodoh ini.
Orang-orang yang berlari sekuat tenaga dari start akan kehabisan tenaga dengan cepat.
Pertempuran marathon sebenarnya dimulai ketika kita keluar dari area taman.
Aku berpapasan dengan kelompok yang lari sekuat tenaga sejak start dan memanggil Zaimokuza, "Zaimokuza, aku mengandalkanmu."
"Phew, phew, hm...? Sip!"
Napas Zaimokuza sudah tersengal-sengal, setelah membalas, dia mempercepat larinya. Tetapi karena itu Zaimokuza, larinya tidak secepat yang kau kira.
Ketika Hayama di depanku dan aku hampir menyalipnya, Zaimokuza terlihat di belakang kami sambil berkata "fushuru, fushuru".
Kami tetap seperti itu sampai keluar dari area taman dan Hayama berbelok ke kanan ke arah pinggir jalan. Aku mengikutinya.
Meski begitu, Zaimokuza sudah menyentuh limit setelah beberapa ratus meter. Dia mulai melambat dan ketika kami sudah melewati area taman, dia menurunkan kecepatannya secara drastis.
"Haaaa...Sudah cukup..."
Dia menyerah dan kecepatannya hampir setara jalan kaki dan menghambat grup yang berada di belakangnya. Tidak ada keraguan kalau badan sebesar dirinya akan menjadi rintangan bagi pelari di belakangnya.
Karena Zaimokuza, kita bisa mengambil jarak yang cukup dengan peserta lari di belakang.
Dan masalah terbesarnya baru saja dimulai.
Sebesar apa badan Zaimokuza, dia tidak akan 100% blok rute larinya. Nampaknya ada beberapa grup yang berhasil lewat di sampingnya dan mulai mengejar kami.
Ketika aku terus memperhatikan belakangku, klub tenis Totsuka muncul.
Kedua mataku menatap ke Totsuka, dan kami berdua mengangguk.
Rute marathon ini melewati jalan pinggir pantai yang sempit. Jika kamu berjalan bersamaan dengan tiga orang membentuk garis, kamu akan blok jalan sepenuhnya.
Oleh karena itu, aku kemarin meminta tolong Totsuka. Ketika aku berada di depan, dia akan berlari bersama angota klubnya untuk blok jalannya.
Tentu saja, rencanaku akan bubar jika ada pelari yang mengganggu. Oleh karena itu aku meminta mereka untuk menahan pelari di belakangnya untuk menyalip lewat samping. Meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya blok, hanya memberi celah yang cukup sempit untuk menyalip.
Jadi pelari di belakangnya tidak merasa jalan di blok seluruhnya.
Cukup dengan membuat mental pelari di belakangnya untuk malas menyalip mereka.
Apa yang dilakukan pelari yang sadar kalau marathon ini tidak berpengaruh apa-apa bagi nilai mereka dan mereka melihat grup berisi segerombolan pelari yang berlari dengan kecepatan yang sama?
Mereka merasa malas untuk menyalipnya. Jika sejak awal ditanamkan memenangkan marathon ini tidak ada pengaruh apapun bagi mereka di sekolah meski menjuarainya, mereka akan berlari bersama grup di belakangku, dan coba mencuri-curi kesempatan ketika dekat dengan finish.
Asal kita bisa menciptakan situasi dimana hanya ada Hayama dan aku disini, itu sudah cukup.
Aku menatap punggung Hayama yang berlari di depanku.
TKP sudah siap. Dan aku sudah menyiapkan diriku.
Dari sini, adalah awal permulaan pertempuran yang harus kulakukan sendiri.
* * *
Angin yang bertiup dari laut menyentil pipiku. Ketika panas dari tubuhku yang mengalir keluar bersentuhan dengan udara dingin, tubuhku merasa sedikit kedinginan.
Setiap sol sepatuku menyentuh aspal, tubuhku seperti sedang menerima gelombang kejut.
Aku tidak bisa menghilangkan bunyi aneh seperti angin dan suara yang mematahkan tubuhku. Kedua suara itu seperti bercampur dengan hangatnya napas yang keluar dari mulutku.
Aku mencoba bernapas dengan sekuatnya dan terciumlah bau garam dari laut yang tajam.
Pepohonan yang tumbuh di sekitar garis pantai nampaknya disengaja untuk memecah angin pantai.
Aku bahkan menggerakkan kakiku tanpa sadar. Seperti sedang sukarela memompa darah dari jantungku. Derap langkah dan jantung yang sedang memompa seperti sedang berusaha menyalip satu sama lain.
Semua pikiran itu tiba-tiba hilang ketika aku terus berlari.
Aku senang karena setiap hari ke sekolah menggunakan sepeda. Kalau tidak, aku tidak akan mungkin bisa berlari seperti ini karena aku tidak ikut satupun klub olahraga. Tetapi itu tidak berarti aku tidak bisa berlari marathon. Malahan, apapun selain permainan bola adalah kesukaanku. Karena aku bisa mengakhiri permainan itu sesuka hatiku. Aku tidak perlu mengganggu orang lain. Selanjutnya, aku hanya mengisi kepalaku dengan pikiran-pikiran tidak jelas sambil memainkan permainan itu.
Tetapi marathon hari ini berbeda dari biasanya.
Aku merasa tersiksa lebih dari biasanya.
Ini karena langkahku lebih cepat dari latihan yang kulakukan bersama kelasku. Bisa juga karena anginnya yang dingin. Bisa juga karena tadi malam aku memikirkan banyak hal sehingga kurang tidur.
Alasannya banyak sekali.
Meski begitu, alasan terbesarnya adalah karena di depanku sekarang adalah Hayama Hayato.
Seperti orang yang sudah terbiasa dengan aktivitas klubnya, Hayama tidak terlihat kelelahan dan langkahnya tetap stabil. Aku bisa melihat mengapa dia memenangkan marathon ini tahun lalu.
Di lain pihak, aku dari tadi berusaha mengejarnya tanpa mempedulikan langkahku.
Namun tidak lama lagi itu akan berakhir.
Sejauh ini marathonnya masih sesuai rencana. Sekarang, Hayama dan diriku adalah grup terdepan sedang grup kedua diisi Totsuka dan member klub tenis sebagai anggota intinya. Nampaknya dia bisa mengatur kecepatan lari kelompoknya sehingga pelari di belakangnya tidak bisa menyalipnya. Atau juga, mereka sengaja tidak menyalip untuk menyimpan tenaga lari sekuatnya ketika marathon sudah berjalan lebih dari separuh jarak tempuh.
Harusnya masih banyak orang yang berlari di belakang, tetapi karena mereka tertinggal jauh, aku tidak melihat satupun dari mereka ketika menoleh ke belakang.
Hayama terus mengatur langkah larinya sestabil mungkin. Rencana pertama kita untuk mensabotase marathon sudah berjalan dengan baik dan kita sudah membuat jarak yang cukup jauh antara dua grup ini, jadi aku tidak melihat seorangpun di belakang yang mengejar kita.
Tapi masalah terbesarnya adalah aku.
Belum sampai separuh marathon, staminaku sudah mau habis.
Sejak tadi, salah satu sisi tubuhku merasa kesakitan, kakiku seperti kena sengat, dan telingaku berdengung terus-terusan. Jujur saja, aku ingin pulang. Kalau aku tadi sempat makan sesuatu, mungkin sekarang aku sudah muntah.
Aku sudah berlari sejauh ini, jika hendak melakukan sesuatu maka sekaranglah saatnya, karena sebentar lagi aku sudah tidak akan mampu berlari lagi.
Aku terus berlari sambil terus memperhatikan punggung Hayama, dan tiba-tiba aku merasakan sensasi di kedua kakiku. Angin dingin berhembus menerpa kakiku.
Kita sudah dekat ke jembatan tempat pelari berputar balik.
Di atas jembatan, para guru sedang menunggu, memberikan kita pita sebagai tanda cek kalau sudah melalui separuh marathon.
Akhirnya aku sudah menyelesaikan separuh marathonnya, aku hampir saja menghembuskan napas lega, tetapi terpaksa menelannya dan berusaha membuat oksigen di paru-paruku bersirkulasi.
Aku tidak boleh lengah.
Aku mempercepat langkahku untuk mengejar Hayama yang hanya beberapa langkah di depan. Kakiku semakin lama seperti terasa menginjak arus listrik di lantai.
Semua yang kulakukan hanya untuk ini, hanya untuk momen ini.
Aku mempercepat napasku dan berusaha mengejar Hayama.
Ketika aku berlari di sebelahnya, Hayama yang sebelumnya tidak menoleh ke arah manapun akhirnya menoleh ke arahku. Matanya membesar dan melihatku dengan terkejut.
"Kau ternyata bisa mengejarku, huh...?" kata Hayama.
Sebaliknya, aku menjawabnya dengan terbata-bata. "Yeah, nampaknya begitu. Kalau aku dari tadi berusaha mengatur langkahku, mungkin aku tidak akan bisa seperti ini."
Hayama menatap diriku. Mau bagaimana lagi, ekspresinya yang kebingungan nampaknya ingin tahu mengapa aku sampai sejauh ini. Aku membuka mulutku perlahan.
"Ini bukan karena ada orang yang mengharapkanku finish. Bahkan mungkin saja mereka tidak akan peduli kepadaku bila aku berhenti di tengah marathon."
Sejujurnya, aku tidak peduli di marahton ini akan mendapatkan posisi berapa, dan aku hanya sekedar menyelesaikannya. Aku tidak peduli selama aku bisa berlari dengan Hayama sendirian dan tidak ada yang akan menganggu kita. Aku mengerahkan seluruh tenagaku sehingga bisa sejauh ini...Selain itu, mengejar Hayama sampai sejauh ini bukanlah sesuatu yang lucu. Jiwaku seperti hendak pingsan, tetapi aku telah melewati separuh dari marathon.
Apa yang ada di pikiran orang-orang ketika sudah mencapai separuh dari jumlah rasa sakit yang mereka lakukan di marathon ini?
Apakah mereka juga akan menganggap marahon baru berjalan separuhnya, ataukah sudah separuh jalan menuju finish? Aku merasa kedua pilihan tersebut seperti membuat sebuah lubang di jiwaku.
Lubang ini membuat orang-orang merasakan kelelahan. Sumber: diriku. Sejujurnya, rasa lelah menyelimutiku keitka aku menghembuskan napas lega karena akhirnya telah menyelesaikan separuh marathonnya, semakin kulihat ke depan, kakiku terasa semakin berat.
Meski Hayama terlihat terkejut karena aku berlari di sampingnya, dia terlihat tenang seperti biasanya. Dia menatap dengan lurus karena sedang berlari, namun dia tidak terlihat begitu goyah karena aku disana.
Aku hanya perlu satu gerakan lagi untuk mengacaukan keseimbangan Hayama.
Hanya satu hal yang bisa menembus Hayama, menuju ke inti dirinya.
Aku terus memaksa diriku untuk bernapas. Dadaku terasa sakit, namun aku menahannya dengan senyuman, dan mulutku terasa bergetar.
"...Apa Miura semacam alat bagimu untuk menghindari gadis-gadis yang mendekatimu atau kau menganggapnya apa?"
Hayama langsung menoleh kepadaku. Dia menatapku dengan tajam, menghembuskan napas yang sangat panas. Yeah, ekspresi ini yang kutunggu dari tadi.
Dia hanya melihatku saja dan memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Aku lalu mengejarnya dan menghujaninya dengan kata-kata yang lebih pedas lagi.
"Benar kan? Apa selama ini dia cukup berguna bagimu?"
Sejujurnya, aku tahu Miura bukanlah orang yang buruk. Sebagai seseorang yang pernah melihat kepribadiannya yang sebenarnya, mengatakan hal-hal seperti tadi sebenarnya bertentangkan dengan nuraniku.
Dan hal tersebut, seharusnya juga dirasakan orang yang mendengarkan ucapanku tadi.
"Diamlah." dia mengatakannya tanpa melihatku, Hayama mengatakannya seolah-olah aku pengganggu.
"Kamu tidak bisa mengharapkanku untuk diam seperti yang kau minta...Aku tidaklah sebaik yang kau kira, yeah?"
Aku membuat senyum yang licik, dan memakai kata-kata yang dia pakai kepadaku. Ketika aku melakukannya, Hayama menatapku dengan rendah dan senyum yang dibuat-buat.
"Kau serius tadi? Aku tidak pernah menganggapmu sebagai orang baik."
"Ah, kamu sungguh tidak menyenangkan..."
Kata-kata barusan keluar dari mulutku dan Hayama tersenyum dengan ekspresi mengejek.
"Aku tidak ingin mendengar itu darimu."
Kau benar sekali. Aku hampir saja tersenyum tadi. Tetapi tindakanku berbuah sesuatu karena dia bereaksi berbeda dari biasanya. Jika begitu, ini adalah waktu yang tepat.
Aku berusaha menormalkan napasku sehingga suaraku tidak terbata-bata.
"Jadi antara sosial dan sains, kamu mau memilih apa?"
"Aku tidak akan memberitahumu."
"Biar kutebak. Kau akan mengambil sains." aku akhirnya mengatakan sebuah jawaban.
Hayama menghembuskan napas dan terpaku dengan jawabanku. "...Kau pikir aku akan menjawab, meskipun kau memberiku pilihan?"
"Baiklah, aku akan membuatnya berbeda," kataku. Aku memalingkan wajahku dan menatap hal lain. "Pilihlah sains. Aku tidak tahu apa yang kau pilih dan aku tidak peduli. Namun karena masih ada waktu untuk mengubahnya, jadi pilihlah sains dan ubah nanti kalau salah."
"Apa?"
Hayama menunjukkan ekspresi wajah tersihir yang sangat jarang dia perlihatkan. Dia lalu tersadar, mengejarku lagi, dan berlari seperti biasanya.
"...Kau barusan mengatakan hal-hal yang cukup gila."
Dia nampak panik, bahkan tarikan napas Hayama seperti meningkat lebih cepat dari biasanya.
"Mau gimana lagi. Aku harus tahu pilihan kelasmu nanti, tetapi...Kamu tidak memberitahuku dan aku tidak bisa menebak apapun...Artinya satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah memaksamu untuk memilih jawaban yang kuinginkan."
Hayama Hayato memiliki banyak sekali peluang pilihan dan aku tidak bisa menyimpulkan salah satunya. Dalam hal ini, aku hanya perlu menghapus semuanya. Jika aku adalah seseorang yang mampu memutuskan apa pilihannya, maka request dari Miura sudah selesai.
"Yang barusan kau lakukan seperti langkah mundur saja..." Hayama tertawa kering.
Aku memang terlihat bodoh barusan. Namun aku tidak mengatakannya tanpa alasan kuat.
"Sebenarnya ada timbal balik yang bagus jika kamu mengubah jurusanmu sesuai instruksiku. Dan itu adalah satu-satunya kondisi untuk memuaskan dirimu sendiri."
"Kondisi?" Hayama menatapku dengan penuh tanda tanya. Langkah Hayama melambat. Dia menyamakan kecepatannya denganku.
"Kau bilang kepadaku untuk berhenti melakukan hal-hal yang mengganggu bukan? Dengan kata lain, kamu sebenarnya ingin berhenti menjadi Hayama Hayato yang diinginkan oleh semua orang.
Hayama berhenti. Aku yang melihatnya pun ikut berhenti juga.
Ketika itu, aku merasakan keringat mengucur deras. Sepertinya kita dari tadi berlari melawan arah angin. Aku menyeka keringatku dengan lengan kaos olahragaku dan menatap Hayama.
Hayama menatapku dengan ekspresi terkejut dan dari yang seharusnya dia merasa lelah, dia malah menghembuskan napas panjangnya.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" Hayama menatapku dan mulai berjalan. Aku mengikutinya.
"Sebenarnya tidak ada. Aku hanya memikirkan hal-hal yang ingin kau singkirkan pada awalnya. Ketika memilih sosial ataupun sains, sangat wajar jika kau menyingkirkan mata pelajaran dimana kamu sendiri kurang bagus dan hal-hal yang tidak ingin kamu lakukan di masa depan kelak."
Jika kita bicara tentangkan ujian, dengan kemampuan akademik Hayama, mau masuk kelas apapun sebenarnya tidak berpengaruh banyak. Bimbingan belajarpun sudah cukup untuk masuk universitas manapun. Jadi, masalahnya disini bukanlah tentang dia akan memilih ikut ujian universitas apa ataupun tertarik ke universitas mana.
Yang jadi masalah adalah, apa yang Hayama Hayato ingin buang?
Yang ingin dia buang adalah kehidupannya di kelas tiga SMA, atau sederhananya, hubungannya dengan teman-temannya.
"Jujur saja, memilih sosial ataupun sains sebenarnya tidak masalah karena kamu bisa ikut semua ujian masuk universitas yang kamu inginkan. Meski begitu, kamu tidak mau memberitahukan jurusanmu ke orang-orang. Jadi sebenarnya, kamu berencana untuk membuang sesuatu diam-diam di kelas tiga nanti."
Hayama tetap terdiam, tidak memberikan jawaban apapun dan terus berjalan. Tetapi aku tahu dia tetap diam artinya aku harus tetap melanjutkan perkataanku tadi.
"Kelas IPA orang-orangnya tidak terlalu banyak, termasuk gadis-gadisnya. Jadi untuk sementara, kamu bisa lepas dari masalah yang terus menghantuimu. Lagipula, jika pilihan jurusanmu berbeda dengan yang lain, kamu tinggal beralasan saja dan yang lainnya bisa paham. Jika ada hal yang secara alami menghilang, maka kamu tidak akan melukai siapapun dan tidak mengkhianati ekspektasi siapapun." Suaraku terasa mulai serak karena tenggorokanku yang kering, tetapi aku terus berusaha untuk membuat kata-kataku terdengar jelas dan menambahkan satu kalimat final. "Satu-satunya kondisi dimana dirimu terpuaskan adalah memilih jalan itu."
Seperti sedang terganggu oleh keringat dari kepalanya, Hayama merapikan rambutnya, menyekanya, dan melihat ke arah laut.
Lalu, terdengar suara yang pelan, seperti sedang berbisik, "Kurasa, kita memang sejak awal tidak akan bisa akrab..."
"Ha?"
Ketika aku bertanya kepadanya, dari belakang mulai terdengar langkah orang berlari. Ketika aku melihat balik, beberapa orang dari grup kedua sedang menuju kesini. Nampaknya, setelah melihat Hayama sedang berjalan, mereka melihatnya sebagai peluang untuk menyalipnya.
Aku dan Hayama hanya melihat mereka menyalip kita begitu saja.
Ketika jarak mereka sudah cukup jauh dengan kita, Hayama berkata.
"...Kamu cukup luar biasa."
"Hoo, jadi jawabannya adalah kelas sains?"
"Bukan itu. Jangan memanfaatkannya untuk mengambil kesimpulan," kata Hayama dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jika pernyataannya tadi mengatakan bahwa aku salah dalam memilih pilihan ganda, berarti pilihan yang tersisa adalah yang benar. "Jadi kelas sosial" adalah kata-kata yang hendak kukatakan, tetapi Hayama memotongnya.
"Aku tidak suka kamu."
"Oh ya?"
Tidak menatapku sedikitpun, kata-katanya barusan membuatku kehilangan kata-kataku. Memang aku bukanlah orang yang bisa disukai semua orang, namun mengatakannya langsung di depanku, baru kali ini aku mengalaminya. Hayama tidak mempedulikan reaksiku barusan dan tetap menatap ke arah depan.
"Aku tidak suka berada lebih rendah darimu. Oleh karena itu aku menginginkanmu setidaknya setara denganku. Oleh karena itu aku berusaha menganggapmu tinggi, jadi ketika aku kalah denganmu, aku bisa menerimanya dengan wajar."
"...jadi begitu."
Berarti dia sama saja denganku. Aku mengagung-agungkan Hayama seperti seorang yang spesial untuk meyakinkan diriku sendiri, memaksakan kebohongan ke diriku, kebohongan bahwa Hayama Hayato adalah pria yang baik.
Aku meresponnya dengan terdiam dan Hayama menatapku seakan aku sudah berhasil mendekatinya. Dia tersenyum dengan ekspresi lebih segar dan lebih provokatif dari biasanya.
"Oleh karena itu, aku tidak akan melakukan apa yang kau perintahkan tadi."
"Begitu."
Aku mengangguk dan Hayama juga mengangguk juga.
Ini sepertinya dua pilihan tersebut bukanlah masalah bagi Hayama. Baginya, memilih apapun tidak akan berbeda jauh.
Oleh karena itu, mendengar hal itu sudah cukup. Aku juga sudah menyelesaikan request Miura. Meski begitu, ada masalah yang tidak menghilang begitu saja. Namun masalah diluar ini bukanlah kuasaku untuk menyelesaikannya.
"Kita harus segera berlari," kata Hayama dan mulai berlari.
Goblok, gue sudah gak bisa lari lagi. Ketika memikirkan itu, aku memaksakan diriku untuk mengejar Hayama.
Itu karena aku menginginkannya untuk melakukan sesuatu.
Aku memaksakan kakiku untuk berlari. Untungnya, napasku sudah kembali normal setelah istirahat sejenak tadi. Namun detak jantungku masih berdetak kencang, aku mencoba menurunkannya dengan bernapas pelan.
"...Apa kamu memilih kelas sosial karena tuntutan keluarga? Seperti demi relasi atau semacamnya?"
"Keluargaku? Apa aku pernah membicarakannya denganmu?"
Kecepatan kami seperti level jogging bagi Hayama, jadi sekarang, suara dan langkahnya terdengar santai.
"Bukan itu, aku sebenarnya tidak sengaja mendengar itu..."
Tubuhku terasa agak dingin oleh keringat yang bercampur dengan tiupan angin laut. Tubuhku yang awalnya terasa membeku, mulai diselimuti rasa tidak nyaman, dan kesunyian yang terasa aneh bagiku.
Tetapi selama dia tidak masalah dengan hasil marathon, dia menatapku dengan penuh ketertarikan seperti menemukan sesuatu. Lalu dia berkata.
"Apa kamu merasa terganggu dengan gosip itu?"
"Huh? Sebenarnya enggak juga...Hanya saja, kau tahu...Ya semacam itulah."
Ketika aku menjelaskannya dengan belepotan, Hayama tertawa dan menaikkan nada suaranya. Dari yang seharusnya dia berlari dengan sikap agak serius, tubuhnya seperti bergetar dan begerak kesana kemari.
"...Apa ada yang lucu?" tanyaku.
Hayama menyeka matanya." Tidak ada, maaf. Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku akan memastikan itu akan hilang segera."
"Ahh, jika kamu bisa, itu akan sangat membantuku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana suasana di klubku sekarang."
Ketika kita sedang berbincang, aku bisa mendengar suara napas dari pelari yang ada di belakangku seperti sedang mendekat untuk menyalipku. Grup yang sudah menyalip kita tadi pasti sudah agak jauh.
Kakiku sudah tidak mau berkompromi lagi seperti tidak mau kuperintah.
"Sepertinya kita sudah tertinggal jauh...Kupikir kita bisa berlari santai saja. Maaf sudah mengacaukan rencana kemenangan beruntunmu," kataku.
Meski begitu, Hayama memajukan posisi kepalanya. Dia mengepalkan tangan seperti sedang melakukan pemanasan dan berkata. "...Tidak, aku akan menang...karena itulah diriku selama ini."
Dia mengatakannya seolah-olah itu mudah, kemenangan itu, dimana dia menjawab ekspektasi semua orang, dan dia akan bersikap seperti itu sampai akhir, seolah-olah itu adalah dirinya yang sebenarnya.
Hayama lalu meningkatkan kecepatannya, sejenak dia langsung berada di depanku yang berlari lambat, dan berbalik. "Lagipula, aku tidak suka kalah darimu."
Dia meninggalkanku dengan kata-kata itu dan pergi menjauh.
Semakin jauh dan jauh, aku tertinggal di belakang.
Tidak banyak energi tersisa bagiku untuk mengejarnya dan aku hanya bisa melihatnya. Hayama Hayato telah mengatakan jawaban yang aku tidak bisa simpulkan selama ini, aku tidak akan mempercayainya jika melihat bagaimana usahaku selama ini, dan dia telah meninggalkanku jauh.
Sial, kamu semacam orang keren apa bagaimana?
Jangan katakan kepadaku kalau dia sebenarnya tidak suka terlihat kalah? Aku memikirkan pemikiran sia-sia itu ketika berlari dan kaki kananku bertabrakan dengan sisi belakang kaki kiriku.
Tidak bisa menghentikan apa yang terjadi, aku terjatuh ke lantai. Aku berbaring saja dengan punggungku di lantai, sambil melihat ke arah langit.
Napasku yang berwarna putih bercampur dengan birunya langit di angkasa.
* * *
Pada akhirnya, marathon tetap berjalan sedangkan aku masih tergeletak di tanah.
Setelah terjatuh, aku tetap ingin berbaring dahulu di tanah untuk sejenak. Totsuka tadi sempat datang dan menawarkan bantuan, karena dia sudah cukup banyak membantuku untuk hari ini, aku tidak mau meminta bantuannya lagi dan memintanya untuk terus berlari. Aku akhirnya bisa sampai ke finish, meski sambil menyeret kakiku yang sakit.
Sebenarnya, aku tidak berada di posisi akhir marathon, tetapi berada di grup terakhir. Aku bergabung dengan grup terakhir dan melakukan usaha yang luar biasa untuk sampai ke garis finish. Setelah sampai di garis finish, aku melihat sekitarku untuk memastikan kalau ini benar-benar garis finishnya, "Aku tidak perlu berlari lagi bukan...?" Ngomong-ngomong, yang mengatakan itu barusan adalah Zaimokuza yang berlari bersamaku di grup terakhir tadi.
Ketika selesai berlari, lututku yang gemetaran sejak tadi sudah menyerah dan ini seperti waktu yang tepat untuk Nico Nico Niii seperti di anime Love Live.
Aku melihat kondisi tubuhku setelah terjatuh tadi dan nampaknya keadaanku sangat buruk sekali.
Lutut dan kaki bagian bawahku terluka, celanaku kotor dengan lumpur, pantatku terasa kram, dan tubuhku terasa sakit luar biasa. Mencari bagian tubuh mana dari diriku yang tidak terasa sakit serasa menjadi hal yang mustahil saat ini.
Kalau tadi tidak ada yang bilang "Lakukan yang terbaik, lakukan yang terbaik", kurasa aku sudah tewas sejak tadi.
Tentu saja, tidak ada yang menungguku di garis finish.
Nampaknya hanya ada satu guru olahraga sedang mengawasi garis finish dan yang lainnya seperti berkumpul di tengah taman.
Aku menuju ke arah tengah taman dan hendak melihat apa yang terjadi disana, nampaknya disana tengah diadakan semacam upacara penghargaan.
Biasanya, marathon tahun lalu tidak punya upacara penghargaan seperti ini, tetapi kalau melihat Isshiki yang menjadi pembawa acaranya, mungkin ini adalah acara dadakan dari pengurus OSIS. Cukup mengejutkan memang kalau melihat kemampuan individual dari Isshiki.
"Sekarang, hasilnya sudah diketahui, kita ingin mendengar komentar dari pemenang kita!" Isshiki mengatakannya dengan gembira, memegang microphone yang sepertinya dia pinjam dari ruang OSIS. Sementara itu, melihat wakil ketua OSIS sedang mengatur setting speaker membuatku merasa kasihan kepadanya.
Aku mengamati area sekitar dan terlihat siswa kelas satu dan kelas dua baik laki-laki dan perempuan nampaknya bercampur menjadi satu. Orang-orang di kelasku seperti Yuigahama, Miura, Ebina-san, Tobe, dan Totsuka ternyata berada disitu juga.
Kulihat dari kejauhan, Isshiki memanggil pemenangnya. "Pemenangnya, Hayama Hayato-san, tolong naik ke atas panggung!"
Ketika Hayama dipanggil, dia berjalan menuju panggung dengan mengenakan ikat kepala dari bunga yang menandakan kemenangan. Panggung berubah menjadi meriah seketika. Sebenarnya, aku cukup tidak percaya kalau dia memenangkannya...
"Hayama-senpai, selamat atas kemenangannya! Saya sebenarnya sudah yakin sejak start kalau anda akan menang loooh!"
"Oh, terima kasih."
Isshiki memberinya ucapan selamat dan kata-kata yang ambigu, lalu Hayama menjawabnya dengan tersenyum ceria.
"Lalu, tolong berikan sedikit komentar atas kemenangannya."
Setelah memberikan microphone ke Hayama, banyak orang bertepuk tangan dan bersiul diikuti teriakan HA-YA-TO. Tobe berteriak "Heeeya", "Yeaaaaah", dan "Yeah, yeah, yeah!" yang kurasa sangat mengganggu.
Hayama melambaikan tangannya ke kerumunan tersebut dan mulai berbicara.
"Tadi sebenarnya pertandingannya berjalan sangat ketat setelah melewati separuh marathon, tetapi terima kasih kepada para rivalku dan orang-orang yang menyemangatiku, aku akhirnya berhasil menjuarainya. Terima kasih banyak untuk semuanya," kata Hayama yang mengatakannya seperti tanpa ragu. Lalu dia berhenti sejenak. Setelah melihat ke arah Miura di keramaian, Hayama melambaikan tangannya. "Khususnya untuk Yumiko dan Iroha...Terima kasih."
Lalu, suara riuh semakin menjadi-jadi. Ooka bersiul menggunakan jari-jarinya sedangkan Yamato memberinya tepuk tangan. Dan untuk Miura dan Isshiki, wajah mereka memerah karena nama mereka tiba-tiba disebut, lalu mereka seperti malu-malu mendengar hal itu. Yuigahama menepuk dengan lembut kedua pundak Miura.
Ketika kerumunan melihat tatapan hangat Hayama dan reaksi keduanya, mereka bertambah ramai. Oh begini, jadi ini maksudnya dengan membuat gosipnya hilang.
Lalu Hayama melanjutkan komentarnya.
"Setelah ini, kita akan memfokuskan tenaga kita untuk klub dan melakukan yang terbaik untuk turnamen terakhir kita. Juga, untuk para member klub sepakbola yang ikut marathon hari ini, saya lihat banyak dari kalian yang menyelesaikan marathonnya dengan hasil yang cukup buruk, jadi siap-siap besok saya akan menempa kalian lebih keras dari biasanya."
Hayama tersenyum usil ke arah Tobe dan kelompoknya. Tobe meresponnya dengan "Whoooa~".
"Hayato-kuun, jangan gitu doong! Beri kami waktu lebih banyak untuk bersiap-siap dulu!"
Tobe meneriakkan kata-kata khasnya dengan keras sehingga tidak kalah keras dengan suara microphonenya. Kerumunan tersebut tertawa dengan keras menjadi "Dowahahaha". Dunia macam apa ini...
"Okaaaay, terima kasih banyak. Dan barusan itu adalah pemenang marathon kali ini, Hayama Hayato-san. Oke, tepuk tangan sekali lagi... Kita tidak perlu memanggil juara kedua dan yang lain bukan?"
Kalimat terakhirnya tanpa sadar terselip keluar dan masuk ke microphone yang aktif seperti sedang memecah kerumunan, dia mengatakannya sambil menatap ke arah wakil ketua OSIS. Apa-apaan sih yang dia lakukan...?
Isshiki akhirnya menutupi kesalahan microphonenya tadi dan Hayama menuruni panggung lalu mengobrol dengan Miura dan lainnya.
Jarak yang memisahkan mereka berdua sejak lama sudah tidak terlihat. Bahkan, Miura sembunyi di belakang, merasa agak malu dengan tatapan orang-orang sekitarnya, dan dia bersembunyi di belakang punggung Yuigahama dan Ebina-san.
Sesudah memastikan itu, aku meninggalkan area panggung di taman.
Tanpa ragu, aku baru saja menyaksikan bagaimana Hayama Hayato berpura-pura menjadi Hayama Hayato. Mungkin dia menganggap ini hanya sebagai candaan yang tidak serius dan dirinya memang memiliki kemampuan untuk menjawab ekspektasi orang-orang, tetapi aku sendiri juga kagum dengan cara berpura-puranya yang sempurna.
Ketika aku meninggalkan area tengah taman, aku bertemu beberapa grup yang sedang membubarkan diri juga. Baik laki-laki dan perempuan di grup tersebut mengobrolkan sesuatu.
"Yeah, gosipnya ternyata bohong!", "Ternyata Hayama-kun dan Miura-san terlihat mesra gitu!" aku menatap mereka, lalu menyeret kakiku menuju ruang UKS di sekolahku.
* * *
Gedung sekolahku ternyata terasa lebih dingin daripada di taman tadi.
Banyak siswa masih berada di taman atau juga entah kemana untuk menghabiskan waktu bebasnya.
Aku mengganti sepatuku dengan sepatu indoor sekolah dan berjalan menyusuri lorong kosong menuju gedung khusus. Hanya melakukan hal sederhana itu, kakiku seperti sedang tersengat sesuatu.
Aku mengetuk pintu ruang UKS.
"Silakan masuk."
Aku dijawab oleh suara yang cukup familiar. Suara ini adalah...Seperti yang kuduga, aku membuka pintu tersebut dan sudah mengiranya, di depanku adalah Yukinoshita. Masih memakai pakaian olahraganya dan duduk di kursi. Dia melihatku dengan tatapan kosong.
"Hikigaya-kun...? Kupikir barusan adalah Yuigahama-san."
"Kalau Yuigahama, aku melihatnya tadi masih di taman. Kamu sendiri kenapa ada disini?"
"Aku istirahat sebentar dan terpaksa berhenti dari marathon..." kata Yukinoshita. Nampaknya dia memang keluar dari marathon ketika istirahat. Setelah melihat wajahnya yang agak frustasi, apa dia sebenarnya memang berniat untuk menyelesaikan marathonnya?
"Hikigaya-kun..." dia menatap kakiku. "Apa kamu terluka?"
"Yeah, panjang ceritanya."
Aku mustahil memberitahunya kalau kedua kakiku saling bertabrakan. Maksudku, itu akan terdengar bodoh.
"Kau harusnya ke bagian perawatan di taman sana. Ada petugas medis yang bersiaga disana."
"Tidak ada satupun dari mereka ketika aku sampai garis finish..." jawabku.
Yukinoshita menaruh tangannya di dagunya seperti memikirkan sesuatu. "Oh begitu. timingnya mungkin yang buruk, atau juga keberuntunganmu yang buruk, atau matamu yang..."
"Ya, ya, sifatku, jiwaku, memang buruk sih. Ngomong-ngomong, disini kita boleh memakai cairan anti-bakteri dan semacamnya, bukan?" aku bertanya ke arahnya sambil menunjuk ke arah lemari obat yang tidak terkunci.
Yukinoshita berkata. "...Nampaknya jari-jari tanganmu juga terluka." Dia berdiri, menjauhkanku dari lemari obat dengan tangannya. Dia mengambil cairan anti bakteri dan perban, lalu dia menunjuk ke arah kursi di depannya. "Duduklah disana."
"Tidak, aku bisa melakukannya sendiri."
"Lakukan saja."
Meski merasa kurang puas, aku duduk seperti yang dikatakannya. Lalu dia duduk di kursinya semula dan memindahkan kursinya ke depanku.
Dia menaruh tangannya di kakiku dan mulai membersihkan lukaku yang terbuka. Tercium bau yang tajam dari obat antiseptiknya. Lalu, bau tersebut berhenti, kepala Yukinoshita posisinya cukup dekat denganku dan aku mencium bau yang harum darinya.
Setiap kapas yang diberi disinfektan tersebut menyentuh lukaku, aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku sebenarnya tidak terbiasa dengan perawatan luka semacam ini. Karena dia menyentuh lukaku dengan pelan-pelan, aku merasakan sengatan yang luar biasa dari lukaku yang menyentuh disinfektan.
"Hey, itu cukup menyengat..."
"Tentu saja. Namanya juga proses disinfektan luka. Jadi cukup normal kalau itu sangat efektif kepadamu, Hikigaya-kun."
"Uh huh, hentikan menganggapku seperti bakteri, oke?"
"Itu khan bukti kalau obatnya bekerja. Jadi tahan saja."
Ini seperti iklan obat kalau semakin bagus obatnya, maka rasanya tidak sesakit biasanya, apa ini cuma bohongan? Aku tidak percaya itu. Kalau rasa sakit seperti ini sudah tidak bisa kutahan lagi, apakah ini berarti kalau hidup dengan sehat adalah hal terbaik di dunia ini?
Setelah kukatakan itu, Yukinoshita menyentuhkan kapasnya dengan lebih lembut dari sebelumnya, sepertinya dia juga mempertimbangkan keluhanku, dan gerakan tangannya jauh lebih hati-hati dari biasanya.
Sampai dia selesai membersihkan area lukaku, kita berdua terdiam dalam sunyi. Aku nampaknya sudah terbiasa dengan rasa sakitnya dan tubuhku merasa rileks. Yukinoshita mulai melilitkan perbannya sekali, dua kali, dan memulai pembicaraan.
"Nampaknya kau tadi lari dengan Hayama-kun...Apa kau mendapatkan sesuatu darinya?"
"Yeah...dia kemungkinan besar tidak akan memilih sains." Jawabanku memang terkesan janggal, namun setidaknya itulah yang sebenarnya terjadi.
Yukinoshita tersenyum. "Itu jawaban yang cukup aneh...Baiklah, semuanya selesai."
Yukinoshita bernapas lega dan mengangkat wajahnya. Ketika dia melakukannya, wajah Yukinoshita, berhenti bergerak, tepat dimana wajahku dan wajahnya hampir bersentuhan.
"............."
Kita berdua terdiam di posisi tersebut.
Kulitnya putih seperti selimut salju. Pupil mata yang hitam dan basah. Bulu matanya yang panjang yang sesekali mengedip. Hidungnya yang terlihat sempurna. Mulutnya yang tersenyum dan sesekali menghembuskan napasnya.
Derit pegas dari sofa memecah kesunyian ruang keluarga. Kamakura yang tertidur disamping kotatsu terbangun karenanya.
Komachi sudah pergi untuk belajar di kamarnya sedangkan orangtuaku baru akan pulang larut malam nanti. Di ruang keluarga ini, hanya diriku dan kucing tercinta kami, Kamakura yang mengisi ruangan ini.
Ketika tiduran di sofa, aku menatap ke arah jendela karena cahaya lampu di atasku terasa terlalu terang. Di luar sudah gelap dan jendela terasa menahan dinginnya angin yang beku di musim dingin.
Beberapa hari telah berlalu semenjak seminar akademik dan karir, tetapi aku sudah tidak ada petunjuk lagi mengenai pilihan jurusan Hayama. Aku sudah bertanya beberapa kali, namun hanya jawaban kosong yang kudapat.
Waktu berlalu dan aku baru sadar kalau marathon akan berlangsung esok hari. Sehari sesudah marathon adalah deadline terakhir kuisioner jurusan harus dikirim. Akhir bulan ini adalah deadlinenya.
Sekuat tenaga kubangunkan tubuhku dari sofa dan merangkak perlahan ke kotatsu. Kuisioner jurusan milikku yang sudah terisi berada di atas meja.
Pilihan jurusanku sudah kuputuskan sejak lama.
Aku memilih jurusan sosial tanpa ragu diantara sosial dan sains. Jurusanku ketika kuliah nanti adalah Liberal Art di sekolah swasta, jadi aku juga menulis jurusan kuliahku beserta universitas yang memungkinkan untukku sesuai nilai akademikku.
Apa sih pertimbanganku dalam memilih jurusan? Sebenarnya sederhana. Aku memilih kelas sosial karena aku memang bagus di mata pelajarannya. Aku kurang paham dengan mata pelajaran sains dan bisa kukatakan sejak awal SMA aku sudah tidak mempedulikan pelajaran tersebut.
Sayangnya untukku, meskipun aku juga tidak yakin, keahlianku tercermin di nilai-nilai sekolahku, jadi aku memilih jurusanku kelak tanpa ragu.
Meski begitu, aku memang tidak punya banyak pilihan. Oleh karena itu aku mampu mengeliminasi pilihan sejak awal.
Kebalikan dari itu. Bagaimana orang yang punya banyak pilihan lalu memilih jurusannya?
Misalnya, Yukinoshita Yukino.
Sebenarnya dia nanti memilih jurusan apa di kuliah?
Jika memungkinkan, aku seharusnya bertanya kepadanya ketika ada kesempatan. Jika kita mempertimbangkan semua faktor, orang yang terdekat dengan Hayama Hayato adalah Yukinoshita.
Dari itu, aku berpikir bahwa pilihan jurusan kuliah Yukinoshita mungkin bisa dijadikan referensi melacak jurusan Hayama. Tentu saja, ide tersebut terasa sia-sia. Aku berpikir jika aku melakukannya, aku malah menambah masalah-masalah yang lebih sulit ke depannya.
Untuk sekarang, aku harus berpikir tentang pilihan Hayama antara kelas sosial dan sains.
Bagaimana Hayama Hayato memilih jurusannya? Jika berpikir tentang potensi jurusan kuliahnya kelak, pilihan yang muncul terlalu banyak. Dia tidak memiliki hal untuk dieliminasi dan begitu juga dia tidak punya kekurangan untuk mengeleminasi pilihan jurusan sepertiku.
Semakin banyak cerita yang kudengar tentangnya, semakin sulit bagiku untuk mengambil kesimpulan.
Tidak hanya dia sangat baik di mata pelajaran sosial dan sains, dia juga sepertinya mampu mendapatkan rekomendasi kuliah jurusan olahraga. Memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa seperti itu artinya ujian masuk secara langsung dan rekomendasi dari sekolah juga faktor yang harus kuperhatikan.
Jika dia sama seperti Totsuka yang memilih jurusan karena hobinya, aku tinggal melacak balik jurusannya. Meski begitu, aku tidak punya momen dan kemampuan untuk bertanya hal itu ke Hayama. Mungkin beda ceritanya jika Zaimokuza, dia agak kikuk dengan orang asing, tetapi Hayama kebalikannya.
Kalau memikirkan Hayama dari sisi nilai akademik dan jurusannya kelak nampaknya sudah mustahil.
Dalam kasus ini, aku harus melakukan sebuah pendekatan yang berbeda.
Misalnya, permasalahan keluarga yang Kawasaki hadapi. Dia mengambil universitas negeri karena situasi keluarganya. Sebaliknya, Hayama memiliki banyak pilihan karena masalah keluarga nampaknya bukanlah penghalang baginya.
Aku tidak bisa melihat hal-hal yang membuat diri Hayama khawatir. Ini sesuatu yang aku dan Tobe setujui. Jika aku meminjam kata-kata Ebina-san, Hayama adalah orang yang tidak menunjukkan kelemahannya, tidak mau melukai siapapun, dan menjawab ekspektasi semua orang.
Siapapun yang kutanya tentangnya, mereka selalu mengatakan banyak kemungkinan tentang Hayama.
'Dia yang bisa melakukan segalanya' adalah Hayama Hayato.
Seorang manusia super yang keren, baik, tersenyum lembut, dan memiliki pengetahuan akan wawasan dan bela diri.
Semua orang memandang dirinya seperti itu. Semua orang mengira Hayama Hayato adalah pria yang baik.
Semua orang?
Sekarang, apa itu benar?
Ada satu orang. Ada satu orang yang tidak berpikir demikian.
Dan ada satu orang yang mengatakan kepadaku dengan jelas.
Aku tidaklah sebaik yang kau kira.
Jika kata-kata itu bisa dipercaya, maka orang tersebut selama ini merasa orang lain salah menilainya. Satu-satunya orang yang tidak merasa Hayama Hayato adalah pria yang baik adalah dirinya sendiri.
Pujian dari orang-orang akan membuatnya terasa gila. Bahkan terasa menjijikkan ketika orang lain juga ikut-ikutan memujinya. Meski tahu kalau itu hanya basa-basi, dan untuk kepuasan diri sendiri, dia tetap mau memenuhi ekspektasi orang-orang. Itu sangat menjijikkan menurutku.
Seseorang pernah berkata kepadaku: 'Berhentilah untuk selalu menjadikanmu korban'. Jangan bodoh. Melakukan sesuatu demi ekspektasi orang-orang dan tidak ingin seorangpun terluka adalah kata lain dari mengorbankan diri sendiri.
'Begitulah yang terjadi semenjak dulu,' kata gadis itu. 'Tidak ada yang berubah dan semua orang masih tetap sama', kata gadis itu.
Ada orang-orang yang jalan hidupnya tidak pernah melawan keinginan orang lain termasuk orang tuanya dan melakukannya dengan sempurna. Jadi sebenarnya orang ini memilih apa di hidupnya? Selalu dihantui ekspektasi, terikat dengan itu, dan terus menjawab ekspektasi itu, sebenarnya orang-orang seperti itu bercita-cita ingin menjadi apa?
Yeah, sungguh sulit kupercaya.
Kalau itu aku, aku tidak akan tahan. Aku akan melempar semua omong kosong yang menggangguku, menghancurkannya, dan menganggapnya tidak berguna. Aku bahkan merasa ekspektasi orang-orang yang tidak kukenal adalah hal menganggu. Aku tidak akan peduli terhadap orang-orang yang tidak kukenal. Ekspektasi ataupun pujian, aku akan menolaknya.
Meski begitu, Hayama Hayato tidak akan melakukan hal seperti itu. Dia akan menjadi Hayama Hayato sampai mati, demi menjawab ekspektasi semua orang dan agar tidak ada seorangpun yang terluka.
Banyak orang memaksakan seperti apa Hayama terlihat seharusnya, kebaikannya, dan membuatnya terlihat seperti Hayama Hayato yang asli, daripada seharusnya menjadi korban ekspektasi. Kebanggan dan kebaikan hatinya ada karena ekspektasi orang-orang. Sayangnya, Hayama Hayato memiliki kemampuan untuk menjawab itu.
Namun, ada satu hal dimana Hayama tidak mau menjawabnya.
Yaitu memberitahu pilihannya antara kelas sosial dan sains.
Dimana dia seharusnya menjawab ekspektasi orang-orang dalam hal itu.
Lalu mengapa dia tidak mau memberitahukannya?
Ketika berbaring, aku melihat ke arah jendela yang samar-samar memantulkan cahaya dari ruangan ini. Meski terlihat transparan, aku masih bisa melihatnya dengan jelas, menatap bayanganku disana.
Ketika aku melakukannya, aku teringat sesuatu yang terjadi di masa lalu. "Jika kamu mendapat request untuk melakukan hal yang kontradiksi, apa yang kamu lakukan?" tanya Hayama. "Bisakah kamu berhenti menggangguku?" katanya.
Pada akhirnya, baik aku dan Hayama menjawab situasi itu. Di satu pihak menahan diri untuk bertanya lebih lanjut, dan di lain pihak hanya tersenyum saja.
Meski begitu, itu terlihat sama saja. Meski berbeda sikap, keputusan yang terjadi di hari itu tetap sama.
Dalam kasus tadi, Hayama sudah menjawabnya dengan bulat.
Aku mengambil handphoneku di yang berada di atas kotatsu.
Aku sudah menemukan orang yang kucari di daftar kontakku dan menekan tombol panggil sambil mengangkat kakiku ke atas kotatsu.
Suara bel panggilan terus terjadi.
Ketika menunggu teleponnya diangkat, aku sangat khawatir apakah aku memang boleh melakukan panggilan ini atau harusnya kututup saja. Aku belum yakin apakah aku bisa memintanya melakukannya. Aku bisa saja dibenci. Aku bisa saja tidak disukai orang-orang karena ini.
Meski begitu, aku tidak punya jawaban lain dan hanya inilah opsi yang tersisa untukku.
Tidak lama kemudian, aku bisa mendengar suara telepon diangkat.
[...Hello?]
"Halo, ini aku. Maaf sudah memanggilmu selarut ini" kataku.
Orang yang menerimanya, Totsuka Saika, membalasnya dengan suaranya yang manis.
[Oh tidak, jangan khawatir soal itu. Sangat jarang menerima panggilan darimu Hachiman, karena itulah tadi aku agak terkejut.]
Kupikir, dia tidak mempermasalahkannya. Ini mungkin pertama kalinya aku menelponnya. Tapi mungkin dia akan lebih terkejut lagi apabila mendengar apa yang kukatakan setelah ini.
Aku menghembuskan napas panjangku dengan pelan sehingga Totsuka tidak mendengarnya dan menundukkan kepalaku meskipun dia tidak bisa melihat apa yang kulakukan.
"...Aku butuh bantuanmu."
* * *
Keesokan harinya setelah kukatakan permintaanku ke Totsuka, tidak banyak angin berhembus di hari ini.
Taman yang akan menjadi start marathon sudah dipenuhi oleh siswa-siswi kelas satu dan dua. Rute marathon kali ini melewati pinggir pantai dan kembali ke sini lagi melalui jalan di bawah jembatan Mihama.
Jarak tempuhnya tergolong panjang, sangat panjang. Jika aku harus menghitung angka lebih dari tiga maka itu membutuhkan usaha yang ekstra keras bagi Hachiman-kun yang tidak fasih di matematika!
Meski begitu, berapa kilometer jarak marathon ini tidak akan berpengaruh banyak terhadap rencanaku hari ini.
Ketika kita mendapat instruksi untuk berbaris, kita memulai berbaris di belakang garis putih yang menjadi posisi start kali ini.
Aku berjuang untuk maju ke depan agar berada di posisi grup awal dengan bergerak seperti belut. Tidak kuduga mereka memberi jalan untukku. Kenapa ya? Apakah karena aku kurus atau semacamnya?
Ini hanya semacam marathon sekolah pada umumnya. Bukanlah even penting dan tidak pula mempengaruhi nilai kami. Dipaksa lari di cuaca sedingin ini membuat orang-orang terlihat tidak termotivasi.
Kecuali untuk satu orang.
Dengan ekspektasi untuk menjuarai lomba tahun ini, Hayama tidak mau ini berakhir tanpa menjuarainya. Dia tidak diperbolehkan untuk menggampangkan lomba ini di mata publik.
Dia berada di barisan terdepan, sedangkan aku tepat berada di belakangnya.
Ketika dia merenggangkan tubuhnya untuk pemanasan, para gadis yang melihatnya berteriak histeris.
Tiga puluh menit setelah marathon pria diberangkatkan, marathon untuk para gadis akan dimulai. Sampai saat itu tiba, sepertinya para gadis akan berteriak memberi semangat dan melihat start marathon pria.
Hayama melambaikan tangannya untuk membalas teriakan tersebut. Dia melihat ke arah para gadis dan berhenti di suatu sudut kerumunan para gadis, agak terpisah dari para gadis terdapat Miura disana.
Gugup berada di sekeliling para gadis, Miura hanya menatap dan mengangguk ke arahnya. Disamping Miura ada Yuigahama dan Ebina-san. Dan agak jauh di belakang mereka ada Yukinoshita.
Lalu Isshiki tiba-tiba mendekati mereka.
Setelah melihat Miura, Isshiki menundukkan kepalanya. Miura mengangguk. Isshiki melihat ke arah Miura lalu ke arah Hayama dengan ekspresi wajah menyeringai.
Lalu, dia menaruh kedua tangannya di mulutnya dan berteriak lantang, "Hayama-senpai, beri yang terbaik...! Ah, sekalian juga, senpai, beri yang terbaik!"
Setelah mengatakannya, dia melambaikan tangannya dengan tersenyum, Tobe yang berada di sampingku membalasnya dengan "Yeaaaah".
"Bukan, bukan, aku tidak mengatakannya kepadamu, Tobe-senpai," kata Isshiki sambil melambaikan tangannya dengan tanda "tidak!"
Miura melihatnya secara diam-diam, tetapi setelah mengambil napas yang panjang dan penuh determinasi, dia berteriak. "Ha-Hayato...Berusahalah beri yang terbaik!"
Suaranya memang tidak begitu keras sehingga nampak agak tenggelam dibandingkan teriakan histeris para gadis di dekat garis start. Tetapi Hayama melambaikan tangan kepadanya dengan senyuman yang lembut.
Miura melihatnya dan mengangguk kecil.
Isshiki melihatnya dengan tersenyum puas dan berteriak lagi. "...Senpai, lakukan yang terbaik, okeeeeeeeeee!"
Kali ini aku merasa dia memang melihatku dan mengatakannya kepadaku.
Yeah...Kenapa sih dia keras kepala tidak pernah menyebut namaku...? Apa dia memang tidak ingat... Ketika aku sedang memikirkannya, Yuigahama yang melihat Isshiki melakukannya, melangkahkan kaki ke depan.
Lalu, Yuigahama melambaikan tangannya. "La-Lakukan yang terbaik!"
Suaranya terdengar lebih lembut dari Isshiki jika dibandingkan suara-suara sekitarnya, tapi masih terdengar jelas di telingaku. Untunglah dia tidak menyebut namaku. Aku berterima kasih kalau dia paham situasinya.
Aku melambaikan tangan untuk mengapresiasinya dan Yuigahama menunjukkan kepalan tangannya untuk memberi simbol semangat. Lalu, di sebelahnya, pandangan mata Yukinoshita bertemu denganku.
Dia seperti mengangguk kecil. Aku merasa bibirnya sedikit bergerak seperti mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tidak dapat kudengar dengan jelas.
Aku tidak yakin apa yang dia katakan begitu juga ke siapa dia mengatakannya.
Meski begitu, aku merasa sangat termotivasi.
Baiklah, ayo kita selesaikan tugasku...
Aku menyelip maju ke barisan terdepan dan berada di samping Hayama. Mata Hayama menatap lurus ke depan, tidak melihat ke arahku.
Aku membolak-balikkan punggungku, meregangkan lututku, lalu mengambil satu langkah ke depan.
Setelah selesai melakukan persiapan, ada yang menepuk pundakku.
Aku membalikkan badanku dan Totsuka dengan pakaian olahraganya sudah berada disana. Kakinya yang kecil dibalut celana ketat, terlihat agak bergetar karena cuaca dingin. Tetapi dia tetap tersenyum kepadaku. "Hachiman, ayo kita lakukan yang terbaik hari ini."
"Yeah...Tolong kerjasamanya, Totsuka."
Banyak sekali suara orang berteriak di garis start saat aku merendahkan kepalaku. Meski begitu, aku terus menundukkan kepalaku. Kemarin, aku meminta tolong kepada Totsuka dimana permintaannya agak kurang bagus. Aku merasa malu ketika meminta tolong kepadanya lewat telepon.
Tetapi Totsuka menggerakkan kepalan tangannya di dadanya dan mengangguk dengan penuh semangat.
"Yeah, serahkan padaku!" kata Totsuka. "Meski aku tidak cukup yakin bisa sukses melakukannya jika melihat kerumunan sebanyak ini..."
Totsuka sepertinya kurang yakin ketika melihat kerumunan peserta ini. Aku melihat barisan di belakangnya. Mereka semua terdiri dari anggota klub tenis.
"Kamu tidak perlu memaksakan sejauh itu. Cukup pastikan saja para pelarinya berada di kelompokmu. Tidak perlu mengejar target seperti itu," kataku sambil menepuk pundak Totsuka. Namun aku buru-buru menarik tanganku dan sekarang malah khawatir apakah harus menghapus keringat yang menetes di kepalaku ini atau tidak. Ini kurang baik, kurang baik. Semakin aku memikirkannya, aku akan semakin berkeringat...
Aku hampir saja mengingat kejadian sewaktu SD dimana guru menyuruhku untuk berpegangan tangan dengan gadis di kelasku dan dia membenciku karena tanganku berkeringat, sejak saat itu mereka menjulukiku Froggygaya...Tunggu dulu, kenapa aku malah mengingatnya dengan jelas.
Dengan cuaca dingin seperti ini, aku seharusnya tidak berkeringat banyak. Tiupan angin laut bahkan seperti menusuk pipiku.
Tiba-tiba, angin berhenti bertiup.
"Oh, Hachiman. Ternyata kamu disini ya...Funuu, Tuan Totsuka juga berada disini?"
"Ah, Zaimokuza-kun."
Zaimokuza muncul secara tiba-tiba setelah mendorong dan memaksa maju dari kerumunan. Nampaknya dia menggunakan tubuhnya yang lebar dan menghalangi angin bertiup ke arahku.
"Hachiman, ayo kita lari bersama-sama."
"Tidak...Ah, sebenarnya, aku ingin kau melakukan sesuatu."
"Homuu?" Zaimokuza merespon dengan memiringkan kepalanya.
Karena ini bukan hal yang bisa didengar oleh orang lain, aku mendekati Zaimokuza...Entah kenapa, aku merasa hangat di dekatnya, sungguh menjijikkan.
Aku berbisik di telinganya dan Zaimokuza mengambil napas panjang dan berkata "fushurururu".
"Hmph...Aku nampaknya tahu tujuanmu. Kuharap apa yang kulakukan nanti tidak membuat yang lain curiga atau kelelahan."
"...Ya, kurasa begitu."
Permintaanku ke Zaimokuza sebenarnya sesuatu yang merugikannya. Melihat bagaimana kemampuan Zaimokuza di atletik dan bermental lemah, dia mungkin tidak akan menerima requestku dengan mudah. Bahkan, aku sendiri biasanya menolak semua permintaannya kepadaku.
Aku bertanya ulang ke Zaimokuza karena aku tidak masalah kalau dia merasa aku curang, karena Zaimokuza juga manusia.
Dia menaikkan bahunya setelah aku mengatakannya, menyilangkan tangannya, dan mengatakannya dengan agak arogan. "...Aku tidak keberatan melakukannya jika kau mentraktirku super gita ramen dari Naritake."
"Kamu yakin?" kataku.
Zaimokuza memberi tanda setuju, dan ekspresi menyebalkan. "Untung saja ada aku, apa yang akan terjadi kalau tidak? Seperti kata orang, kamu tidak bisa melihat kebenarannya apabila berada di belakang matamu."
Sungguh pernyataan yang menyebalkan... Aku yang meminta dan aku pula yang merasa terganggu. Aku melihatnya dengan tatapan menyedihkan.
Tidak peduli terhadap orang di sekitarnya, Zaimokuza berkata, "Tetapi, aku tidak akan melakukan lebih dari ini! Aku tidak mau orang membicarakanku di belakang ataupun menjadi flaming di internet! Jika aku kena, aku akan menyebut namamu juga demi keselamatanku, mengerti!" Zaimokuza menunjuk ke arahku.
Ketika aku melihatnya, aku tersenyum kecut. Yeah, inilah Zaimokuza-san! Dia seperti sampah! Sampah yang keren!
"Yeah, tidak masalah. Kamu begitu saja sudah sangat membantu. Aku bahkan berniat untuk menambahkan topping yang lebih banyak untuk ramenmu."
"Hmph, kupikir itu sudah cukup untuk menutupi kaloriku yang hilang hari ini."
Uh aku tidak tahu kamu menghitung kalori dengan apa, tetapi marathon ini sendiri tidak cukup untuk membakar kalori dari Naritake...
Aku berterima kasih sekali lagi ke Zaimokuza dan Totsuka dan melihat ke arah Hayama yang berdiri tepat di belakang garis putih.
Nampaknya dia sedang mengobrol dengan Tobe tentang sesuatu. Ketika dia menyadariku, dia tersenyum kepadaku dan berpikir apa aku ada perlu dengannya.
Aku mengarahkan kepalaku ke depan dan bersiap.
Sebentar lagi, marathon akan dimulai. Aku bisa tahu tanpa melihat ke jam yang ada di taman.
Suara berisik di belakangku mengecil secara drastis. Teriakan dari para gadis juga bertambah kecil.
Ketika semuanya terdiam, seperti menunggu momen ini, seseorang berjalan melewati garis putih.
"Sekarang, apa kalian siap?"
Orang yang barusan mengatakannya dan mengarahkan pistol ke langit adalah Hiratsuka-sensei.
Kenapa Hiratsuka-sensei...? Bukannya biasanya guru olahraga yang melakukannya. Ya ampun, orang ini memang selalu ingin melakukan apa saja di luar kewenangannya. Atau dia hanya ingin menembakkan pistolnya saja?
Hiratsuka-sensei mengarahkan pistolnya ke atas dan menggunakan tangan lainnya untuk menutupi telinganya. Ketika dia menaruh jarinya di pelatuk, para siswa menatap ke depan dan para gadis menahan napas melihatnya.
Beberapa saat kemudian Hiratsuka-sensei membuka mulutnya perlahan. "Ambil posisi...Siap."
Seketika, pelatuk ditarik diikuti suara tembakan.
Lalu, kita mulai berlari.
Pertama-tama, aku memanasi kakiku dengan berlari pelan. Tujuan utamaku hanya mengejar Hayama.
Tetapi beberapa orang di sebelahku langsung tancap gas seperti melihat garis finish di depannya.
Alasan mereka melakukannya karena ada kamera di posisi start. Aku kurang yakin apa itu untuk buku tahunan siswa atau apa, tetapi untuk alasan tertentu, mereka memasang kamera di marathon ini.
Para idiot ini lari dengan sekuat tenaga untuk beberapa meter hanya untuk meninggalkan kesan kalau mereka berlari dengan serius. Pada akhirnya, mereka cuma ingin mengatakan, "Awalnya aku di posisi pertama sampai pertengahan marathon!" ya begitulah orang-orang bodoh ini.
Orang-orang yang berlari sekuat tenaga dari start akan kehabisan tenaga dengan cepat.
Pertempuran marathon sebenarnya dimulai ketika kita keluar dari area taman.
Aku berpapasan dengan kelompok yang lari sekuat tenaga sejak start dan memanggil Zaimokuza, "Zaimokuza, aku mengandalkanmu."
"Phew, phew, hm...? Sip!"
Napas Zaimokuza sudah tersengal-sengal, setelah membalas, dia mempercepat larinya. Tetapi karena itu Zaimokuza, larinya tidak secepat yang kau kira.
Ketika Hayama di depanku dan aku hampir menyalipnya, Zaimokuza terlihat di belakang kami sambil berkata "fushuru, fushuru".
Kami tetap seperti itu sampai keluar dari area taman dan Hayama berbelok ke kanan ke arah pinggir jalan. Aku mengikutinya.
Meski begitu, Zaimokuza sudah menyentuh limit setelah beberapa ratus meter. Dia mulai melambat dan ketika kami sudah melewati area taman, dia menurunkan kecepatannya secara drastis.
"Haaaa...Sudah cukup..."
Dia menyerah dan kecepatannya hampir setara jalan kaki dan menghambat grup yang berada di belakangnya. Tidak ada keraguan kalau badan sebesar dirinya akan menjadi rintangan bagi pelari di belakangnya.
Karena Zaimokuza, kita bisa mengambil jarak yang cukup dengan peserta lari di belakang.
Dan masalah terbesarnya baru saja dimulai.
Sebesar apa badan Zaimokuza, dia tidak akan 100% blok rute larinya. Nampaknya ada beberapa grup yang berhasil lewat di sampingnya dan mulai mengejar kami.
Ketika aku terus memperhatikan belakangku, klub tenis Totsuka muncul.
Kedua mataku menatap ke Totsuka, dan kami berdua mengangguk.
Rute marathon ini melewati jalan pinggir pantai yang sempit. Jika kamu berjalan bersamaan dengan tiga orang membentuk garis, kamu akan blok jalan sepenuhnya.
Oleh karena itu, aku kemarin meminta tolong Totsuka. Ketika aku berada di depan, dia akan berlari bersama angota klubnya untuk blok jalannya.
Tentu saja, rencanaku akan bubar jika ada pelari yang mengganggu. Oleh karena itu aku meminta mereka untuk menahan pelari di belakangnya untuk menyalip lewat samping. Meskipun sebenarnya tidak sepenuhnya blok, hanya memberi celah yang cukup sempit untuk menyalip.
Jadi pelari di belakangnya tidak merasa jalan di blok seluruhnya.
Cukup dengan membuat mental pelari di belakangnya untuk malas menyalip mereka.
Apa yang dilakukan pelari yang sadar kalau marathon ini tidak berpengaruh apa-apa bagi nilai mereka dan mereka melihat grup berisi segerombolan pelari yang berlari dengan kecepatan yang sama?
Mereka merasa malas untuk menyalipnya. Jika sejak awal ditanamkan memenangkan marathon ini tidak ada pengaruh apapun bagi mereka di sekolah meski menjuarainya, mereka akan berlari bersama grup di belakangku, dan coba mencuri-curi kesempatan ketika dekat dengan finish.
Asal kita bisa menciptakan situasi dimana hanya ada Hayama dan aku disini, itu sudah cukup.
Aku menatap punggung Hayama yang berlari di depanku.
TKP sudah siap. Dan aku sudah menyiapkan diriku.
Dari sini, adalah awal permulaan pertempuran yang harus kulakukan sendiri.
* * *
Angin yang bertiup dari laut menyentil pipiku. Ketika panas dari tubuhku yang mengalir keluar bersentuhan dengan udara dingin, tubuhku merasa sedikit kedinginan.
Setiap sol sepatuku menyentuh aspal, tubuhku seperti sedang menerima gelombang kejut.
Aku tidak bisa menghilangkan bunyi aneh seperti angin dan suara yang mematahkan tubuhku. Kedua suara itu seperti bercampur dengan hangatnya napas yang keluar dari mulutku.
Aku mencoba bernapas dengan sekuatnya dan terciumlah bau garam dari laut yang tajam.
Pepohonan yang tumbuh di sekitar garis pantai nampaknya disengaja untuk memecah angin pantai.
Aku bahkan menggerakkan kakiku tanpa sadar. Seperti sedang sukarela memompa darah dari jantungku. Derap langkah dan jantung yang sedang memompa seperti sedang berusaha menyalip satu sama lain.
Semua pikiran itu tiba-tiba hilang ketika aku terus berlari.
Aku senang karena setiap hari ke sekolah menggunakan sepeda. Kalau tidak, aku tidak akan mungkin bisa berlari seperti ini karena aku tidak ikut satupun klub olahraga. Tetapi itu tidak berarti aku tidak bisa berlari marathon. Malahan, apapun selain permainan bola adalah kesukaanku. Karena aku bisa mengakhiri permainan itu sesuka hatiku. Aku tidak perlu mengganggu orang lain. Selanjutnya, aku hanya mengisi kepalaku dengan pikiran-pikiran tidak jelas sambil memainkan permainan itu.
Tetapi marathon hari ini berbeda dari biasanya.
Aku merasa tersiksa lebih dari biasanya.
Ini karena langkahku lebih cepat dari latihan yang kulakukan bersama kelasku. Bisa juga karena anginnya yang dingin. Bisa juga karena tadi malam aku memikirkan banyak hal sehingga kurang tidur.
Alasannya banyak sekali.
Meski begitu, alasan terbesarnya adalah karena di depanku sekarang adalah Hayama Hayato.
Seperti orang yang sudah terbiasa dengan aktivitas klubnya, Hayama tidak terlihat kelelahan dan langkahnya tetap stabil. Aku bisa melihat mengapa dia memenangkan marathon ini tahun lalu.
Di lain pihak, aku dari tadi berusaha mengejarnya tanpa mempedulikan langkahku.
Namun tidak lama lagi itu akan berakhir.
Sejauh ini marathonnya masih sesuai rencana. Sekarang, Hayama dan diriku adalah grup terdepan sedang grup kedua diisi Totsuka dan member klub tenis sebagai anggota intinya. Nampaknya dia bisa mengatur kecepatan lari kelompoknya sehingga pelari di belakangnya tidak bisa menyalipnya. Atau juga, mereka sengaja tidak menyalip untuk menyimpan tenaga lari sekuatnya ketika marathon sudah berjalan lebih dari separuh jarak tempuh.
Harusnya masih banyak orang yang berlari di belakang, tetapi karena mereka tertinggal jauh, aku tidak melihat satupun dari mereka ketika menoleh ke belakang.
Hayama terus mengatur langkah larinya sestabil mungkin. Rencana pertama kita untuk mensabotase marathon sudah berjalan dengan baik dan kita sudah membuat jarak yang cukup jauh antara dua grup ini, jadi aku tidak melihat seorangpun di belakang yang mengejar kita.
Tapi masalah terbesarnya adalah aku.
Belum sampai separuh marathon, staminaku sudah mau habis.
Sejak tadi, salah satu sisi tubuhku merasa kesakitan, kakiku seperti kena sengat, dan telingaku berdengung terus-terusan. Jujur saja, aku ingin pulang. Kalau aku tadi sempat makan sesuatu, mungkin sekarang aku sudah muntah.
Aku sudah berlari sejauh ini, jika hendak melakukan sesuatu maka sekaranglah saatnya, karena sebentar lagi aku sudah tidak akan mampu berlari lagi.
Aku terus berlari sambil terus memperhatikan punggung Hayama, dan tiba-tiba aku merasakan sensasi di kedua kakiku. Angin dingin berhembus menerpa kakiku.
Kita sudah dekat ke jembatan tempat pelari berputar balik.
Di atas jembatan, para guru sedang menunggu, memberikan kita pita sebagai tanda cek kalau sudah melalui separuh marathon.
Akhirnya aku sudah menyelesaikan separuh marathonnya, aku hampir saja menghembuskan napas lega, tetapi terpaksa menelannya dan berusaha membuat oksigen di paru-paruku bersirkulasi.
Aku tidak boleh lengah.
Aku mempercepat langkahku untuk mengejar Hayama yang hanya beberapa langkah di depan. Kakiku semakin lama seperti terasa menginjak arus listrik di lantai.
Semua yang kulakukan hanya untuk ini, hanya untuk momen ini.
Aku mempercepat napasku dan berusaha mengejar Hayama.
Ketika aku berlari di sebelahnya, Hayama yang sebelumnya tidak menoleh ke arah manapun akhirnya menoleh ke arahku. Matanya membesar dan melihatku dengan terkejut.
"Kau ternyata bisa mengejarku, huh...?" kata Hayama.
Sebaliknya, aku menjawabnya dengan terbata-bata. "Yeah, nampaknya begitu. Kalau aku dari tadi berusaha mengatur langkahku, mungkin aku tidak akan bisa seperti ini."
Hayama menatap diriku. Mau bagaimana lagi, ekspresinya yang kebingungan nampaknya ingin tahu mengapa aku sampai sejauh ini. Aku membuka mulutku perlahan.
"Ini bukan karena ada orang yang mengharapkanku finish. Bahkan mungkin saja mereka tidak akan peduli kepadaku bila aku berhenti di tengah marathon."
Sejujurnya, aku tidak peduli di marahton ini akan mendapatkan posisi berapa, dan aku hanya sekedar menyelesaikannya. Aku tidak peduli selama aku bisa berlari dengan Hayama sendirian dan tidak ada yang akan menganggu kita. Aku mengerahkan seluruh tenagaku sehingga bisa sejauh ini...Selain itu, mengejar Hayama sampai sejauh ini bukanlah sesuatu yang lucu. Jiwaku seperti hendak pingsan, tetapi aku telah melewati separuh dari marathon.
Apa yang ada di pikiran orang-orang ketika sudah mencapai separuh dari jumlah rasa sakit yang mereka lakukan di marathon ini?
Apakah mereka juga akan menganggap marahon baru berjalan separuhnya, ataukah sudah separuh jalan menuju finish? Aku merasa kedua pilihan tersebut seperti membuat sebuah lubang di jiwaku.
Lubang ini membuat orang-orang merasakan kelelahan. Sumber: diriku. Sejujurnya, rasa lelah menyelimutiku keitka aku menghembuskan napas lega karena akhirnya telah menyelesaikan separuh marathonnya, semakin kulihat ke depan, kakiku terasa semakin berat.
Meski Hayama terlihat terkejut karena aku berlari di sampingnya, dia terlihat tenang seperti biasanya. Dia menatap dengan lurus karena sedang berlari, namun dia tidak terlihat begitu goyah karena aku disana.
Aku hanya perlu satu gerakan lagi untuk mengacaukan keseimbangan Hayama.
Hanya satu hal yang bisa menembus Hayama, menuju ke inti dirinya.
Aku terus memaksa diriku untuk bernapas. Dadaku terasa sakit, namun aku menahannya dengan senyuman, dan mulutku terasa bergetar.
"...Apa Miura semacam alat bagimu untuk menghindari gadis-gadis yang mendekatimu atau kau menganggapnya apa?"
Hayama langsung menoleh kepadaku. Dia menatapku dengan tajam, menghembuskan napas yang sangat panas. Yeah, ekspresi ini yang kutunggu dari tadi.
Dia hanya melihatku saja dan memutuskan untuk mempercepat langkahnya. Aku lalu mengejarnya dan menghujaninya dengan kata-kata yang lebih pedas lagi.
"Benar kan? Apa selama ini dia cukup berguna bagimu?"
Sejujurnya, aku tahu Miura bukanlah orang yang buruk. Sebagai seseorang yang pernah melihat kepribadiannya yang sebenarnya, mengatakan hal-hal seperti tadi sebenarnya bertentangkan dengan nuraniku.
Dan hal tersebut, seharusnya juga dirasakan orang yang mendengarkan ucapanku tadi.
"Diamlah." dia mengatakannya tanpa melihatku, Hayama mengatakannya seolah-olah aku pengganggu.
"Kamu tidak bisa mengharapkanku untuk diam seperti yang kau minta...Aku tidaklah sebaik yang kau kira, yeah?"
Aku membuat senyum yang licik, dan memakai kata-kata yang dia pakai kepadaku. Ketika aku melakukannya, Hayama menatapku dengan rendah dan senyum yang dibuat-buat.
"Kau serius tadi? Aku tidak pernah menganggapmu sebagai orang baik."
"Ah, kamu sungguh tidak menyenangkan..."
Kata-kata barusan keluar dari mulutku dan Hayama tersenyum dengan ekspresi mengejek.
"Aku tidak ingin mendengar itu darimu."
Kau benar sekali. Aku hampir saja tersenyum tadi. Tetapi tindakanku berbuah sesuatu karena dia bereaksi berbeda dari biasanya. Jika begitu, ini adalah waktu yang tepat.
Aku berusaha menormalkan napasku sehingga suaraku tidak terbata-bata.
"Jadi antara sosial dan sains, kamu mau memilih apa?"
"Aku tidak akan memberitahumu."
"Biar kutebak. Kau akan mengambil sains." aku akhirnya mengatakan sebuah jawaban.
Hayama menghembuskan napas dan terpaku dengan jawabanku. "...Kau pikir aku akan menjawab, meskipun kau memberiku pilihan?"
"Baiklah, aku akan membuatnya berbeda," kataku. Aku memalingkan wajahku dan menatap hal lain. "Pilihlah sains. Aku tidak tahu apa yang kau pilih dan aku tidak peduli. Namun karena masih ada waktu untuk mengubahnya, jadi pilihlah sains dan ubah nanti kalau salah."
"Apa?"
Hayama menunjukkan ekspresi wajah tersihir yang sangat jarang dia perlihatkan. Dia lalu tersadar, mengejarku lagi, dan berlari seperti biasanya.
"...Kau barusan mengatakan hal-hal yang cukup gila."
Dia nampak panik, bahkan tarikan napas Hayama seperti meningkat lebih cepat dari biasanya.
"Mau gimana lagi. Aku harus tahu pilihan kelasmu nanti, tetapi...Kamu tidak memberitahuku dan aku tidak bisa menebak apapun...Artinya satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang adalah memaksamu untuk memilih jawaban yang kuinginkan."
Hayama Hayato memiliki banyak sekali peluang pilihan dan aku tidak bisa menyimpulkan salah satunya. Dalam hal ini, aku hanya perlu menghapus semuanya. Jika aku adalah seseorang yang mampu memutuskan apa pilihannya, maka request dari Miura sudah selesai.
"Yang barusan kau lakukan seperti langkah mundur saja..." Hayama tertawa kering.
Aku memang terlihat bodoh barusan. Namun aku tidak mengatakannya tanpa alasan kuat.
"Sebenarnya ada timbal balik yang bagus jika kamu mengubah jurusanmu sesuai instruksiku. Dan itu adalah satu-satunya kondisi untuk memuaskan dirimu sendiri."
"Kondisi?" Hayama menatapku dengan penuh tanda tanya. Langkah Hayama melambat. Dia menyamakan kecepatannya denganku.
"Kau bilang kepadaku untuk berhenti melakukan hal-hal yang mengganggu bukan? Dengan kata lain, kamu sebenarnya ingin berhenti menjadi Hayama Hayato yang diinginkan oleh semua orang.
Hayama berhenti. Aku yang melihatnya pun ikut berhenti juga.
Ketika itu, aku merasakan keringat mengucur deras. Sepertinya kita dari tadi berlari melawan arah angin. Aku menyeka keringatku dengan lengan kaos olahragaku dan menatap Hayama.
Hayama menatapku dengan ekspresi terkejut dan dari yang seharusnya dia merasa lelah, dia malah menghembuskan napas panjangnya.
"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" Hayama menatapku dan mulai berjalan. Aku mengikutinya.
"Sebenarnya tidak ada. Aku hanya memikirkan hal-hal yang ingin kau singkirkan pada awalnya. Ketika memilih sosial ataupun sains, sangat wajar jika kau menyingkirkan mata pelajaran dimana kamu sendiri kurang bagus dan hal-hal yang tidak ingin kamu lakukan di masa depan kelak."
Jika kita bicara tentangkan ujian, dengan kemampuan akademik Hayama, mau masuk kelas apapun sebenarnya tidak berpengaruh banyak. Bimbingan belajarpun sudah cukup untuk masuk universitas manapun. Jadi, masalahnya disini bukanlah tentang dia akan memilih ikut ujian universitas apa ataupun tertarik ke universitas mana.
Yang jadi masalah adalah, apa yang Hayama Hayato ingin buang?
Yang ingin dia buang adalah kehidupannya di kelas tiga SMA, atau sederhananya, hubungannya dengan teman-temannya.
"Jujur saja, memilih sosial ataupun sains sebenarnya tidak masalah karena kamu bisa ikut semua ujian masuk universitas yang kamu inginkan. Meski begitu, kamu tidak mau memberitahukan jurusanmu ke orang-orang. Jadi sebenarnya, kamu berencana untuk membuang sesuatu diam-diam di kelas tiga nanti."
Hayama tetap terdiam, tidak memberikan jawaban apapun dan terus berjalan. Tetapi aku tahu dia tetap diam artinya aku harus tetap melanjutkan perkataanku tadi.
"Kelas IPA orang-orangnya tidak terlalu banyak, termasuk gadis-gadisnya. Jadi untuk sementara, kamu bisa lepas dari masalah yang terus menghantuimu. Lagipula, jika pilihan jurusanmu berbeda dengan yang lain, kamu tinggal beralasan saja dan yang lainnya bisa paham. Jika ada hal yang secara alami menghilang, maka kamu tidak akan melukai siapapun dan tidak mengkhianati ekspektasi siapapun." Suaraku terasa mulai serak karena tenggorokanku yang kering, tetapi aku terus berusaha untuk membuat kata-kataku terdengar jelas dan menambahkan satu kalimat final. "Satu-satunya kondisi dimana dirimu terpuaskan adalah memilih jalan itu."
Seperti sedang terganggu oleh keringat dari kepalanya, Hayama merapikan rambutnya, menyekanya, dan melihat ke arah laut.
Lalu, terdengar suara yang pelan, seperti sedang berbisik, "Kurasa, kita memang sejak awal tidak akan bisa akrab..."
"Ha?"
Ketika aku bertanya kepadanya, dari belakang mulai terdengar langkah orang berlari. Ketika aku melihat balik, beberapa orang dari grup kedua sedang menuju kesini. Nampaknya, setelah melihat Hayama sedang berjalan, mereka melihatnya sebagai peluang untuk menyalipnya.
Aku dan Hayama hanya melihat mereka menyalip kita begitu saja.
Ketika jarak mereka sudah cukup jauh dengan kita, Hayama berkata.
"...Kamu cukup luar biasa."
"Hoo, jadi jawabannya adalah kelas sains?"
"Bukan itu. Jangan memanfaatkannya untuk mengambil kesimpulan," kata Hayama dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jika pernyataannya tadi mengatakan bahwa aku salah dalam memilih pilihan ganda, berarti pilihan yang tersisa adalah yang benar. "Jadi kelas sosial" adalah kata-kata yang hendak kukatakan, tetapi Hayama memotongnya.
"Aku tidak suka kamu."
"Oh ya?"
Tidak menatapku sedikitpun, kata-katanya barusan membuatku kehilangan kata-kataku. Memang aku bukanlah orang yang bisa disukai semua orang, namun mengatakannya langsung di depanku, baru kali ini aku mengalaminya. Hayama tidak mempedulikan reaksiku barusan dan tetap menatap ke arah depan.
"Aku tidak suka berada lebih rendah darimu. Oleh karena itu aku menginginkanmu setidaknya setara denganku. Oleh karena itu aku berusaha menganggapmu tinggi, jadi ketika aku kalah denganmu, aku bisa menerimanya dengan wajar."
"...jadi begitu."
Berarti dia sama saja denganku. Aku mengagung-agungkan Hayama seperti seorang yang spesial untuk meyakinkan diriku sendiri, memaksakan kebohongan ke diriku, kebohongan bahwa Hayama Hayato adalah pria yang baik.
Aku meresponnya dengan terdiam dan Hayama menatapku seakan aku sudah berhasil mendekatinya. Dia tersenyum dengan ekspresi lebih segar dan lebih provokatif dari biasanya.
"Oleh karena itu, aku tidak akan melakukan apa yang kau perintahkan tadi."
"Begitu."
Aku mengangguk dan Hayama juga mengangguk juga.
Ini sepertinya dua pilihan tersebut bukanlah masalah bagi Hayama. Baginya, memilih apapun tidak akan berbeda jauh.
Oleh karena itu, mendengar hal itu sudah cukup. Aku juga sudah menyelesaikan request Miura. Meski begitu, ada masalah yang tidak menghilang begitu saja. Namun masalah diluar ini bukanlah kuasaku untuk menyelesaikannya.
"Kita harus segera berlari," kata Hayama dan mulai berlari.
Goblok, gue sudah gak bisa lari lagi. Ketika memikirkan itu, aku memaksakan diriku untuk mengejar Hayama.
Itu karena aku menginginkannya untuk melakukan sesuatu.
Aku memaksakan kakiku untuk berlari. Untungnya, napasku sudah kembali normal setelah istirahat sejenak tadi. Namun detak jantungku masih berdetak kencang, aku mencoba menurunkannya dengan bernapas pelan.
"...Apa kamu memilih kelas sosial karena tuntutan keluarga? Seperti demi relasi atau semacamnya?"
"Keluargaku? Apa aku pernah membicarakannya denganmu?"
Kecepatan kami seperti level jogging bagi Hayama, jadi sekarang, suara dan langkahnya terdengar santai.
"Bukan itu, aku sebenarnya tidak sengaja mendengar itu..."
Tubuhku terasa agak dingin oleh keringat yang bercampur dengan tiupan angin laut. Tubuhku yang awalnya terasa membeku, mulai diselimuti rasa tidak nyaman, dan kesunyian yang terasa aneh bagiku.
Tetapi selama dia tidak masalah dengan hasil marathon, dia menatapku dengan penuh ketertarikan seperti menemukan sesuatu. Lalu dia berkata.
"Apa kamu merasa terganggu dengan gosip itu?"
"Huh? Sebenarnya enggak juga...Hanya saja, kau tahu...Ya semacam itulah."
Ketika aku menjelaskannya dengan belepotan, Hayama tertawa dan menaikkan nada suaranya. Dari yang seharusnya dia berlari dengan sikap agak serius, tubuhnya seperti bergetar dan begerak kesana kemari.
"...Apa ada yang lucu?" tanyaku.
Hayama menyeka matanya." Tidak ada, maaf. Kamu tidak perlu khawatir soal itu. Aku akan memastikan itu akan hilang segera."
"Ahh, jika kamu bisa, itu akan sangat membantuku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana suasana di klubku sekarang."
Ketika kita sedang berbincang, aku bisa mendengar suara napas dari pelari yang ada di belakangku seperti sedang mendekat untuk menyalipku. Grup yang sudah menyalip kita tadi pasti sudah agak jauh.
Kakiku sudah tidak mau berkompromi lagi seperti tidak mau kuperintah.
"Sepertinya kita sudah tertinggal jauh...Kupikir kita bisa berlari santai saja. Maaf sudah mengacaukan rencana kemenangan beruntunmu," kataku.
Meski begitu, Hayama memajukan posisi kepalanya. Dia mengepalkan tangan seperti sedang melakukan pemanasan dan berkata. "...Tidak, aku akan menang...karena itulah diriku selama ini."
Dia mengatakannya seolah-olah itu mudah, kemenangan itu, dimana dia menjawab ekspektasi semua orang, dan dia akan bersikap seperti itu sampai akhir, seolah-olah itu adalah dirinya yang sebenarnya.
Hayama lalu meningkatkan kecepatannya, sejenak dia langsung berada di depanku yang berlari lambat, dan berbalik. "Lagipula, aku tidak suka kalah darimu."
Dia meninggalkanku dengan kata-kata itu dan pergi menjauh.
Semakin jauh dan jauh, aku tertinggal di belakang.
Tidak banyak energi tersisa bagiku untuk mengejarnya dan aku hanya bisa melihatnya. Hayama Hayato telah mengatakan jawaban yang aku tidak bisa simpulkan selama ini, aku tidak akan mempercayainya jika melihat bagaimana usahaku selama ini, dan dia telah meninggalkanku jauh.
Sial, kamu semacam orang keren apa bagaimana?
Jangan katakan kepadaku kalau dia sebenarnya tidak suka terlihat kalah? Aku memikirkan pemikiran sia-sia itu ketika berlari dan kaki kananku bertabrakan dengan sisi belakang kaki kiriku.
Tidak bisa menghentikan apa yang terjadi, aku terjatuh ke lantai. Aku berbaring saja dengan punggungku di lantai, sambil melihat ke arah langit.
Napasku yang berwarna putih bercampur dengan birunya langit di angkasa.
* * *
Pada akhirnya, marathon tetap berjalan sedangkan aku masih tergeletak di tanah.
Setelah terjatuh, aku tetap ingin berbaring dahulu di tanah untuk sejenak. Totsuka tadi sempat datang dan menawarkan bantuan, karena dia sudah cukup banyak membantuku untuk hari ini, aku tidak mau meminta bantuannya lagi dan memintanya untuk terus berlari. Aku akhirnya bisa sampai ke finish, meski sambil menyeret kakiku yang sakit.
Sebenarnya, aku tidak berada di posisi akhir marathon, tetapi berada di grup terakhir. Aku bergabung dengan grup terakhir dan melakukan usaha yang luar biasa untuk sampai ke garis finish. Setelah sampai di garis finish, aku melihat sekitarku untuk memastikan kalau ini benar-benar garis finishnya, "Aku tidak perlu berlari lagi bukan...?" Ngomong-ngomong, yang mengatakan itu barusan adalah Zaimokuza yang berlari bersamaku di grup terakhir tadi.
Ketika selesai berlari, lututku yang gemetaran sejak tadi sudah menyerah dan ini seperti waktu yang tepat untuk Nico Nico Niii seperti di anime Love Live.
Aku melihat kondisi tubuhku setelah terjatuh tadi dan nampaknya keadaanku sangat buruk sekali.
Lutut dan kaki bagian bawahku terluka, celanaku kotor dengan lumpur, pantatku terasa kram, dan tubuhku terasa sakit luar biasa. Mencari bagian tubuh mana dari diriku yang tidak terasa sakit serasa menjadi hal yang mustahil saat ini.
Kalau tadi tidak ada yang bilang "Lakukan yang terbaik, lakukan yang terbaik", kurasa aku sudah tewas sejak tadi.
Tentu saja, tidak ada yang menungguku di garis finish.
Nampaknya hanya ada satu guru olahraga sedang mengawasi garis finish dan yang lainnya seperti berkumpul di tengah taman.
Aku menuju ke arah tengah taman dan hendak melihat apa yang terjadi disana, nampaknya disana tengah diadakan semacam upacara penghargaan.
Biasanya, marathon tahun lalu tidak punya upacara penghargaan seperti ini, tetapi kalau melihat Isshiki yang menjadi pembawa acaranya, mungkin ini adalah acara dadakan dari pengurus OSIS. Cukup mengejutkan memang kalau melihat kemampuan individual dari Isshiki.
"Sekarang, hasilnya sudah diketahui, kita ingin mendengar komentar dari pemenang kita!" Isshiki mengatakannya dengan gembira, memegang microphone yang sepertinya dia pinjam dari ruang OSIS. Sementara itu, melihat wakil ketua OSIS sedang mengatur setting speaker membuatku merasa kasihan kepadanya.
Aku mengamati area sekitar dan terlihat siswa kelas satu dan kelas dua baik laki-laki dan perempuan nampaknya bercampur menjadi satu. Orang-orang di kelasku seperti Yuigahama, Miura, Ebina-san, Tobe, dan Totsuka ternyata berada disitu juga.
Kulihat dari kejauhan, Isshiki memanggil pemenangnya. "Pemenangnya, Hayama Hayato-san, tolong naik ke atas panggung!"
Ketika Hayama dipanggil, dia berjalan menuju panggung dengan mengenakan ikat kepala dari bunga yang menandakan kemenangan. Panggung berubah menjadi meriah seketika. Sebenarnya, aku cukup tidak percaya kalau dia memenangkannya...
"Hayama-senpai, selamat atas kemenangannya! Saya sebenarnya sudah yakin sejak start kalau anda akan menang loooh!"
"Oh, terima kasih."
Isshiki memberinya ucapan selamat dan kata-kata yang ambigu, lalu Hayama menjawabnya dengan tersenyum ceria.
"Lalu, tolong berikan sedikit komentar atas kemenangannya."
Setelah memberikan microphone ke Hayama, banyak orang bertepuk tangan dan bersiul diikuti teriakan HA-YA-TO. Tobe berteriak "Heeeya", "Yeaaaaah", dan "Yeah, yeah, yeah!" yang kurasa sangat mengganggu.
Hayama melambaikan tangannya ke kerumunan tersebut dan mulai berbicara.
"Tadi sebenarnya pertandingannya berjalan sangat ketat setelah melewati separuh marathon, tetapi terima kasih kepada para rivalku dan orang-orang yang menyemangatiku, aku akhirnya berhasil menjuarainya. Terima kasih banyak untuk semuanya," kata Hayama yang mengatakannya seperti tanpa ragu. Lalu dia berhenti sejenak. Setelah melihat ke arah Miura di keramaian, Hayama melambaikan tangannya. "Khususnya untuk Yumiko dan Iroha...Terima kasih."
Lalu, suara riuh semakin menjadi-jadi. Ooka bersiul menggunakan jari-jarinya sedangkan Yamato memberinya tepuk tangan. Dan untuk Miura dan Isshiki, wajah mereka memerah karena nama mereka tiba-tiba disebut, lalu mereka seperti malu-malu mendengar hal itu. Yuigahama menepuk dengan lembut kedua pundak Miura.
Ketika kerumunan melihat tatapan hangat Hayama dan reaksi keduanya, mereka bertambah ramai. Oh begini, jadi ini maksudnya dengan membuat gosipnya hilang.
Lalu Hayama melanjutkan komentarnya.
"Setelah ini, kita akan memfokuskan tenaga kita untuk klub dan melakukan yang terbaik untuk turnamen terakhir kita. Juga, untuk para member klub sepakbola yang ikut marathon hari ini, saya lihat banyak dari kalian yang menyelesaikan marathonnya dengan hasil yang cukup buruk, jadi siap-siap besok saya akan menempa kalian lebih keras dari biasanya."
Hayama tersenyum usil ke arah Tobe dan kelompoknya. Tobe meresponnya dengan "Whoooa~".
"Hayato-kuun, jangan gitu doong! Beri kami waktu lebih banyak untuk bersiap-siap dulu!"
Tobe meneriakkan kata-kata khasnya dengan keras sehingga tidak kalah keras dengan suara microphonenya. Kerumunan tersebut tertawa dengan keras menjadi "Dowahahaha". Dunia macam apa ini...
"Okaaaay, terima kasih banyak. Dan barusan itu adalah pemenang marathon kali ini, Hayama Hayato-san. Oke, tepuk tangan sekali lagi... Kita tidak perlu memanggil juara kedua dan yang lain bukan?"
Kalimat terakhirnya tanpa sadar terselip keluar dan masuk ke microphone yang aktif seperti sedang memecah kerumunan, dia mengatakannya sambil menatap ke arah wakil ketua OSIS. Apa-apaan sih yang dia lakukan...?
Isshiki akhirnya menutupi kesalahan microphonenya tadi dan Hayama menuruni panggung lalu mengobrol dengan Miura dan lainnya.
Jarak yang memisahkan mereka berdua sejak lama sudah tidak terlihat. Bahkan, Miura sembunyi di belakang, merasa agak malu dengan tatapan orang-orang sekitarnya, dan dia bersembunyi di belakang punggung Yuigahama dan Ebina-san.
Sesudah memastikan itu, aku meninggalkan area panggung di taman.
Tanpa ragu, aku baru saja menyaksikan bagaimana Hayama Hayato berpura-pura menjadi Hayama Hayato. Mungkin dia menganggap ini hanya sebagai candaan yang tidak serius dan dirinya memang memiliki kemampuan untuk menjawab ekspektasi orang-orang, tetapi aku sendiri juga kagum dengan cara berpura-puranya yang sempurna.
Ketika aku meninggalkan area tengah taman, aku bertemu beberapa grup yang sedang membubarkan diri juga. Baik laki-laki dan perempuan di grup tersebut mengobrolkan sesuatu.
"Yeah, gosipnya ternyata bohong!", "Ternyata Hayama-kun dan Miura-san terlihat mesra gitu!" aku menatap mereka, lalu menyeret kakiku menuju ruang UKS di sekolahku.
* * *
Gedung sekolahku ternyata terasa lebih dingin daripada di taman tadi.
Banyak siswa masih berada di taman atau juga entah kemana untuk menghabiskan waktu bebasnya.
Aku mengganti sepatuku dengan sepatu indoor sekolah dan berjalan menyusuri lorong kosong menuju gedung khusus. Hanya melakukan hal sederhana itu, kakiku seperti sedang tersengat sesuatu.
Aku mengetuk pintu ruang UKS.
"Silakan masuk."
Aku dijawab oleh suara yang cukup familiar. Suara ini adalah...Seperti yang kuduga, aku membuka pintu tersebut dan sudah mengiranya, di depanku adalah Yukinoshita. Masih memakai pakaian olahraganya dan duduk di kursi. Dia melihatku dengan tatapan kosong.
"Hikigaya-kun...? Kupikir barusan adalah Yuigahama-san."
"Kalau Yuigahama, aku melihatnya tadi masih di taman. Kamu sendiri kenapa ada disini?"
"Aku istirahat sebentar dan terpaksa berhenti dari marathon..." kata Yukinoshita. Nampaknya dia memang keluar dari marathon ketika istirahat. Setelah melihat wajahnya yang agak frustasi, apa dia sebenarnya memang berniat untuk menyelesaikan marathonnya?
"Hikigaya-kun..." dia menatap kakiku. "Apa kamu terluka?"
"Yeah, panjang ceritanya."
Aku mustahil memberitahunya kalau kedua kakiku saling bertabrakan. Maksudku, itu akan terdengar bodoh.
"Kau harusnya ke bagian perawatan di taman sana. Ada petugas medis yang bersiaga disana."
"Tidak ada satupun dari mereka ketika aku sampai garis finish..." jawabku.
Yukinoshita menaruh tangannya di dagunya seperti memikirkan sesuatu. "Oh begitu. timingnya mungkin yang buruk, atau juga keberuntunganmu yang buruk, atau matamu yang..."
"Ya, ya, sifatku, jiwaku, memang buruk sih. Ngomong-ngomong, disini kita boleh memakai cairan anti-bakteri dan semacamnya, bukan?" aku bertanya ke arahnya sambil menunjuk ke arah lemari obat yang tidak terkunci.
Yukinoshita berkata. "...Nampaknya jari-jari tanganmu juga terluka." Dia berdiri, menjauhkanku dari lemari obat dengan tangannya. Dia mengambil cairan anti bakteri dan perban, lalu dia menunjuk ke arah kursi di depannya. "Duduklah disana."
"Tidak, aku bisa melakukannya sendiri."
"Lakukan saja."
Meski merasa kurang puas, aku duduk seperti yang dikatakannya. Lalu dia duduk di kursinya semula dan memindahkan kursinya ke depanku.
Dia menaruh tangannya di kakiku dan mulai membersihkan lukaku yang terbuka. Tercium bau yang tajam dari obat antiseptiknya. Lalu, bau tersebut berhenti, kepala Yukinoshita posisinya cukup dekat denganku dan aku mencium bau yang harum darinya.
Setiap kapas yang diberi disinfektan tersebut menyentuh lukaku, aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku sebenarnya tidak terbiasa dengan perawatan luka semacam ini. Karena dia menyentuh lukaku dengan pelan-pelan, aku merasakan sengatan yang luar biasa dari lukaku yang menyentuh disinfektan.
"Hey, itu cukup menyengat..."
"Tentu saja. Namanya juga proses disinfektan luka. Jadi cukup normal kalau itu sangat efektif kepadamu, Hikigaya-kun."
"Uh huh, hentikan menganggapku seperti bakteri, oke?"
"Itu khan bukti kalau obatnya bekerja. Jadi tahan saja."
Ini seperti iklan obat kalau semakin bagus obatnya, maka rasanya tidak sesakit biasanya, apa ini cuma bohongan? Aku tidak percaya itu. Kalau rasa sakit seperti ini sudah tidak bisa kutahan lagi, apakah ini berarti kalau hidup dengan sehat adalah hal terbaik di dunia ini?
Setelah kukatakan itu, Yukinoshita menyentuhkan kapasnya dengan lebih lembut dari sebelumnya, sepertinya dia juga mempertimbangkan keluhanku, dan gerakan tangannya jauh lebih hati-hati dari biasanya.
Sampai dia selesai membersihkan area lukaku, kita berdua terdiam dalam sunyi. Aku nampaknya sudah terbiasa dengan rasa sakitnya dan tubuhku merasa rileks. Yukinoshita mulai melilitkan perbannya sekali, dua kali, dan memulai pembicaraan.
"Nampaknya kau tadi lari dengan Hayama-kun...Apa kau mendapatkan sesuatu darinya?"
"Yeah...dia kemungkinan besar tidak akan memilih sains." Jawabanku memang terkesan janggal, namun setidaknya itulah yang sebenarnya terjadi.
Yukinoshita tersenyum. "Itu jawaban yang cukup aneh...Baiklah, semuanya selesai."
Yukinoshita bernapas lega dan mengangkat wajahnya. Ketika dia melakukannya, wajah Yukinoshita, berhenti bergerak, tepat dimana wajahku dan wajahnya hampir bersentuhan.
"............."
Kita berdua terdiam di posisi tersebut.
Kulitnya putih seperti selimut salju. Pupil mata yang hitam dan basah. Bulu matanya yang panjang yang sesekali mengedip. Hidungnya yang terlihat sempurna. Mulutnya yang tersenyum dan sesekali menghembuskan napasnya.
Ketika bahu kecil Yukinoshita serasa bergetar, rambutnya yang hitam dan panjang tampak berkilauan.
Aku lalu berpura-pura melihat ke arah rak, memundurkan tubuhku untuk memberinya jarak. Di momen tersebut, aku merasakan lukaku menyengatku.
"...Ahh, terima kasih."
"...Tidak masalah."
Setelah aku mengucapkan terima kasih untuk basa-basi agar suasana tidak awkward, Yukinoshita membetulkan posisi duduknya dan menatap ke arah lain.
Saat ini, ruang UKS mendadak sunyi.
Karena tidak ada yang dapat kulakukan, aku melihat ke arah perban yang melilitku. Perbannya ternyata ditali dan membentuk simpul sebuah pita kecil...Jadi tadi dia bilang "sudah selesai" maksudnya ini? Bukankah mereka punya klip besi untuk mempercepat proses simpulnya? Pakailah itu. Kenapa harus pita...? Meskipun memang terlihat manis.
Ketika aku melihat pita tersebut, aku tersenyum kecil. Aku merasa jauh lebih baik.
Aku menarik kursiku, membuat posisi duduk yang nyaman, dan meregangkan punggungku. Yukinoshita memiringkan kepalanya ketika melihatku dan merasa aneh.
Sekarang, aku ingin sekali menanyakan ini kepadanya.
"...Hey. Bolehkah kutahu pilihan jurusanmu setelah lulus nanti?" tanyaku.
Yukinoshita menghembuskan napasnya seperti sedang bingung. Tangannya yang dia taruh di dagu sekarang berpindah ke dadanya.
"Aku khan ada di kelas Budaya Internasional, jadi aku bisa masuk jurusan manapun nantinya..."
"...Memang benar. Aku hanya ingin tahu saja. Tidak usah ditanggapi serius."
Sebenarnya aku sudah menduga dia akan menjawab seperti itu, meski begitu, aku merasa cukup puas dengan jawabannya.
Aku mengatakan hal tadi untuk membuat suasananya tidak kaku, tetapi Yukinoshita menaruh tangannya di pangkuannya dan melihat ke arahku.
"Ini pertama kalinya kamu bertanya hal yang seperti itu kepadaku ya?"
"Benarkah?"
Sebenarnya aku tahu maksudnya, tetapi aku pura-pura tidak tahu.
Sebenarnya selama ini, aku memiliki banyak kesempatan untuk menanyakan hal-hal pribadi seperti itu kepadanya, namun aku sudah menggambar garis yang aku sendiri bersumpah tidak akan melintasinya. Aku merasa kalau aku melintasi garis tersebut, dia akan marah dan tidak akan memaafkanku.
Yukinoshita berpura-pura batuk seperti sedang kesulitan berbicara dan menatap kedua mataku. "...Sebenarnya, aku sudah memutuskan untuk memilih jurusan Liberal Art."
"Begitukah."
"Ya. Karena itu...Nantinya, kita bisa bersama lagi," kata Yukinoshita dengan tersenyum. Senyumannya seperti gadis kecil yang senang karena akan diajak berjalan-jalan.
"Ya, kalau pilihan jurusan kita sama, kenapa tidak?"
Aku juga memilih Liberal Art, dan aku yakin Yuigahama juga akan memilih jurusan yang sama.
Sebenarnya, kenapa jurusan ini sering kudengar belakangan ini, entahlah. Pada akhirnya, kita akan menuju ke tempat yang berbeda dengan dunia yang berbeda. Di jalan yang sama, ada grup berisi tiga orang yang pada akhirnya tidak akan bisa terus bersama selamanya. Ketika waktu berlalu, situasi akan terus berubah.
Apa yang tidak bisa diubah adalah kebenaran tentang masa lalu. Hal itu selalu mengikat kita, juga menjadi sesuatu yang akan terus berada di diri kita. Selama langkah kaki kita ketika kita melangkah melintasi garis itu masih bisa terlihat, maka itu tidak masalah.
"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kelas sekarang."
"Tentu. Sampai jumpa lagi."
Bersamaan dengan responnya, dia mengangkat tangannya. Aku mengangguk kepadanya dan menaruh tanganku ke pintu ruang UKS.
Pintu terbuka. Aku membayangkan apakah ada angin yang masuk, dan ternyata ada seseorang berdiri di depanku.
"Whoa...kau membuatku ketakutan..."
Jantungku kaget dengan sosok yang tiba-tiba ada di depanku ketika membuka pintunya. Orang di depanku adalah Yuigahama Yui dan ekspresinya juga terkejut sepertiku.
"...Ah, Hikki."
"Yuigahama... Apa kamu baru saja tiba disini?"
"Eh, ah, yeah. Ya, benar! Aku baru saja hendak mengetuk pintu tadinya..."
Ketika aku bertanya kepadanya, sepertinya keterkejutannya masih membuatnya telat merespon kata-kataku. Lalu dia menutup matanya sebentar, dan membetulkan napasnya.
"Yukinoon! Maaf telat!" Dia mengatakannya dengan suara keras dan masuk ke dalam ruang UKS duduk bersebelahan dengan Yukinoshita. Ekspresi Yukinoshita seperti penuh dengan tanda tanya lalu tersenyum ke arah Yuigahama.
"Tidak masalah kok. Aku tidak merasa bosan dari tadi. "
"Oke, itu bagus...Ah, aku tahu. Karena Hikki sudah ada disini, ini pasti kabar baik."
Yuigahama menoleh kepadaku.
Kita tidak bisa membiarkan pintu UKS terbuka seperti ini. Di depan pintu UKS adalah tembok dan sekelilingnya adalah lorong, dan lorong ini sangat dingin.
Aku kembali masuk ke dalam UKS dan akhirnya merasakan udara hangat. Yuigahama memindahkan tempat duduknya dekat ke Yukinoshita dan tepat di depan pemanas, sumber kehangatan ruangan ini.
"Kita kan harus memberitahu Yumiko hari ini soal requestnya, bukan? Namun ada pesta sesudah ini dan Yumiko sedang menuju kesana. Apa yang harus kita lakukan?"
Berbanding terbalik dengan Yuigahama yang mengatakannya dengan cepat, Yukinoshita menaruh tangannya di dagunya dan mulai berpikir.
"...Mungkin sambil pulang ke rumah, kita bisa mampir ke tempat Miura-san berada dan berbicara kepadanya."
"Ide yang bagus."
"Bukankah lebih sederhana kalau kamu bilang, 'Baiklah, kita juga datang ke pestanya'!?"
Setelah menghembuskan napasnya, dia membuka mulutnya.
"Baiklah, daripada kejadian sebelumnya, kurasa kali ini responnya sudah lumayan..." kata Yuigahama sambil memindahkan bangkunya ke sebelah Yukinoshita.
"Oke, kalau begitu kita pergi bersama...! Semuanya...bersama." Yuigahama terus mengulangi ucapannya dan semakin mendekatkan tubuhnya ke Yukinoshita.
"...Cukup sesak disini." Yukinoshita mengeluh. Tetapi dia tidak mendorong Yuigahama menjauh dan membiarkannya begitu. Yuigahama nampaknya tidak berniat untuk bergerak dari posisinya. Di depan pemanas ruangan, dia membuat ekspresi bahagia.
Aku cukup yakin kalau petugas medis sekolah akan kesini sebentar lagi dan memarahi kita...
Well, sampai itu tiba, kurasa aku akan tetap berada di ruangan hangat ini juga.
Aku lalu berpura-pura melihat ke arah rak, memundurkan tubuhku untuk memberinya jarak. Di momen tersebut, aku merasakan lukaku menyengatku.
"...Ahh, terima kasih."
"...Tidak masalah."
Setelah aku mengucapkan terima kasih untuk basa-basi agar suasana tidak awkward, Yukinoshita membetulkan posisi duduknya dan menatap ke arah lain.
Saat ini, ruang UKS mendadak sunyi.
Karena tidak ada yang dapat kulakukan, aku melihat ke arah perban yang melilitku. Perbannya ternyata ditali dan membentuk simpul sebuah pita kecil...Jadi tadi dia bilang "sudah selesai" maksudnya ini? Bukankah mereka punya klip besi untuk mempercepat proses simpulnya? Pakailah itu. Kenapa harus pita...? Meskipun memang terlihat manis.
Ketika aku melihat pita tersebut, aku tersenyum kecil. Aku merasa jauh lebih baik.
Aku menarik kursiku, membuat posisi duduk yang nyaman, dan meregangkan punggungku. Yukinoshita memiringkan kepalanya ketika melihatku dan merasa aneh.
Sekarang, aku ingin sekali menanyakan ini kepadanya.
"...Hey. Bolehkah kutahu pilihan jurusanmu setelah lulus nanti?" tanyaku.
Yukinoshita menghembuskan napasnya seperti sedang bingung. Tangannya yang dia taruh di dagu sekarang berpindah ke dadanya.
"Aku khan ada di kelas Budaya Internasional, jadi aku bisa masuk jurusan manapun nantinya..."
"...Memang benar. Aku hanya ingin tahu saja. Tidak usah ditanggapi serius."
Sebenarnya aku sudah menduga dia akan menjawab seperti itu, meski begitu, aku merasa cukup puas dengan jawabannya.
Aku mengatakan hal tadi untuk membuat suasananya tidak kaku, tetapi Yukinoshita menaruh tangannya di pangkuannya dan melihat ke arahku.
"Ini pertama kalinya kamu bertanya hal yang seperti itu kepadaku ya?"
"Benarkah?"
Sebenarnya aku tahu maksudnya, tetapi aku pura-pura tidak tahu.
Sebenarnya selama ini, aku memiliki banyak kesempatan untuk menanyakan hal-hal pribadi seperti itu kepadanya, namun aku sudah menggambar garis yang aku sendiri bersumpah tidak akan melintasinya. Aku merasa kalau aku melintasi garis tersebut, dia akan marah dan tidak akan memaafkanku.
Yukinoshita berpura-pura batuk seperti sedang kesulitan berbicara dan menatap kedua mataku. "...Sebenarnya, aku sudah memutuskan untuk memilih jurusan Liberal Art."
"Begitukah."
"Ya. Karena itu...Nantinya, kita bisa bersama lagi," kata Yukinoshita dengan tersenyum. Senyumannya seperti gadis kecil yang senang karena akan diajak berjalan-jalan.
"Ya, kalau pilihan jurusan kita sama, kenapa tidak?"
Aku juga memilih Liberal Art, dan aku yakin Yuigahama juga akan memilih jurusan yang sama.
Sebenarnya, kenapa jurusan ini sering kudengar belakangan ini, entahlah. Pada akhirnya, kita akan menuju ke tempat yang berbeda dengan dunia yang berbeda. Di jalan yang sama, ada grup berisi tiga orang yang pada akhirnya tidak akan bisa terus bersama selamanya. Ketika waktu berlalu, situasi akan terus berubah.
Apa yang tidak bisa diubah adalah kebenaran tentang masa lalu. Hal itu selalu mengikat kita, juga menjadi sesuatu yang akan terus berada di diri kita. Selama langkah kaki kita ketika kita melangkah melintasi garis itu masih bisa terlihat, maka itu tidak masalah.
"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kelas sekarang."
"Tentu. Sampai jumpa lagi."
Bersamaan dengan responnya, dia mengangkat tangannya. Aku mengangguk kepadanya dan menaruh tanganku ke pintu ruang UKS.
Pintu terbuka. Aku membayangkan apakah ada angin yang masuk, dan ternyata ada seseorang berdiri di depanku.
"Whoa...kau membuatku ketakutan..."
Jantungku kaget dengan sosok yang tiba-tiba ada di depanku ketika membuka pintunya. Orang di depanku adalah Yuigahama Yui dan ekspresinya juga terkejut sepertiku.
"...Ah, Hikki."
"Yuigahama... Apa kamu baru saja tiba disini?"
"Eh, ah, yeah. Ya, benar! Aku baru saja hendak mengetuk pintu tadinya..."
Ketika aku bertanya kepadanya, sepertinya keterkejutannya masih membuatnya telat merespon kata-kataku. Lalu dia menutup matanya sebentar, dan membetulkan napasnya.
"Yukinoon! Maaf telat!" Dia mengatakannya dengan suara keras dan masuk ke dalam ruang UKS duduk bersebelahan dengan Yukinoshita. Ekspresi Yukinoshita seperti penuh dengan tanda tanya lalu tersenyum ke arah Yuigahama.
"Tidak masalah kok. Aku tidak merasa bosan dari tadi. "
"Oke, itu bagus...Ah, aku tahu. Karena Hikki sudah ada disini, ini pasti kabar baik."
Yuigahama menoleh kepadaku.
Kita tidak bisa membiarkan pintu UKS terbuka seperti ini. Di depan pintu UKS adalah tembok dan sekelilingnya adalah lorong, dan lorong ini sangat dingin.
Aku kembali masuk ke dalam UKS dan akhirnya merasakan udara hangat. Yuigahama memindahkan tempat duduknya dekat ke Yukinoshita dan tepat di depan pemanas, sumber kehangatan ruangan ini.
"Kita kan harus memberitahu Yumiko hari ini soal requestnya, bukan? Namun ada pesta sesudah ini dan Yumiko sedang menuju kesana. Apa yang harus kita lakukan?"
Berbanding terbalik dengan Yuigahama yang mengatakannya dengan cepat, Yukinoshita menaruh tangannya di dagunya dan mulai berpikir.
"...Mungkin sambil pulang ke rumah, kita bisa mampir ke tempat Miura-san berada dan berbicara kepadanya."
"Ide yang bagus."
"Bukankah lebih sederhana kalau kamu bilang, 'Baiklah, kita juga datang ke pestanya'!?"
Setelah menghembuskan napasnya, dia membuka mulutnya.
"Baiklah, daripada kejadian sebelumnya, kurasa kali ini responnya sudah lumayan..." kata Yuigahama sambil memindahkan bangkunya ke sebelah Yukinoshita.
"Oke, kalau begitu kita pergi bersama...! Semuanya...bersama." Yuigahama terus mengulangi ucapannya dan semakin mendekatkan tubuhnya ke Yukinoshita.
"...Cukup sesak disini." Yukinoshita mengeluh. Tetapi dia tidak mendorong Yuigahama menjauh dan membiarkannya begitu. Yuigahama nampaknya tidak berniat untuk bergerak dari posisinya. Di depan pemanas ruangan, dia membuat ekspresi bahagia.
Aku cukup yakin kalau petugas medis sekolah akan kesini sebentar lagi dan memarahi kita...
Well, sampai itu tiba, kurasa aku akan tetap berada di ruangan hangat ini juga.
x Chapter VII | END x
Ingatan Hachiman tentang kata-kata seorang gadis ketika dia berbaring di sofa adalah kata-kata Yukino. Kompilasi dari beberapa kejadian yang tersebar di berbagai chapter volume.
...
Sebuah pertanyaan besar patut ditanyakan ke Hachiman. Mengapa dia memikirkan kemana Yukino akan pergi ketika kuliah nanti?
Apa dia menyukainya?
...
Penarikan kesimpulan tentang sikap Hayama ini sebenarnya mudah.
Pertama, volume 10 chapter 3, dimana banyak sekali gadis yang bermunculan dan menembak Hayama ketika ada gosip Hayama-Yukino muncul. Dimana, harusnya tidak ada yang berani mendekati Hayama karena dalam gosip tersebut Hayama ada yang 'punya'. Artinya, selama ini para gadis penggemar Hayama bersembunyi dan menahan diri karena dekat dengan Miura.
Sedang Miura sendiri, adalah gadis yang ditakuti di SMA Sobu.
Di vol 7 chapter 8, Hayama bahkan rela menjual temannya sendiri yang dia kenal sejak SMP (Tobe) hanya demi hubungan baik dengan grup Miura. Artinya, Hayama sendiri punya kepentingan tertentu dengan grup Miura.
Dengan kata lain, Hayama ternyata selama ini sengaja mendekati Miura agar tidak ada gadis lain yang berani menembaknya.
Artinya, kata-kata Hayama kalau dirinya sendiri adalah pria brengsek adalah benar adanya.
Menurut keterangan Zaimokuza di vol 10 chapter 5, IPA berisi 80% laki-laki. Ini artinya, jika Hayama memilih IPA maka dia akan relatif aman dari kejaran gadis-gadis SMA Sobu. Dengan kata lain, dia punya momen yang tepat untuk mencampakkan Miura. Dengan tidak memberitahukan jurusannya, otomatis Miura hanya bisa menebak saja, dan akhirnya Miura memilih jurusan yang dia anggap mampu untuk level intelegensinya, yaitu IPS.
Jika Hayama masuk IPA, maka Hayama aman dari kejaran para gadis, sekaligus bisa lepas dari Miura dengan alami.
Di vol 10 chapter 8, diketahui ternyata nilai akademis Miura di bawah rata-rata (atau rata-rata). Ini diketahui dari pernyataan Miura yang berniat mengambil les untuk bisa mengimbangi nilai akademis Hayama.
...
Hachiman meminta tolong Totsuka karena itu adalah permintaan Totsuka sendiri di volume 9 chapter 4, untuk dilibatkan lebih intens dalam operasi ilegal Hachiman, sebagaimana Hachiman melibatkan Zaimokuza dalam akun twitter dukungan palsu, volume 8 chapter 8.
...
Ada permainan kata dari Watari dalam interaksi Hachiman dan Yukino sebelum berangkat lomba.
Suara Yukino tidak terdengar, Hachiman sendiri mengakui kalau dia tidak tahu Yukino hendak mengatakan apa, ataupun kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Tapi anehnya, Hachiman merasa bersemangat.
Ini sesuai dari quote Hachiman di vol 5 chapter 7, Manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar.
...
Mari kita coba menganalisis lebih dalam sikap Hayama di marathon.
Jika Hayama berniat berbohong dengan jawabannya, maka Hayama akan memilih untuk diam daripada mengatakan tidak akan menuruti saran Hachiman (masuk IPA). Hayama tahu kalau klien Hachiman adalah Miura. Hayama tahu Miura hanya mampu masuk IPS, dia tidak kuat masuk IPA.
Artinya, Hayama menjawab jujur kalau dia akan memilih IPS. Hayama membatalkan pilihan awalnya, yaitu IPA karena konfrontasi Hachiman.
Tidak ada bukti kuat ataupun alasan yang jelas mengapa Hayama tiba-tiba berubah pikiran dan sengaja ke IPS demi Miura. Apakah Hayama mengakui perasaan Miura? Ataukah bagaimana?
...
Pujian Hayama ke Hachiman secara tidak langsung mengakui kalau analisis Hachiman tentang alasan Hayama merahasiakan jurusannya adalah benar adanya.
...
Hayama menganggap Hachiman sebagai rivalnya. Memangnya, rival dalam apa? Olahraga? Marathon? Mustahil, karena Hayama adalah juara tahun lalu, sedang Hachiman sendiri ada di barisan paling belakang.
Ada momen dimana Hayama mengakui kalau dirinya waktu itu baru tahu mengapa gadis tersebut lebih terbuka ke Hachiman, vol 4 chapter 7.
Ada momen dimana Hayama berusaha klarifikasi tentang kencan Yukino-Hachiman yang dilihat oleh Haruno di vol 4 chapter 4.
Ada momen dimana Hayama mengatakan kalau dulu dia pernah salah paham dengan seorang gadis, persis situasi Hachiman dengan Kaori.
Sederhananya, Hayama tahu Hachiman menyukai Yukino, begitu pula dirinya yang menyukai Yukino. Namun kondisi saat ini, Yukino lebih memilih dekat dengan Hachiman daripada dirinya.
Yeah, gadis inisial Y itu adalah Yukinoshita.
...
Dengan meminta bantuan Hayama mengenai gosip itu, dan juga mengakui kalau dirinya terganggu, secara tidak langsung Hachiman mengakui kalau dirinya menyukai Yukino di depan Hayama.
...
Saya rasa, adegan intim antara Hachiman dan Yukino di UKS adalah kesekian kali dari sekian banyak. Terakhir mereka begitu adalah vol 10 chapter 1, ketika Yukino berpegangan ke Hachiman selama di kereta.
...
Seperti monolog Hachiman di vol 10 chapter 4, kasus Miura-Hayama dijadikan pedoman tentang sikapnya dengan Yukino. Karena Miura sukses, maka Hachiman memutuskan untuk bertanya masa lalu Yukino dan Hayama. Tapi, entah mengapa, Hachiman memutuskan untuk tidak bertanya masa lalu Yukino dan memutuskan untuk bertanya masa depan Yukino.
Tentunya, Yukino pasti akan memilih jurusan Liberal Art, karena Yukino menyukai Hachiman yang tidak merubah pendiriannya, sesuai jalan hidupnya di vol 1 chapter 1. Karena sejak vol 2 Hachiman memilih Liberal Art, maka Hachiman tidak boleh merubah pilihannya, dan Yukino-lah yang menyesuaikan itu.
Ini juga menghancurkan pesimisme Hachiman di vol 3 chapter 4 kalau tidak akan ada seorang gadis yang mau berkorban untuknya.
Yukino mengajak Hachiman untuk kuliah bersama, dan Hachiman menyanggupinya. Ini menjawab alasan Yukino mengapa dia merahasiakan jurusannya, karena Yukino ingin mengajak Hachiman kuliah bersama.
Hachiman berpikir Yukino mungkin akan mengajak Yui, karena fakta sampai volume 11, Hachiman tidak pernah bertanya ataupun mengajak Yui soal kuliahnya. Tapi fakta juga mengatakan kalau Yukino tidak pernah melakukan itu ke Yui. Artinya, Yukino memang menginginkan mereka berdua. Sedang Hachiman tidak ada keinginan untuk mengajak Yui.
...
Yui jelas-jelas mengintip adegan UKS.
Ada banyak hal yang bisa dijelaskan dari hasil intipan Yui kali ini.
Pertama, Yukino memberitahu jurusannya ke Hachiman, sedang Ibunya sendiri tidak diberi tahu. Artinya, hubungan Yukino dan Hachiman saat itu sudah jauh lebih dalam daripada yang Yui bayangkan.
Kedua, ini menjawab mengapa Hachiman mencoba mengulur-ulur hutang kencannya dua kali (vol 6 chapter 7 dan vol 9 chapter 7). Karena Hachiman dekat dengan Yukino.
Ketiga, ini berarti Hachiman berbohong kepada Yui ketika ditanya soal keterbukaan Yukino di vol 10 chapter 6. Selama ini ternyata Yukino terbuka ke Hachiman. Tapi mengapa Hachiman tidak mau mengakui itu ke Yui?
Jawaban terakhir itu akan Yui dapatkan di vol 11 chapter 7 dan vol 11 chapter 8.
...
Sebuah pertanyaan besar patut ditanyakan ke Hachiman. Mengapa dia memikirkan kemana Yukino akan pergi ketika kuliah nanti?
Apa dia menyukainya?
...
Penarikan kesimpulan tentang sikap Hayama ini sebenarnya mudah.
Pertama, volume 10 chapter 3, dimana banyak sekali gadis yang bermunculan dan menembak Hayama ketika ada gosip Hayama-Yukino muncul. Dimana, harusnya tidak ada yang berani mendekati Hayama karena dalam gosip tersebut Hayama ada yang 'punya'. Artinya, selama ini para gadis penggemar Hayama bersembunyi dan menahan diri karena dekat dengan Miura.
Sedang Miura sendiri, adalah gadis yang ditakuti di SMA Sobu.
Di vol 7 chapter 8, Hayama bahkan rela menjual temannya sendiri yang dia kenal sejak SMP (Tobe) hanya demi hubungan baik dengan grup Miura. Artinya, Hayama sendiri punya kepentingan tertentu dengan grup Miura.
Dengan kata lain, Hayama ternyata selama ini sengaja mendekati Miura agar tidak ada gadis lain yang berani menembaknya.
Artinya, kata-kata Hayama kalau dirinya sendiri adalah pria brengsek adalah benar adanya.
Menurut keterangan Zaimokuza di vol 10 chapter 5, IPA berisi 80% laki-laki. Ini artinya, jika Hayama memilih IPA maka dia akan relatif aman dari kejaran gadis-gadis SMA Sobu. Dengan kata lain, dia punya momen yang tepat untuk mencampakkan Miura. Dengan tidak memberitahukan jurusannya, otomatis Miura hanya bisa menebak saja, dan akhirnya Miura memilih jurusan yang dia anggap mampu untuk level intelegensinya, yaitu IPS.
Jika Hayama masuk IPA, maka Hayama aman dari kejaran para gadis, sekaligus bisa lepas dari Miura dengan alami.
Di vol 10 chapter 8, diketahui ternyata nilai akademis Miura di bawah rata-rata (atau rata-rata). Ini diketahui dari pernyataan Miura yang berniat mengambil les untuk bisa mengimbangi nilai akademis Hayama.
...
Hachiman meminta tolong Totsuka karena itu adalah permintaan Totsuka sendiri di volume 9 chapter 4, untuk dilibatkan lebih intens dalam operasi ilegal Hachiman, sebagaimana Hachiman melibatkan Zaimokuza dalam akun twitter dukungan palsu, volume 8 chapter 8.
...
Ada permainan kata dari Watari dalam interaksi Hachiman dan Yukino sebelum berangkat lomba.
Suara Yukino tidak terdengar, Hachiman sendiri mengakui kalau dia tidak tahu Yukino hendak mengatakan apa, ataupun kepada siapa kata-kata itu ditujukan. Tapi anehnya, Hachiman merasa bersemangat.
Ini sesuai dari quote Hachiman di vol 5 chapter 7, Manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar.
...
Mari kita coba menganalisis lebih dalam sikap Hayama di marathon.
Jika Hayama berniat berbohong dengan jawabannya, maka Hayama akan memilih untuk diam daripada mengatakan tidak akan menuruti saran Hachiman (masuk IPA). Hayama tahu kalau klien Hachiman adalah Miura. Hayama tahu Miura hanya mampu masuk IPS, dia tidak kuat masuk IPA.
Artinya, Hayama menjawab jujur kalau dia akan memilih IPS. Hayama membatalkan pilihan awalnya, yaitu IPA karena konfrontasi Hachiman.
Tidak ada bukti kuat ataupun alasan yang jelas mengapa Hayama tiba-tiba berubah pikiran dan sengaja ke IPS demi Miura. Apakah Hayama mengakui perasaan Miura? Ataukah bagaimana?
...
Pujian Hayama ke Hachiman secara tidak langsung mengakui kalau analisis Hachiman tentang alasan Hayama merahasiakan jurusannya adalah benar adanya.
...
Hayama menganggap Hachiman sebagai rivalnya. Memangnya, rival dalam apa? Olahraga? Marathon? Mustahil, karena Hayama adalah juara tahun lalu, sedang Hachiman sendiri ada di barisan paling belakang.
Ada momen dimana Hayama mengakui kalau dirinya waktu itu baru tahu mengapa gadis tersebut lebih terbuka ke Hachiman, vol 4 chapter 7.
Ada momen dimana Hayama berusaha klarifikasi tentang kencan Yukino-Hachiman yang dilihat oleh Haruno di vol 4 chapter 4.
Ada momen dimana Hayama mengatakan kalau dulu dia pernah salah paham dengan seorang gadis, persis situasi Hachiman dengan Kaori.
Sederhananya, Hayama tahu Hachiman menyukai Yukino, begitu pula dirinya yang menyukai Yukino. Namun kondisi saat ini, Yukino lebih memilih dekat dengan Hachiman daripada dirinya.
Yeah, gadis inisial Y itu adalah Yukinoshita.
...
Dengan meminta bantuan Hayama mengenai gosip itu, dan juga mengakui kalau dirinya terganggu, secara tidak langsung Hachiman mengakui kalau dirinya menyukai Yukino di depan Hayama.
...
Saya rasa, adegan intim antara Hachiman dan Yukino di UKS adalah kesekian kali dari sekian banyak. Terakhir mereka begitu adalah vol 10 chapter 1, ketika Yukino berpegangan ke Hachiman selama di kereta.
...
Seperti monolog Hachiman di vol 10 chapter 4, kasus Miura-Hayama dijadikan pedoman tentang sikapnya dengan Yukino. Karena Miura sukses, maka Hachiman memutuskan untuk bertanya masa lalu Yukino dan Hayama. Tapi, entah mengapa, Hachiman memutuskan untuk tidak bertanya masa lalu Yukino dan memutuskan untuk bertanya masa depan Yukino.
Tentunya, Yukino pasti akan memilih jurusan Liberal Art, karena Yukino menyukai Hachiman yang tidak merubah pendiriannya, sesuai jalan hidupnya di vol 1 chapter 1. Karena sejak vol 2 Hachiman memilih Liberal Art, maka Hachiman tidak boleh merubah pilihannya, dan Yukino-lah yang menyesuaikan itu.
Ini juga menghancurkan pesimisme Hachiman di vol 3 chapter 4 kalau tidak akan ada seorang gadis yang mau berkorban untuknya.
Yukino mengajak Hachiman untuk kuliah bersama, dan Hachiman menyanggupinya. Ini menjawab alasan Yukino mengapa dia merahasiakan jurusannya, karena Yukino ingin mengajak Hachiman kuliah bersama.
Hachiman berpikir Yukino mungkin akan mengajak Yui, karena fakta sampai volume 11, Hachiman tidak pernah bertanya ataupun mengajak Yui soal kuliahnya. Tapi fakta juga mengatakan kalau Yukino tidak pernah melakukan itu ke Yui. Artinya, Yukino memang menginginkan mereka berdua. Sedang Hachiman tidak ada keinginan untuk mengajak Yui.
...
Yui jelas-jelas mengintip adegan UKS.
Ada banyak hal yang bisa dijelaskan dari hasil intipan Yui kali ini.
Pertama, Yukino memberitahu jurusannya ke Hachiman, sedang Ibunya sendiri tidak diberi tahu. Artinya, hubungan Yukino dan Hachiman saat itu sudah jauh lebih dalam daripada yang Yui bayangkan.
Kedua, ini menjawab mengapa Hachiman mencoba mengulur-ulur hutang kencannya dua kali (vol 6 chapter 7 dan vol 9 chapter 7). Karena Hachiman dekat dengan Yukino.
Ketiga, ini berarti Hachiman berbohong kepada Yui ketika ditanya soal keterbukaan Yukino di vol 10 chapter 6. Selama ini ternyata Yukino terbuka ke Hachiman. Tapi mengapa Hachiman tidak mau mengakui itu ke Yui?
Jawaban terakhir itu akan Yui dapatkan di vol 11 chapter 7 dan vol 11 chapter 8.
Yang ku nanti si Yui menghilang aja, gaguin orang mau pdkt an, sok nempel2 gak mau lepas.
BalasHapus