Kami membicarakan banyak hal, seperti rencana ketika
liburan musim semi, atau tempat-tempat yang ingin kami kunjungi.
Bagi orang yang secanggung dirinya, aku sebenarnya tahu
kalau ini adalah salah satu caranya untuk mengganti topik. Bahkan senyumnya
tampak dipaksakan. Dia benar-benar orang yang mudah canggung.
Dia bisa melakukan apapun dengan baik. Tapi kalau soal
berbohong, pura-pura, ataupun juga mengatakan sebuah kebenaran, dia tidaklah
mahir dalam hal tersebut.
Aku lebih suka jika kami bisa terus seperti ini. Tapi,
waktu berlalu begitu cepat. Cuaca mulai bertambah dingin, berkurangnya orang-orang
yang berlalu lalang di depan stasiun, topik yang kami bicarakan juga mulai terbatas,
dan pada akhirnya, suara kereta sudah tidak terdengar lagi oleh kami. Sekarang,
kami tidak bisa pergi kemanapun. Namun, aku
memilih untuk pura-pura tidak menyadari hal ini.
Yang kuinginkan hanyalah membicarakan hal-hal random
dengannya, sebagaimana kita dulu.
Andai saja kita bisa tetap seperti ini untuk selamanya,
maka aku tidak akan keberatan dengan itu. Kalau saja keinginanku tadi terkabul,
sebagaimana kata-katanya tadi kalau keinginanku akan dipenuhi, maka aku tidak
masalah dengan itu. Meski, aku sendiri masih akan memiliki rasa tidak puas akan
hal itu.
“Banyak yang ingin kulakukan...” bisikku, sambil memandangi
beberapa lampu gedung yang secara beriringan mulai mematikan lampunya.
Dia mengembuskan napasnya dan tersenyum. “Kau benar.”
“Yep, aku ingin melakukan semuanya. Dan aku ingin
semuanya.”
Akupun mulai mendekatinya, lebih dekat dari sebelumnya,
dan menempelkan bahuku di bahunya. Kemudian, aku mulai menyandarkan kepalaku
seperti orang yang mulai tertidur.
“Aku ini orang yang tamak, jadi aku akan mengambil
semuanya, OK? Aku akan mengambil semua yang dihatimu, Yukinon.”
Aku memang orang yang tamak.
Hal-hal yang menyenangkan, menggembirakan, dan lezat; aku
menyukainya. Aku tidaklah cakap dalam membuat kue, tapi aku tidak membenci
proses pembuatannya. Aku selalu ingin mencoba kombinasi topping-toppingnya. Aku
tidak peduli apabila hasilnya buruk. Enak atau pahit, aku sendiri tidaklah
peduli.
Karena itulah, aku ingin bertanya kepadanya, hanya untuk
kali ini saja.
Kalau dia diam saja, maka aku juga akan memilih diam.
Tapi kalau dia melakukannya, maka aku akan melakukannya juga.
Aku tahu kalau ini tidaklah adil. Tapi kami bertiga
semuanya sama; kita semua berperilaku tidak adil. Kita semua tamak, karena
semua ingin keinginannya dipenuhi. Bahkan ketika kita tahu kalau kita tidak
akan bisa memenuhiya. Bahkan jika permintaan itu adalah hal yang mustahil.
Tapi mungkin saja akulah orang yang paling tamak diantara
semuanya.
Hal yang manis, pahit, menyakitkan, membuat stress,
membuat luka, dan membuatmu cedera itu; aku menginginkan semuanya.
Kutegakkan posisi kepalaku sehingga aku bisa menatapnya
secara langsung. Saking dekatnya, membuat kedua wajah kami bisa saja bersentuhan
secara langsung.
“Jadi, Yukinon, bisa beritahu aku tentang perasaanmu saat
ini?”
Ketika kutanya lagi, dia hanya mengembuskan napasnya. Dia
tampak ragu dan bingung, dan kedua matanya menatap kejauhan. Bibirnya yang
lembut secara perlahan terbuka, bulu matanya tambak bergetar hebat, dan
wajahnya seperti hendak menangis saja.
Tapi aku sudah tidak bisa memalingkan pandanganku lagi. Selama
ini aku selalu bersikap pura-pura tidak melihat sesuatunya, pura-pura tidak
sadar, dan pura-pura tidak tahu. Tapi, sekarang tidak bisa kulakukan. Aku hanya
duduk dan terus menatap ke arahnya.
Rambutnya yang indah, matanya yang sembab, dan wajahnya
yang pucat adalah sesuatu yang terus kulihat sedari tadi.
Dia lalu menutup bibirnya rapat-rapat, seperti mencoba menggigitnya,
lalu melihat ke sekelilingnya. Sepertinya hanya ada kami berdua saja di depan
Stasiun, dan tidak ada satu orangpun yang bisa mendengar pembicaraan kami. Kemudian,
dia secara perlahan menggerakkan tubuhnya untuk mendekatiku, seperti masih
khawatir kalau akan ada orang asing mendengar percakapan kami. Dirinya yang
malu-malu ini mengingatkanku dengan seekor anak kucing.
Dia menaruh tangannya di mulut seperti hendak membisikkan
sesuatu, kata-kata yang mungkin tidak ingin kudengar.
Meski begitu, aku tetap tersenyum. Wajah, mulut, dan
bahkan pandanganku tampak mulai melunak ketika dia melakukannya.
Tiba-tiba dia bergerak menjauh dariku. Meski wajahnya
tampak khawatir dan takut, wajahnya terlihat memerah.
Melihat ekspresinya yang seperti itu, aku mulai bingung
harus merespon apa.
Karena jika aku memilih untuk membenci yang barusan
dia katakan, maka ini akan sangat mudah bagiku.
x x x
Aku mengatakannya. Benar-benar mengatakannya, meski aku
tidak pernah merencanakan untuk mengatakan itu.
Karena ketika aku mengatakan itu dan mengakuinya, maka
sesuatunya tidak akan pernah sama lagi. Semua yang sudah dibungkus rapi akan
berhamburan keluar seperti air yang keluar dari tabung atau seperti balon yang
ditusuk jarum.
Karena itulah, aku memilih diam. Kalau saja kutelan begitu
saja kata-kataku tadi, maka semuanya akan berjalan seperti dulu lagi. Tapi,
tatapan matanya tidak menginginkan itu.
Ini pertamakalinya aku memberitahu seseorang tentang hal
yang semacam ini, dan aku yakin kalau ini adalah yang terakhir kalinya.
Kira-kira seperti apa ekspresinya? Apa yang akan dia
katakan padaku nanti? Itulah pertanyaan yang ada di kepalaku ketika aku menatapnya,
dan dia hanya membalasku dengan tersenyum. Dia seperti menerima kata-kataku dan
mengangguk, tanpa memberikan balasan apapun.
Ini juga pertamakalinya kata-kata semacam itu keluar dari
mulutku, tapi sepertinya dia sudah tahu sejak dulu. Meski begitu, dia
memilih untuk menungguku siap terlebih dahulu, untuk memberitahukan itu kepadanya.
“Oke, aku akan mengatakannya juga.”
Secara perlahan, dia menutup kedua matanya, menaruh
tangannya di bahuku, dan menggunakan tangan satunya untuk menutupi mulutnya.
Gel kuku yang memanjang dari jari jemarinya yang kurus
itu, wajahnya yang kemerahan, bibirnya yang glossy dan puffy, dan bulu matanya
yang lembut itu; semua bagian dirinya terlihat manis, fashionable, dan indah
itu terasa sangat dekat sekali denganku, seakan-akan hendak menciumku.
Ketika hal-hal yang tidak seharusnya muncul itu tiba-tiba
terpikirkan, membuatku mulai diliputi rasa malu dan hendak menjauh saja. Tapi,
kutahan dan mencondongkan tubuhku ke arahna.
Kemudian, dia membisikkan sesuatu di telingaku, seperti
bermain “gigit-menggigit” ala anak anjing.
Aku yakin, kata-katanya tadi adalah sesuatu yang ingin
kudengar darinya. Akupun bernapas lega dan mulai menjaga jarak untuk
menenangkan pikiranku.
“Kupikir, keinginan kita berdua sama.”
“Kau benar...”
Setidaknya, itulah hal yang kita yakini masing-masing.
Tapi aku yakin akan sangat sulit dikabulkan persis
seperti apa yang kita inginkan. Karena itulah, aku memilih yang mendekati hal
itu. Aku ingin percaya kalau itu akan terpenuhi suatu hari nanti, mungkin, di
hari dimana aku bisa menangani sesuatunya dengan lebih baik.
Dengan harapan-harapan tersebut di pikiranku, akupun
mengangguk. Tapi, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku sendiri tidak tahu apa maksud gesturnya itu. Akupun
memasang ekspresi tanda tanya kepadanya, hanya saja yang keluar darinya adalah
sesuatu yang berbeda dari topik yang kita bahas saat ini.
“Kupikir, yang diinginkan oleh Hikki juga sama.”
Ketika tiba-tiba dia menyebutkan nama itu, tubuhku tiba-tiba
diam membeku. Seperti hendak menenangkanku, dia secara lembut memegangi
tanganku.
“Kupikir dia tidak ingin menyerah begitu saja.”
Dia membisikkan itu, namun dadaku serasa ditusuk oleh
pernyataannya itu. Entah mengapa, bahuku mulai menurunkan posisinya. Ketika
kulihat, dia sedang menatap ke arah bintang-bintang di langit.
“Menurutku, jarak yang ada diantara kita bukanlah sesuatu
yang terlihat secara fisik. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah, tidak
peduli seberapa lama perjumpaan terakhir kita, jarak diantara perasaan-perasaan
kita tidak akan berubah.”
“Begitukah...?”
“U huh, kupikir begitu...Tapi apabila perasaan kita
berubah, maka kita akan merasa terpisah sangat jauh, tidak peduli seberapa
dekat posisi kita saat ini.”
Kudengarkan kata-katanya secara jelas. Entah mengapa,
kedua tangan kita saling menumpuk satu sama lain. Seperti dua orang yang sedang
mengikat janji. Meski, tidak seluruhnya bagian tangan kita saling bersentuhan.
Temperatur tubuh kita sebenarnya tidaklah begitu tinggi, begitu pula temperatur
lingkungan di sekeliling kita tidaklah terlalu rendah.
Meski begitu, aku bisa merasakan kehangatannya.
“Kalau memang kita punya keinginan yang sama, apakah kau
bisa mengambil segala hal yang ada di hatiku itu?”
“Ya, suatu hari nanti, pasti.”
Respon yang pendek keluar darinya: Dengan begitu, kita
bisa bersikap seperti tidak ada satupun yang berubah.
Kalau tidak ada yang berubah, bukankah itu indah?
Ketika kata-kata kami mulai berubah menjadi setitik
kehangatan di tempat ini, aku mulai menutup kedua mataku dengan penuh
pengharapan.
Aku tidak akan melupakan kehangatan ini. Karena itulah,
aku tidak akan melupakan rasa dingin yang kuterima ketika kedua tangan kami berpisah
nanti.
x Interlude IV | END x
Lama tidak mengerjakan translasi karena saya mengambil cuti dan berlibur ke Jogja hahaha.
...
Monolog Yui : Selama ini aku selalu bersikap pura-pura tidak melihat sesuatunya, pura-pura tidak sadar, dan pura-pura tidak tahu.
Itu mengacu ke volume 10 chapter 7, adegan UKS. Disitu dia tahu kalau Hachiman menyukai Yukino, begitu pula sebaliknya.
...
Secara tidak langsung selama ini Yui hidup dengan memendam perasaan kalau pria yang dia sukai mencintai sahabatnya sendiri.
...
Monolog Yui: Karena jika aku memilih untuk membenci yang barusan dia katakan, maka ini akan sangat mudah bagiku.
Ayolah, kita semua bisa memahami perasaan dan monolog Yui ini. Bagi yang pernah mengalami cinta bertepuk sebelah tangan, acungkan jarinya!
...
Monolog Yukino : tapi sepertinya dia sudah tahu sejak dulu.
Ini mengacu adegan volume 11 chapter 7, dimana Yukino hendak memberikan coklat Valentine ke Hachiman, dan Yui sengaja pura-pura pergi agar Yukino memperoleh momen untuk memberikannya.
Masuk akal jika Yukino mulai berpikir kalau Yui sebenarnya tahu perasaannya kepada Hachiman.
...
Ini terjadi sebelum Yui mengundang Hachiman datang ke rumahnya untuk membuat kue Komachi.
Maka ending vol 14 chapter 3 sebenarnya ditujukan untuk Yui.
Apakah hidup yang seperti ini yang diinginkan Yui ke depannya?
Berusaha menghibur diri sendiri sementara dia tahu Hachiman tidak mencintainya. Hari-hari yang dilewatkan bersama-sama hanyalah upaya agar Hachiman berpaling dari Yukino dan mencintai eksistensinya.
Maka pertanyaan selanjutnya...Sampai kapan?
Nice min
BalasHapusStelah baca jadi makin pnasaran dn gak sabar nunggu anime nya, gua harap adegan so sweet pas hachiman nembak yukino ke adaptasi juga btw nice dn thanks utk translate nya min ��
BalasHapusgk bakal serbagus di LN bosq hhhh
HapusGua harap bisa sebagus LN nya dn sesuai exspetasi gua wkwkk
HapusEmang dia udh nembak, chapter mana?
HapusAku tidaklah cakap dalam membuat kue, tapi aku tidak membenci proses pembuatannya.
BalasHapusHaahh
Intinya persahabatan antara 2cw sama 1cwo itu gk mungkin, pasti salah satu cw harus ngalah #pengalaman 😁
Thanks min
nggak sabar baca volume 12, 13, 14 secara lengkap heheheh
BalasHapusmakasih banyak ya min.
semoga sehat selalu dan bisa update terus tl nya.
Di Volume 14 si Yui makin agresif bgt bahkan sampai ngibarin bendera perang ke Yukino, gua kira dia bakalan ngelakuin apa yg dia katakan di Vol 10.5 Ch. 3
BalasHapus“...Aku benar-benar tidak suka melihatmu kesakitan, Hikki.”
Tapi nyatanya malah sebaliknya.
Wkwkwk di volume 13 lebih agresif, pgn nempel trus ama hikigay
HapusTerimakasih min updatenya.
BalasHapusKeinginan Yui katanya ingin mengabulkan keinginan yukino, apakah Yui akan menepati janjinya itu ?
Udah tamat ap blm min
BalasHapusNunggu chapter 7, chapter hachiman confession
BalasHapusv
BalasHapusY
BalasHapusG
BalasHapus