* * *
Ketika aku masih SD, guruku pernah mengatakan sesuatu kepadaku.
"Chigusa-kun, kamu memang penuh dengan kesempurnaan. Kamu sangat bagus di pelajaran sekolah dan olahraga. Kamu seperti apel di mata semua orang. Kamu memiliki orang tua yang baik dan saya yakin kamu akan menjadi orang penting suatu hari nanti."
Tentu saja aku akan menjadi orang penting. Anda tahu dari mana?
Guru itu tersenyum dan melanjutkan kata-katanya, "Tetapi. Jika kamu tidak bisa menjaga dirimu dengan baik, kamu bisa menjadi orang yang selalu melihat orang lain rendah, yakin kalau dirimu adalah yang nomor satu. Suatu hari, ada hal yang tidak terduga mungkin akan terjadi dan membuatmu lupa segalanya. Saya harap kamu terus mengingatnya. Chigusa Yuu, kamu tidaklah sendiri di dunia ini. Kamu, saya, dia, dan mereka. Tiap orang dari kita adalah berbeda dan spesial..."
Daripada disebut sedang mengujiku, mungkin lebih tepat suara guruku tadi itu disebut sedang berusaha mempengaruhiku.
Aku merasa malu ketika melakukan hal yang arogan ketika masih muda. Bahkan sekarang, aku masih bisa mendengar suara dari guruku itu ketika menutup mataku, seperti yang barusan kulakukan.
Tiap orang berbeda dan spesial.
Begitu ya. Itu memang benar adanya.
Hidup dari manusia itu sendiri memang sedari dulu tidak pernah adil.
Aku percaya kalau orang yang selalu khawatir tentang status sosialnya di sekolah akan membawa beban besar di pundaknya. Mereka akan terus menerima rasa sakit ketika membandingkan apel dengan jeruk, dan mereka selalu membuat konflik ketika berada di sebuah mangkuk ikan besar yang bernama kelas.
Meski begitu, sangat sia-sia untuk menjalani hidup yang seperti itu. Entah sibuk memikirkan akan berada di grup yang mana, atau siapa orang yang paling berpengaruh di kelas itu.
Aku berbeda dengan mereka. Keadilan hanya butuh pengelompokan yang sederhana. Semua orang terlihat rendah di mataku. Kualitas superior milikku membuat orang merasa kagum dan berada di bawahku, sangat jauh dibandingkan dengan kecantikan, sensitivitas, dan intelegensi milikku. Aku harus memperlakukan orang lain sesuai dengan kasta dan perhatian yang seharusnya mereka dapatkan.
Jadi aku sangat paham dengan apa yang guruku katakan kepadaku.
Mengetahui hal itu, aku sendiri bisa memaafkan apa yang terjadi dengan diriku hari ini. Aku bisa memakluminya dengan segala kerendahan hati yang kumiliki. Ini yang harus kulakukan :meningkatkan bunga pinjaman mereka yang awalnya 10% per 10 hari menjadi 30% per 10 hari. Aku juga harusnya menjual buku-buku di loker Maria-san ke pengepul buku bekas.
Ah, tetapi masalahnya bukan itu.
Ini belum cukup untuk menutupi lubang yang ditinggalkan oleh orang yang meminjam uang dariku. Aku sempat berpikir sudah berapa banyak uang yang hilang dariku dalam tiga hari belakangan. Hidup ini terikat oleh waktu. Waktu adalah uang. Maka, uang adalah hidup itu sendiri.
Ketika aku memikirkan sudah berapa banyak hidupku yang terbuang gara-gara silogisme tadi, air mata mulai membasahi wajahku.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar