Sabtu, 01 Februari 2020

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol.14 : Prelude IV





Kami membicarakan banyak hal, seperti rencana ketika liburan musim semi, atau tempat-tempat yang ingin kami kunjungi.

Bagi orang yang secanggung dirinya, aku sebenarnya tahu kalau ini adalah salah satu caranya untuk mengganti topik. Bahkan senyumnya tampak dipaksakan. Dia benar-benar orang yang mudah canggung.

Dia bisa melakukan apapun dengan baik. Tapi kalau soal berbohong, pura-pura, ataupun juga mengatakan sebuah kebenaran, dia tidaklah mahir dalam hal tersebut.

Aku lebih suka jika kami bisa terus seperti ini. Tapi, waktu berlalu begitu cepat. Cuaca mulai bertambah dingin, berkurangnya orang-orang yang berlalu lalang di depan stasiun, topik yang kami bicarakan juga mulai terbatas, dan pada akhirnya, suara kereta sudah tidak terdengar lagi oleh kami. Sekarang, kami tidak bisa pergi kemanapun. Namun, aku  memilih untuk pura-pura tidak menyadari hal ini.

Yang kuinginkan hanyalah membicarakan hal-hal random dengannya, sebagaimana kita dulu.

Andai saja kita bisa tetap seperti ini untuk selamanya, maka aku tidak akan keberatan dengan itu. Kalau saja keinginanku tadi terkabul, sebagaimana kata-katanya tadi kalau keinginanku akan dipenuhi, maka aku tidak masalah dengan itu. Meski, aku sendiri masih akan memiliki rasa tidak puas akan hal itu.

“Banyak yang ingin kulakukan...” bisikku, sambil memandangi beberapa lampu gedung yang secara beriringan mulai mematikan lampunya.

Dia mengembuskan napasnya dan tersenyum. “Kau benar.”

“Yep, aku ingin melakukan semuanya. Dan aku ingin semuanya.”

Akupun mulai mendekatinya, lebih dekat dari sebelumnya, dan menempelkan bahuku di bahunya. Kemudian, aku mulai menyandarkan kepalaku seperti orang yang mulai tertidur.

“Aku ini orang yang tamak, jadi aku akan mengambil semuanya, OK? Aku akan mengambil semua yang dihatimu, Yukinon.”

Aku memang orang yang tamak.

Hal-hal yang menyenangkan, menggembirakan, dan lezat; aku menyukainya. Aku tidaklah cakap dalam membuat kue, tapi aku tidak membenci proses pembuatannya. Aku selalu ingin mencoba kombinasi topping-toppingnya. Aku tidak peduli apabila hasilnya buruk. Enak atau pahit, aku sendiri tidaklah peduli.

Karena itulah, aku ingin bertanya kepadanya, hanya untuk kali ini saja.

Kalau dia diam saja, maka aku juga akan memilih diam. Tapi kalau dia melakukannya, maka aku akan melakukannya juga.

Aku tahu kalau ini tidaklah adil. Tapi kami bertiga semuanya sama; kita semua berperilaku tidak adil. Kita semua tamak, karena semua ingin keinginannya dipenuhi. Bahkan ketika kita tahu kalau kita tidak akan bisa memenuhiya. Bahkan jika permintaan itu adalah hal yang mustahil.

Tapi mungkin saja akulah orang yang paling tamak diantara semuanya.

Hal yang manis, pahit, menyakitkan, membuat stress, membuat luka, dan membuatmu cedera itu; aku menginginkan semuanya.

Kutegakkan posisi kepalaku sehingga aku bisa menatapnya secara langsung. Saking dekatnya, membuat kedua wajah kami bisa saja bersentuhan secara langsung.

“Jadi, Yukinon, bisa beritahu aku tentang perasaanmu saat ini?”

Ketika kutanya lagi, dia hanya mengembuskan napasnya. Dia tampak ragu dan bingung, dan kedua matanya menatap kejauhan. Bibirnya yang lembut secara perlahan terbuka, bulu matanya tambak bergetar hebat, dan wajahnya seperti hendak menangis saja.

Tapi aku sudah tidak bisa memalingkan pandanganku lagi. Selama ini aku selalu bersikap pura-pura tidak melihat sesuatunya, pura-pura tidak sadar, dan pura-pura tidak tahu. Tapi, sekarang tidak bisa kulakukan. Aku hanya duduk dan terus menatap ke arahnya.

Rambutnya yang indah, matanya yang sembab, dan wajahnya yang pucat adalah sesuatu yang terus kulihat sedari tadi.

Dia lalu menutup bibirnya rapat-rapat, seperti mencoba menggigitnya, lalu melihat ke sekelilingnya. Sepertinya hanya ada kami berdua saja di depan Stasiun, dan tidak ada satu orangpun yang bisa mendengar pembicaraan kami. Kemudian, dia secara perlahan menggerakkan tubuhnya untuk mendekatiku, seperti masih khawatir kalau akan ada orang asing mendengar percakapan kami. Dirinya yang malu-malu ini mengingatkanku dengan seekor anak kucing.

Dia menaruh tangannya di mulut seperti hendak membisikkan sesuatu, kata-kata yang mungkin tidak ingin kudengar.

Meski begitu, aku tetap tersenyum. Wajah, mulut, dan bahkan pandanganku tampak mulai melunak ketika dia melakukannya.

Tiba-tiba dia bergerak menjauh dariku. Meski wajahnya tampak khawatir dan takut, wajahnya terlihat memerah.

Melihat ekspresinya yang seperti itu, aku mulai bingung harus merespon apa.

Karena jika aku memilih untuk membenci yang barusan dia katakan, maka ini akan sangat mudah bagiku.



x x x



Aku mengatakannya. Benar-benar mengatakannya, meski aku tidak pernah merencanakan untuk mengatakan itu.

Karena ketika aku mengatakan itu dan mengakuinya, maka sesuatunya tidak akan pernah sama lagi. Semua yang sudah dibungkus rapi akan berhamburan keluar seperti air yang keluar dari tabung atau seperti balon yang ditusuk jarum.

Karena itulah, aku memilih diam. Kalau saja kutelan begitu saja kata-kataku tadi, maka semuanya akan berjalan seperti dulu lagi. Tapi, tatapan matanya tidak menginginkan itu.

Ini pertamakalinya aku memberitahu seseorang tentang hal yang semacam ini, dan aku yakin kalau ini adalah yang terakhir kalinya.

Kira-kira seperti apa ekspresinya? Apa yang akan dia katakan padaku nanti? Itulah pertanyaan yang ada di kepalaku ketika aku menatapnya, dan dia hanya membalasku dengan tersenyum. Dia seperti menerima kata-kataku dan mengangguk, tanpa memberikan balasan apapun.

Ini juga pertamakalinya kata-kata semacam itu keluar dari mulutku, tapi sepertinya dia sudah tahu sejak dulu. Meski begitu, dia memilih untuk menungguku siap terlebih dahulu, untuk memberitahukan itu kepadanya.

“Oke, aku akan mengatakannya juga.”

Secara perlahan, dia menutup kedua matanya, menaruh tangannya di bahuku, dan menggunakan tangan satunya untuk menutupi mulutnya.

Gel kuku yang memanjang dari jari jemarinya yang kurus itu, wajahnya yang kemerahan, bibirnya yang glossy dan puffy, dan bulu matanya yang lembut itu; semua bagian dirinya terlihat manis, fashionable, dan indah itu terasa sangat dekat sekali denganku, seakan-akan hendak menciumku.

Ketika hal-hal yang tidak seharusnya muncul itu tiba-tiba terpikirkan, membuatku mulai diliputi rasa malu dan hendak menjauh saja. Tapi, kutahan dan mencondongkan tubuhku ke arahna.

Kemudian, dia membisikkan sesuatu di telingaku, seperti bermain “gigit-menggigit” ala anak anjing.

Aku yakin, kata-katanya tadi adalah sesuatu yang ingin kudengar darinya. Akupun bernapas lega dan mulai menjaga jarak untuk menenangkan pikiranku.

“Kupikir, keinginan kita berdua sama.”

“Kau benar...”

Setidaknya, itulah hal yang kita yakini masing-masing.

Tapi aku yakin akan sangat sulit dikabulkan persis seperti apa yang kita inginkan. Karena itulah, aku memilih yang mendekati hal itu. Aku ingin percaya kalau itu akan terpenuhi suatu hari nanti, mungkin, di hari dimana aku bisa menangani sesuatunya dengan lebih baik.

Dengan harapan-harapan tersebut di pikiranku, akupun mengangguk. Tapi, dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku sendiri tidak tahu apa maksud gesturnya itu. Akupun memasang ekspresi tanda tanya kepadanya, hanya saja yang keluar darinya adalah sesuatu yang berbeda dari topik yang kita bahas saat ini.

“Kupikir, yang diinginkan oleh Hikki juga sama.”

Ketika tiba-tiba dia menyebutkan nama itu, tubuhku tiba-tiba diam membeku. Seperti hendak menenangkanku, dia secara lembut memegangi tanganku.

“Kupikir dia tidak ingin menyerah begitu saja.”

Dia membisikkan itu, namun dadaku serasa ditusuk oleh pernyataannya itu. Entah mengapa, bahuku mulai menurunkan posisinya. Ketika kulihat, dia sedang menatap ke arah bintang-bintang di langit.

“Menurutku, jarak yang ada diantara kita bukanlah sesuatu yang terlihat secara fisik. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah, tidak peduli seberapa lama perjumpaan terakhir kita, jarak diantara perasaan-perasaan kita tidak akan berubah.”

“Begitukah...?”

“U huh, kupikir begitu...Tapi apabila perasaan kita berubah, maka kita akan merasa terpisah sangat jauh, tidak peduli seberapa dekat posisi kita saat ini.”

Kudengarkan kata-katanya secara jelas. Entah mengapa, kedua tangan kita saling menumpuk satu sama lain. Seperti dua orang yang sedang mengikat janji. Meski, tidak seluruhnya bagian tangan kita saling bersentuhan. Temperatur tubuh kita sebenarnya tidaklah begitu tinggi, begitu pula temperatur lingkungan di sekeliling kita tidaklah terlalu rendah.

Meski begitu, aku bisa merasakan kehangatannya.

“Kalau memang kita punya keinginan yang sama, apakah kau bisa mengambil segala hal yang ada di hatiku itu?”

“Ya, suatu hari nanti, pasti.”

Respon yang pendek keluar darinya: Dengan begitu, kita bisa bersikap seperti tidak ada satupun yang berubah.

Kalau tidak ada yang berubah, bukankah itu indah?

Ketika kata-kata kami mulai berubah menjadi setitik kehangatan di tempat ini, aku mulai menutup kedua mataku dengan penuh pengharapan.

Aku tidak akan melupakan kehangatan ini. Karena itulah, aku tidak akan melupakan rasa dingin yang kuterima ketika kedua tangan kami berpisah nanti.





x Interlude IV | END x





Lama tidak mengerjakan translasi karena saya mengambil cuti dan berlibur ke Jogja hahaha.

...

Monolog Yui : Selama ini aku selalu bersikap pura-pura tidak melihat sesuatunya, pura-pura tidak sadar, dan pura-pura tidak tahu. 

Itu mengacu ke volume 10 chapter 7, adegan UKS. Disitu dia tahu kalau Hachiman menyukai Yukino, begitu pula sebaliknya.

...

Secara tidak langsung selama ini Yui hidup dengan memendam perasaan kalau pria yang dia sukai mencintai sahabatnya sendiri.

...

Monolog Yui: Karena jika aku memilih untuk membenci yang barusan dia katakan, maka ini akan sangat mudah bagiku.

Ayolah, kita semua bisa memahami perasaan dan monolog Yui ini. Bagi yang pernah mengalami cinta bertepuk sebelah tangan, acungkan jarinya!

...

Monolog Yukino : tapi sepertinya dia sudah tahu sejak dulu.

Ini mengacu adegan volume 11 chapter 7, dimana Yukino hendak memberikan coklat Valentine ke Hachiman, dan Yui sengaja pura-pura pergi agar Yukino memperoleh momen untuk memberikannya.

Masuk akal jika Yukino mulai berpikir kalau Yui sebenarnya tahu perasaannya kepada Hachiman.

...

Ini terjadi sebelum Yui mengundang Hachiman datang ke rumahnya untuk membuat kue Komachi.

Maka ending vol 14 chapter 3 sebenarnya ditujukan untuk Yui.

Apakah hidup yang seperti ini yang diinginkan Yui ke depannya?

Berusaha menghibur diri sendiri sementara dia tahu Hachiman tidak mencintainya. Hari-hari yang dilewatkan bersama-sama hanyalah upaya agar Hachiman berpaling dari Yukino dan mencintai eksistensinya.

Maka pertanyaan selanjutnya...Sampai kapan?

15 komentar:

  1. Stelah baca jadi makin pnasaran dn gak sabar nunggu anime nya, gua harap adegan so sweet pas hachiman nembak yukino ke adaptasi juga btw nice dn thanks utk translate nya min ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. gk bakal serbagus di LN bosq hhhh

      Hapus
    2. Gua harap bisa sebagus LN nya dn sesuai exspetasi gua wkwkk

      Hapus
    3. Emang dia udh nembak, chapter mana?

      Hapus
  2. Aku tidaklah cakap dalam membuat kue, tapi aku tidak membenci proses pembuatannya.
    Haahh

    Intinya persahabatan antara 2cw sama 1cwo itu gk mungkin, pasti salah satu cw harus ngalah #pengalaman 😁

    Thanks min

    BalasHapus
  3. nggak sabar baca volume 12, 13, 14 secara lengkap heheheh
    makasih banyak ya min.
    semoga sehat selalu dan bisa update terus tl nya.

    BalasHapus
  4. Di Volume 14 si Yui makin agresif bgt bahkan sampai ngibarin bendera perang ke Yukino, gua kira dia bakalan ngelakuin apa yg dia katakan di Vol 10.5 Ch. 3
    “...Aku benar-benar tidak suka melihatmu kesakitan, Hikki.”

    Tapi nyatanya malah sebaliknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwk di volume 13 lebih agresif, pgn nempel trus ama hikigay

      Hapus
  5. Terimakasih min updatenya.
    Keinginan Yui katanya ingin mengabulkan keinginan yukino, apakah Yui akan menepati janjinya itu ?

    BalasHapus
  6. Udah tamat ap blm min

    BalasHapus
  7. Nunggu chapter 7, chapter hachiman confession

    BalasHapus