Suhu yang dingin ini membuatku terbangun. Cahaya matahari pagi mulai menyinari kedua mataku yang masih mengantuk ini. Cahaya tersebut merupakan pantulan cahaya matahari dan atap rumah tetanggaku.
Pagi kali ini diselimuti kabut yang cukup tebal, mirip dengan situasi pikiranku saat ini.
Kubalikkan badanku dan melihat arlojiku. Jika hari ini adalah hari biasa, maka aku harusnya buru-buru untuk pergi ke sekolah, tapi karena sekarang ada ujian masuk, kami diliburkan. Jadi, kuputukan untuk merebahkan kepalaku lagi dan menutup kedua mataku.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu. Ujian! Ya, hari ini adalah hari kedua ujian masuk Komachi.
Kedua orangtuaku sudah berangkat kerja, jadi, mungkin, Komachi berangkat sendirian. Diriku langsung melompat keluar dari kasur, berlari ke luar ruangan, menuruni tangga, sambil sesekali menguap, akupun masuk ke ruangan itu.
Tampak Komachi yang hendak keluar rumah. Rambutnya yang mengkilap itu dihiasi oleh hiasan rambut bermotif bunga, dia sendiri memakai seragam yang sesuai dengan peraturan sekolah. Melihat kehadiranku di ruangan tersebut, dia-pun menaikkan tangannya.
"Oh halo Onii-chan!"
"Halo."
Akupun menjawabnya sambil berusaha duduk di kursi meja. Ternyata, disana sudah ada sarapan untukku, terbungkus plastik, dan segelas kopi.
Setelah menyapaku, Komachi lalu memeriksa isi tasnya. Sepertinya, itu semacam pemeriksaan terakhir sebelum pergi keluar. Lalu dia membuka kotak pensilnya dan mendapati kartu identitas peserta ujian dan alat-alat tulis. Setelah yakin akan isinya, dia menutup kembali tasnya dan menepuknya beberapa kali. Tas yang kurang berisi tersebut mulai bergantung di punggungnya, ekspresi sebuah tas yang terlihat menyedihkan. Ekspresi tas semacam itu seperti memberitahuku kalau periode ujian akan segera berakhir.
Kalau merunut jadwalnya, kemarin adalah ujian tulis, dan hari ini adalah ujian wawancara. Karena itulah, buku-buku pelajaran dan kamus tidak diperlukan pada hari ini.
Sekedar informasi saja, tes wawancara ujian masuk SMA di Chiba
Karena itulah, kita bisa simpulkan kalau semuanya sudah ditentukan pada hari pertama ujian. Meski secara teori begitu, seperti kebanyakan peserta ujian lainnya, Komachi juga belajar menjawab pertanyaan wawancara dari buku panduan ujian wawancara.
Memang metode semacam ini sangat bagus, tapi tetap saja kurang bagus jika dari pagi mulai cemas karena takut memberikan jawaban yang salah, dan akhirnya kebingungan pada waktu wawancara.
"Pagi, bagaimana hari ini?"
Aku menyapanya dengan sapaan yang seramah mungkin, dan menanyakan hal tersebut. Kuminum sedikit kopi yang sudah disiapkan tersebut, berusaha terlihat senormal mungkin. Komachi sendiri menatapku dengan sedikit terkejut, lalu menaruh jari-jarinya di dagu, dan memiringkan kepalanya.
"Hmm...Ya begitulah, kupikir ini sudah terlambat kalau hendak mencemaskan sesuatunya."
Dia mengatakan itu dengan tenang, lalu tersenyum.
Bagus! Dia sepertinya sudah membulatkan tekadnya, siap untuk apapun yang terjadi dan dihadapi dengan tenang. Yang semacam ini memang cocok disebut muka patung. Secara keseluruhan, aku lega melihat Komachi dalam kondisi yang cukup tenang, tapi tidak ada jaminan kalau sesuatu yang tenang itu akan menghasilkan hal yang bagus.
"Lagipula, hampir semua hal yang berkaitan dengan ujian masuk ini sudah diputuskan pada ujian kemarin."
Komachi mengatakan itu sambil tersenyum, dan aku sendiri agak khawatir, kadang usaha untuk membuat perasaan menjadi tenang bisa menghasilkan sebuah kesunyian.
Komachi tampak tenang untuk saat ini, setenang permukaan danau, tapi embusan angin yang lemah bisa membuat ombak pada permukaan tersebut. Jadi, yang kau butuhkan adalah membicarakan sesuatu yang topiknya terasa netral. Saatnya kita bergerak maju: escape from future. Tapi aku sebenarnya tahu kalau kebenaran dan kecerdasan bawaan di acara itu adalah sebuah kesalahan.
[note: sebuah reality show dimana para peserta dikurung dalam sebuah ruangan dan harus menyelesaikan permainan-permainan agar bisa keluar dari sana.]
"Kalau kau sudah selesai dengan ujiannya, cari makan yuk!"
Kutambahkan gula dan susu ke kopi yang hangat tersebut, warnanya sudah tidak jelas apakah hitam atau putih, lebih tepatnya coklat, dan aku suka itu. Komachi sendiri tampak tersenyum, bahkan menunjukkan gigi-giginya kepadaku.
"Oh, itu pasti menyenangkan sekali."
Akupun tersenyum ke arahnya, dan dia mulai menepuk kedua tangannya, dan menaruh tangannya di dagu.
"Mendengar ditraktir kakakku seperti itu, membuatku ingin berusaha lebih keras lagi!"
Cukup memalukan! Komachi akan mendapatkan banyak sekali poin dariku!
"Maksudku, yang membuatku termotivasi adalah traktirannya, dan kalau tidak ditraktir, maka poinnya akan kecil sekali..."
Ngomong-ngomong, sepertinya aku sudah menghabiskan hampir semua uangku kemarin...Tapi seperti katanya tadi, meski dia bilang becanda kalau akan berusaha, aku juga akan berusaha.
"Ya kalau itu bisa membuatku pergi dan makan diluar denganmu, maka aku akan mengusahakannya."
Akupun mengucapkan itu dengan nada candaan yang setengah sombong, seakan-akan aku pasti mampu mewujudkannya, dan Komachi malah melihatku dengan kedua matanya yang tertutup.
"Umm...Jujur saja, sebenarnya aku tidak berharap untuk makan diluar denganmu, tapi kalau kau yang membayar transport dan makan siangnya, aku akan mempertimbangkan itu."
Cukup! Jangan mengatakan itu dengan ekspresi yang serius! Memangnya apa yang kau harapkan dariku? Aku juga terluka, tahu tidak! Hanya itu yang bisa kutawarkan kepadamu, Komachi!
Ouch...Sikapmu barusan sudah menyakitiku...Bahkan aku hampir saja menangis, namun Komachi malah menambahkan kalimat terakhir tersebut. Ngomong-ngomong, sejak kapan aku juga harus menanggung biaya transportasinya juga?...Ada apa sih dengan dia, apa dia meniru itu dari sikap orang dewasa?
Ya ampun, Komachi-ku sudah beranjak dewasa...Akupun melihat ke Komachi dan diapun tersenyum.
Dia sendiri sedang tertawa melihat ekspresiku saat ini. Dia lalu membetulkan posisi tas ranselnya lagi, lalu mengambil handphonenya sambil pergi meninggalkan ruang keluarga.
"Ya sudah, nanti kukabari setelah semuanya selesai."
"Oke. Sambil menunggu antrian wawancara, mungkin kau bisa memikirkan nanti hendak mau makan apa."
Ya sebenarnya itu sekedar taktik saja agar dia tidak terlalu tegang ketika hendak wawancara. Sambil mengantarnya ke pintu keluar, aku sendiri tidak mempermasalahkan apakah dia mengerti maksudku tadi atau tidak.
Dia lalu memakai sepatunya, dan seperti hendak memastikannya lagi, dia menginjak-injak lantai beberapa kali. Dia lalu membalikkan badannya.
"...Oke, aku pergi dulu."
Dia cukup tenang dan entah mengapa, senyumnya itu terlihat sangat dewasa bagiku. Aku sendiri paham, pendapatku itu hanyalah pendapat sepihak untuk memuaskan egoku saja. Meski begitu, dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang memahamiku, meski aku tidak perlu mengatakan apapun kepadanya.
"Aku pergi dulu!"
"Yeah, hati-hati di jalan."
Komachi akhirnya pergi. Langkahnya yang terdengar lambat, mulai terdengar cepat di kejauhan.
Sekarang, sambil memeriksa situs review restoran, kurasa aku juga harus siap-siap pergi.
x x x
Mendekati jam makan siang, aku menuju ke stasiun terdekat dengan SMA Sobu sembari membuang waktu hingga ujian Komachi selesai.
Aku sendiri tidak tahu kapan ujian Komachi akan selesai. Pada hari kedua ujian, jadwalnya hanya ujian wawancara saja. Peserta ujian juga diperbolehkan langsung pulang setelah wawancara selesai. Karena itulah, kapan Komachi selesai akan menjadi teka-teki karena aku sendiri tidak tahu berapa nomor ujian dan antrian yang dia tempuh saat ini. Lagipula, peserta ujiannya sendiri pasti dipenuhi banyak hal di pikiran mereka masing-masing karena ujian wawancara ini, jadi mereka sendiri tidak bisa mengetahui pasti kapan mereka akan selesai dengan itu.
Kalau memang seperti itu, maka sudah jelas apa yang akan kulakukan saat ini.
Aku akan menunggu di dekat SMA Sobu. Sang Hachiman akan menunggu seperti Aming dan Yuming. Aku memang jago untuk bersikap imut.
Sebenarnya, aku merasa kurang nyaman kalau aku mengendap-endap di bawah pepohonan, memanggil "Komachi..." atau mengagetkannya seperti yang dilakukan Kakak Hoshi Hyuuma. Pasti aku akan di-cap jelek. Gara-gara itu, nantinya akan ada gosip antar tetangga yang topiknya tentang keluarga Hikigaya. Ciri khas kami adalah pakaian hitam! Tapi apakah kita sebenarnya terlalu berlebihan kalau membicarakan tentang pakaian hitam?
Karena itulah, aku merasa kurang nyaman jika nantinya timbul gosip gara-gara hal tersebut. Itu pula yang melatarbelakangi keputusanku untuk menunggu Komachi di dekat tempat ujian.
Hal tersebut membawaku ke Marinpia, karena lokasinya tepat di sebelah Stasiun Inagekage! Sekarang aku sedang berada di Aeon, dimana dulunya daerah ini bernama Jusco. Aku akan melihat-lihat isi dari toko buku ini. Setelah membeli buku, aku berencana menghabiskan waktu di Saizeriya yang juga berada di dekat Stasiun. Pokoknya wajib ke Saize! Ke Saize sendirian-pun bukanlah sebuah masalah bagiku.
Juga, karena Saize di Inage ini berlokasi di lantai 2 gedung seberang, memiliki posisi yang bagus untuk mengamati lalu-lalang pejalan kaki disini. Yep, ini adalah rencana yang sangat sempurna untuk menemukan bocah yang memakai seragam SMP dan pulang dari ujian masuk!
Harusnya aku juga dipertimbangkan untuk disebut jenius karena sudah merencanakan untuk menghabiskan waktuku hari ini disini...Sambil mengagumi bakatku itu, akupun mulai berjalan keluar.
Aku mulai menggigil setelah diterpa embusan angin dingin dari laut. Bahkan jika anginnya sendiri tidak sedingin ini, embusan semacam ini menurutku agak...
Ah sudahlah. Kurapikan syalku kembali, melilitkannya ke leherku, dan mengubur sebagian wajahku di syal tersebut.
Ketika sedang membetulkan syalku, tiba-tiba aku melihat sesuatu yang familiar. Tepat samping pintu keluar Marinpia, ada Kafe San Marc, dan kursi yang berada di pojokan Kafe tersebut, dimana kursinya menghadap ke kaca luar Kafe, ada rambut ponytail yang berwarna hitam kebiruan sedang bergoyang-goyang.
Aku menggumamkan "Hmm?" ketika menatap ke arah gadis tersebut. Tampaknya rambut ponytail tersebut sedang bersama gadis kecil yang berambut hitam kebiruan, namun dengan potongan pigtails. Gadis kecil tersebut sedari tadi tampak melompat-lompat, sedang si gadis ponytail sedang membersihkan noda di hidung gadis kecil tersebut.
Hanya satu orang yang terbayang olehku ketika melihat gadis kecil tersebut. Yaitu Kawasaki Keika. Kalau begitu, gadis yang sedang bersamanya pasti...Betul, Si Kawa-sesuatu!
Meski begitu, kenapa dua bersaudari itu tampak akrab sekali ya? Berbeda dengan dua saudari lain yang kukenal. Tanpa sadar, aku sedari tadi mengamati momen-momen hangat Kawasaki bersaudari. Sedang disana, sepasang mata tampak berkedip-kedip dan terbuka lebar ketika tatapan kami saling bertemu.
Keika membuka mulutnya lebar-lebar dan menunjuk ke arahku, yang berada diluar Kafe. Lalu, dia tampak senang dan bersemangat. Ya ampun, apa-apaan barusan? Itu manis sekali...
Tapi, ini bukan saat yang tepat untuk terus menatap Keika yang manis, karena Kawasaki langsung menyadari hal tersebut dan kini dia sedang menatapku dengan tajam. Kami mulai menyapa, lalu setelah itu hanya diam mematung. Kita berdua seperti patung Jizo. Kalau terlalu lama seperti ini, bisa-bisa kita akan diberi topi caping, bahkan diberi makanan sesembahan oleh warga sekitar. Momen Jizo seperti ini juga bisa dimanfaatkan untuk mencari sebuah jawaban yang belum terjawab. Mumpung sedang berada dalam momen tersebut, mari kita gunakan itu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Pertanyaannya begini:
Apa yang harus kau lakukan ketika kau bertemu teman sekelasmu ketika sedang jalan-jalan di pusat kota?
Lalu muncul banyak pilihan, dimana aku harus menentukan mana tujuh jawaban yang benar dari jawaban-jawaban yang sudah disediakan tersebut. Kalau salah tiga kali, maka kau akan dikeluarkan! Seperti Manga Nanamaru San Batsu!
Biasanya, pura-pura tidak tahu kalau kita teman sekelas adalah hal yang paling benar, lalu tidak perlu bicara banyak dengan orang itu. Lagipula, makna teman sekelas sendiri bukanlah sebuah hubungan yang dekat, karena itulah akan lebih baik jika yang dilakukan hanyalah sapaan basa-basi lalu pamit pergi. Berlaku pula jika seandainya kita adalah teman dekat, karena kita bisa bertemu setiap hari, maka tidak ada urgensi untuk bicara panjang lebar, dan tidak akan ada masalah jika langsung pamit pergi begitu saja.
Kampret, kalau dipikir-pikir lagi, mau ketemu siapapun itu, jawabannya tetap langsung pamit pulang.
Dengan pertimbangkan itulah, jika seandainya aku langsung kabur dan pulang ke rumah, maka itu adalah hal yang lumrah. Masalahnya, ini adalah Kawasaki.
Tiba-tiba aku mulai memikirkan seperti apa hubungan kita selama ini, dan entah mengapa kakiku mulai berhenti bergerak. Mungkin, dia juga memikirkan hal yang sama, dan meski dia berada dibalik kaca Kafe, aku bisa tahu kalau wajahnya memerah. Ini mirip dengan momen ketika kau bertemu dengan kucing peliharaanmu yang berada di luar rumah. Jarak yang sangat pas, saking pasnya ketika kau melangkahkan kakimu selangkah lagi, maka dia akan langsung berlari ke arahmu.
Situasi seperti inilah yang membuat posisiku hanya bisa mematung saja, membuatku seolah ingin berteriak minta tolong seperti yang dilakukan aktor Tsutsumi Shinichi.
Siapa saja, tolong aku...!
Ketika aku mulai menyalakan aplikasi Akusa Direct untuk meminta tolong, pertolongan pertama yang datang ternyata bukan dari Akusa, tapi Keika.
Sambil tersenyum, dia mengibas-ngibaskan tangannya untuk memberitahuku agar aku masuk ke dalam. Biasanya, kalau aku diundang, aku akan menolak dan berkata "Kalau memang bisa, nanti aku akan datang."
Tapi pada akhirnya, aku menerima permintaan gadis kecil tersebut, karena itulah yang harusnya dilakukan oleh Hikigaya Hachiman.
Tapi, gadis ini memiliki sedikit pengecualian! Pengecualian yang merepotkan! Mau dia yang mengajak atau bagaimana, kalau pengawasnya tidak memberi ijin, bisa-bisa aku dilaporkan ke polisi!
Aku masih bimbang apakah aku harus minta ijin dahulu ke pengawasnya atau tidak. Kulihat Kawasaki mulai berbicara kepada Keika dengan tatapan yang kurang nyaman, lalu mulai menahan-nahannya. Tapi, Keika tampak kesal dan memalingkan wajahnya. Melihat hal tersebut, mambuat Kawasaki mengembuskan napas kecilnya.
Setelah itu, dia mulai merapikan barang-barang bawaannya dan menaruhnya di samping kursinya, lalu dia mulai menoleh ke arahku. Bibirnya seperti hendak membisikkan sesuatu kepadaku.
Sepertinya, dia hendak mengatakan "Masuk ke dalam?". Tapi dia tiba-tiba memalingkan pandangannya, akupun masih belum bisa mengartikan jelas apa yang hendak dia katakan.
Ya kalau aku memang diijinkan, maka aku akan menyambutnya dengan senang hati. Aku akan masuk dan membuka pembicaraan dengan sapaan umum seperti Mipyo Kopyoko berulang-ulang, lalu menggabungkannya dengan Pikyo pikyo komupyoku pikyo.
x X x
Setelah masuk ke Kafe, aku mulai mengembuskan napas lega.
Kupikir responku barusan itu karena perbedaan temperatur ruangan, tapi jujur saja, itu karena aku melihat sebuah senyuman bahagia di depanku. Karena aura dari Kawasaki Keika yang mulai menghangatkanku.
"Haa-chan!"
"Yo, lama tidak bertemu. Ah, sepertinya itu kurang tepat karena beberapa hari yang lalu kita sudah bertemu. Bagaimana kabarnya?"
Aku merasa seperti dua tahun tidak bertemu...Ketika kepalaku mulai dipenuhi nostalgia, aku mengelus-elus rambut Keika. Dia lalu tertawa dan menepuk-nepuk kursi yang berada di sebelahnya.
Sepertinya dia memintaku untuk duduk di sebelahnya. Benar-benar cara mengundang yang pintar, mulus, dan luar biasa...
Hmm, hmm. Mungkinkah dia berpikir kalau aku ini adalah seorang pria yang keren? Karena biasanya aku dianggap pria brengsek oleh kebanyakan orang, maka aku menerima undangannya dan duduk di samping Keika.
Maksudku, sebenarnya aku disini sudah tidak punya pilihan lain untuk duduk dimana. Atau lebih tepatnya, antara duduk di samping Keika atau duduk di samping Kawasaki yang agak menakutkan! Aku bisa terkena serangan jantung jika kedua bahu kami saling bersentuhan!
Oke, Stop! Aku sudah cape dengan semua perkelahian dan pemerasan! Sebenarnya, aku tahu kalau Kawasaki bukan orang yang suka memeras orang lain. Sayangnya, dulu tampilannya memang benar-benar menakutkan. Mau bagaimana lagi...
Karena itulah, sambil menenangkan diriku yang sedang berada di zona netral dan aman Keika, aku mulai membuka pembicaraan.
"Jadi, apa yang kalian lakukan disini...?"
Karena kita sendiri tidak tahu keperluan masing-masing, maka aku membawa sebuah topik yang tidak aggresif dalam situasi yang seperti ini. Sebenarnya, bertanya mengapa dia ke Aeon yang berada di dekat sekolahnya di masa Liburan adalah hal yang aneh. Biasanya, siswi SMA di Chiba akan menghabiskan waktunya di rumah, atau pergi ke Destiny land ketika liburan ujian masuk...
Hmm, hmm? Apakah gadis ini...Mungkin, adalah sebuah sebuah pengecualian?
Hmm, bukankah itu juga berlaku untukku?
"Kami...Pergi berbelanja, saat ini kami sedang istirahat sebentar..."
Kalau kulihat tas belanjaannya, aku bisa melihat daun bawang dan sejenisnya.
Tapi, mengapa harus belanja disini?
Kalau tidak salah ada supermarket dekat rumah Kawasaki...
Entah mengapa, pertanyaan-pertanyana tersebut tiba-tiba keluar dari mulutku.
"Hmm. Tapi kenapa harus belanja disini?"
"Karena kami dari dulu memang belanja disini."
Kawasaki, yang sedang memijit jari-jari tangannya sendiri, tampak malu-malu, lalu mengatakan itu sambil memalingkan pandangannya. Ketika dia mengatakannya, Keika yang berada di sampingku, tiba-tiba menaikkan tangannya.
"Karena Kartu Member Belanja!"
Sambil tersenyum, Keika menunjukkan sebuah kartu dengan gambar karakter anjing.
Ahh, mungkinkah gambar anjingnya yang membuat suara kartu ketika digesek itu agak mengganggu?
Ketika aku melihat Keika dengan tatapan hangat, Kawaski, yang sedari tadi tampak malu-malu, berbisik ke Keika untuk menurunkan tangannya.
Ya biasanya memang anak kecil kalau diajak belanja, akan diberi tugas untuk menekan tombol atau membawa kartu member...Sepertinya tugas itu sudah diberikan ke Keika dalam keluarga Kawasaki. Mungkin, mereka biasa pergi berbelanja setelah menjemput Keika di tempat penitipan anak.
Meski begitu, Aeon tidak hanya disini saja, tetap saja cukup merepotkan kalau harus belanja kesini. Akupun mulai memiringkan kepalaku sambil memikirkan jawabannya, seperti sudah membaca maksudku, Kawasaki lalu mengatakan sesuatu.
"...Sekalian, karena Taishi. Hari ini adalah ujian terakhirnya."
Dia mengatakan itu tanpa melihat ke arahku, tapi ke arah jendela luar.
Ah, begitu ya. Itukah alasanmu?
Aku pernah dengar kalau adik Kawasaki, Kawasaki Taishi, akan mengambil ujian masuk SMA Sobu. Dia mungkin mulai khawatir dengan Taishi karena sejak tadi dia hanya melihat ke arah kakiku saja.
Eh...? Memang kenapa...?
"Hei, tapi itu juga bisa digolongkan Brocon. Itu buruk sekali. Kau menderita sebuah penyakit."
"Ah? Aku tidak mau mendengarkan itu darimu."
"Agh."
Dia menatapku dengan tajam, seketika membuat tubuhku menciut. Meski sebenarnya aku tahu dia orang baik, dia tetap menakutkan meski sedang berbuat baik. Ketika memegangi bahuku, aku masih merasa menggigil kedinginan.
Efektivitas pemanas yang berada di dekat jendela tampaknya perlu dipertanyakan, aku masih bisa merasakan udara dingin yang berada di seberang kaca Kafe. Di suasana yang seperti ini, ditambah sedang mengobrol, aku merasa akan sangat sulit sekali untuk terus bersikap tenang.
Entah apa Kawasaki juga merasakan hal yang sama, dia sedari tadi hanya menatap ke arah luar kaca yang berada diantara diriku dan Keika. Secara otomatis, aku mulai melihat ke arah keika.
Keika sedang memegangi sebuah gelas untuk anak kecil dengan kedua tangannya, lalu meminum jus jeruk tersebut menggunakan sedotan. Tidak lama setelah itu, dia sudah meminum semuanya, dan tampak puas dengan apa yang baru saja dia lakukan.
Ketika kuamati, gelas Kawasaki sendiri juga kosong. Sepertinya, Kawasaki dari tadi memang menunggu Keika untuk menghabiskan minumannya. Kalau begitu, itu artinya mereka akan segera pulang sebentar lagi...Tepat ketika aku memikirkan itu, Kawasaki menatapku.
"Uhmm...Kau sendiri bagaimana?"
Pertanyaannya memang tepat sasaran, meski begitu aku merasa kalau itu hanyalah pertanyaan penutup sebelum mereka pergi. Kalau begitu, mungkin aku harus memanfaatkan peluang ini untuk memberi mereka kode kalau aku sebenarnya ingin pergi dari sini.
"Ah, aku tadi hendak mencari makan."
"Begitu ya..."
Jawaban Kawasaki seperti menandakan kalau itu adalah respon terakhirnya. Lalu dia menatap ke arah Keika dan menepuk punggungnya.
"Haa-cha...Err, Kakak ini bilang sebentar lagi mau pergi."
Dia sepertinya bingung hendak mengganti dengan sebutan apa.
Eh jangan.
Karena Keika memang menyebutku Haa-chan, harusnya tidak masalah dia menyebutku Haa-chan untuk menjelaskan sesuatu kepadanya. Tapi, dipanggil Kakak oleh Kawasaki membuatku malu...Sambil mengumpat kesal, aku merasa lenganku ditarik-tarik oleh sesuatu.
"Ehh, sudah mau pergi?"
Ketika kulihat, Keika sedang melihatku dengan tatapan sedih. Tanpa sadar, dia mulai menahan pergelangan tanganku. Hal ini membuatku kesulitan untuk berdiri...Aku seperti ditanya "Sudah mau pulang?" seperti karyawan baru di kantor.
Ketika memikirkan tentang apa yang harus kulakukan, Kawasaki, yang melihat interaksiku dengan Keika, mulai tampak kesal. Dia seperti hendak memanggil Keika sebentar lagi. Meski aku pernah melihat interaksi serupa waktu Event Memasak Coklat, tapi ini tetap menakutkanku.
Karena Keika sepertinya akan menjadi korban kemarahan Kawasaki, membuatku merasa bersalah dan tiba-tiba mengatakan sesuatu yang random. Menjadi tongkat petir dan Hirai Ken adalah keahlianku! Tunggu dulu, tampangku sepertinya tidak mendukung untuk itu.
"...Kalian mau ikut denganku? Aku hendak menuju ke Saize."
Kawasaki tampak terkejut.
"H...Huh? Ki-Kita tidak akan pergi kesana..."
"Hmm, sudah kuduga."
Biasa saja. Sudah hal umum dan tertulis jelas di internet kalau para gadis tidak suka pergi ke Saize bersama teman prianya. Penyebaran informasi di internet memang benar-benar cepat; info-info yang sulit kaudapatkan bisa kau temukan disana. Akupun mulai berdiri sambil membelai kepala Keika. Namun, muncul suara pelan yang ditujukan untukku.
"...Ah, tunggu."
Akupun menoleh ke arahnya sambil mengucap "Hmm?". Wajah Kawasaki memerah, sambil merendahkan pandangannya, dia menggumam kepadaku.
"...Ki-Kita juga bisa memesan teh disini."
"Eh? Ah, ya. Kurasa tidak masalah kalau teh disini..."
Entah mengapa kata-kataku barusan mulai terdengar ramah, dan akupun mulai duduk kembali di kursiku. Keika sendiri mulai tampak senang dan mulai menyandarkan tubuhnya kepadaku.
Kampret.
Aku sudah kehilangan peluangku untuk kabur...Kalau sudah begini, artinya aku harus pesan minuman juga.
"Apa kau mau memesan minuman juga?"
Sambil berdiri, akupun bertanya kepadanya. Kawasaki kemudian menatap tangan Keika.
"Ah, eh, ka-kalau begitu, coklat panas...Dan juga es kopi."
"Oke."
Seperti dugaanku, sebagai seorang kakak, dia akan memikirkan minuman Keika terlebih dahulu sebelum minumannya sendiri. Melihat momen ini hampir membuatku tersenyum sendiri, tapi untuk menyembunyikan ekspresi tersebut, aku menutupinya dengan melakukan perjalanan menuju tempat pemesanan.
Setelah memesan dan menerima pesanannya, akupun membawa nampan yang berisi coklat panas, es kopi, dan latte panas tersebut. Ada hal yang tak terduga disana, yaitu aku membeli coklat croissant.
Ketika kembali ke meja, Keika menatap croissant tersebut dengan mata yang berbinar-binar. Persis seperti Sonny Chiba, dia juga mengeluarkan suara "Waaaaah". Sesuai dugaanku, anak kecil lemah terhadap makanan manis. Aku sangat berpengalaman dengan anak kecil, jadi aku tahu cara mengambil hati anak kecil.
Bukannya sombong, aku adalah Child-Meister.
Karena itulah, saat ini, aku mengucapkan kata-kata yang sangat ingin didengar oleh Keika.
"....Mau ini?"
Keika lalu menatapku dengan kedua bola matanya yang berkaca-kaca. Heh, sepertinya rencanaku sukses...Aku ini seperti seorang politikus yang tiba-tiba mendadak peduli terhadap lansia dan jaminan pensiun ketika sudah dekat dengan hari pemilihan, orang yang tega mencari popularitas dengan cara seperti itu. Juga, aku bisa disebut sebagai pria yang sangat peduli dengan situasi politik dan pemilihan selanjutnya dengan melibatkan partisipasi calon pemilih di masa depan. Menko-Polhukam, apa anda melihat yang sedang kukerjakan saat ini?
Keika sendiri tidak menyadari strategiku karena sudah diliputi perasaan senang.
"Aku mauuu! Karena itulah aku sayang Haa-chan!"
Ketika dia meneriakkan itu, dia menepuk-nepuk lenganku.
"Haha, tentu, tentu. Ngomong-ngomong, kalau kau mempraktekkan sentuhan yang sama ke orang lain di masa depan, banyak pria yang nantinya akan salah paham dalam mengartikannya, jadi tolong selanjutnya jangan lakukan itu ke orang yang tidak dikenal."
"Siaap! Aku cuma melakukannya dengan Haa-chan!"
Oh tidak, gadis kecil ini sudah stadium gawat. Dia sudah menguasai kekuatan untuk membuat jantung seorang pria berdetak kencang. Menakutkan sekali...Akan tiba masanya dimana ketika aku mulai menjelaskan tentang hal-hal semacam ini, para pria di dunia ini sudah dibuat gila olehnya, dan Keika sudah dianggap sebagai seorang pembunuh massal yang legendaris...Korban pertama yang tercapat pastilah namaku. Demi perdamaian dunia, aku harus menghentikan teror ini. Ketika aku mulai serius terhadap misiku ini, salah seorang pendukung teror ini terlihat mengembuskan napas kecilnya.
"Kau jangan ajarkan yang tidak-tidak ke anak kecil..."
Kawasaki lalu menjulurkan tangannya, menyentuh kepala Keika dan berusaha memisahkannya dariku. Lalu, dia mendekatkan tubuhnya ke arahku seperti hendak membisikkan sesuatu.
"Maksudku, uhm...Harusnya aku melarangnya tadi."
"Eh, apa?"
Memangnya kenapa?
Oh, aku tahu. Mungkinkah kau berpikir kalau aku berusaha menjalankan rencana Hikaru Genji dengan mengambil hati Keika sehingga aku bisa membesarkannya menjadi seorang wanita yang anggun? Aku akan menganggapnya sebagai kritik biasa, sebagaimana lagu Colombus oleh Hikaru Genji yang sering dikritik oleh berbagai kalangan.
Ketika masih memikirkan alasannya, Kawasaki menatap ke luar jendela, menatap pemandangan matahari pagi.
"Soalnya, ini masih belum siang..."
"Ah, iya..."
Begitu ya.
Bocah biasanya memiliki perut yang kecil. Kalau saat ini dia makan sesuatu, maka ketika jam makan siang perutnya akan masih merasa penuh. Aku sendiri tidak tahu siang nanti mereka akan makan apa, tapi aku memang seharusnya tidak boleh merepotkan kakaknya. Istilah bahasa inggrisnya, No Ninja.
Tapi...Tapi begini.
Aku membeli coklat croissant ini untuk memperoleh perhatiannya...Ketika memikirkan jalan keluarnya, aku menemukan sebuah ide. Sambil menaruh nampan tersebut di depan Keika, akupun membisikkan sesuatu kepadanya.
"...Begini, sebentar lagi aku bagi dua kuenya denganmu, jangan sampai terlihat oleh kakakmu ya."
"Shiapp! Tidak akan kuberitahu!"
Ketika aku menunjukkan gestur "ssttt" dengan menaikkan jari telunjukku di depan mulut, Keika juga meniru gesturku. Kerjasama rahasia ini adalah jalan terbaik dimana dia akan tetap membuat kontrak dengan Sang Iblis.
"Aku masih bisa melihat kalian dengan jelas..."
Keika sendiri mulai memakan coklat croissant yang sudah dibagi dua tersebut, sementara di seberangnya aku mendengar suara-suara ketidakpuasan. Kedua mata Kawasaki tampak menatapku dengan amarah yang berapi-api.
"Kau jangan terlalu sering memanjakannya."
"...Bu-Bukan begitu, aku sebenarnya sesekali saja melakukan ini, oke?"
"Apa bisa dikatakan sesekali kalau kenyataannya tiap kali selalu begitu?"
"Bukan tiap kali begitu...Keika ini semacam...Spesial. Seperti Komachi."
"...Kau harusnya berkaca dahulu sebelum berbicara."
Kedua bola mata birunya kini menatapku dengan tajam.
Suasananya bertambah panas. Ya ampun, dia dingin sekali! Apa sih maumu? Apa karena kau berpikir kalau dirimu setidaknya hanya nomer tiga di daftar tersebut?
...Aku tidak paham sama sekali dengan pikiran para gadis. Dia seperti memintaku untuk menebak apa alasan dia kesal kepadaku. Apapun jawabanku, pasti akan salah. Ketika aku mulai kesal juga, Kawasaki mulai menatap kejauhan dan berkata.
"Aku senang kau mau bermain bersama Keika, tapi bukan berarti kau harus terus-terusan memanjakannya..."
"Ah, maafkan aku."
Spontan saja aku meminta maaf tanpa berpikir panjang. Kurasa tidak wajar jika sebelumnya kau dipenuhi emosi lalu tiba-tiba terdiam...Kalau itu terjadi, maka kau sudah kehilangan momentum untuk mengatakan hal-hal selanjutnya.
Karena itulah, sepertinya Kawasaki sudah tidak ingin memperpanjangnya lagi. Karena itulah, kami berdua hanya diam saja sedari tadi.
Merasa kesunyian ini adalah keanehan, Keika tiba-tiba melihat ke arah kami dengan ekspresi penasaran, bibirnya tampak belepotan dengan coklat.
"Kalian jangan bertengkar."
"Kami tidak sedang bertengkar. Kei-chan, kesini."
Sambil tersenyum, Kawasaki mengambil tisu basah dari tas belanjaannya dan membersihkan bibir Keika. Karena puas melihat situasinya kembali kondusif, Keika kembali menikmati coklat croissant-nya.
Menurutku, ini bukan karena Kawasaki marah. Sebenarnya, Kawasaki kalau marah akan lebih seram dari ini...Saking seramnya, momen Yukinoshita dan Miura yang dulu sedang berdebat hanya terlihat seperti dua orang sedang berbincang santai.
Tapi, aku sendiri berpendapat kalau Kawasaki yang sekarang lebih ramah dari yang dulu.
Kalau dulu, membawa pedang kayu, rantai dengan bola berat di ujungnya akan terlihat lebih cocok dengan Kawasaki. Tapi belakangan ini, tas belanjaan dan daun bawang juga tampak cocok untuk dibawa olehnya.
Dia bersama seorang gadis kecil yang tampak mirip dengannya, di Kafe Saint Marc, dan tampilan yang seperti itu memang terlihat seperti seorang Ibu Muda. Kampret, pikiranku barusan seperti gambaran pikiran seorang kriminal.
Gara-gara pemikiran itulah, kini aku mulai menyadari kalau orang-orang di sekitar melihat kami seperti sebuah keluarga muda saja. Seringkali kau melihat pengunjung Aeon adalah keluarga muda sekitar sini yang mengendarai mobil minivan semacam Nissan Elgrand atau Toyota Alphard. Para orangtua muda yang film favoritnya adalah Naruto dan One Piece, dashboard mobil dengan hiasan-hiasan boneka berbulu, dan pewangi interior mobil yang ditaruh di bawah cermin tengah.
Cukup aneh, seorang Hikigaya Hachiman sampai berpikir sejauh itu.
Keika masih memakan coklatnya, yang membuat wajahnya belepotan lagi, sedang Kawasaki hanya melihatnya sambil menopang dagunya di atas meja.
Karena pemandangan inilah, aku mulai merasa kurang nyaman dan mulai melihat ke arah jendela.
Diluar, aku melihat banyak anak sekolahan yang berseragam. Sepertinya, sesi ujian wawancara sudah berakhir.
Kawasaki sendiri sepertinya sudah menyadari itu dan sedikit terkejut.
Aku mulai memikirkan Komachi. Mereka yang kulihat itu adalah saingan Komachi semua, musuh Komachi, sehingga aku mulai memikirkan cara-cara untuk menghancurkan mereka semua. Karena itulah, dimulai dari target yang paling lemah diantara mereka, yaitu seorang anak laki-laki yang berada di dekat Komachi!
Betul sekali, Kawasaki Taishi! Mari kita mulai mengumpulkan data-datanya terlebih dahulu.
"Bagaimana kabar Taishi?"
"...Entahlah."
Kawasaki hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dia harusnya The Bratofilka, yaitu orang yang tahu tentang apa yang dipikirkan oleh saudaranya. Tapi yang terjadi hanyalah celotehan gerutu tentangnya,
"Dia tidak suka ketika aku bertanya soal itu kepadanya."
"Ah, maklum sih kalau dilihat dari usianya..."
Aku mengerti perasaan Taishi. Sebenarnya ini tidak hanya karena usianya saja, tapi bisa juga karena emosi yang muncul akibat keluarganya mulai ikut campur dengan urusannya.
Misalnya, kau bisa bercerita kepada temanmu tentang hal-hal yang menurutmu menyenangkan, tentang hutang-hutangmu, tentang gajimu yang kecil, atau menjadikan dirimu sendiri bahan lelucon.
Itu memang berhasil, tapi tidak jika kau bercerita ke keluargamu.
Keluargamu tidak akan merespon sebagaimana mestinya. Malahan, mereka akan menatapmu dengan serius, sambil bertanya apakah kau baik-baik saja, apa kau baru saja melalui sesuatu yang berat?
Yang kau inginkan hanyalah tidak ingin membuat mereka khawatir, tapi yang kau dapatkan adalah anggapan-anggapan diluar itu atau sikap mereka yang kurang percaya dengan penjelasan-penjelasanmu.
Meski begitu, seberapa keras seorang anak laki-laki berusaha menyembunyikan ini dan itu, Ibunya tetap mengetahui itu. Seperti layaknya seorang Ibu, Kawasaki mengangguk dan mengucapkan sesuatu.
"Tapi, kalau jawabannya dicocokkan, kurasa nilainya sekitar 80 persen."
"Aneh sekali kau bisa tahu sampai sejauh itu..."
Menakutkan sekali, Ibu memang selangkah di depan. Kenapa Ibu selalu bisa tahu tempat putranya menyimpan buku rahasianya?
Maksudku begini, Bro, kau tidak memberitahu kakakmu, bukan? Apa kau tidak merasa aneh kalau kakakmu bisa tahu sejauh itu?
Sambil menatapnya dengan keheranan, Kawasaki lalu memalingkan pandangannya.
"Ah, bukan begitu, dia memberitahu Kei-chan..."
"Yup, kakak bilang nilainya sekitar 396 poin."
Keika, yang mendengarkan percakapan kita sedari tadi, tampak membusungkan dadanya karena menjawab hal tersebut.
Taishi pasti kesulitan untuk memberitahu kakaknya, tapi dia dengan mudahnya memberitahu adiknya, huh? Meski begitu, seorang bocah bisa mengingatnya dengan detail. Luar biasa, bukan? Benar tidak? Ketika kulihat Kawasaki, lagi-lagi dia memalingkan pandangannya.
"Lagipula, rumah kami bukanlah rumah yang besar, semuanya bisa terdengar jelas."
"Ah, begitu ya."
Jadi, sebenarnya dia sendiri mendengar dan melihat langsung.
Secara umum, aku mulai mendapatkan gambaran nilai Taishi. Tapi, karena ini adalah "mencocokkan sendiri", biasanya kau sudah menyiapkan area error sekitar 10%. Jadi, sebenarnya nilai dia sekitar 70%. Itu nilai yang sangat standar.
"Jadi..."
Tiba-tiba aku tidak melanjutkan kata-kataku, entah mengapa aku mulai merasa kesal sendiri. Mungkin nilai Komachi kurang lebih seperti itu kalau melihat sikapnya pagi ini. Ini berdasarkan pengalamanku waktu ujian masuk dulu, dan aku cukup yakin persentase seperti itu bisa meloloskannya.
Kawasaki, yang dulunya juga pernah mengikuti ujian masuk SMA Sobu seperti diriku, sepertinya memikirkan hal yang serupa dan mengangguk.
"Ya sekarang tinggal menunggu dia berada di urutan ke berapa."
Kawasaki mengembuskan napasnya yang terasa berat.
Menurut pengalamanku, jumlah yang diterima dibanding pendaftar adalah 2 banding 5. Jadi kalau nilaimu bisa 80% berarti kau hampir dipastikan lolos. Tapi sepertinya, Taishi berada di batas bawah tersebut.
"Orangtua kami sebenarnya menyanggupi untuk menyekolahkan dia ke sekolah swasta lainnya yang ujiannya lebih mudah, tapi dia bersikeras untuk ke SMA Sobu karena ingin bertemu kita..."
Kawasaki mengatakan itu dengan nada yang sedih.
Aku memang tidak tahu latar belakang keluarga mereka, dan sepertinya ini bukan masalah uang untuk biaya sekolah.
Gagal dalam ujian adalah sebuah cap yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dan itu bisa terus menghantuimu.
Ketika kau sudah dewasa, ini bukanlah hal yang serius.
Tapi ketika kau masih menjadi seorang anak laki-laki berusaha 15 tahun, hal-hal tentang sekolah dan keluarga mereka adalah segalanya.
Gagal dalam ujian, maka dalam keluarga bisa di-cap ANAK GAGAL.
Tapi, dalam kasus Kawasaki Taishi, masih ada satu faktor lagi, yaitu yang akan kukatakan sebentar lagi.
"Memang betul, dia bisa bertemu kita. Tapi, coba pikir kembali soal tahun depan. Mungkin lebih baik sejak awal dia pilih SMA lain saja kalau cuma itu alasannya ke SMA Sobu."
"Tahun depan? Apa maksudmu?"
Dia menanyakannya dengan nada yang keras. Akupun mengangguk dan menjelaskannya.
"Ya. Bukankah kau akan lulus tahun depan dan akan pergi ke Universitas Negeri. Memang ujiannya lebih sulit. Meski, aku sendiri belum tahu pasti."
"Memangnya, apa hubungannya dengan diriku ke Universitas Negeri dengan ujian Taishi?"
Kawasaki menatapku sambil sedikit memiringkan kepalanya, mirip Keika. Saking miripnya sehingga aku menjawabnya dengan sedikit tersenyum.
"Ini bukan tentangmu saja, tapi tentang kalian berdua."
"Hubungannya apa?"
Kawasaki menatapku dengan sinis.
Uh, ini mulai terlihat menyeramkan.
"Ya kalau adikmu kau beritahu kalau kau juga ada keinginan untuk ke Universitas Swasta dimana itu akan membutuhkan uang banyak di tahun depan, mungkin saja dia tidak berkeinginan ke SMA Sobu yang berbiaya mahal dan memilih ke SMA Negeri saja yang biayanya murah."
Aku sengaja menaruh kalau dan mungkin disana, karena itu masih sekedar prediksi saja. Lalu, Kawasaki menatapku dan mengedipkan matanya berkali-kali. Tidak lama kemudian, dia tampak kecewa dan memalingkan pandangannya dariku.
"Biaya untuk SMA dan Universitas berbeda."
Eh? Benarkah? Mungkin dia ada benarnya.
Aku sendiri tidak pernah ingin tahu dengan detail seperti itu karena yang membayarnya bukanlah diriku...Kalau memang berniat menghitung detail biaya pendidikan, aku pasti akan menghitungnya dengan sembarangan, sehingga aku yakin itu hanya akan membuang-buang waktuku saja.
"...Tapi, mungkin saja Taishi akan seperti yang kau katakan tadi."
Kawasaki mengatakan itu dengan pelan sambil mengaduk-aduk minuman dengan sedotannya. Gara-gara cara bicaranya yang mellow itu, kini aku mulai aktif untuk berbicara.
"Benar kan? Itu karena pengalamanku selama ini sebagai seorang siscon tingkat tinggi."
"Apa-apaan itu? Menjijikkan sekali!"
Kata-katanya barusan diiringi intonasi suara dan ekspresi yang menjijikkan pula. Gara-gara itu, Keika kini menirukan kata-kata dan ekspresinya barusan.
Tapi, memang ada benarnya sih. Kalau dipikir-pikir lagi, aku memang orang yang menjijikan. Di pantulan jendela, aku melihat sosok seorang laki-laki yang aneh dan tampak bangga dengan dirinya.
Yeah, aku setuju.
x Vol 12 Chapter 3 Part I | END x
Buat yang belum tahu, Hachiman dalam vol 5 chapter 6 menyebutkan kriteria calon istrinya kelak, yaitu bisa memasak, mengurus anak, dan membayar tagihan-tagihan rumah. Saki adalah gadis yang memiliki ketiga hal di atas.
...
Sebenarnya Watari menyelipkan joke receh ketika Hachiman berpikir sudah 2 tahun tidak bertemu dengan Keika. Sebenarnya, ini menyindir rilis Oregairu Vol 11 yang rilis pada 2015 dan Vol 12 pada 2017, alias sudah 2 tahun.
...
Hachiman sebenarnya mencari pembenaran kalau para gadis di internet tidak suka ke Saize. Sebenarnya, Hachiman tahu kalau para gadis juga suka ke Saize.
Vol 2 chapter 5, Grup Miura dan anak-anak kelas 2F makan bersama di Saize. Malahan, Yui yang mengajak Hachiman ke Saize.
Hanya karena kamu punya pengalaman buruk ketika diajak seorang gadis ke Saize (insiden Nice Girl), bukan berarti para gadis tidak suka ke Saize. Yeah, denial.
...
Pria yang peduli akan situasi politik dan tentang partisipasi calon di pemilihan mendatang, sebenarnya call-back ke situasi volume 8 dimana Hachiman menjadi dalang peristiwa pemilihan Ketua OSIS SMA Sobu.
...
Sebenarnya, Taishi memilih ke SMA Sobu karena ingin terus bertemu Komachi.
Alasan agar bisa bertemu Saki dan Hachiman sebenarnya hanyalah omong kosong Taishi.
Pastinya, Sakit tidak akan berpikir kalau Taishi ke SMA Sobu karena Komachi, karena dia Brocon.
Sedang Hachiman tidak ingin berpikir Taishi ke SMA Sobu karena Komachi, karena dia Siscon.
Sederhananya, baik Saki, Taishi, dan Hachiman sebenarnya bullshit.
...
Lelucon tentang membicarakan gaji, masalah kantor, dll ke teman dan keluarga, sebenarnya banyak terinspirasi dari situasi Ayah Hachiman di rumah.
Pertamax
BalasHapusCall 911 NOW!!!!!!
BalasHapuspliss, jgn pake kata2 ashiap dong, gw malah ngak dapet feelnya
BalasHapusAkhirnya, komen dlu sebelum baca hahah
BalasHapusMangat min!
BalasHapusSankyuu admin .. I love you
BalasHapusBtw si hachiman di chapter ini pikirannya masih korup..
BalasHapusTidak lupa Ama kata "kampret"nya hahah
Min ini hanya ANALYSIS bagian CHAPTER ini yang menurut saya IMPORTANT pertama kalimat"aku bisa disebut sebagai pria yang sangat peduli situasi politik dan pemilihan selanjutnya dengan melibatkan partisipasi pemilihan calon di masa depan"berarti haciman mendukung DESIRE yukino vol12 chapter1 NEXT saya rasa REASON taishi masuk SMA shobu karena komachi.SO MUCH bila ada yang MISS ANALYSIS di maklumi terimakasih Semangat Translate&Analisis Min
BalasHapusWhoa, ternyata ada yang bisa "membaca" dua hal tersebut, luar biasa.
HapusAnda paham maksud di atas juga luar biasa🤣🤣🤣
HapusTambahan,Karena komaci juga masuk SMA shobu
BalasHapusIni mah bukan ANALYSIS ya ini kesimpulan saya, mungkin hahaha bodo amat dah
BalasHapustunggu ANALYSIS admin RILIS dah ANALYSIS admin kan GOOD ANALYSIS serasa ngomong kayak tamanawa hahaah
BalasHapusNtap dahhh
BalasHapusNice min lanjot terooosss
BalasHapusRomantic Hachiman ma kawasesuatu.. kyaknya berjalan amat lambat..
BalasHapus... salah paham itu masih saja berlanjut..
3 hari kemudian
BalasHapus.....
...
..
Analysisnya mana min🧐
Nanti malam hahaha
HapusThanks min udah balik lagi 👍👍
BalasHapusJangan berenti untuk mentranslate min sampe tamat ni LN �� Sehat terus min
BalasHapus"Haa-chan!"
BalasHapus"Yo, lama tidak bertemu. Ah, sepertinya itu kurang tepat karena beberapa hari yang lalu kita sudah bertemu. Bagaimana kabarnya?"
Aku merasa seperti dua tahun tidak bertemu...
Vol 11 Ama 12 emang selisih 2 tahun sih.
Akhirnya,... terima kasih pak Dani
BalasHapusthanks untuk updetnya pak!
BalasHapusTerima kasih sudah kembi lagi, saya berharap selalu diberikan sehat untuk terus translate LN sampai habis,
BalasHapusANALYSIS bang admin memang joss,Semangat translate buat NEXT chapter bang admin semaoga sehat selalu
BalasHapusMemang sudah kuduga dari admin bang DAN.
BalasHapusANALISIS nya tepat sasaran..
Min hachiman bangga dengan dirinya yang menjijikan maksudnya gimana min,apa merujuk chapter sebelumnya apa gimana
BalasHapusKayak nya tiap chapter dia slalu membangkan dirinya.
HapusDan selalu membenarkan diri padahal di salah..wkwkwk
Begitu ya paham paham
HapusLanjutkan min
BalasHapusSemangat teruss min.,.
BalasHapusThanks min 😭
BalasHapusmakasih min
BalasHapussemangat terus min....
BalasHapusFinally!!! akhirnya update juga nih fp
BalasHapus@admin aoi ... Gan gua mau nanya... Agan tau gk kapan release vol 14(last vol) nya? Gua penasaran bgt sma endingnya walaupun dh ketauan siapa yg menang di akhir... ~~
BalasHapusMin ane baca ringkasan volume 12 sama 13 di internet, kasih analisis / komentarnya dong min :( rindu analisis / komentar mimin
BalasHapusMasih stay menunggu
BalasHapusMasih nunggu mimin 😢
BalasHapusSemangat min. Susul manga nya
BalasHapusuwoooh akhirnya apdet....
BalasHapusMasih menunggu Mimin update..😊
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMasih menunggu.. 😄
BalasHapusGua percaya kok Adminnya bakalan update terus sampai novel ini tamat meskipun agak lama,soalnya Adminnya pernah bilang di interlude 1 volume 12, "Saya berniat untuk menyelesaikan apa yang saya mulai..."
Part 2 nya bang aoi
BalasHapusSabar semuanya sabar semuanya..
BalasHapusKayak nya gw yg GK sabar...hahaha
I keep waiting
Masih sabar menunggu
BalasHapus"Pastinya, Sakit tidak akan ......." yg bener Saki?
BalasHapusUp
BalasHapusUdah gak kerasa taun 2022 aja, baca di blog ini dari 2017 an
BalasHapus