x x x
Kalau begini, mungkin sekolah akan buka lebih siang, dengan adanya cuaca badai.
Dan itulah yang terpikirkan olehku sebelumnya.
Malam telah berlalu dan badai sudah pergi. Pagi harinya, kehidupan yang normal seperti biasanya sudah menunggu.
Hasilnya? Langit sangat cerah, seperti neraka bagiku.
Awalnya aku yakin kalau aku bisa memanfaatkan situasi badai untuk telat ke sekolah, rencana yang busuk, jadi aku sudah berniat untuk bangun kesiangan. Dan beginilah aku, merasa kurang tidur.
Aku akhirnya bisa masuk sekolah tepat waktu, tapi aku seperti diserang kantuk yang luar biasa seharian. Biasanya ketika jam istirahat siang, aku pura-pura tertidur atau pergi tidur, tapi khusus hari ini, aku memang benar-benar mengantuk seharian.
Tidak hanya ketika istirahat. Ini juga terjadi ketika jam pelajaran. Karena itulah, aku berusaha mengistirahatkan daguku di tanganku, menyandarkan tanganku di meja, dan menaruh kepaalku di lenganku yang menyilang, mencari posisi ideal untuk tidur. Yeah, begitulah. Karena bertarung bukanlah hal yang bagus, aku merasa nyaman jika menyelesaikan masalah ini dengan damai. Kupikir aku akan mencoba berteman baik dengan mengantuk untuk ke depannya.
Tanpa kusadari, jam pelajaran berakhir.
Kesimpulannya, posisi tidur terbaik adalah rebahan di meja dengan kedua tangan menyilang di leherku. Itu juga tidak akan menimbulkan bekas tanda di wajahku. Masalah yang timbul hanyalah rasa nyeri di leher, bahu, dan punggungku.
Begitulah pikirku, tapi aku tidak bisa merasakan tidur yang nyenyak, dan rasa kantukku ini mencapai puncaknya karena posisi tidur yang tidak normal. Aku merasa kalau aku tidak akan bisa menghilangkan kantuk ini kecuali tidur dan berbaring.
Kalau begini, maka tujuanku sangat jelas.
Aku berdiri dan berjalan ke pintu belakang kelas dengan langkah sempoyongan.
Ketika pintunya kubuka...
“Uwah!”
“Er, maaf.”
Kita tidak membuat sebuah tabrakan ‘beep, bop, beep✰’ , tapi dadaku merasakan sebuah tabrakan.
Aku melirik ke orang tersebut, ternyata dia adalah binatang kecil yang sangat familiar dan kakinya sedang gemetaran, membuatnya terlihat manis. Orang yang ingin masuk ke ruangan kelas tersebut adalah Totsuka Saika.
“Oh, Hachiman. Maaf ya...”
“N-nah! Itu tadi salahku. Aku memang agak melamun tadi...”
Bahkan, mungkin sekarang akupun masih melamun. Mungkin itu efek yang tidak disengaja, sekarang, Totsuka berada di lenganku...Phew, hampir saja. Kalau kena mulut Totsuka, mungkin aku akan memilih pingsan saja di depannya.
Totsuka menyadari kalau posisi kita sedang tertahan dan mengambil jarak dari dadaku.
“Maaf ya, tadi aku lagi buru-buru...Hachiman, kamu mau kemana? Sebentar lagi kelas mau dimulai loh?”
“Enggak kemana-mana.” jawabku.
Aku mau tidur di UKS dan bolos pelajaran, tapi aku tidak bisa mengatakan itu dengan keras. Mengatakan sebuah tindakan kriminal seperti itu hanya boleh dilakukan di Twitter.
Totsuka lalu memiringkan kepalanya.
“Tapi, bukankah lebih baik di kelas saja? Jam pelajaran selanjutnya kita akan memutuskan pembagian tugas untuk Festival Budaya.”
“Oh, benarkah?”
Benar juga, kemarin ketika rapat dengan Wali Kelas hanya memutuskan tema kegiatan yang akan disuguhkan kelas 2F. Mereka mungkin akan membicarakan detail kegiatannya sebentar lagi.
“...Well, apapun tidak masalah untukku.”
Ini bukan seperti aku mau menerima pekerjaan. Seperti biasanya, aku hanya hadir sebatas absen saja, kehadiran yang hanya dijadikan penggenap.
Ketika semuanya mulai mengerjakan persiapanya, yang kulakukan hanyalah berdiri menatap mereka seperti patung.
Tidak masalah nanti aku akan mengerjakan apa, pekerjaanku paling ya begitu-begitu saja.
Aku tidak punya hal lain yang kulakukan, tapi untuk jaga-jaga saja, aku sudah siap untuk berdiri di belakang orang yang sedang bekerja, menatap tangan mereka, menggumamkan “uh huuh” seperti tahu sesuatu, dan menunggu mereka mengatakan “bisakah kau lakukan ini untukku” kepadaku.
“Aku tidak masalah jika kau pilihkan tugas apapun.”
Aku tidak tahu apa maksudku tadi bisa sampai ke Totsuka, tapi dia mengangguk dengan tatapan yang penasaran.
“Oke, mengerti.”
Terima kasih ya, aku melambaikan tanganku dan keluar ruangan.
Sambil mendengar bel yang menandakan pelajaran akan segera dimulai, aku berjalan menuju UKS yang berada di lantai pertama dari Gedung Khusus.
Aku berjalan dengan suasana yang sunyi, jelas saja karena tidak ada satupun siswa yang berkeliaran disini.
Perjalanan menuju UKS terasa sangat menentramkan. Aku lalu mengetuk pintu di depanku, dan ketika kubuka, bau dari cairan antiseptik mulai tercium oleh hidungku.
Ada siswi yang sedang mengobrol dengan Guru UKS. Tapi ketika aku masuk ke dalam, mereka menghentikan pembicaraannya.
Siswi yang namanya tidak kuketahui tersebut lalu menatap HP di tangannya dengan ekspresi tidak nyaman. Sepertinya aku baru saja melakukan sesuatu yang buruk. Maaf ya, tee-hee.
“Ya ampun, bukankah kamu ini salah satu anak asuhnya si Shizuka-chan?”
Guru UKS, seorang wanita muda yang memakai jubah putih, mengatakan itu sambil melihatku dari dekat.
Aku tidak tahu harus memikirkan apa ketika mendengarnya tadi. Apa kami memang terlihat seperti orangtua-anak? Akan ada yang marah loh jika tahu, oke? Tapi sebagian besar, tampaknya yang marah adalah Hiratsuka-sensei. Terutama ketika mendengar orangtua berhubungan dengan umurnya, itu saja.
“Saya pikir saya masuk angin.”
Aku mencoba menjelaskan alasan kunjunganku. Tentunya, aku memastikan diriku kalau aku bertingkah seperti sedang lemah. Momen seperti ini adalah momen yang tepat untuk menunjukkan skill akting yang sudah lama kusembunyikan. Aku tidak heran kalau ada yang memanggilku ‘ahli masuk angin’. Ya Tuhan, nama tadi keren sekali! Tapi, menggunakan kata ‘ahli’ dan ‘masuk angin’ dalam satu frasa membuatku terlihat ‘chuuni’.
“Aku tidak akan percaya begitu saja analisis dari seorang amatir. Biarkan kulihat dulu."
Guru UKS ini langsung membuyarkan aktingku yang bagus ini.
Tsk, mau bagaimana lagi, dia tampaknya seorang veteran dalam menangani siswa yang membolos. Bisakah anda pura-pura jatuh dalam aktingku tadi!?
Sensei menatapku dengan intens, seperti berusaha membuktikan kalau aku ini berbohong. Tidak, mungkin lebih tepatnya kalau dia sedang membedahku dengan tatapan tajamnya. Kalau ini dunia pokemon, defensku mungkin sudah turun.
“...Ini pasti masuk angin.”
“Cepat sekali anda menarik kesimpulannya...”
Apa-apaan penilaiannya barusan? Aku menatapnya, dengan ekspresi keberatan dan kurang senang.
Dia lalu tertawa.
“Maksudku, lihat saja kedua matamu itu. Mustahil kalau kau ini tidak sakit.”
Sensei melihatku sambil berkata “oke” setelah menulis sesuatu di kertaas.
“Well? Apa kau mau beristirahat disini?”
“Ah, baiklah.”
“Ada tempat tidur di sebelah sana.”
Dia memberikan jawaban singkat dan akupun mendengarkannya dengan patuh. Tempat tidurnya dipisahkan oleh tirai, dan punya selimut katun di atasnya. Aku taruh selimutnya di atas perutku dan berbaring.
Obrolan dibalik tirai pink tersebut kini terdengar lagi. Aku mendengarkan suara-suara obrolan mereka yang mulai terdengar pelan hingga benar-benar tertidur.
Kampret....
Ini terjadi setelah aku selesai beristirahat.
Ketika aku masuk ke kelas, tiba-tiba aku punya jabatan sebagai Panitia Festival Budaya.
Di papan tulis tertulis “Hikigaya”. Dan namaku itu tertulis di bawah tulisan ‘Perwakilan Kelas – Panitia Festival’. Gwaah! Ini pasti konspirasi!?
Maksudku, memang, aku mengatakan kalau silakan memberiku tugas apapun soal Festival Budaya. Apapun tugasnya, tidak akan ada yang berubah, jadi aku sudah siap menerima pekerjaan apapun tidak peduli kalau pekerjaan itu menguras pikiranku.
Tapi, tapi, meski begitu, bukankah mereka ini semacam kejam kalau memberikan pekerjaan ke seseorang dimana mereka semua tidak ada yang mau melakukan itu?
Bukankah normal kalau momen seperti ini digunakan untuk memberikan seorang penyendiri pekerjaan yang tidak menyakitkannya? Bahkan, itulah yang terjadi selama ini.
Metode ‘Kami menjadikanmu Panitia Festival karena kamu tidur(ahaha)’ dilakukan karena ketua kelas akan dibenci jika memaksakan posisi itu ke seseorang, jadi akhirnya kau menjatuhkan posisi itu ke seseorang yang berada di luar kasta sosial...!
Aku berdiri di depan papan tulis dengan ekspresi idiot hingga pundakku ditepuk oleh seseorang.
“Apa kau perlu penjelasan?” Aku tahu suara siapa itu tanpa menolehkan kepalaku.
D-dia disini~ Guru wanita yang hampir berusia 30 dan belum menikah, Hiratsuka Shizuka~
Aku menatapnya seperti mengharapkan sebuah penjelasan.
Hiratsuka-sensei lalu menatap ke arah jam dinding.
“Ini waktunya untuk pelajaranku, tapi siswa-siswa disini masih kebingungan memilih orang. Jadi kupilih dirimu.”
Oke, tunggu dulu, Bu Sastra Jepang. Kau tidak boleh mengatakan ‘jadi’. Ini tidak masuk logika bagiku.
“Sensei, apa yang anda rencanakan..?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura sensei...Untuk apa sensei menaruh penyendiri di jabatan itu!? Memaksa penyendiri terlibat dalam even kelas seperti ini hanya akan menimbulkan tragedi, tahu tidak!”
Even semacam ini adalah even untuk orang-orang yang punya teman dan menikmatinya. Kalau aku kebetulan ada disana, maka mereka harus mempertimbangkan diriku! Berikan aku tugas yang tidak berguna, dimana kehadiranku tidak begitu penting, maka semua pihak bisa santai dan melakukan apapun dengan damai!
“Aku sebenarnya ingin memastikan itu denganmu, tapi...Tadi ada yang bilang kalau kau sendiri tidak masalah dapat tugas apapun, benar tidak?”
Oooph...Pikirku, dan aku mengembuskan napasku. Aku lalu melihat ke arah Totsuka dimana dia sendiri sedang menepuk kedua tangannya dengan ekspresi meminta maaf. Manisnya.
Ketika aku berdiri dan perhatianku teralihkan, alis sensei yang bergerak-gerak mulai mendekatiku secara perlahan.
“Cukup, aku tidak bisa memulai pelajarannya jika kamu berdiri disini. Kembalilah ke kursimu! Putuskan nanti saja sepulang sekolah.”
Situasi kelas sepulang sekolah ternyata kacau balau.
Kami memutuskan untuk mendiskusikan pembagian tanggung jawab di Festival Budaya. Ini harusnya selesai di jam pelajaran sebelumnya, tapi ternyata menentukan siapa wakil siswa laki-laki yang jadi bagian Panitia Festival memakan waktu yang lama. Akhirnya, Sensei dengan tirani meletakkan jabatan itu kepadaku. Mungkin inilah yang mereka sebut dengan penyalahgunaan kekuasaan....Argh! Jika saja aku punya kekuatan lebih! Mungkin aku bisa memberikan itu ke orang lain! Rangkaian penyalahgunaan kekuasaan...Mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi struktur masyarakat Jepang. Ini adalah momen yang tepat untuk menerapkan nasionalisme dalam diriku.
Begitulah yang kurasakan, tapi kami masih harus memilih perwakilan siswa perempuan di Panitia Festival.
Memimpin di depan, ketua kelas 2F. Aku tidak tahu namanya. Semua orang disini memanggilnya Ketua Kelas. Dulu ada permintaan agar ketua kelasnya perempuan, sayangnya, ternyata laki-laki. Jadi, memanggilnya ketua kelas kurasa sudah cukup.
“Erm, oke, apa ada gadis disini yang ingin jadi Panita Festival, tolong angkat tangan!”
Ketua kelas mengatakan itu, tetapi tidak ada yang mengacungkan tangannya.
“Kalau tidak ada keputusan, terpaksa kita lakukan hom-pim-pa...”
“Haa?”
Suara ketua kelas tersebut dipotong oleh Miura. Dia mulai gelagapan dan mengatakan “mmmg” karena ketakutan. Hanya dengan suara “haa”, dia mampu membuat sekitarnya terdiam. Dia sebenarnya dari kuil mana?
Setelah itu, mulailah bisik-bisik meramaikan suasana kelas ini. Lalu ketua kelas berkata lagi “Bagaimana?”, lalu semuanya terdiam. Adegan ini terus berulang-ulang seperti loop.
“...Bukankah itu, seperti, akan punya banyak sekali pekerjaan?”
Yuigahama menanyakan itu, seperti tidak mampu untuk melihat situasi semacam itu terus terjadi.
Si ketua kelas tampak lega mendengarnya.
“Kupikir jika kau melakukannya secara normal, tidak akan begitu sulit...Mungkin agak sulit bagi para gadis.”
Mata empat sialan, dia jelas-jelas menatapku ketika mengatakannya. Dia mencoba mengatakan kalau aku ini tidak berguna.
“Uh huuuh...”
Yuigahama mengatakan itu sambil melirik ke arahku. Si ketua kelas tampaknya berpikir kalau dia akan menerimanya, dan mungkin ini satu-satunya peluang untuk mengakhiri diskusi ini.
“Sejujurnya, kalau kau menerima jabatan itu, Yuigahama-san, itu akan bagus sekali. Kupikir kau sangat cocok, karena kau itu populer, dan aku sangat yakin kau bisa membuat mereka bekerjasama dengan baik.”
“Mustahil, aku tidak benar-benar...”
Yuigahama menjawabnya, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi malu-malu. Dan suara yang sangat dingin, terdengar...
“Oooh, Yui-chan, kau mau melakukannya, huuuh?”
“Eh?”
Yuigahama menatap ke arah suara tersebut, seorang siswi.
Siapa ya. Kupikir namanya Sagami?
Sagami adalah pemimpin dari sebuah grup yang terdiri dari empat orang, duduk berjauhan dari Yuigahama dan yang lain. Berada di posisi yang berlawanan dengan jendela, posisi belakang kelas, dan dekat pintu menuju lorong, disitulah Sagami duduk.
“Hei, itu terdengar sangat luar biasa juga! Dua orang yang lagi dekat di event yang sama, terdengar kereeen~,”
[note: Vol 5 chapter 6, Yui dan Hachiman bertemu Sagami di Festival Kembang Api, Menara Pelabuhan Chiba.]
Sagami mengatakan itu dan teman-temannya terdengar tertawa cekikikan di sebelahnya.
Sambil tersenyum, Yuigahama membalasnya.
“Well, sebenarnya tidak seperti itu.”
Sagami lalu menatapku dengan tatapan yang penuh arti.
Senyum sinis yang menjijikkan. Bahkan senyum sinis dari gadis-gadis yang duduk di sebelahnya lebih menjijikkan lagi, seperti kompak dengannya.
Sebenarnya, apa maksud senyum sinis itu? Mustahil aku tidak tahu.
Ini sama persis dengan tawa sinis waktu itu, hari dimana ada Festival Kembang Api.
Bagi Yuigahama yang berada dalam komunitas sosial kelas, dan bagiku yang berada diluar lingkaran komunitas kelas, tawa sinis yang penuh dengan cemoohan.
Tawanya seperti merobek-robek gendang telingaku.
“Hei, tahu tidak...”
Ada sebuah suara yang membelah suasana tersebut. Seperti menghentikan suara para serangga dengan melangkah ke semak belukar.
“Yui dan aku ini nantinya di Festival bertugas cari pelanggan, jadi itu mustahil.”
Miura Yumiko mengatakan itu dengan santai dan tanpa rasa takut.
Merasa ditekan, Sagami dan yang lain mulai gugup, lalu mereka terdiam. Sagami berusaha mempertahankan senyumnya.
“Oh Okeeee, mencari pelanggan itu juga sangat penting, yep.”
“Y-yeah, yeah, mencari pelanggan itu penting, err, sejak kapan kita memutuskannya begitu!?”
Yuigahama menjawabnya, berusaha mengkonfirmasi itu, tapi hanya keterkejutan yang dia dapatkan. Sampai sekarang, yang terpilih sebagai perwakilan kelas baru yang laki-laki saja....
Reaksi Yuigahama membuat Miura juga agak malu-malu.
“Eh...? Ka-kau tidak mau melakukannya denganku? A-apa aku salah?”
“Jangan khawatir Yumiko. Kau tidak melebar jauh dari tema kita. Reaksimu itu sudah Yumiko-banget!”
Ebina menjawabnya sambil menempelkan lidahnya, mengedipkan matanya, dan menunjukkan jempolnya. Ya, tampaknya itu memang Miura-banget.
“Wha, Ebina, berhenti mencandaiku! Kau membuatku malu!”
[note: ‘Mencari pelanggan’ ini bisa multitafsir, ahaha.]
Miura, aku tahu wajahmu sudah memerah dan menginjak kaki Ebina, tapi kupikir itu bukan pujian untukmu, sorry saja.
Di lain pihak, bahu Yuigahama tampak seperti sudah menyerah.
“Ku-kurasa semuanya sudah jelas, huh...”
Kau sadar juga? Tapi kau harusnya lega. Maksudku, aku saja tidak punya hak apapun. Sial, tidak hanya Hiratsuka-sensei memutuskannya sepihak, semua orang tampaknya salah paham denganku. Aku ini seperti anak yang tidak diinginkan.
Melihat tidak adanya kemajuan sama sekali, ketua kelas terlihat sangat kecewa.
“Bagaimana kalau begini?”
Hayama, yang sedari tadi hanya mengamati saja, menaikkan tangannya. Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan si ketua kelas melihatnya dengan mata berkaca-kaca.
“Intinya wakil kita yang satu ini harus punya jiwa kepemimpinan, benar?”
Kata-kata Hayama sangat beralasan dan valid. Benar, tidak ada salahnya jika orang itu punya jiwa kepemimpinan karena akan diserahi banyak tanggung jawab. Meski begitu, kalau ada satu masalah muncul, dia akan terlihat tidak punya satupun jiwa kepemimpinan.
Kalau begitu, maka ini menjadi diskusi dimana orang itu harusnya berasal dari kasta teratas kelas ini. Tapi karena perwakilan laki-laki sudah terisi olehku, para gadis mulai berbisik-bisik tentang bagaimana mereka tidak punya jiwa kepemimpinan untuk menjabat posisi itu.
Kalau dipikir-pikir, dilihat dari keseluruhan, jika orang-orang di kasta teratas tidak berminat untuk mengambil tanggung jawab itu, maka itu akan jatuh ke tangan kasta grup yang berada di bawahnya.
Dan efek dari kata-kata Hayama tersebut persis seperti yang dikatakan oleh Tobe.
“Kayaknya cocok dengan Sagami-san, benar tidak?”
“Yeah, kurasa itu bisa juga. Sagami-san tampaknya bisa melakukan tugas itu dengan sangat baik.”
Hayama bersikap seperti orang yang setuju dengan ide orang lain, meski dialah orang yang pertama mengusulkan itu.
Tobe dengan gaya khasnya, terlihat bangga sambil mengatakan “Bener, kan?”. Sedih sekali melihat dia berusaha bersikap manis seperti itu.
Di lain pihak, Sagami, yang tiba-tiba disebut namanya, menaruh tangannya di depan.
“Apaaa? Akuu? Aku enggak tahu apa aku bisa. Ini seperti, mustahil lah bagiku!”
Dia mungkin terlihat menolak, tapi tidak ada kepastian dari kata-katanya.
Hei, hei, aku ini sangat berpengalaman dalam ditolak, kau tidak bisa membohongi mataku, tahu tidak?
Ketika seorang gadis menolak sesuatu, dia akan mengatakan, “Umm, bisakah kau hentikan itu?”, disertai dengan ekspresi kosong dan tatapan mata yang sangat dingin. Sangat menakutkan sehingga detak jantungmu serasa berhenti dan kau ingin mati saja.
Melihat peluang itu, Hayama menepuk kedua tangannya bersamaan, dan memasang ekspresi meminta maaf.
“Sagami, bisakah aku memintamu untuk melakukannya?”
“...Well kalau tidak ada yang mau, kurasa aku akan melakukannya. Tapiiii, aku, huh?”
Ekspresi Sagami terlihat senang dan wajahnya memerah, dan mengatakan dengan pelan kata-kata tadi. Apa kamu semacam Jigoku no Sesuatu-sawa?
[note: Nama mangaka Jigoku no Misawa.]
Dia mungkin tidak sedang dalam posisi yang buruk karena diminta tolong oleh Hayama. Mungkin lebih tepatnya, “Hayama tadi bilang kalau dia mengandalkanku!”.
“Oke, kurasa aku akan melakukannya.”
Sagami mengatakan itu dan ketua kelas terlihat lega mendengarnya.
“Oke, kalau begitu kita akhiri untuk hari ini...”
Dan kemudian, rapat Panitia akan dimulai lebih awal hari ini.
Jam 3.45 sore. Aku mencoba mengingat-ingat itu di kepalaku.
Di sekolah, kau harus punya kemampuan untuk mengatur dirimu. Pindah dari kelas satu ke kelas lain, liburan, dan rencana sepulang sekolah, dan yang terpenting, kau harus punya pemahaman yang dalam mengenai itu. Itu karena tidak akan ada seorangpun yang memberitahumu soal itu. Dan aku sangat jago untuk mencari info seputar liburan.
Waktu yang disepakati semakin dekat. Aku mulai berjalan menuju Ruang Konferensi dimana rapat Panitia akan digelar.
Orang-orang terlihat berjalan secara berkelompok menuju ruang rapat. Di keramaian ini, ada beberapa pasangan siswa dan siswi yang sedang mengobrol dalam perjalanan. Untunglah, mungkinkah anak-anak ini akan sesat hidupnya jika tidak punya seorangpun yang mau berjalan bersama mereka?
Ruang Konferensi dijadikan tempat rapat Panitia Festival Budaya. Luas ruangannya sekitar dua kali lebih besar dari ruang kelas pada umumnya. Disana sudah disiapkan kursi dan meja yang biasa digunakan untuk pertemuan resmi. Tampaknya ruangan ini biasa dipakai untuk rapat staff sekolah atau semacamnya.
Ketika aku masuk ke ruangan rapat, terlihat baru separuh dari total peserta rapat yang berkumpul.
Dia pasti berangkat lebih dulu daripada diriku, karena Sagami ternyata sudah berada disini.
Berkumpul dengan dua orang gadis lain, yang mungkin temannya sejak lama, atau juga dia baru kenal, Sagami tampak terlibat dalam sebuah pembicaraan.
“Wow, aku sangat senang kalian juga jadi panitia, Yukko. Aku nih tiba-tiba aja diminta mewakili, jadi aku kaget banget bo~.”
Setelah Sagami menggelindingkan bolanya, keduanya menambahkan.
“Aku disini gara-gara kalah hom-pim-pa...”
“Aku jugaaa! Oh, Sagami-san, boleh tidak kupanggil Manami-chan?”
“Boleh, boleh. Jadi aku panggil kamu apa?”
“Haruka boleh.”
“Oh, Haruka? Kalau tidak salah kamu ini sama Yukko ada di klub Basket ya?”
“Yep, yep.”
“Oooh, kelihatannya menyenangkan. Mungkin aku harusnya ikut klub juga. Aku nih kayaknya udah gak hoki lagi di kelas...”
“Ah, kalau enggak salah kelas F itu kelasnya si Miura ya?”
“Uh huh.”
Ekspresi suram Sagami terlihat menakutkan, tapi kedua gadis yang menyebut nama Miura hanya dari mendengar kata ‘tidak hoki di kelas’ tampaknya berada di kasta yang sama dengannya.
Obrolan para gadis yang tidak punya bumbu kebencian di dalamnya bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, tapi ketika mereka mulai membesar-besarkan sesuatu, mereka berubah menjadi sesuatu yang beracun; dan itu membuat mereka mengerikan.
“Tapi Hei, disana ada Hayama, jadi tidak begitu buruk-lah.”
“Kurasa begitu. Hayama-kun sebenarnya adalah orang yang merekomendasikanku untuk menjadi Panitia Festival. Meski, aku sendiri sebenarnya tidak tahu harus mengerjakan apa disini.”
Sekali lagi, apa kamu Sesuatu-sawa? Sagamisawa-san?
Ketika kutajamkan pendengaranku lebih jauh, aku bisa mendengar pembicaraan datang dari orang-orang di sekitar Sagami dan teman-temannya.
Semakin banyak orang di ruangan ini, percakapan tadi semakin terdengar seperti sebuah suara bising di ruangan ini.
Orang-orang di ruangan ini semakin banyak ketika waktu pertemuan semakin dekat. Kapanpun pintu geser tersebut terbuka, orang-orang disini mengalihkan perhatian mereka ke pintu, tapi tidak lama kemudian langsung memalingkan pandangannya ketika menyadari kalau itu bukan teman mereka. Tatapan seperti itu sangat tidak nyaman...Cara mereka melihat seperti mengatakan “Aku tidak sedang menunggu orang sepertimu, aku tidak tertarik kepadamu”.
Tapi ketika orang yang berikutnya muncul, ternyata diluar ekspektasi semua orang.
Ketika pintu terbuka, suara obrolan di dalam ruangan ini terhenti.
Berjalan melewati kesunyian ini, suara langkahnya, gadis ini, Yukinoshita Yukino. Sikapnya yang terlihat elit ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah kau temui dimanapun. Napas setiap orang disini serasa terhenti, seperti menatap ke tumpukan salju yang sedang mencair.
Ketika Yukinoshita menyadari kehadiranku, dia berhenti sejenak. Lalu dia memalingkan pandangannya sambil berjalan beberapa langkah, dia lalu duduk dan mengambil kursi yang terdekat dengannya.
Meski dia baru saja duduk di ruangan ini, tapi waktu di ruang rapat ini serasa membeku.
Meski aku sudah terbiasa melihatnya, tapi mataku masih tidak bisa lepas darinya. Mungkin karena inilah pertamakalinya bagiku melihat dirinya diluar tempat kami bertemu biasanya? Ataukah ada sesuatu yang mengejutkan tentang dirinya berpartisipasi menjadi Panitia Festival Budaya?
Waktu seperti kembali berdetak. Meski sempat terhenti sejenak, obrolan di ruangan ini kembali berlanjut seperti suara ombak di lautan. Tidak lama kemudian, jam menunjukkan kalau waktu pertemuan sudah tiba.
Pintu ruang rapat terbuka, suara langkah kaki mereka seperti menyelaraskan dengan tempo obrolan orang-orang di ruangan ini.
Mereka adalah grup siswa yang tampak memiliki sebuah ikatan solidaritas memegang beberapa kertas dokumen. Masuk setelah mereka adalah Pak Atsugi, Guru Olahraga SMA Sobu, dan Hiratsuka-sensei.
Kenapa Hiratsuka-sensei...Melihat ini seperti hal yang janggal, aku melihat ke arahnya. Ketika kedua mata kami bertemu, dia tersenyum kepadaku. Senyum yang terlihat lebih muda dari umurnya dan sangat manis.
Dengan kata lain, tampaknya konspirasi dibalik semua ini.
Sepertinya aku disini karena dibodohi olehnya, benar tidak...?
Setelah mereka berada duduk di meja pimpinan rapat, mereka menatap ke seorang siswi. Setelah itu, siswi itu mengangguk.
Dengan menggunakan itu sebagai sinyal, dua siswa, yang terlihat seperti siswa kelas 1, mulai membagikan kertas ke semua orang. Setelah memastikan keduanya berjalan membagikan kertas ke seluruh peserta rapat, siswi tersebut berdiri.
“Oke, mari kita mulai rapat Panitia Festival Budaya.”
Rambutnya yang lumayan panjang itu diikat dan berada di depan bahunya, poninya terlihat rapi dengan adanya pin rambut, dahinya yang terlihat licin itu menampilkan aura yang brillian. Seragamnya mengikuti aturan sekolah, tapi ikat rambut yang berwarna warni menghiasi kerah jasnya memberikan aura sosok yang dikagumi. Siswi ini melihat dengan teliti ke seluruh orang di ruangan ini dan tersenyum, dan memberikan, semacam, perintah yang terdengar menyenangkan. Setiap orang lalu terlihat membetulkan posisi duduknya.
“Umm, saya Ketua OSIS, Shiromeguri Meguri. Saya super gembira karena bisa mengadakan Festival Budaya lagi tahun ini dengan bekerjasama bersama kalian...U-um...Ja-jadi, mari kita berikan yang terbaik, semuanya! Yeah!”
Meguri-senpai menutupnya dengan gestur sederhana yang membuatmu berpikir kalau dia mengatakan ‘Ayo tangkap mereka!’.
Ketika dia selesai, pengurus OSIS lainnya terlihat bertepuk tangan. Dipancing oleh itu, peserta rapat yang lainnya terlihat memberikan tepuk tangan untuknya juga.
Meguri-senpai mengangguk melihat pemandangan itu.
“Terima kasih~ Sekarang, mari kita pilih Ketua Panitianya dahulu.”
Para peserta rapat mulai heboh.
Well, benar. Aku saja merasa kalau si Ketua OSIS ini akan menunjuk dirinya sendiri yang akan menjadi Ketua Panitia.
Meguri-senpai tersenyum.
“Saya sangat yakin kalau banyak sekali orang yang tahu soal ini, tapi setiap tahunnya, siswa kelas 2 biasanya terpilih menjadi Ketua Panitia. Dan kalian tahu kan, saya ini sudah kelas tiga.”
Haa, begitu ya. Well, kelas tiga memang tidak bisa melakukan banyak hal sejak awal musim gugur. Tidak lama lagi mereka akan disibukkan dengan ujian.
“Oke, apakah ada seseorang disini yang mau menjabat posisi itu?”
Meguri-senpai bertanya, tapi tidak ada seorangpun yang menaikkan tangannya.
Ini bisa dipahami. Aku ragu kalau itu dikarenakan mereka kurang antusias dengan Festival Budaya. Bahkan mereka sendiri terlihat sangat bersemangat dengan Festival Budaya itu sendiri.
Hanya saja mereka tidak mau unjuk kemampuan, mereka cuma mau berpartisipasi saja, dan mau memberikan yang terbaik bersama-sama yang lain.
Kalau ada yang ingin mereka lakukan, maka mereka ingin melakukan itu bersama kelas atau klub mereka. Yang ingin mereka lakukan sebenarnya adalah bekerja bersama orang-orang yang mereka kenal baik, menikmati festival dengan gadis yang mereka sukai.
Dan faktanya sekarang, lebih tepatnya ‘bagaimana mereka memberikan yang terbaik dalam suatu grup yang mereka tidak kenal?’.
“Apa ada oraaaaaaang yang mauuuu?”
Peserta rapat terus terdiam.
Pak Atsugi, Guru Olahraga, seperti sedang pura-pura terbatuk , mungkin meneriakkan jurus ‘war cry’.
[note: War Cry itu semacam jurus umum di RPG yang biasanya dimiliki kelas warrior atau petarung.]
“Apa-apaan kalian ini? Kalian harusnya menunjukkan motivasi yang lebih. Kalian ini kurang berambisi! Dengar ya, Festival Budaya ini adalah event yang khusus untuk kalian.”
Sebuah semangat yang membuatmu berpikir kalau dia akan mengakhiri kalimatnya dengan “Sial, serius ini!”.
Tampaknya Pak Atsugi ini adalah guru penanggung jawab dari Festival Budaya. Hiratsuka-sensei yang sedari tadi menyilangkan lengannya di sebelahnya, tampak mendukungnya.
Pak Atsugi lalu melihat satu-persatu peserta rapat ini.
Lalu tatapannya itu terhenti di Yukinoshita.
“...Oh. Kalau tidak salah kamu itu adik si Yukinoshita ya!? Aku sangat berharap kalau Festival Budaya kali ini bisa seperti yang kemarin, eh?”
Itu adalah kata-kata implisit. Makna sebenarnya adalah “Tentunya, kaulah yang akan jadi ketuanya, benar tidak?”.
Meguri-senpai tampaknya menyadari itu dan berbisik.
“Ah, jadi dia adiknya Haru-san ya.”
Seperti yang kauharapkan dari Yukinoshita Haruno. Dia punya kesan yang cukup membekas bagi guru-guru dan juniornya.
“Saya disini sebagai member panitia.”
Yukinoshita menjawabnya singkat, tapi dengan sopan. Gerakan alisnya menandakan kalau dia sedang ‘bad mood’.
Mendapatkan penolakan yang dingin, Pak Atsugi menjawab dengan “oh” dan “benar”, setelah itu dia terdiam.
Ketika itu terjadi, bahkan Meguri-senpai terbawa oleh suasananya. Lalu dia menyilangkan lengannya seperti mendapatkan sesuatu.
“Hmm...Oh, saya tahu. Ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh kalau menjadi Ketua Panitia, tahu tidak? Seperti, itu nanti ada di catatan akademis sekolah. Bagi mereka yang mencari rekomendasi untuk kuliah, saya pikir itu akan memberikan banyak poin.”
Apa dia goblok...?
Apa dia merasa akan ada orang yang sukarela jadi ketua karena penjelasan itu...? Lagipula, orang yang jadi ketua dengan tujuan itu di kepalanya akan kelihatan sangat mencolok.
“Umm...Jadi bagaimana?”
Meguri-senpai mengatakan itu sambil melihat ke arah Yukinoshita.
Entah dia sadar atau tidak, Yukinoshita tidak meresponnya sama sekali, dia hanya melihat ke arah Meguri-senpai saja.
Yukinoshita adalah orang yang tidak mau terlihat menonjol di depan publik. Ketua Panitia tidak akan cocok dengan karakternya.
Melihat Meguri-senpai tersenyum kepadanya, bahkan Yukinoshita mulai merasa tidak nyaman dan ikut-ikutan tersenyum.
Itu adalah senyuman yang berisikan banyak sekali tekanan, bahkan tatapan Meguri-senpai tidak ada satupun hal yang jujur di dalamnya.
Tidak lama lagi, Yukinoshita mungkin akan menyerah...
Tapi tepat ketika Yukinoshita terlihat menyerah dan mengembuskan napasnya.
“Umm...”
Suasana yang yang berada dalam tensi yang aneh ini akhirnya terhenti. Yang memecahkan kesunyian ini adalah suara yang lemah.
“Kalau tidak ada yang mau, kalau begitu, saya tidak keberatan melakukannya.”
Asal suara itu berjarak tiga kursi dariku. Itu adalah suara Sagami Minami.
Meguri-senpai, yang mendengar hal itu, bertepuk tangan karena gembira.
“Benarkah? Yei! Oke, bisakah kau kenalkan dirimu?”
Seperti sedang dipaksa, Sagami lalu mengambil napas dalam-dalam.
“Saya Sagami Minami dari kelas 2F. Saya sedikit tertarik dengan hal-hal semacam ini...Dan, seperti, saya ingin berkembang melalui Festival Budaya ini atau semacam itu...Saya ini sebenarnya tidak begitu bagus dengan hal-hal semacam itu, tapi tahulah, seperti ‘aduh apa yang barusan kukatakan, mending tidak usah’ atau semacam itu, benar! Ah, tapi, saya ingin mengubah diri saya yang seperti itu. Bagaimana ya? Ini seperti peluang untuk membuat diri saya lebih baik, jadi saya ingin memberikan yang terbaik untuk ini.”
...Ya Tuhan, kenapa aku harus membantumu tumbuh? Begitulah pikirku, tapi tampaknya yang lain tidak memiliki pemikiran yang sama denganku.
“Uh huh, itu terdengar hebat bagiku. Itu juga sangat penting. Melangkah maju, itu dia.”
Sebuah tepuk tangan kecil, lalu ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan yang luar biasa.
Sagami menundukkan kepalanya, terlihat malu-malu, dan duduk di kursinya lagi.
Merasa gembira karena menyelesaikan masalah ketua, Meguri-senpai menggumamkan “yay!” dengan seuara kecil. Dia lalu mengambil spidol dari sekretaris, dan menulisnya di papan tulis ‘Ketua Panitia Festival Budaya: Sagami’.
Meguri-senpai melemparkan balik spidolnya ke sekretaris dan membalikkan badannya seperti membuat roknya melambai-lambai.
“Oke, yang tersisa hanya pembagian tugas. Silakan baca penjelasan singkat di kertas yang kalian terima. Lalu dalam lima menit kita akan memutuskan siapa yang melakukan ini dan itunya.”
Sesuai instruksinya, aku melihat ke kertas yang dibagikan ke peserta rapat.
Humas, managemen sukarelawan, managemen barang, divisi kesehatan, keuangan, asisten arsip...Banyak sekali.
Begitulah, sebuah Festival Budaya anak SMA harusnya tidak sekompleks ini.
Adikku, Komachi, yang juga bagian dari pengurus OSIS, tidak terlihat sesibuk ini. Pada akhirnya, ini kan cuma event anak sekolahan.
Humas.
Well, aku tidak perlu penjelasan lebih lanjut soal ini. Ini semacam menempelkan poster di jendela minimarket. Itu juga berarti mendesain poster dan negosiasi. Gambaran masa depan yang bisa kulihat hanyalah akan ditertawakan. Jadi, enggak deh.
Managemen Sukarelawan.
Mengatur sukarelawan; dengan kata lain, kau harus mengurusi orang-orang yang tampil dengan band atau tarian-tarian. Mustahil. Kalau kulihat baik-baik, ini ujung-ujungnya akan berhubungan dengan orang-orang yang berasal dari kasta teratas. Kalau aku agen keuangan, bolehlah. Tapi untuk ini, tidak.
Managemen barang.
Ini semacam meminjam meja dari berbagai kelas dan mengatur transportasi dari benda-benda teknologi. Transportasi terdengar sulit dan melelahkan. Tapi kalau ini cuma untan♪ untan♪dengan castanet, kurasa aku tidak begitu keberatan. Mari kita kesampingkan ini dulu.
[note: K-ON Yui dengan castanet.]
Divisi Kesehatan.
Ah, ini mungkin semacam mengumpulkan makanan yang ada sudah ada aplikasinya atau semacam itu. Kurasa tidak masalah kalau ini menyangkut kesehatan fisik. Tapi kita taruh ini dulu.
Keuangan.
Yeah, yeah, semacam menangani uang, benar tidak? Tidak, mustahil bagiku bertanggung jawab dengan masalah yang timbul oleh itu, dan ini berarti masalah yang sangat banyak. Hal terakhir yang kuinginkan adalah diikat dengan setumpuk uang dan digantung hingga kering. Jadi ini positif ditolak.
...Serius ini, sampai sekarang, kurasa aku sudah terlalu berlebihan menanggapi ini.
Jadi pekerjaan yang mungkin bisa kulakukan adalah asisten arsip. Kalau melihat deskripsi singkatnya, tampaknya hanya mengambil gambar di hari-H. Ini bukannya aku punya jadwal tertentu di hari itu. Kurasa ini pekerjaan yang bagus untuk menghabiskan waktu.
Setelah mendapatkan sebuah kesimpulan, aku merenggangkan posisi badanku.
Aku juga melihat ke sekitarku dan orang-orang seperti bermain dengan HP atau mengobrol ke sebelahnya, artinya, mereka sudah memutuskan mau mengambil pekerjaan apa.
Ada suara obrolan yang paling jelas terdengar, dan itu ada di dekatku.
“Aku jadi ketuanya, ya ampun, aku terus harus ngapain ini~!”
“Tenanglah! Sagami-san, kamu pasti bisa.”
“Masa sih, benar nih? Seperti, aku tadi mengatakan hal-hal yang terdengar memalukan. Mustahil aku bisa, benar tidak?”
“Itu tidak benar, ya ampun, itu adalah hal yang bagus. Lagipula, kami akan membantumu nanti.”
Ketika dia menanggapi dengan “benarkah?”, kedua gadis itu meresponnya dengan setuju.
“Yeah, yeah!”
“Benarkaaaah? Makachiiiii!”
Aku bisa mendengar jelas obrolan mereka yang hangat. Luar biasa. Ini semacam pertemanan luar biasa yang bisa kaulihat sebelum marathon dimulai.
...Aku merasa pernah melihat obrolan semacam itu, entah dimana. Apa-apaan? Apa ini deja-vu? Atau mungkin copy-paste? Meski bukan, orang-orang semacam itu selalu mengobrolkan hal-hal seperti itu. Topik dan tata bahasanya mungkin berbeda, tapi akhirnya, mereka hanya memuji satu sama lain, semacam itulah. Kelihatannya meyenangkan.
[note: Obrolan itu sering didengar Hachiman dari grupnya Miura.]
“Apa semuanya sudah selesai?”
Suara Meguri-senpai ternyata mudah sekali untuk didengar. Mungkin karena sangat menenangkan dan nyaman. Karena itulah sangat mudah untuk didengar oleh kesadaranku.
Tidak seperti kau berdiri tiba-tiba karena seseorang meneriakkan namamu, wajah semua orang terlihat damai dan melihat ke arah senpai. Ini seperti bukan keahliannya, tapi ini memang pembawaan asli karakternya.
“Kurasa semua orang sudah punya ide mau melakukan apa. Oke, Sagami-san, sisanya kuserahkan padamu.”
“Eh, saya?”
“Uh huh, kupikir sisanya adalah dimana Ketua Panitia harusnya mengambil alih.”
“Baik...”
Senpai memberikan tanda untuk Sagami duduk di kursi ketua rapat. Sagami lalu duduk di kursi tersebut.
“O-oke, kami akan membaginya sekarang...”
Suaranya yang gugup itu bisa terdengar jelas dalam ruangan yang sunyi ini.
Kecuali, kesunyian ini adalah sunyi yang menandakan kurangnya stabilitas.
Ini adalah kesunyian yang tidak nyaman, dimana perbedaannya sangat tipis antara akan segera berubah menjadi badai cacian atau tidak, ataukah seseorang akan tertawa setelah ini.
Sagami, yang sebelumnya terlihat mengobrol dengan ceria, tampaknya Sagami versi tersebut hanyalah topeng saja.
Suaranya sangat lemah.
“...Pertama, adalah...orang yang bertugas untuk posisi humas...”
Dan tidak ada satupun orang yang mengangkat tangannya.
“Oke, humas adalah. Seperti mengiklankan festival, tahu tidak? Kau bisa pergi ke banyak tempat, mungkin ke stasiun TV atau Radio, tahu tidak?”
Rayuan Meguri-senpai barusan seperti membuat hatiku goyah meskipun sebentar. Ketika kau mengatakan stasiun TV di Chiba, maka kau akan berpikir tentang Chiba TV, dan kalau katakan radio, maka kau akan katakan Bay FM. Jika mereka menyanyikan lagu terkenal ‘Fight! Fight! Chiba!’ di TV dan mengatakan kau bisa bertemu Jaguar, maka aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
[note: Fight fight Chiba adalah lagu yang dinyanyikan band bernama Jaguar.]
Tapi mungkin aku tidak akan bertemu Jaguar jadi kutahan saja ini. Ngomong-ngomong, ini bukanlah Jaguar of Pyuu to Fuku!, tapi Jaguar yang kumaksud itu adalah pahlawan Chiba.
[note: Jaguar of Pyuu to Fuku! adalah nama film.]
Aku tidak yakin kalau kata-kata promosi dari Meguri-senpai tadi berhasil atau tidak, tapi bantuannya tadi memang membuat beberapa grup mulai menggerakkan tangannya. Setelah beberapa orang menaikkan tangannya dan sudah menemukan komposisi sektor tersebut, mereka pindah ke sektor yang lain.
“O-oke...Selanjutnya adalah managemen sukarelawan.”
Beberapa orang mengacungkan tangannya, pada dasarnya para sukarelawan itu adalah pengisi utama acara di Festival Budaya. Jadi banyaknya orang yang bersedia menjadi panitianya sudah sesuai dugaanku.
“Eh, eh...” Sagami terlihat bingung.
Meguri-senpai lalu mendukungnya. “Banyaknya! Banyak sekali yang mau! Hom-pim-pa saja ya!”
Sebuah motivasi yang menyenangkan dan pika pika pikarin menunjukkan keningnya, setelah itu ada Megu Megu Hom pim pa.
[note: Pikapikapikarin adalah mantra penyembuh di anime Precure. Watari suka menonton Precure.]
Meguri-senpai menangani situasi satu dan yang lain dengan metode yang tidak terduga dan dengan antusiasme yang unik. Entah karena dia sangat berpengalaman karena jabatannya atau tidak, dia menangani situasi dengan tenang meskipun situasinya sangat kacau.
Dia membagi-bagikan pekerjaan itu ke peserta rapat dengan cara yang sama. Dia memang benar-benar Ketua OSIS, meskipun tampilannya terlihat tidak bisa diandalkan. Dengan kemampuan Meguri-senpai, pembagian pekerjaan akhirnya selesai.
Ngomong-ngomong, aku sudah mengamankan posisiku di ‘asisten arsip’.
Entah karena memang pekerjaan dari ‘asisten arsip’ sesuai dengan sifat orang-orangnya atau tidak, karena sekarang berkumpul para asisten arsip dengan pola pikir sepertiku, situasinya berubah menjadi sebuah kuburan.
Grup pekerjaan yang lain terlihat memperkenalkan anggota mereka dengan lancar, berbeda dengan grup asisten arsip ini.
“Um, kita harus ngapain?”
“Memperkenalkan diri, mungkin begitu?”
“Apa penting melakukannya?”
“Ya.”
“.....”
“.....”
“Umm, jadi siapa duluan?”
“Ah, aku duluan saja.”
Dan begitulah. Ini seperti sebuah pembicaraan yang sejenis dengan “ Hei kamu, bahkan tukang potong rambut saja tidak mau punya rambut sepertimu!”.
Dan tentunya, Yukinoshita ada di grup ini juga.
Setelah kita memperkenalkan diri kita dengan kelas dan nama lengkap, tiba saatnya untuk hom pim pa menentukan ketua grup.
Yang kalah akan menjadi ketuanya. Akhirnya senpai kelas 3 yang bernama Sesuatu-san terpilih menjadi ketua grup dan secepatnya membubarkan grup itu.
“Oke, semoga hari kalian menyenangkan.”
Setelah salam basa-basi, semua orang berpisah. Yukinoshita adalah orang pertama yang pergi. Aku mencoba berbaur dengan orang-orang yang pulang tersebut dan keluar dari ruang rapat, tapi di momen itulah...
Di salah satu sudut ruang rapat terlihat Sagami Minami, duduk seperti orang frustasi. Dia tampaknya frustasi karena menjabat sebagai Ketua Panitia dan ternyata tidak berjalan seperti yang dia harapkan? Di sebelahnya ada dua gadis yang sejak tadi bersamanya, dan entah mengapa, ada Hiratsuka-sensei dan Meguri-senpai disana juga. Sepertinya mereka akan mendiskusikan tentang rencana ke depannya.
Ketika aku melewati mereka ke pintu keluar, kedua mataku kemudian bertemu dengan tatapan Hiratsuka-sensei.
Dia lalu mengedip-ngedipkan matanya ✰ sambil melambai-lambaikan tangannya padaku, mengindikasikan satu hal yaitu “bye-byeeee”.
...Aku ingin cepat-cepat pulang saja.
Dan itulah yang terpikirkan olehku sebelumnya.
Malam telah berlalu dan badai sudah pergi. Pagi harinya, kehidupan yang normal seperti biasanya sudah menunggu.
Hasilnya? Langit sangat cerah, seperti neraka bagiku.
Awalnya aku yakin kalau aku bisa memanfaatkan situasi badai untuk telat ke sekolah, rencana yang busuk, jadi aku sudah berniat untuk bangun kesiangan. Dan beginilah aku, merasa kurang tidur.
Aku akhirnya bisa masuk sekolah tepat waktu, tapi aku seperti diserang kantuk yang luar biasa seharian. Biasanya ketika jam istirahat siang, aku pura-pura tertidur atau pergi tidur, tapi khusus hari ini, aku memang benar-benar mengantuk seharian.
Tidak hanya ketika istirahat. Ini juga terjadi ketika jam pelajaran. Karena itulah, aku berusaha mengistirahatkan daguku di tanganku, menyandarkan tanganku di meja, dan menaruh kepaalku di lenganku yang menyilang, mencari posisi ideal untuk tidur. Yeah, begitulah. Karena bertarung bukanlah hal yang bagus, aku merasa nyaman jika menyelesaikan masalah ini dengan damai. Kupikir aku akan mencoba berteman baik dengan mengantuk untuk ke depannya.
Tanpa kusadari, jam pelajaran berakhir.
Kesimpulannya, posisi tidur terbaik adalah rebahan di meja dengan kedua tangan menyilang di leherku. Itu juga tidak akan menimbulkan bekas tanda di wajahku. Masalah yang timbul hanyalah rasa nyeri di leher, bahu, dan punggungku.
Begitulah pikirku, tapi aku tidak bisa merasakan tidur yang nyenyak, dan rasa kantukku ini mencapai puncaknya karena posisi tidur yang tidak normal. Aku merasa kalau aku tidak akan bisa menghilangkan kantuk ini kecuali tidur dan berbaring.
Kalau begini, maka tujuanku sangat jelas.
Aku berdiri dan berjalan ke pintu belakang kelas dengan langkah sempoyongan.
Ketika pintunya kubuka...
“Uwah!”
“Er, maaf.”
Kita tidak membuat sebuah tabrakan ‘beep, bop, beep✰’ , tapi dadaku merasakan sebuah tabrakan.
Aku melirik ke orang tersebut, ternyata dia adalah binatang kecil yang sangat familiar dan kakinya sedang gemetaran, membuatnya terlihat manis. Orang yang ingin masuk ke ruangan kelas tersebut adalah Totsuka Saika.
“Oh, Hachiman. Maaf ya...”
“N-nah! Itu tadi salahku. Aku memang agak melamun tadi...”
Bahkan, mungkin sekarang akupun masih melamun. Mungkin itu efek yang tidak disengaja, sekarang, Totsuka berada di lenganku...Phew, hampir saja. Kalau kena mulut Totsuka, mungkin aku akan memilih pingsan saja di depannya.
Totsuka menyadari kalau posisi kita sedang tertahan dan mengambil jarak dari dadaku.
“Maaf ya, tadi aku lagi buru-buru...Hachiman, kamu mau kemana? Sebentar lagi kelas mau dimulai loh?”
“Enggak kemana-mana.” jawabku.
Aku mau tidur di UKS dan bolos pelajaran, tapi aku tidak bisa mengatakan itu dengan keras. Mengatakan sebuah tindakan kriminal seperti itu hanya boleh dilakukan di Twitter.
Totsuka lalu memiringkan kepalanya.
“Tapi, bukankah lebih baik di kelas saja? Jam pelajaran selanjutnya kita akan memutuskan pembagian tugas untuk Festival Budaya.”
“Oh, benarkah?”
Benar juga, kemarin ketika rapat dengan Wali Kelas hanya memutuskan tema kegiatan yang akan disuguhkan kelas 2F. Mereka mungkin akan membicarakan detail kegiatannya sebentar lagi.
“...Well, apapun tidak masalah untukku.”
Ini bukan seperti aku mau menerima pekerjaan. Seperti biasanya, aku hanya hadir sebatas absen saja, kehadiran yang hanya dijadikan penggenap.
Ketika semuanya mulai mengerjakan persiapanya, yang kulakukan hanyalah berdiri menatap mereka seperti patung.
Tidak masalah nanti aku akan mengerjakan apa, pekerjaanku paling ya begitu-begitu saja.
Aku tidak punya hal lain yang kulakukan, tapi untuk jaga-jaga saja, aku sudah siap untuk berdiri di belakang orang yang sedang bekerja, menatap tangan mereka, menggumamkan “uh huuh” seperti tahu sesuatu, dan menunggu mereka mengatakan “bisakah kau lakukan ini untukku” kepadaku.
“Aku tidak masalah jika kau pilihkan tugas apapun.”
Aku tidak tahu apa maksudku tadi bisa sampai ke Totsuka, tapi dia mengangguk dengan tatapan yang penasaran.
“Oke, mengerti.”
Terima kasih ya, aku melambaikan tanganku dan keluar ruangan.
x x x
Sambil mendengar bel yang menandakan pelajaran akan segera dimulai, aku berjalan menuju UKS yang berada di lantai pertama dari Gedung Khusus.
Aku berjalan dengan suasana yang sunyi, jelas saja karena tidak ada satupun siswa yang berkeliaran disini.
Perjalanan menuju UKS terasa sangat menentramkan. Aku lalu mengetuk pintu di depanku, dan ketika kubuka, bau dari cairan antiseptik mulai tercium oleh hidungku.
Ada siswi yang sedang mengobrol dengan Guru UKS. Tapi ketika aku masuk ke dalam, mereka menghentikan pembicaraannya.
Siswi yang namanya tidak kuketahui tersebut lalu menatap HP di tangannya dengan ekspresi tidak nyaman. Sepertinya aku baru saja melakukan sesuatu yang buruk. Maaf ya, tee-hee.
“Ya ampun, bukankah kamu ini salah satu anak asuhnya si Shizuka-chan?”
Guru UKS, seorang wanita muda yang memakai jubah putih, mengatakan itu sambil melihatku dari dekat.
Aku tidak tahu harus memikirkan apa ketika mendengarnya tadi. Apa kami memang terlihat seperti orangtua-anak? Akan ada yang marah loh jika tahu, oke? Tapi sebagian besar, tampaknya yang marah adalah Hiratsuka-sensei. Terutama ketika mendengar orangtua berhubungan dengan umurnya, itu saja.
“Saya pikir saya masuk angin.”
Aku mencoba menjelaskan alasan kunjunganku. Tentunya, aku memastikan diriku kalau aku bertingkah seperti sedang lemah. Momen seperti ini adalah momen yang tepat untuk menunjukkan skill akting yang sudah lama kusembunyikan. Aku tidak heran kalau ada yang memanggilku ‘ahli masuk angin’. Ya Tuhan, nama tadi keren sekali! Tapi, menggunakan kata ‘ahli’ dan ‘masuk angin’ dalam satu frasa membuatku terlihat ‘chuuni’.
“Aku tidak akan percaya begitu saja analisis dari seorang amatir. Biarkan kulihat dulu."
Guru UKS ini langsung membuyarkan aktingku yang bagus ini.
Tsk, mau bagaimana lagi, dia tampaknya seorang veteran dalam menangani siswa yang membolos. Bisakah anda pura-pura jatuh dalam aktingku tadi!?
Sensei menatapku dengan intens, seperti berusaha membuktikan kalau aku ini berbohong. Tidak, mungkin lebih tepatnya kalau dia sedang membedahku dengan tatapan tajamnya. Kalau ini dunia pokemon, defensku mungkin sudah turun.
“...Ini pasti masuk angin.”
“Cepat sekali anda menarik kesimpulannya...”
Apa-apaan penilaiannya barusan? Aku menatapnya, dengan ekspresi keberatan dan kurang senang.
Dia lalu tertawa.
“Maksudku, lihat saja kedua matamu itu. Mustahil kalau kau ini tidak sakit.”
Sensei melihatku sambil berkata “oke” setelah menulis sesuatu di kertaas.
“Well? Apa kau mau beristirahat disini?”
“Ah, baiklah.”
“Ada tempat tidur di sebelah sana.”
Dia memberikan jawaban singkat dan akupun mendengarkannya dengan patuh. Tempat tidurnya dipisahkan oleh tirai, dan punya selimut katun di atasnya. Aku taruh selimutnya di atas perutku dan berbaring.
Obrolan dibalik tirai pink tersebut kini terdengar lagi. Aku mendengarkan suara-suara obrolan mereka yang mulai terdengar pelan hingga benar-benar tertidur.
x x x
Kampret....
Ini terjadi setelah aku selesai beristirahat.
Ketika aku masuk ke kelas, tiba-tiba aku punya jabatan sebagai Panitia Festival Budaya.
Di papan tulis tertulis “Hikigaya”. Dan namaku itu tertulis di bawah tulisan ‘Perwakilan Kelas – Panitia Festival’. Gwaah! Ini pasti konspirasi!?
Maksudku, memang, aku mengatakan kalau silakan memberiku tugas apapun soal Festival Budaya. Apapun tugasnya, tidak akan ada yang berubah, jadi aku sudah siap menerima pekerjaan apapun tidak peduli kalau pekerjaan itu menguras pikiranku.
Tapi, tapi, meski begitu, bukankah mereka ini semacam kejam kalau memberikan pekerjaan ke seseorang dimana mereka semua tidak ada yang mau melakukan itu?
Bukankah normal kalau momen seperti ini digunakan untuk memberikan seorang penyendiri pekerjaan yang tidak menyakitkannya? Bahkan, itulah yang terjadi selama ini.
Metode ‘Kami menjadikanmu Panitia Festival karena kamu tidur(ahaha)’ dilakukan karena ketua kelas akan dibenci jika memaksakan posisi itu ke seseorang, jadi akhirnya kau menjatuhkan posisi itu ke seseorang yang berada di luar kasta sosial...!
Aku berdiri di depan papan tulis dengan ekspresi idiot hingga pundakku ditepuk oleh seseorang.
“Apa kau perlu penjelasan?” Aku tahu suara siapa itu tanpa menolehkan kepalaku.
D-dia disini~ Guru wanita yang hampir berusia 30 dan belum menikah, Hiratsuka Shizuka~
Aku menatapnya seperti mengharapkan sebuah penjelasan.
Hiratsuka-sensei lalu menatap ke arah jam dinding.
“Ini waktunya untuk pelajaranku, tapi siswa-siswa disini masih kebingungan memilih orang. Jadi kupilih dirimu.”
Oke, tunggu dulu, Bu Sastra Jepang. Kau tidak boleh mengatakan ‘jadi’. Ini tidak masuk logika bagiku.
“Sensei, apa yang anda rencanakan..?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura sensei...Untuk apa sensei menaruh penyendiri di jabatan itu!? Memaksa penyendiri terlibat dalam even kelas seperti ini hanya akan menimbulkan tragedi, tahu tidak!”
Even semacam ini adalah even untuk orang-orang yang punya teman dan menikmatinya. Kalau aku kebetulan ada disana, maka mereka harus mempertimbangkan diriku! Berikan aku tugas yang tidak berguna, dimana kehadiranku tidak begitu penting, maka semua pihak bisa santai dan melakukan apapun dengan damai!
“Aku sebenarnya ingin memastikan itu denganmu, tapi...Tadi ada yang bilang kalau kau sendiri tidak masalah dapat tugas apapun, benar tidak?”
Oooph...Pikirku, dan aku mengembuskan napasku. Aku lalu melihat ke arah Totsuka dimana dia sendiri sedang menepuk kedua tangannya dengan ekspresi meminta maaf. Manisnya.
Ketika aku berdiri dan perhatianku teralihkan, alis sensei yang bergerak-gerak mulai mendekatiku secara perlahan.
“Cukup, aku tidak bisa memulai pelajarannya jika kamu berdiri disini. Kembalilah ke kursimu! Putuskan nanti saja sepulang sekolah.”
x x x
Situasi kelas sepulang sekolah ternyata kacau balau.
Kami memutuskan untuk mendiskusikan pembagian tanggung jawab di Festival Budaya. Ini harusnya selesai di jam pelajaran sebelumnya, tapi ternyata menentukan siapa wakil siswa laki-laki yang jadi bagian Panitia Festival memakan waktu yang lama. Akhirnya, Sensei dengan tirani meletakkan jabatan itu kepadaku. Mungkin inilah yang mereka sebut dengan penyalahgunaan kekuasaan....Argh! Jika saja aku punya kekuatan lebih! Mungkin aku bisa memberikan itu ke orang lain! Rangkaian penyalahgunaan kekuasaan...Mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi struktur masyarakat Jepang. Ini adalah momen yang tepat untuk menerapkan nasionalisme dalam diriku.
Begitulah yang kurasakan, tapi kami masih harus memilih perwakilan siswa perempuan di Panitia Festival.
Memimpin di depan, ketua kelas 2F. Aku tidak tahu namanya. Semua orang disini memanggilnya Ketua Kelas. Dulu ada permintaan agar ketua kelasnya perempuan, sayangnya, ternyata laki-laki. Jadi, memanggilnya ketua kelas kurasa sudah cukup.
“Erm, oke, apa ada gadis disini yang ingin jadi Panita Festival, tolong angkat tangan!”
Ketua kelas mengatakan itu, tetapi tidak ada yang mengacungkan tangannya.
“Kalau tidak ada keputusan, terpaksa kita lakukan hom-pim-pa...”
“Haa?”
Suara ketua kelas tersebut dipotong oleh Miura. Dia mulai gelagapan dan mengatakan “mmmg” karena ketakutan. Hanya dengan suara “haa”, dia mampu membuat sekitarnya terdiam. Dia sebenarnya dari kuil mana?
Setelah itu, mulailah bisik-bisik meramaikan suasana kelas ini. Lalu ketua kelas berkata lagi “Bagaimana?”, lalu semuanya terdiam. Adegan ini terus berulang-ulang seperti loop.
“...Bukankah itu, seperti, akan punya banyak sekali pekerjaan?”
Yuigahama menanyakan itu, seperti tidak mampu untuk melihat situasi semacam itu terus terjadi.
Si ketua kelas tampak lega mendengarnya.
“Kupikir jika kau melakukannya secara normal, tidak akan begitu sulit...Mungkin agak sulit bagi para gadis.”
Mata empat sialan, dia jelas-jelas menatapku ketika mengatakannya. Dia mencoba mengatakan kalau aku ini tidak berguna.
“Uh huuuh...”
Yuigahama mengatakan itu sambil melirik ke arahku. Si ketua kelas tampaknya berpikir kalau dia akan menerimanya, dan mungkin ini satu-satunya peluang untuk mengakhiri diskusi ini.
“Sejujurnya, kalau kau menerima jabatan itu, Yuigahama-san, itu akan bagus sekali. Kupikir kau sangat cocok, karena kau itu populer, dan aku sangat yakin kau bisa membuat mereka bekerjasama dengan baik.”
“Mustahil, aku tidak benar-benar...”
Yuigahama menjawabnya, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi malu-malu. Dan suara yang sangat dingin, terdengar...
“Oooh, Yui-chan, kau mau melakukannya, huuuh?”
“Eh?”
Yuigahama menatap ke arah suara tersebut, seorang siswi.
Siapa ya. Kupikir namanya Sagami?
Sagami adalah pemimpin dari sebuah grup yang terdiri dari empat orang, duduk berjauhan dari Yuigahama dan yang lain. Berada di posisi yang berlawanan dengan jendela, posisi belakang kelas, dan dekat pintu menuju lorong, disitulah Sagami duduk.
“Hei, itu terdengar sangat luar biasa juga! Dua orang yang lagi dekat di event yang sama, terdengar kereeen~,”
[note: Vol 5 chapter 6, Yui dan Hachiman bertemu Sagami di Festival Kembang Api, Menara Pelabuhan Chiba.]
Sagami mengatakan itu dan teman-temannya terdengar tertawa cekikikan di sebelahnya.
Sambil tersenyum, Yuigahama membalasnya.
“Well, sebenarnya tidak seperti itu.”
Sagami lalu menatapku dengan tatapan yang penuh arti.
Senyum sinis yang menjijikkan. Bahkan senyum sinis dari gadis-gadis yang duduk di sebelahnya lebih menjijikkan lagi, seperti kompak dengannya.
Sebenarnya, apa maksud senyum sinis itu? Mustahil aku tidak tahu.
Ini sama persis dengan tawa sinis waktu itu, hari dimana ada Festival Kembang Api.
Bagi Yuigahama yang berada dalam komunitas sosial kelas, dan bagiku yang berada diluar lingkaran komunitas kelas, tawa sinis yang penuh dengan cemoohan.
Tawanya seperti merobek-robek gendang telingaku.
“Hei, tahu tidak...”
Ada sebuah suara yang membelah suasana tersebut. Seperti menghentikan suara para serangga dengan melangkah ke semak belukar.
“Yui dan aku ini nantinya di Festival bertugas cari pelanggan, jadi itu mustahil.”
Miura Yumiko mengatakan itu dengan santai dan tanpa rasa takut.
Merasa ditekan, Sagami dan yang lain mulai gugup, lalu mereka terdiam. Sagami berusaha mempertahankan senyumnya.
“Oh Okeeee, mencari pelanggan itu juga sangat penting, yep.”
“Y-yeah, yeah, mencari pelanggan itu penting, err, sejak kapan kita memutuskannya begitu!?”
Yuigahama menjawabnya, berusaha mengkonfirmasi itu, tapi hanya keterkejutan yang dia dapatkan. Sampai sekarang, yang terpilih sebagai perwakilan kelas baru yang laki-laki saja....
Reaksi Yuigahama membuat Miura juga agak malu-malu.
“Eh...? Ka-kau tidak mau melakukannya denganku? A-apa aku salah?”
“Jangan khawatir Yumiko. Kau tidak melebar jauh dari tema kita. Reaksimu itu sudah Yumiko-banget!”
Ebina menjawabnya sambil menempelkan lidahnya, mengedipkan matanya, dan menunjukkan jempolnya. Ya, tampaknya itu memang Miura-banget.
“Wha, Ebina, berhenti mencandaiku! Kau membuatku malu!”
[note: ‘Mencari pelanggan’ ini bisa multitafsir, ahaha.]
Miura, aku tahu wajahmu sudah memerah dan menginjak kaki Ebina, tapi kupikir itu bukan pujian untukmu, sorry saja.
Di lain pihak, bahu Yuigahama tampak seperti sudah menyerah.
“Ku-kurasa semuanya sudah jelas, huh...”
Kau sadar juga? Tapi kau harusnya lega. Maksudku, aku saja tidak punya hak apapun. Sial, tidak hanya Hiratsuka-sensei memutuskannya sepihak, semua orang tampaknya salah paham denganku. Aku ini seperti anak yang tidak diinginkan.
Melihat tidak adanya kemajuan sama sekali, ketua kelas terlihat sangat kecewa.
“Bagaimana kalau begini?”
Hayama, yang sedari tadi hanya mengamati saja, menaikkan tangannya. Semua orang menatap ke arahnya. Bahkan si ketua kelas melihatnya dengan mata berkaca-kaca.
“Intinya wakil kita yang satu ini harus punya jiwa kepemimpinan, benar?”
Kata-kata Hayama sangat beralasan dan valid. Benar, tidak ada salahnya jika orang itu punya jiwa kepemimpinan karena akan diserahi banyak tanggung jawab. Meski begitu, kalau ada satu masalah muncul, dia akan terlihat tidak punya satupun jiwa kepemimpinan.
Kalau begitu, maka ini menjadi diskusi dimana orang itu harusnya berasal dari kasta teratas kelas ini. Tapi karena perwakilan laki-laki sudah terisi olehku, para gadis mulai berbisik-bisik tentang bagaimana mereka tidak punya jiwa kepemimpinan untuk menjabat posisi itu.
Kalau dipikir-pikir, dilihat dari keseluruhan, jika orang-orang di kasta teratas tidak berminat untuk mengambil tanggung jawab itu, maka itu akan jatuh ke tangan kasta grup yang berada di bawahnya.
Dan efek dari kata-kata Hayama tersebut persis seperti yang dikatakan oleh Tobe.
“Kayaknya cocok dengan Sagami-san, benar tidak?”
“Yeah, kurasa itu bisa juga. Sagami-san tampaknya bisa melakukan tugas itu dengan sangat baik.”
Hayama bersikap seperti orang yang setuju dengan ide orang lain, meski dialah orang yang pertama mengusulkan itu.
Tobe dengan gaya khasnya, terlihat bangga sambil mengatakan “Bener, kan?”. Sedih sekali melihat dia berusaha bersikap manis seperti itu.
Di lain pihak, Sagami, yang tiba-tiba disebut namanya, menaruh tangannya di depan.
“Apaaa? Akuu? Aku enggak tahu apa aku bisa. Ini seperti, mustahil lah bagiku!”
Dia mungkin terlihat menolak, tapi tidak ada kepastian dari kata-katanya.
Hei, hei, aku ini sangat berpengalaman dalam ditolak, kau tidak bisa membohongi mataku, tahu tidak?
Ketika seorang gadis menolak sesuatu, dia akan mengatakan, “Umm, bisakah kau hentikan itu?”, disertai dengan ekspresi kosong dan tatapan mata yang sangat dingin. Sangat menakutkan sehingga detak jantungmu serasa berhenti dan kau ingin mati saja.
Melihat peluang itu, Hayama menepuk kedua tangannya bersamaan, dan memasang ekspresi meminta maaf.
“Sagami, bisakah aku memintamu untuk melakukannya?”
“...Well kalau tidak ada yang mau, kurasa aku akan melakukannya. Tapiiii, aku, huh?”
Ekspresi Sagami terlihat senang dan wajahnya memerah, dan mengatakan dengan pelan kata-kata tadi. Apa kamu semacam Jigoku no Sesuatu-sawa?
[note: Nama mangaka Jigoku no Misawa.]
Dia mungkin tidak sedang dalam posisi yang buruk karena diminta tolong oleh Hayama. Mungkin lebih tepatnya, “Hayama tadi bilang kalau dia mengandalkanku!”.
“Oke, kurasa aku akan melakukannya.”
Sagami mengatakan itu dan ketua kelas terlihat lega mendengarnya.
“Oke, kalau begitu kita akhiri untuk hari ini...”
x x x
Dan kemudian, rapat Panitia akan dimulai lebih awal hari ini.
Jam 3.45 sore. Aku mencoba mengingat-ingat itu di kepalaku.
Di sekolah, kau harus punya kemampuan untuk mengatur dirimu. Pindah dari kelas satu ke kelas lain, liburan, dan rencana sepulang sekolah, dan yang terpenting, kau harus punya pemahaman yang dalam mengenai itu. Itu karena tidak akan ada seorangpun yang memberitahumu soal itu. Dan aku sangat jago untuk mencari info seputar liburan.
Waktu yang disepakati semakin dekat. Aku mulai berjalan menuju Ruang Konferensi dimana rapat Panitia akan digelar.
Orang-orang terlihat berjalan secara berkelompok menuju ruang rapat. Di keramaian ini, ada beberapa pasangan siswa dan siswi yang sedang mengobrol dalam perjalanan. Untunglah, mungkinkah anak-anak ini akan sesat hidupnya jika tidak punya seorangpun yang mau berjalan bersama mereka?
Ruang Konferensi dijadikan tempat rapat Panitia Festival Budaya. Luas ruangannya sekitar dua kali lebih besar dari ruang kelas pada umumnya. Disana sudah disiapkan kursi dan meja yang biasa digunakan untuk pertemuan resmi. Tampaknya ruangan ini biasa dipakai untuk rapat staff sekolah atau semacamnya.
Ketika aku masuk ke ruangan rapat, terlihat baru separuh dari total peserta rapat yang berkumpul.
Dia pasti berangkat lebih dulu daripada diriku, karena Sagami ternyata sudah berada disini.
Berkumpul dengan dua orang gadis lain, yang mungkin temannya sejak lama, atau juga dia baru kenal, Sagami tampak terlibat dalam sebuah pembicaraan.
“Wow, aku sangat senang kalian juga jadi panitia, Yukko. Aku nih tiba-tiba aja diminta mewakili, jadi aku kaget banget bo~.”
Setelah Sagami menggelindingkan bolanya, keduanya menambahkan.
“Aku disini gara-gara kalah hom-pim-pa...”
“Aku jugaaa! Oh, Sagami-san, boleh tidak kupanggil Manami-chan?”
“Boleh, boleh. Jadi aku panggil kamu apa?”
“Haruka boleh.”
“Oh, Haruka? Kalau tidak salah kamu ini sama Yukko ada di klub Basket ya?”
“Yep, yep.”
“Oooh, kelihatannya menyenangkan. Mungkin aku harusnya ikut klub juga. Aku nih kayaknya udah gak hoki lagi di kelas...”
“Ah, kalau enggak salah kelas F itu kelasnya si Miura ya?”
“Uh huh.”
Ekspresi suram Sagami terlihat menakutkan, tapi kedua gadis yang menyebut nama Miura hanya dari mendengar kata ‘tidak hoki di kelas’ tampaknya berada di kasta yang sama dengannya.
Obrolan para gadis yang tidak punya bumbu kebencian di dalamnya bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan, tapi ketika mereka mulai membesar-besarkan sesuatu, mereka berubah menjadi sesuatu yang beracun; dan itu membuat mereka mengerikan.
“Tapi Hei, disana ada Hayama, jadi tidak begitu buruk-lah.”
“Kurasa begitu. Hayama-kun sebenarnya adalah orang yang merekomendasikanku untuk menjadi Panitia Festival. Meski, aku sendiri sebenarnya tidak tahu harus mengerjakan apa disini.”
Sekali lagi, apa kamu Sesuatu-sawa? Sagamisawa-san?
Ketika kutajamkan pendengaranku lebih jauh, aku bisa mendengar pembicaraan datang dari orang-orang di sekitar Sagami dan teman-temannya.
Semakin banyak orang di ruangan ini, percakapan tadi semakin terdengar seperti sebuah suara bising di ruangan ini.
Orang-orang di ruangan ini semakin banyak ketika waktu pertemuan semakin dekat. Kapanpun pintu geser tersebut terbuka, orang-orang disini mengalihkan perhatian mereka ke pintu, tapi tidak lama kemudian langsung memalingkan pandangannya ketika menyadari kalau itu bukan teman mereka. Tatapan seperti itu sangat tidak nyaman...Cara mereka melihat seperti mengatakan “Aku tidak sedang menunggu orang sepertimu, aku tidak tertarik kepadamu”.
Tapi ketika orang yang berikutnya muncul, ternyata diluar ekspektasi semua orang.
Ketika pintu terbuka, suara obrolan di dalam ruangan ini terhenti.
Berjalan melewati kesunyian ini, suara langkahnya, gadis ini, Yukinoshita Yukino. Sikapnya yang terlihat elit ini adalah sesuatu yang tidak akan pernah kau temui dimanapun. Napas setiap orang disini serasa terhenti, seperti menatap ke tumpukan salju yang sedang mencair.
Ketika Yukinoshita menyadari kehadiranku, dia berhenti sejenak. Lalu dia memalingkan pandangannya sambil berjalan beberapa langkah, dia lalu duduk dan mengambil kursi yang terdekat dengannya.
Meski dia baru saja duduk di ruangan ini, tapi waktu di ruang rapat ini serasa membeku.
Meski aku sudah terbiasa melihatnya, tapi mataku masih tidak bisa lepas darinya. Mungkin karena inilah pertamakalinya bagiku melihat dirinya diluar tempat kami bertemu biasanya? Ataukah ada sesuatu yang mengejutkan tentang dirinya berpartisipasi menjadi Panitia Festival Budaya?
Waktu seperti kembali berdetak. Meski sempat terhenti sejenak, obrolan di ruangan ini kembali berlanjut seperti suara ombak di lautan. Tidak lama kemudian, jam menunjukkan kalau waktu pertemuan sudah tiba.
Pintu ruang rapat terbuka, suara langkah kaki mereka seperti menyelaraskan dengan tempo obrolan orang-orang di ruangan ini.
Mereka adalah grup siswa yang tampak memiliki sebuah ikatan solidaritas memegang beberapa kertas dokumen. Masuk setelah mereka adalah Pak Atsugi, Guru Olahraga SMA Sobu, dan Hiratsuka-sensei.
Kenapa Hiratsuka-sensei...Melihat ini seperti hal yang janggal, aku melihat ke arahnya. Ketika kedua mata kami bertemu, dia tersenyum kepadaku. Senyum yang terlihat lebih muda dari umurnya dan sangat manis.
Dengan kata lain, tampaknya konspirasi dibalik semua ini.
Sepertinya aku disini karena dibodohi olehnya, benar tidak...?
Setelah mereka berada duduk di meja pimpinan rapat, mereka menatap ke seorang siswi. Setelah itu, siswi itu mengangguk.
Dengan menggunakan itu sebagai sinyal, dua siswa, yang terlihat seperti siswa kelas 1, mulai membagikan kertas ke semua orang. Setelah memastikan keduanya berjalan membagikan kertas ke seluruh peserta rapat, siswi tersebut berdiri.
“Oke, mari kita mulai rapat Panitia Festival Budaya.”
Rambutnya yang lumayan panjang itu diikat dan berada di depan bahunya, poninya terlihat rapi dengan adanya pin rambut, dahinya yang terlihat licin itu menampilkan aura yang brillian. Seragamnya mengikuti aturan sekolah, tapi ikat rambut yang berwarna warni menghiasi kerah jasnya memberikan aura sosok yang dikagumi. Siswi ini melihat dengan teliti ke seluruh orang di ruangan ini dan tersenyum, dan memberikan, semacam, perintah yang terdengar menyenangkan. Setiap orang lalu terlihat membetulkan posisi duduknya.
“Umm, saya Ketua OSIS, Shiromeguri Meguri. Saya super gembira karena bisa mengadakan Festival Budaya lagi tahun ini dengan bekerjasama bersama kalian...U-um...Ja-jadi, mari kita berikan yang terbaik, semuanya! Yeah!”
Meguri-senpai menutupnya dengan gestur sederhana yang membuatmu berpikir kalau dia mengatakan ‘Ayo tangkap mereka!’.
Ketika dia selesai, pengurus OSIS lainnya terlihat bertepuk tangan. Dipancing oleh itu, peserta rapat yang lainnya terlihat memberikan tepuk tangan untuknya juga.
Meguri-senpai mengangguk melihat pemandangan itu.
“Terima kasih~ Sekarang, mari kita pilih Ketua Panitianya dahulu.”
Para peserta rapat mulai heboh.
Well, benar. Aku saja merasa kalau si Ketua OSIS ini akan menunjuk dirinya sendiri yang akan menjadi Ketua Panitia.
Meguri-senpai tersenyum.
“Saya sangat yakin kalau banyak sekali orang yang tahu soal ini, tapi setiap tahunnya, siswa kelas 2 biasanya terpilih menjadi Ketua Panitia. Dan kalian tahu kan, saya ini sudah kelas tiga.”
Haa, begitu ya. Well, kelas tiga memang tidak bisa melakukan banyak hal sejak awal musim gugur. Tidak lama lagi mereka akan disibukkan dengan ujian.
“Oke, apakah ada seseorang disini yang mau menjabat posisi itu?”
Meguri-senpai bertanya, tapi tidak ada seorangpun yang menaikkan tangannya.
Ini bisa dipahami. Aku ragu kalau itu dikarenakan mereka kurang antusias dengan Festival Budaya. Bahkan mereka sendiri terlihat sangat bersemangat dengan Festival Budaya itu sendiri.
Hanya saja mereka tidak mau unjuk kemampuan, mereka cuma mau berpartisipasi saja, dan mau memberikan yang terbaik bersama-sama yang lain.
Kalau ada yang ingin mereka lakukan, maka mereka ingin melakukan itu bersama kelas atau klub mereka. Yang ingin mereka lakukan sebenarnya adalah bekerja bersama orang-orang yang mereka kenal baik, menikmati festival dengan gadis yang mereka sukai.
Dan faktanya sekarang, lebih tepatnya ‘bagaimana mereka memberikan yang terbaik dalam suatu grup yang mereka tidak kenal?’.
“Apa ada oraaaaaaang yang mauuuu?”
Peserta rapat terus terdiam.
Pak Atsugi, Guru Olahraga, seperti sedang pura-pura terbatuk , mungkin meneriakkan jurus ‘war cry’.
[note: War Cry itu semacam jurus umum di RPG yang biasanya dimiliki kelas warrior atau petarung.]
“Apa-apaan kalian ini? Kalian harusnya menunjukkan motivasi yang lebih. Kalian ini kurang berambisi! Dengar ya, Festival Budaya ini adalah event yang khusus untuk kalian.”
Sebuah semangat yang membuatmu berpikir kalau dia akan mengakhiri kalimatnya dengan “Sial, serius ini!”.
Tampaknya Pak Atsugi ini adalah guru penanggung jawab dari Festival Budaya. Hiratsuka-sensei yang sedari tadi menyilangkan lengannya di sebelahnya, tampak mendukungnya.
Pak Atsugi lalu melihat satu-persatu peserta rapat ini.
Lalu tatapannya itu terhenti di Yukinoshita.
“...Oh. Kalau tidak salah kamu itu adik si Yukinoshita ya!? Aku sangat berharap kalau Festival Budaya kali ini bisa seperti yang kemarin, eh?”
Itu adalah kata-kata implisit. Makna sebenarnya adalah “Tentunya, kaulah yang akan jadi ketuanya, benar tidak?”.
Meguri-senpai tampaknya menyadari itu dan berbisik.
“Ah, jadi dia adiknya Haru-san ya.”
Seperti yang kauharapkan dari Yukinoshita Haruno. Dia punya kesan yang cukup membekas bagi guru-guru dan juniornya.
“Saya disini sebagai member panitia.”
Yukinoshita menjawabnya singkat, tapi dengan sopan. Gerakan alisnya menandakan kalau dia sedang ‘bad mood’.
Mendapatkan penolakan yang dingin, Pak Atsugi menjawab dengan “oh” dan “benar”, setelah itu dia terdiam.
Ketika itu terjadi, bahkan Meguri-senpai terbawa oleh suasananya. Lalu dia menyilangkan lengannya seperti mendapatkan sesuatu.
“Hmm...Oh, saya tahu. Ada banyak keuntungan yang bisa diperoleh kalau menjadi Ketua Panitia, tahu tidak? Seperti, itu nanti ada di catatan akademis sekolah. Bagi mereka yang mencari rekomendasi untuk kuliah, saya pikir itu akan memberikan banyak poin.”
Apa dia goblok...?
Apa dia merasa akan ada orang yang sukarela jadi ketua karena penjelasan itu...? Lagipula, orang yang jadi ketua dengan tujuan itu di kepalanya akan kelihatan sangat mencolok.
“Umm...Jadi bagaimana?”
Meguri-senpai mengatakan itu sambil melihat ke arah Yukinoshita.
Entah dia sadar atau tidak, Yukinoshita tidak meresponnya sama sekali, dia hanya melihat ke arah Meguri-senpai saja.
Yukinoshita adalah orang yang tidak mau terlihat menonjol di depan publik. Ketua Panitia tidak akan cocok dengan karakternya.
Melihat Meguri-senpai tersenyum kepadanya, bahkan Yukinoshita mulai merasa tidak nyaman dan ikut-ikutan tersenyum.
Itu adalah senyuman yang berisikan banyak sekali tekanan, bahkan tatapan Meguri-senpai tidak ada satupun hal yang jujur di dalamnya.
Tidak lama lagi, Yukinoshita mungkin akan menyerah...
Tapi tepat ketika Yukinoshita terlihat menyerah dan mengembuskan napasnya.
“Umm...”
Suasana yang yang berada dalam tensi yang aneh ini akhirnya terhenti. Yang memecahkan kesunyian ini adalah suara yang lemah.
“Kalau tidak ada yang mau, kalau begitu, saya tidak keberatan melakukannya.”
Asal suara itu berjarak tiga kursi dariku. Itu adalah suara Sagami Minami.
Meguri-senpai, yang mendengar hal itu, bertepuk tangan karena gembira.
“Benarkah? Yei! Oke, bisakah kau kenalkan dirimu?”
Seperti sedang dipaksa, Sagami lalu mengambil napas dalam-dalam.
“Saya Sagami Minami dari kelas 2F. Saya sedikit tertarik dengan hal-hal semacam ini...Dan, seperti, saya ingin berkembang melalui Festival Budaya ini atau semacam itu...Saya ini sebenarnya tidak begitu bagus dengan hal-hal semacam itu, tapi tahulah, seperti ‘aduh apa yang barusan kukatakan, mending tidak usah’ atau semacam itu, benar! Ah, tapi, saya ingin mengubah diri saya yang seperti itu. Bagaimana ya? Ini seperti peluang untuk membuat diri saya lebih baik, jadi saya ingin memberikan yang terbaik untuk ini.”
...Ya Tuhan, kenapa aku harus membantumu tumbuh? Begitulah pikirku, tapi tampaknya yang lain tidak memiliki pemikiran yang sama denganku.
“Uh huh, itu terdengar hebat bagiku. Itu juga sangat penting. Melangkah maju, itu dia.”
Sebuah tepuk tangan kecil, lalu ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan yang luar biasa.
Sagami menundukkan kepalanya, terlihat malu-malu, dan duduk di kursinya lagi.
Merasa gembira karena menyelesaikan masalah ketua, Meguri-senpai menggumamkan “yay!” dengan seuara kecil. Dia lalu mengambil spidol dari sekretaris, dan menulisnya di papan tulis ‘Ketua Panitia Festival Budaya: Sagami’.
Meguri-senpai melemparkan balik spidolnya ke sekretaris dan membalikkan badannya seperti membuat roknya melambai-lambai.
“Oke, yang tersisa hanya pembagian tugas. Silakan baca penjelasan singkat di kertas yang kalian terima. Lalu dalam lima menit kita akan memutuskan siapa yang melakukan ini dan itunya.”
Sesuai instruksinya, aku melihat ke kertas yang dibagikan ke peserta rapat.
Humas, managemen sukarelawan, managemen barang, divisi kesehatan, keuangan, asisten arsip...Banyak sekali.
Begitulah, sebuah Festival Budaya anak SMA harusnya tidak sekompleks ini.
Adikku, Komachi, yang juga bagian dari pengurus OSIS, tidak terlihat sesibuk ini. Pada akhirnya, ini kan cuma event anak sekolahan.
Humas.
Well, aku tidak perlu penjelasan lebih lanjut soal ini. Ini semacam menempelkan poster di jendela minimarket. Itu juga berarti mendesain poster dan negosiasi. Gambaran masa depan yang bisa kulihat hanyalah akan ditertawakan. Jadi, enggak deh.
Managemen Sukarelawan.
Mengatur sukarelawan; dengan kata lain, kau harus mengurusi orang-orang yang tampil dengan band atau tarian-tarian. Mustahil. Kalau kulihat baik-baik, ini ujung-ujungnya akan berhubungan dengan orang-orang yang berasal dari kasta teratas. Kalau aku agen keuangan, bolehlah. Tapi untuk ini, tidak.
Managemen barang.
Ini semacam meminjam meja dari berbagai kelas dan mengatur transportasi dari benda-benda teknologi. Transportasi terdengar sulit dan melelahkan. Tapi kalau ini cuma untan♪ untan♪dengan castanet, kurasa aku tidak begitu keberatan. Mari kita kesampingkan ini dulu.
[note: K-ON Yui dengan castanet.]
Divisi Kesehatan.
Ah, ini mungkin semacam mengumpulkan makanan yang ada sudah ada aplikasinya atau semacam itu. Kurasa tidak masalah kalau ini menyangkut kesehatan fisik. Tapi kita taruh ini dulu.
Keuangan.
Yeah, yeah, semacam menangani uang, benar tidak? Tidak, mustahil bagiku bertanggung jawab dengan masalah yang timbul oleh itu, dan ini berarti masalah yang sangat banyak. Hal terakhir yang kuinginkan adalah diikat dengan setumpuk uang dan digantung hingga kering. Jadi ini positif ditolak.
...Serius ini, sampai sekarang, kurasa aku sudah terlalu berlebihan menanggapi ini.
Jadi pekerjaan yang mungkin bisa kulakukan adalah asisten arsip. Kalau melihat deskripsi singkatnya, tampaknya hanya mengambil gambar di hari-H. Ini bukannya aku punya jadwal tertentu di hari itu. Kurasa ini pekerjaan yang bagus untuk menghabiskan waktu.
Setelah mendapatkan sebuah kesimpulan, aku merenggangkan posisi badanku.
Aku juga melihat ke sekitarku dan orang-orang seperti bermain dengan HP atau mengobrol ke sebelahnya, artinya, mereka sudah memutuskan mau mengambil pekerjaan apa.
Ada suara obrolan yang paling jelas terdengar, dan itu ada di dekatku.
“Aku jadi ketuanya, ya ampun, aku terus harus ngapain ini~!”
“Tenanglah! Sagami-san, kamu pasti bisa.”
“Masa sih, benar nih? Seperti, aku tadi mengatakan hal-hal yang terdengar memalukan. Mustahil aku bisa, benar tidak?”
“Itu tidak benar, ya ampun, itu adalah hal yang bagus. Lagipula, kami akan membantumu nanti.”
Ketika dia menanggapi dengan “benarkah?”, kedua gadis itu meresponnya dengan setuju.
“Yeah, yeah!”
“Benarkaaaah? Makachiiiii!”
Aku bisa mendengar jelas obrolan mereka yang hangat. Luar biasa. Ini semacam pertemanan luar biasa yang bisa kaulihat sebelum marathon dimulai.
...Aku merasa pernah melihat obrolan semacam itu, entah dimana. Apa-apaan? Apa ini deja-vu? Atau mungkin copy-paste? Meski bukan, orang-orang semacam itu selalu mengobrolkan hal-hal seperti itu. Topik dan tata bahasanya mungkin berbeda, tapi akhirnya, mereka hanya memuji satu sama lain, semacam itulah. Kelihatannya meyenangkan.
[note: Obrolan itu sering didengar Hachiman dari grupnya Miura.]
“Apa semuanya sudah selesai?”
Suara Meguri-senpai ternyata mudah sekali untuk didengar. Mungkin karena sangat menenangkan dan nyaman. Karena itulah sangat mudah untuk didengar oleh kesadaranku.
Tidak seperti kau berdiri tiba-tiba karena seseorang meneriakkan namamu, wajah semua orang terlihat damai dan melihat ke arah senpai. Ini seperti bukan keahliannya, tapi ini memang pembawaan asli karakternya.
“Kurasa semua orang sudah punya ide mau melakukan apa. Oke, Sagami-san, sisanya kuserahkan padamu.”
“Eh, saya?”
“Uh huh, kupikir sisanya adalah dimana Ketua Panitia harusnya mengambil alih.”
“Baik...”
Senpai memberikan tanda untuk Sagami duduk di kursi ketua rapat. Sagami lalu duduk di kursi tersebut.
“O-oke, kami akan membaginya sekarang...”
Suaranya yang gugup itu bisa terdengar jelas dalam ruangan yang sunyi ini.
Kecuali, kesunyian ini adalah sunyi yang menandakan kurangnya stabilitas.
Ini adalah kesunyian yang tidak nyaman, dimana perbedaannya sangat tipis antara akan segera berubah menjadi badai cacian atau tidak, ataukah seseorang akan tertawa setelah ini.
Sagami, yang sebelumnya terlihat mengobrol dengan ceria, tampaknya Sagami versi tersebut hanyalah topeng saja.
Suaranya sangat lemah.
“...Pertama, adalah...orang yang bertugas untuk posisi humas...”
Dan tidak ada satupun orang yang mengangkat tangannya.
“Oke, humas adalah. Seperti mengiklankan festival, tahu tidak? Kau bisa pergi ke banyak tempat, mungkin ke stasiun TV atau Radio, tahu tidak?”
Rayuan Meguri-senpai barusan seperti membuat hatiku goyah meskipun sebentar. Ketika kau mengatakan stasiun TV di Chiba, maka kau akan berpikir tentang Chiba TV, dan kalau katakan radio, maka kau akan katakan Bay FM. Jika mereka menyanyikan lagu terkenal ‘Fight! Fight! Chiba!’ di TV dan mengatakan kau bisa bertemu Jaguar, maka aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
[note: Fight fight Chiba adalah lagu yang dinyanyikan band bernama Jaguar.]
Tapi mungkin aku tidak akan bertemu Jaguar jadi kutahan saja ini. Ngomong-ngomong, ini bukanlah Jaguar of Pyuu to Fuku!, tapi Jaguar yang kumaksud itu adalah pahlawan Chiba.
[note: Jaguar of Pyuu to Fuku! adalah nama film.]
Aku tidak yakin kalau kata-kata promosi dari Meguri-senpai tadi berhasil atau tidak, tapi bantuannya tadi memang membuat beberapa grup mulai menggerakkan tangannya. Setelah beberapa orang menaikkan tangannya dan sudah menemukan komposisi sektor tersebut, mereka pindah ke sektor yang lain.
“O-oke...Selanjutnya adalah managemen sukarelawan.”
Beberapa orang mengacungkan tangannya, pada dasarnya para sukarelawan itu adalah pengisi utama acara di Festival Budaya. Jadi banyaknya orang yang bersedia menjadi panitianya sudah sesuai dugaanku.
“Eh, eh...” Sagami terlihat bingung.
Meguri-senpai lalu mendukungnya. “Banyaknya! Banyak sekali yang mau! Hom-pim-pa saja ya!”
Sebuah motivasi yang menyenangkan dan pika pika pikarin menunjukkan keningnya, setelah itu ada Megu Megu Hom pim pa.
[note: Pikapikapikarin adalah mantra penyembuh di anime Precure. Watari suka menonton Precure.]
x x x
Meguri-senpai menangani situasi satu dan yang lain dengan metode yang tidak terduga dan dengan antusiasme yang unik. Entah karena dia sangat berpengalaman karena jabatannya atau tidak, dia menangani situasi dengan tenang meskipun situasinya sangat kacau.
Dia membagi-bagikan pekerjaan itu ke peserta rapat dengan cara yang sama. Dia memang benar-benar Ketua OSIS, meskipun tampilannya terlihat tidak bisa diandalkan. Dengan kemampuan Meguri-senpai, pembagian pekerjaan akhirnya selesai.
Ngomong-ngomong, aku sudah mengamankan posisiku di ‘asisten arsip’.
Entah karena memang pekerjaan dari ‘asisten arsip’ sesuai dengan sifat orang-orangnya atau tidak, karena sekarang berkumpul para asisten arsip dengan pola pikir sepertiku, situasinya berubah menjadi sebuah kuburan.
Grup pekerjaan yang lain terlihat memperkenalkan anggota mereka dengan lancar, berbeda dengan grup asisten arsip ini.
“Um, kita harus ngapain?”
“Memperkenalkan diri, mungkin begitu?”
“Apa penting melakukannya?”
“Ya.”
“.....”
“.....”
“Umm, jadi siapa duluan?”
“Ah, aku duluan saja.”
Dan begitulah. Ini seperti sebuah pembicaraan yang sejenis dengan “ Hei kamu, bahkan tukang potong rambut saja tidak mau punya rambut sepertimu!”.
Dan tentunya, Yukinoshita ada di grup ini juga.
Setelah kita memperkenalkan diri kita dengan kelas dan nama lengkap, tiba saatnya untuk hom pim pa menentukan ketua grup.
Yang kalah akan menjadi ketuanya. Akhirnya senpai kelas 3 yang bernama Sesuatu-san terpilih menjadi ketua grup dan secepatnya membubarkan grup itu.
“Oke, semoga hari kalian menyenangkan.”
Setelah salam basa-basi, semua orang berpisah. Yukinoshita adalah orang pertama yang pergi. Aku mencoba berbaur dengan orang-orang yang pulang tersebut dan keluar dari ruang rapat, tapi di momen itulah...
Di salah satu sudut ruang rapat terlihat Sagami Minami, duduk seperti orang frustasi. Dia tampaknya frustasi karena menjabat sebagai Ketua Panitia dan ternyata tidak berjalan seperti yang dia harapkan? Di sebelahnya ada dua gadis yang sejak tadi bersamanya, dan entah mengapa, ada Hiratsuka-sensei dan Meguri-senpai disana juga. Sepertinya mereka akan mendiskusikan tentang rencana ke depannya.
Ketika aku melewati mereka ke pintu keluar, kedua mataku kemudian bertemu dengan tatapan Hiratsuka-sensei.
Dia lalu mengedip-ngedipkan matanya ✰ sambil melambai-lambaikan tangannya padaku, mengindikasikan satu hal yaitu “bye-byeeee”.
...Aku ingin cepat-cepat pulang saja.
Skill : Tidak ada. Hobi : Tidak ada. Bagaimana kau menghabiskan waktu senggangmu: Bekerja paruh waktu di swalayan terdekat, berbelanja. |
x Chapter II | END x
Anggapan Hachiman tentang Festival Budaya hanya bagi orang yang punya teman dan menghabiskan waktu dengan gadis yang disukainya, ternyata nantinya akan terjadi kepada Hachiman sendiri.
...
Sepertinya, sejak awal Sensei memang berniat untuk menaruh Hachiman di kepanitiaan festival.
...
Alasan Hachiman tertarik melihat ke arah Yukino yang masuk ke dalam ruangan rapat baru akan terjawab di volume selanjutnya, volume 7 chapter 3. Hachiman membenarkan pernyataan Tobe kalau melihat sisi lain dari seorang gadis membuat seorang pria tertarik. Sayangnya, ini juga berlaku tidak hanya kepada Yukino, tapi juga kepada Kaori ketika SMP dulu.
...
Jelas Pak Atsugi agak sungkan kepada Yukino. Karena selain adik dari Haruno, Pak Atsugi pasti tahu kalau Yukino anak anggota DPRD. Mengapa? Karena Saki di volume 2 chapter 4 saja tahu, mengapa Pak Atsugi yang kenal Haruno tidak?
...
Yukino jelas kesal karena selama di ruang rapat itu, mereka memujinya hanya karena "Adik Haruno", bukan karena pencapaian apa yang dia lakukan di sekolah selama ini. Jelas Yukino tidak mau menjadi ketua jika Meguri dan Pak Atsugi beralasan kalau dia adalah adik Haruno.
...
dialek/logat jawa sangat jelas terlihat dalam translate ini,
BalasHapusPerasaan disaat moment yukìnon masuk ke ruangan dan sadar dengan ada h8man yukinon ada sempat mengatakan sesuatu seakan kaget karena ada h8man?
BalasHapusIni masih versi yukino s1, masih super jutek
HapusOmae no han'nin ka...
BalasHapusCringe
Hapus